Rhythm Of Love

By dipraal

31.7K 2.3K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... More

Bab 1 Menerka-nerka
Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 3 Menarik
Bab 4 Mengaku Iya
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 6 Rabu Rabu
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 9 Negoisasi Revolusi
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada
Cerita Baru
Trivia

Bab 15 Pemulihan Jiwa

1.5K 141 99
By dipraal

Bolehkah menggerutu pada sorot sinar yang dengan lancangnya menembus hingga retina mata sana? Pasalnya, cahaya matahari itu, telah membuatnya terpaksa menarik seluruh kesadarannya hingga ia harus membuka mata secara penuh dan menyapa pagi yang kadang terlihat mengesalkan untuk beberapa orang.

Dia mengerjap beberapa kali, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Tidurnya malam tadi, berasa begitu panjang, sangat bahkan. Bayangan-bayangan mengenai yang ia tulis, begitu rapi bermain di mimpinya. Atau itu bukan mimpi –ah memang bukan, dia hanya rindu, sampai –fiksi saja bisa begitu nyata merasuk dalam lelapnya.

Tadinya ia ingin menggerutu pada cahaya yang menyusup gorden kamar ini, tapi melihat perempuan yang masih mengatupkan kelopak matanya rapat di hadapannya sekarang, ia memilih tersenyum. Ia memilih tersenyum begitu manis sambil membelai lembut kepala dan mengecup dalam kening perempuan ini, hingga membuat dadanya bergetar dan air matanya merembes keluar begitu saja.

"Pagi sayang," sapanya lembut.

Bayang-bayang mengenai karangan imajinatif itu terus berputar di otaknya. Hingga tanpa ia sadari bayang-bayang itu telah mengejek kehangatan dari cahaya pagi yang masuk lebih banyak ketika ia membuka jendela lebar-lebar. Bagaimana sorot cahaya pagi tidak merasa direndahkan, kalau nyatanya cerita fiksi yang terus berputar di kepalanya lebih bisa membuat sengatan hangat yang menjalar dari dada hingga ke semua sudut badan, dari pada cahaya matahari pagi itu sendiri.

Belum ada niatan untuk membangunkan teman tidurnya. Ia lebih memilih melangkah ke arah nakas, meraih gelas yang isinya tinggal setengah lalu ia teguk hingga tandas.

Dia tak lantas pergi, pandangannya ia jatuhkan ke atas ranjang yang masih dihuni oleh salah satu sosok bidadari yang Tuhan diizinkan untuk turun dan bahkan menemainya sekarang ini.

Di dalam lelapnya, wajah ayu itu terlihat begitu tenang, begitu menenangkan.

Dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk sekadar cuci muka dan menggosok gigi.

Saat ia kembali, perempuan itu belum juga membuka matanya. Padahal sinar matahari semakin memenuhi ruang kamar mereka.

Apa tidak silau? –pikirnya.

Tadinya ia berniat keluar kamar, membuat secangkir kopi dan susu untuk dibawanya ke kamar dan disesap bersamaan di balkon seraya berjemur sejenak. Tapi ternyata, makhluk yang masih bertahan di bawah selimutnya itu, lebih menarik perhatiannya.

Tanpa berniat membangunkan, dia kembali membaringkan tubuhnya dan mengamati dalam diam, wajah yang terlelap itu.

"Cantik," katanya sambil menyingkirkan rambut yang jatuh menghalangi muka ayu bidadarinya ini.

Dia masih tidak percaya, dia masih saja selalu ingin menangis seperti tadi jika menatap sosok di depannya ini. Sosok yang selalu ingin ia lindungi hati dan fisiknya. Sosok bermata magis yang selalu membuatnya jatuh dalam tatap indahnya. Sosok yang selalu ingin mendekap dan mendengarkan ritme jantung miliknya.

Memperhatikan muka Chika yang sedang terlelap seperti ini malah membuat otaknya kembali mengingat saat pertama kali ia mendapati Chika tidur di kereta. Membuat Vito kembali mencoba mengingat pada halaman berapa momen itu ia jabarkan.

Diusapnya lembut pipi Chika menggunakan punggung tanganya. Sangat lembut, hingga mungkin hanya seperti gesekan angin yang menerpa rambut-rambut halus pada permukaan kulit. Vito memang tak ingin mengganggu tidur nyenyak Chika.

"Yessica Tamara," lirihnya.

Dia tidak perah membayangkan nama itu yang sekarang selalu ada di dalam setiap doanya. Nama itu yang selalu membuat hatinya bergetar ketika diserukan dan bergema ke telinganya. Nama yang membuat dia akhirnya menerka-nerka bagaimana sosok Chika saat itu.

Sama seperti dirinya, dulu, Chika juga sempat menerka, bagaimana sosok Vito dilihat dari namanya. Menebak bagaimana karakter Vito hanya dari namanya. Konyol memang, tapi begitu adanya. Chika pun tak mengelak jika itu merupakan tindakan konyol. Dia mengakuinya.

"Dulu pas pertama kali Kak Lala ngasih tau kalau kamu namanya Vito, aku langsung nerka-nerka kamu itu kaya apa, gimana orangnya, asik gak, gitu-gitu kak. Ya walau pun waktu itu kak Lala bilang kamu gak asik. Tapi mah namanya orang suka ngira-ngira gimana bentukan orang dari namanya, kamu gitu gak, kak?"

Vito menyetujui pemikiran Chika waktu itu, karena memang dia juga melakukan itu saat Zee memberi tahu nama lengakap Chika.

Dia melempar senyum ke arah Chika yang masih tak membiarkan matanya merasakan matahari pagi. Tangan Vito kali ini ia gunakan untuk menyisir pelan rambut hitam panjang Chika. Rambut yang pernah dengan tidak sengaja ia hirup aromanya saat ia terkejut kepala Chika jatuh di atas dadanya. Awalnya memang tidak sengaja, tapi melihat Chika begitu mengantuk dan tak ada bantalan untuk kepalanya, ia berinisiatif merengkuh tubuh Chika dan membiarkan gadis itu menjadikan dadanya sebagai alas kepala.

Vito terperanjat saat dadanya terasa berat. Dia kaget saat mendapati kepala gadis di sebelahnya ini menempel di sana. Dia berniat membangunkan Chika, tapi ia urungkan saat mendengar dengkuran lirih yang berasal dari diri Chika. Ia jadi tidak tega jika harus mengusik ketenangan dan kenyamanan Chika saat ini.

Dengan ragu dan hati-hati, dia memosisikan kepala Chika itu pada posisi yang menurutnya cukup nyaman. Vito takut disebut lancang, tapi ia juga tak mau melihat Chika tersungkur ke depan.

"Maaf ya," katanya sambil meraih pundak Chika untuk ia rangkul agar tubuhnya gadis SMA ini tidak melorot ke depan.

Mungkin itu bukan kali pertamanya kulit Vito bersentuhan dengan kulit halus milik Chika. Tapi sentuhan yang satu itu masih begitu ia ingat bagaimana efeknya. Sentuhan yang masih selalu ia rasakan saat menyentuh Chika seperti sekarang ini. Sentuhan yang menyebabkan getaran dan kehangatan merayap secara bersamaan hingga rasanya ingin terus saling mendekap. Mulai dari hari itu, Vito mengaku cukup tertarik dengan sosok Chika.

Kini Vito semakain mengikis jarak di antara mereka. Ia rengkuh tubuh yang masih terbenam dalam selimut tebal itu. Satu kecupan pun mendarat halus di kening Chika yang sedikit terhalang oleh beberapa helai rambut yang kembali turun.

"Makasih udah mau terima tawaran Lala," bisiknya.

Di dalam doanya, dia juga selalu menyebut nama Lala. Dia selalu ingin berterima kasih dengan temannya itu. Dia –Lala diperintah Tuhan, untuk membawa Chika ke hadapan dirinya. Berkat Lala, mereka bertemu. Vito merasa beruntung takdir mempertemukan dia dan Lala. Hingga dia lebih merasa beruntung ketika Lala mempertemukan dirinya dengan Chika.

Dia lagi-lagi merasa beruntung bertemu seorang Chika yang banyak bicara. Tidak, dia tidak benci, dia malah suka, sangat bahkan. Cerita-cerita Chika itulah yang membuatnya tergerak untuk mengasah kemampuan menulisnya. Berkat cerita-cerita Chikalah, sudut pandang yang ia buat agak lebih luas, karena tidak hanya dari pandangannya saja. Cerita dari sudut pandang Chika, ternyata lebih menarik dari pada cerita sudut pandang Vito sendiri. Setidaknya, dengan cerita-cerita Chika, ia bisa menulis lebih panjang, untuk mengalihkan rasa rindunya –ah atau malah menumbuhkan rasa rindu yang semakin menyiksa?

"Katamu, kamu kaget karena detak jantung saya mirip sama irama detak jantung Papa. Dan kamu pernah bilang, kalau tidak salah akibat insiden itu, kamu jadi cukup tertarik dengan saya," Vito terkekeh pelan. Dia pandang lekat-lekat muka Chika. Dia masih saja heran, bagaimana gadis populer di SMAnya itu, tidak pernah merasakan jatuh cinta pun pacaran. Sekalinya jatuh hati, dia malah jatuh ke sosok kaku ini –Vito.

Pernyataan Chika itu, sebenarnya membuat Vito sedikit heran. Pasalnya, apa yang diharapkan dari irama jantung yang bahkan bunyinya tak jauh seperti detik pada jarum jam saat berputar? Tapi, semua pertanyaan yang berputar di kepala tak harus mendapat jawaban 'kan? Meski terdengar tidak logis, tapi nyatanya kehilangan ritme itu, begitu menyiksa Chika, sejenak sekali pun.

"Gak tau kak, irama detak jantung Papa udah kaya lullaby buat aku. Lullaby itu juga aku dapat dari kamu, meski versi kasarnya,"

Bahkan dia mengatakan ada versinya. Vito tak paham lagi, gadis di depannya ini memiliki cara jatuh cinta yang sangat langka.

Vito meneguk ludahnya dalam. Telunjuk tangannya kini dia gunakan untuk menyusuri setiap inchi wajah Chika. Mulai dari kening, alis, mata, hidung, sejenak menusuk-nusuk pipi Chika, dan hingga akhirnya telunjuk itu menyentuh bibir ranum milik perempuan unik ini.

Sudut-sudut bibir itu, Vito sentuh bergantian. Sudut-sudut bibir yang saat Chika tarik ke atas, membuat Vito tak tahan untuk menarik juga sudut bibirnya. Ia amat memuja senyum itu. Vito amat sangat menyukai Chika saat seulas senyum terukir di bibirnya.

Lagi-lagi kepalanya kembali memutar ulang apa yang pernah ia rasakan lalu ia tuliskan. Ia ingat, saat kali pertama darahnya berdesir ketika mendapati wajah samping Chika yang diterpa angin dan seulas senyum yang mengembang begitu manis meski hanya terlihat dari samping. Senyum yang mampu membuat Vito mendeklarasikan kalau Chika adalah pemiliki mutlak kecantikan yang Tuhan berikan, bukan hanya pendapat subjektif dari orang-orang.

"Mereka bilang cantik itu relatif, tapi kamu mutlak," kali ini Vito mengecup kedua mata Chika. Gadis itu menggeliat, namun tetap tidak tergerak untuk membuka matanya.

Merasa tengah menganggu, Vito menyingkap selimut yang menutupi tubuh Chika, ia ikut masuk lantas kemudian mengusap-usap punggung gadis itu agar kembali terlelap lebih dalam.

Deru nafas Chika dapat ia rasakan. Dengkuran yang keluar lirih dari diri Chika semakin dapat telinganya dengarkan. Dengkuran dan deru nafas yang pernah ia rasakan begitu hangat dan menarik kala Chika tertidur di atas motor. Rasa berat pada punggungnya waktu itu tak ia acuhkan. Sulitnya mengendari motor dengan satu tangan tak ia keluhkan. Dosa besar mengeluh saat merasakan kenyamanan dan kehangatan dari pelukan seorang Yessica Tamara di balik punggungnya, di tengah menembus dinginya jalanan pagi buta saat itu.

Di hari yang sama, ia dibuat tertegun, bahkan jantungnya hampir mendesak keluar saat ibu jari Chika dengan tiba-tiba menempel di bibirnya untuk menyeka sisa susu murni yang ia mimum pagi itu. Pertahanannya semakin melemah saat tahu, manik mata Chika menembus manik matanya dengan tatapan begitu dalam dan lembut diiringi senyuman yang kemudian mengembang manis di wajah Chika. Sungguh tak pernah Vito pikirkan jika Chika akan menyerang hatinya dengan cara seperti itu.

"Aku gak tau sisa susu di atas bibir boleh dibersihin atau gak, tapi aku risih liatnya, kak,"

Vito hanya diam mendengar dan mendapati perlakuan Chika, otaknya masih sulit mencerna apa yang dia terima kala itu. Bahkan senyumpun terasa sulit, karena entah kenapa kesadarannya waktu itu tiba-tiba menguap bersama kabut yang hilang di terbangkan oleh sinar matahari pagi.

Terlalu cepat jika mengiyakan dia jatuh hati pada Chika saat itu juga. Tapi Vito juga tidak bisa mengelak perasaanya. Setiap detik yang ia lalui bersama Chika di kampung halaman Papanya, mendorong hatinya untuk sedikit malakukan perubahan dalam dirinya. Saat berdiri di samping Chika, selalu ada dorongan dari dalam sana yang memerintah Vito, menjadi pribadi yang hangat dan menyenangkan untuk Chika.

Dirinya tidak merasa keberatan pun kesulitan, karena nyatanya itu selalu trjadi begitu saja tanpa Vito paksakan dan pikirkan. Dia tak pernah berpikir keras bagaimana menarik perhatian Chika. Dia juga tak pernah bersusah payah menjadi orang lain di hadapan Chika. Semua mengalir begitu saja. Vito juga tidak menyangka jika Chika menikmati setiap perhatian yang menurut diri Vito sendiri perhatian yang biasa-biasa saja. Jika dibandingkan dengan perhatian bocah-bocah SMA yang mengincar Chika, Vito berani taruhan, dia pasti kalah telak.

Tapi perhatian-perhatian kecil itulah yang membuat Chika justru tertarik pada Vito, setidaknya itu bukan asumsi Vito belaka, itu pengakuan dari Chika.

"Kamu emang jauh dari kata romantis, kak. Tapi aku pun sebenernya gak tau tindakkan yang dianggap romantis itu kaya gimana. Kamu nyuruh aku masukin tangan ke dalam sweater aku pas kita ke angkringan waktu itu termasuk romantis gak ya? Haha soalnya aku suka,"

"Kamu turun mobil pas anter aku aja itu aku seneng banget, kak. Soalnya kalau di anter Kak Vino atau Abang, mereka gak pernah turun. Kamu kaya Papa aku suka,"

"Kamu sering oper makanan yang aku suka dari piring kamu itu pun aku suka, banget malah,"

Dan masih banyak rentetan pengakuan Chika di hadapan Vito. Gadis ini memang banyak bicara, tapi Vito suka.

Hal-hal kecil seperti itu pernah juga ia lakukan pada saat bersama Mira. Tapi memang tidak boleh disamakan pribadi mereka. Bukan, bukan mau mengulang apa yang pernah ia berikan ke Mira. Tapi, hmm bagaimana mendeskripsikannya. Tindakan-tindakan kecil yang Vito lakukan di atas adalah murni kebisaan dirinya. Dia punya keponakan perempuan, dia sering melakukan hal-hal itu demi membuatnya senang. Di saat Mira merasa risih diperlakukan seperti itu, Chika justru menyukainya. Entahlah, pribadi orang memang beda-beda.

"Kamu cerewet, tapi kamu gak rewel," Vito kembali mendekatkan wajahnya. Kini hidung Chika yang menjadi objek pendaratan bibir Vito.

Iya, Chika tidak rewel. Saat sakit dan jauh dari orang tua waktu itu pun dia tidak merepotkan orang-orang. Dia hanya menangis karena rindu dengan Papanya tapi tak mau menghubungi sang Papa karena takut mengkhawatirkan orang rumah.

Saat menulis bagian itu, rasa bersalah tiba-tiba hinggap di benaknya. Dia merasa tidak becus dan tidak tanggung jawab sampai bisa membuat anak orang sakit.

"Maaf ya waktu itu gak bisa bener-bener jaga kamu. Tapi sekarang kamu udah sama saya, saya bakal jagain kamu bener-bener,"

Kali ini tanpa ragu, tanpa rasa takut, ia renggut bibir ranum milik Chika ini. Ia kulum lembut meski tidak ada balasan –belum. Cukup lama ia pagutkan bibirnya ke bibir Chika, hingga tiba-tiba membuat empunya tersadar dari tidurnya.

"Maaf jadi bikin kamu bangun," Chika menggeleng. Dia malah merangkul leher Vito, menyimpan mukanya di ceruk leher laki-laki ini.

Vito ingat benar, bagaimana Chika pernah marah dan mendiaminya gara-gara dia lepas kontrol. Hal terbodoh yang pernah ia lakukan. Merenggut cium Chika adalah mala petaka.

"Kamu saya beri kesempatan untuk jaga Chika, tapi kamu malah kurang ajar!" Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Vito hingga membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Tamparan tangan kekar dari Papa Chika yang kemudian meninggalkan rasa nyeri hebat yang menjalari seluruh mukanya.

Belum sempat ia mengelola rasa sakitnya, satu pukulan penuh tenaga ia terima di lokasi yang sama. Pukulan keras yang membuat tubuhnya tersungkur ke lantai. Tidak sampai situ, Vino mengahampirinya, tidak membiarkan Vito bangkit.

Vito pasrah saat Vino menghujaninya dengan pukulan, dia tidak membalas. Shani pun juga diam, ia mencengkeram erat tangan Gracia melarangnya untuk mencegah Vino melakukan itu.

"Ngomong sama gue! Lo udah ngapain adek gue, ngomong, bangsat!" meski mendesak Vito untuk mengaku, tapi Vino tidak memberi Vito kesempatan untuk menjawab. Tangannya masih membabi buta memukuli wajah Vito.

Hingga akhirnya Shani yang menghentikan Vino saat ia melihat hidung dan bibir Vito telah berdarah. Buru-buru Gracia menghampiri Vito yang terduduk lemas di sana. Dia angkat dan dia papah untuk duduk di sofa.

"Pa, Ma, dia udah kurang ajar! Gak usah lah di tolongin!" seru Vino masih dengan muka merah padam.

"Dia udah minta maaf, kak. Udah, biar Papa yang urus, kamu masuk kamar," Vino menurut. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar sambil menatap tajam Vito yang tengah duduk bersama Gracia.

"Ge, ambilin kotak obat, obatin lukanya,"

Terguran yang akan selalu Vito ingat. Teguran yang tak ia tulisan dalam karangannya tapi masih terpatri jelas dalam ingatannya. Mulai saat itu, dia benar-benar hati-hati menjaga Chika. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Shani berikan kepadanya. Dia hampir kehilangan Chika saat itu. Dia takut kehilangan Chika.

Dan sekarang ketakutan itu tengah ia rasakan.

"Bangun yuk, udah siang nanti keburu panas, kasian Danzel nanti rewel kalau kepanasan," Chika hanya bergumam kemudian bangun. Ia menatap Vito sebentar, melempar senyum tipis, sangat tipis. Lantas turun berjalan menuju kamar mandi tanpa mengucapkan apapun lagi.

Vito yang masih di posisinya hanya menatap nanar punggung Chika yang berlalu. Sebisa mungkin ia tetap tersenyum. Chika adalah orang yang ia sayang, bagaimanapun, dalam kondisi dan situasi apapun, dan sampai kapanpun.

Dia agak benci dengan pertahanan hatinya. Menatap punggung Chika yang berlalu pun ia tak sanggup menahan air matanya. Dia –Vito, bingung, dia bahagia, tapi dia tersiksa dalam waktu bersamaan. Dia bergembira di dalam suatu tragedi, Vito bahagia, tapi dia tidak tahu mengapa dia harus bahagia. Dia bersedih, tanpa tahu kenapa dia harus bersedih. Vito tidak mengerti, meski dia tahu ada yang dia mau dalam situasi ini. Namun, harapannya seakan masih mengambang di awang-awang. Vito hanya merindu.

Tak ada yang ia bisa lakukan saat ini –atau ada namun tidak berguna. Impiannya, keinginanya hanya bisa ia wujudkan dalam bentuk imajinasi. Di dunia itu dia bebas meracang apapun, termasuk mewujudkan cita-cita. Tapi itu tidak bisa terus ia lakukan. Ia butuh kebahagiaan nyata bukan fiktif. Sependek ini ia mencoba baik-baik saja, tapi itu tak bisa terus ia lakukan. Rasa rindunya ini menimbulkan rasa sakit yang begitu menyiksa.

Memang tak ada musim gugur di sini. Tapi Vito seolah sedang berada di musim itu saat ini. Musim yang menurut mitos orang Nowegia sebagai simbol kesedihan bahkan kematian.

Jika benar ini musim gugur baginya, ia akan terus berdoa pada Tuhan agar Dewi Frigg segera menangkap Loki –dewa kajahatan yang membunuh Balder –dewa penyangga bumi. Ia ingin segera mendengar berita bahwa Dewi Frigg telah membekuk Loki si pengacau yang membuat langit menjadi murung dan menangis dan membuat pepohonan menggugurkan daun-daunya. Ia berharap Dewi Frigg segera membunuh Loki dan menghidupkan kembali Balder, dengan begitu kehidupan di muka bumi bisa kembali bersemi. Ia harap musim semi benar-benar segera datang. Ia sudah ingin mengyingkap kelamnya musim ini. Ia sudah amat sangat merindukan Chika, merindukan jiwa gadis itu kembali menyatu dengan raga. Seperti sinar matahari musim semi yang bisa menyiptakan kehangatan dan mengaburkan kelabunya langit di atas sana.

*

"Mami kenapa nangis?" Chika tak menjawab. Dia malah mendekap putranya itu erat. Menciumi puncak kepalanya berulang kali.

Vito yang paham akan situasi itu, langsung mengangkat Chika dari acara bersimpuhnya. Ia sejujurnya tidak kuat melihat perempuan kesayanganya ini terus menerus menangis hingga sesenggukan bahkan hampir kehilangan nafas. Vito dekap tubuh yang masih bergetar itu, mengabaikan anaknya yang memandang heran ke arah mereka.

Tanpa sadar, air mata Vito juga ikut luruh, dia sedih melihat Chika menangis. Hatinya sakit mengingat dia tak bisa berbuat banyak untuk memulihkan Chika.

"Kak–," ini sudah biasa Vito saksikan. Ia sudah biasa melihat Chika menangis seperti ini acap kali mengunjungi makam Shani –Papanya. Ia sudah terbiasa akan rasa ngilu setiap mendengar tangis pilu yang keluar dari mulut Chika. Tangis itu bahkan semakin terdengar pilu dari hari ke hari.

"Sssttt udah ya," katanya mencoba menenangkan.

"Aku kangen Papa," selalu itu yang Chika ucapkan. Jika sudah mengatakan itu, Vito tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya akan mendekap tubuh istrinya ini erat.

Seperti minggu sebelum-sebelumnya. Usai melakukan kunjungan itu, biasanya di jalan pulang mereka hanya terdiam, terlarut pada pikiran masing-masing. Hmm hanya Chika, karena Vito akan dengan sabar menjawab segala pertanyaan anaknya sepanjang jalan.

Danzel seperti Chika, cerewet dan cerdas. Ia jadi ingat potongan cerita yang ia tulis saat mulutnya tak sengaja melontarkan kalimat pengharapan, ya pengaharapan, hmm mungkin bisa dibilang begitu.

"Kamu mau tanya apa lagi? Selagi saya bisa jawab 'kan gakpapa, Chika. Biar kamu gak penasaran. Saya seneng malah kamu sering tanya, tandanya kamu cerdas. 80% kecerdasan anak nantinya itu diturunkan dari ibunya lho, jadi nanti anak kita udah pasti cerdas kaya kamu,"

"Papi, kenapa kita setiap minggu harus nengokin opa?"

"Ya karena harus sayang, kamu memangnya gak kangen sama opa?"

"Denzel kangen, tapi Danzel gak suka ke sini," Vito melirik Danzel melalui kaca spionnya. Terlihat bocah lima tahun itu mengerucutkan bibirnya. Vito belum menjawab, ia memperhatihan Danzel yang tiba-tiba meringsekkan tubuhnya ke arah Chika.

"Dazel gak suka nengokin opa. Soalnya setiap nengok opa, Mami selalu nangis. Danzel gak suka liat Mami nangis,"

*

Mereka masih melancarkan aksi diamnya. Selalu seperti ini empat bulan terakhir. Mereka hanya akan berkomunikasi seperlunya. Chika benar-benar seperti kehilangan separuh jiwanya –ah seluruhnya.

Dia yang dulu benci keheningan, benci yang namanya sepi, kini malah memuja semua keadaan itu. Tak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang ia lemparkan untuk Vito. Tak ada lagi cerita tentang kesehariannya menjaga Danzel. Tak ada lagi, pillow talk di kala malam. Keadaan ini sungguh menyiksa Vito. Membuatnya terpaksa menyelami dunia jingga demi bisa merasakan keberadaan Chika lagi.

"Sini," titah Vito memecah keheningan. Seperti biasa, dia lebih suka memasukan Chika terlebih dahulu dalam dekapnya. Dia tau, kalau detak jantungnya membuat Chika tenang, ia ingin melakukan itu terlebih dahulu sekarang.

Dia peluk erat tubuh Chika, dia usap lembut punggung itu, dan dia kecup dalam kening istrinya ini.

"Saya tahu kamu sedih, saya juga sedih kehilangan Papa. Kamu memang kehilangan satu kebahagiaan kamu, tapi kamu masih punya kebahagiaan yang lain. Saya, Danzel, Mama, Kak Vino, Abang, Zee, Lala, Yori, mereka juga kebahagiaan kamu 'kan? Jangan merasa hidup kamu hancur hanya karena satu kebahagiaankamu hilang ya, sayang. Masih ada saya dan yang lainnya," Vito terdiam saat terdengar isakan dari Chika.

Mengetahui itu, ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Kamu tahu, saya sedih lihat kamu terus-terusan terpuruk. Bukan hanya saya, Danzel juga. Dia sering ngadu sama saya, kalau dia kangen dibacain dongeng sebelum tidur sama kamu, dia kangen main sama kamu. Dia selalu protes sama saya kenapa kamu sekarang lebih banyak diam, jarang mengobrol sama dia. Saya bisa pahami kamu, Danzel?" Chika semakin terisak mendegar tuturan Vito.

Setelah empat bulan baru kali ini Vito mengungkapkan semuanya. Kemarin-kemarin ia masih memaklumi, tapi kali ini tak lagi. Ia tidak tega dengan Danzel yang setiap hari mengadu padanya mengenai perubahan sang Mami. Tak jarang dia marah bahkan menangis saat Chika jarang merespon pertanyaannya.

"Kamu kehilangan Papa, kehilangan ritme kecintaan kamu. Di saat bersamaan, saya juga kehilangan kamu,"

"Raga kamu dapat saya rengkuh, tapi jiwa kamu melayang angkuh, Chika. Senyum kamu masih bisa saya lihat, tapi hambar, sangat. Mata kamu bahkan masih indah, saya juga masih memujanya, tapi tak ada kehidupan di dalam sana," Vito menarik nafasnya dalam. Dia semakin membawa Chika masuk dalam dekapnya. Erat, seperti takut kehilangan.

"Saya kangen kamu. Saya kangen cerita-cerita kamu. Saya kangen keceriaan kamu. Saya kangen semua yang ada di kamu. Semuanya yang gak pernah lagi saya temui setelah Papa pergi. Saya kangen kamu, kangen banget," Vito tak lagi bisa menahan air matanya.

"Rasa kangen saya ke kamu semakin hari semakin menyiksa, Chika. Jujur, hati saya sakit setiap lihat pandangan kosong kamu. Hati saya ngilu setiap mendengar kamu nangis. Sedangkan saya hanya bisa marah dengan diri saya sendiri karena saya gak bisa balikin keceriaan kamu," Vito memejamkan matanya, mencoba meredam rasa sakitnya yang mulai menjalar. Sedangkan tangannya masih setia mendekap tubuh Chika.

"Kamu sama saya, tapi jiwa kamu gak ada," lirih Vito sebelum akhinya di lepaskan rengkuhan itu. Dia tatap lekat-lekat Chika, dia hapus air mata yang masih mengalir membasahi pipinya itu.

"Saya ambil minum dulu, ya. Biar kamu tenang," tak perlu menunggu persetujuan Chika, Vito beranjak mengambil dua gelas air putih.

"Minum dulu," Chika menurut, ia meneguk air itu hingga tinggal setengahnya.

Mereka kembali diam, namun raga mereka tetap bertaut. Tangan Vito dengan lembut mengusap usap lengan Chika. Kepala Chika dengan nyaman ia jatuhkan di pundak Vito.

"Kak –aku baca. Aku baca cerita kamu," ucap Chika tanpa mengangkat kepalanya.

"Makasih ya," balas Vito.

"Kenapa?" Vito bergumam –gumamannya bernada tanya. Dia tak paham dengan maksud Chika.

"Kenapa tiba-tiba nulis?"

"Saya kangen kamu," jawabnya. "Di dunia imajinasi, saya bisa lakuin apapun, saya bisa wujud-in apa yang gak bisa terwujud di dunia nyata. Cita-cita dan harapan saya yang gak tercapai di dunia ini, bisa saya capai dengan mudah di dunia jingga. Ketika saya gak bisa denger suara lantang kamu pun cerita kamu, saya bisa wujud-in keinginan saya di sana. Entahlah, hanya dengan membaca ulang fiksi amatiran saya tentang kisah kita, saya bisa merasakan tulisan-tulisan itu bersuara. Karena sejatinya menulis fiksi itu sebuah pelarian di kala keinginan saya ditolak oleh dunia nyata,"

"Mengingat dan menulis apa yang pernah kita lewatin bareng, juga cerita-ceritamu, buat saya senang. Buat saya bisa ngarasin cerianya kamu, gimana cerewetnya kamu, gimana manjanya kamu, suara tawa kamu, bahkan tamparan kamu, bisa saya rasakan. Saya juga membacanya berulang-ulang, karena setiap hari saya kangen kamu, kangen sosok Yessica Tamara yang empat bulan ini seolah hilang dari kehidupan saya," Chika menegakan kepalanya. Menatap lekat wajah samping Vito yang memang tidak menoleh ke arahnya. Tapi Chika bisa melihat ada yang luruh dari sudut mata Vito.

"Sastra itu selain berfungsi untuk hiburan, dia juga berfungsi sebagai pemulihan jiwa," Vito tersenyum. Ia menoleh mendapati tangan Chika yang tengah menghapus air matanya –air mata Vito.

"Jiwa saya terguncang saat tahu jiwa kamu ikut terkubur bersama raga Papa,"

"Saya capek nemuin kamu ke masa lalu, saya capek harus masuk dulu ke dunia fiksi demi liat kamu yang hidup, saya capek kebahagian saya belakangan ini hanya fiktif. Tolong, jangan buat saya semakin jauh tenggelam dalam dunia imajinasi, Chika. Tarik jiwa kamu lagi, bawa saya pulang ke dunia nyata,"

---------------------

Paham?

Bisa menyimpulkan gak maksud ini semua haha
Coba dong mau baca kesimpulan kalian hehehe Yuk tulis yuk kesimpulan kalian, mau tau saya :D

Nanti agak maleman dikit mau update lagi hihihi Lagi diketik dikit lagi hoho

Maaf ya kalau membingungkan, tapi mah saya yakin kalian paham
Maaf kalau agak aneh, gakpapa hahahaha emang dari awal cerita ini aneh

Makasih buat kalian yang udah baca terus, vote terus, dan komen terus. Makasih banyak :)

Dah, sampai ketemu nanti, sekarang mau gersekin tiktoknya yssc dulu :( 

Continue Reading

You'll Also Like

Midun By Basilaks

Fanfiction

16.3K 1.1K 15
"Gre, kamu itu nomor 7 di hidup aku. Nomor 1-5 Pancasila, Nomor 6 keluargaku." - Nino Hamids cerita remaja menuju proses pendewasaan tahun 2008. Luma...
214K 6.2K 73
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
188K 22.3K 86
Follow dulu lah minimal. Terima kasihhhh Musim 1 Giovany Adelia gadis yang tengah membalaskan dendamnya. Sahabat yang bernama Eliana Zeena telah di b...
11.7K 333 16
What if the Ministry re-sorted everyone into their true houses? And what if Draco Malfoy... cared? Harry's POV :) SEQUEL IS ABANDONED PLEASE LMK IF Y...