Andaikan Saja Kita

By alamandatera

137K 20.2K 3.4K

RANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpia... More

Prakata
Prolog
1 | Sebuah Perubahan
2 | Yang Tak Terlihat
3 | Sebuah Pemahaman
4 | Melepaskan dan Menerima
5 | Sisi Lain
6 | Pintu Hati
7 | Prinsip
8 | Kuning
9 | Hitam
10 | Putih
11 | Memulai Kembali
12 | A Sweet Date
14 | Terhempas Lagi
15 | Dekonstruksi
16 | Rekonstruksi
17 | Next Move
18 | Kejutan
19 | Usaha
20 | Everything's Alright
21 | Rotten
22 | Pecah dan Terburai
23 | Bantuan Tak Terduga
24 | Tumpukan Emosi
25 | Jalan Gelap, Jalan Terang
26 | Mulai Bersama
27 | Bentuk Peduli
28 | Feels Right
29 | Kejutan (2)
30 | Jatuh
31 | Bentuk Peduli (2) ⚠️
32 | A Broken Angel
33 | Goodbye, Angel
34 | 'Cause She Belongs to Me
35 | Be a Champion
36 | The Storm is Coming
37 | To Protect ⚠️
38 | Problem(s)
39 | Dream(s)
40 | Fear(s)
41.1 | Fears Do Come True ⚠️
41.2 | Fears Do Come True ⚠️
42 | Andaikan Saja Kita ⚠️
43 | Dari Sedekat Nadi, Jadi Sejauh Mentari
44 | Girls, Let's Talk About Sex ❣
45 | Boys, Let's Talk About Sex ❣
46 | Membuka Mata
47 | The Strongest Angel ⚠️
48 | The Future of Us
Epilog
Extra Part | Tiga Tahun Setelah Kelulusan
Catatan Akhir
NEW STORY | A MISMATCH SO PERFECT

13 | (Not So) Sweet Date

2.3K 392 75
By alamandatera

"Hari ini telah berjalan terlampau baik, tapi seharusnya gue nggak boleh terlena karena semesta memang nggak akan mengizinkan gue mendapat kebaikan sebanyak itu."

-0-

ALVIN

-0-

Perasaan sayang gue ke Thalia semakin membuncah saat gue melihat langsung dengan mata kepala gue sendiri, gimana dia ketawa dengan ceria, heboh akibat hal-hal menarik yang dia lihat, dan bisa memahami gue tanpa perlu gue bicara sampai berbusa. I'm starting to believe that we are made for each other.

Momen kami berdua di Ancol gue simpan rapat-rapat di otak, jadi kenangan yang akan gue kunjungi lagi di masa depan kalau-kalau hidup nggak semenyenangkan sekarang. Hari ini, Thalia berpenampilan kasual dengan kaos warna biru langit dan celana pendek jins. Bandana di rambutnya menambah kesan feminin dan membuat gue bahagia karena gue bisa bebas memandang wajah cantiknya dari samping ketika kami berjalan beriringan, nggak terhalang rambutnya yang sangat halus dan mudah jatuh menutupi wajah.

Sebagai seorang cowok, gue sadar seratus persen gimana kaum gue memandang Thalia dengan pandangan penuh damba dan kekaguman. Untungnya, yang berani bergerak justru seorang cewek usia taman kanak-kanak. Genggaman gue ke tangan Thalia dan cara gue balas memandang cowok-cowok yang ngeliatin dia lebih dari lima detik sukses memberi warning ke mereka. Kayaknya gue harus membiasakan diri menghadapi hal-hal seperti ini. Risiko naksir cewek cakep.

"Beneran nih, berani nyobain semua wahana ekstrim?" Thalia bertanya dengan nada mengejek.

Gue menyunggingkan senyum remeh. "Elah, bungee jumping aja udah gue lakuin. Yang ginian sih, kecil."

Boleh jadi, gue nggak terlalu mempedulikan wahana apa pun yang kami coba. Yang penting buat gue justru waktu mengantri dan berjalan menuju satu wahana dari wahana lain. Di saat-saat itulah gue bisa memancing obrolan dengan Thalia, bertanya apa pun tentang dirinya yang bakal gue catat baik-baik di otak. Bahkan, gue sempat mengeluarkan ponsel untuk ngetik di notes daftar snack favoritnya.

"Nggak tahu ya, tapi susu sapi yang putih itu ... nggak enak kalau diminum langsung. Kalau jadi campuran masakan baru enak. Gue sukanya susu stoberi di peringkat pertama, peringkat keduanya susu cokelat!" ucap Thalia sambil bersandar di pagar besi yang menjaga supaya antrean tetap lurus. Kami sedang mengantre wahana bianglala.

Gue mengeluarkan ponsel lagi. Susu stoberi, susu cokelat. No susu putih.

"Jangan bilang lo nyatet semua jawaban gue di notes hape!"

Gue terkesiap. Gue segera mengantongi ponsel, lalu berdeham. "Nggak semua, sih. Kalau cerita-cerita lo biasanya gue langsung inget, tapi kalau udah nyebut merk atau rasa gue suka ketuker."

Mata indah Thalia membesar. "Jadi beneran lo catet? Astaga ..." cewek itu berdecak, tapi kemudian tersenyum lembut ke gue. Ya Tuhan, Thalia nggak tahu ya, senyuman dia itu bisa bikin kaki gue serasa kayak jelly? Bisa-bisa bianglala justru jadi wahana yang bikin gue lemes, padahal kami sudah menjajal roller coaster dan hysteria sebelumnya.

Kami berjalan semakin maju di antrean, sampai akhirnya giliran kami memasuki salah satu kapsul. Gue menoleh ke petugas yang menjaga. "Bisa berdua aja, kan?"

Mas-mas itu tersenyum jahil, sepertinya sudah paham bagaimana anak muda mengusahakan naik kapsul berdua saja dari pada bersama pengunjung lain yang berpotensi menghancurkan momen romantis yang sudah direncanakan.

"Iya, Mas. Naik udah," ucapnya kemudian yang gue balas dengan tawa dan sebuah acungan jempol.

Matahari yang merendah sejak sejam yang lalu, sekarang beneran udah malu-malu. Hari ini sangat berawan, tapi gue justru kagum karena awan-awan itu memantulkan cahaya jingga sore ini. Langit bagaikan dipenuhi gulali putih yang disiram saus rasa jeruk. Gue menoleh ke Thalia, kelihatannya dia juga sedang mengagumi hamparan langit Jakarta.

"Thal," gadis itu memindahkan fokusnya ke gue. "Lo masih penasaran nggak sama awan? Jangan-jangan emang awan itu tebel dan kita bisa lompat-lompatan di atasnya kayak trampolin."

Omongan gue barusan memantik tawa yang merdu dari mulut Thalia. Dia menggelengkan kepala lalu berkata, "sayangnya, sains dan pengalaman gue sendiri udah jadi buktinya, Vin. Waktu itu gue baru bisa baca dan yang pertama kali gue cari adalah ensiklopedia tentang awan. Gue kecewa parah pas tahu awan itu cuma uap air yang ngumpul. Nggak jauh beda sama kabut. Setelah itu, saat naik pesawat, gue akhirnya mikir, bener juga ya, kalau awan itu nggak bisa ditembus, jadi pilot susah banget dong, harus belok sana belok sini, ngehindarin awan? Belum lagi kalau ada awan besar, gelap, penyebab badai. Ya udah deh, gue menerima kenyataan kalau imajinasi gue yang itu nggak akan pernah bisa jadi nyata. Meskipun sebenernya, seru juga sih, untuk hidup dalam ketidaktahuan. Gue bisa aja masih punya angan-angan untuk main trampolin di langit sampai sekarang." Thalia menyudahi kisahnya dengan sebuah cengiran lebar.

Ah, hidup dalam ketidaktahuan, ya? Andaikan gue nggak tahu sama sekali tentang Marissa Gunardi sejak awal, mungkin kita udah bareng dari dulu, Thal. Nggak perlu ada praduga dan episode cewek kayak lo ngejar-ngejar gue. Tetapi sekarang gue udah tahu kebenaran yang sesungguhnya, mungkin gue bisa memperbaiki itu.

"Lo masih inget cerita gue tentang awan, ya? Astaga, padahal dulu gue cerita itu sambil lalu, kalau nggak salah awal kelas sepuluh pas kita dapet tugas kesenian ngelukis sesuatu dan gue mau ngelukis pemandangan langit." Thalia mengangkat kedua alisnya.

Gue menggaruk tengkuk yang nggak beneran gatal. "Gue mungkin bukan temen ngobrol yang asik dulu ... tapi gue selalu dengerin lo, kok."

Thalia menunjukkan senyuman killer-nya lagi. Hati gue berdesir kayak bara api yang disiram air dingin.

"By the way, gue beneran liat usaha lo. Makasih ya, Vin. Tapi, lo nggak perlu nyatet kesukaan gue sampai segitunya, ah. Nih, ya, gue kasih tahu. Kadang, apa yang dikasih ke gue nggak begitu penting, tapi siapa yang ngasih lebih penting."

"Maksud ... lo?"

"Maksud gue, a special person can give a lame gift and I'd still considered it special."

Gue berdeham, menyadari ada yang tersirat dari ucapan Thalia. "Maksud lo, gue orang yang spesial, jadi nggak usah ngeluarin effort banyak-banyak, lo udah pasti bakal suka sama apa yang gue kasih?"

Thalia terlihat gelagapan. Ia memalingkan wajah ke sembarang arah selain wajah gue. Gue terbahak karenanya.

"Ngeselin," dengus Thalia kesal bersamaan dengan warna merah mulai menghiasi pipinya. Gue mengamati bahwa cewek di hadapan gue ini jelas banget kalau lagi flushing. Damn, she's even cuter this way.

"Kalau orang yang spesial ngasih lo sesuatu yang spesial juga, lo berkali lipat dong, bahagianya? Itu yang mau gue lakukan."

Thalia melirik gue sebentar, lalu membuang muka lagi. Cahaya matahari semakin temaram tapi gue masih bisa melihat dengan jelas semburat merah itu sudah sampai ke telinganya.

"Ini berapa putaran sih, bianglalanya? Sumpek gue berduaan sama lo." Thalia bersendekap dan menyandarkan punggungnya, belum juga mau menatap gue.

"Thalia Natasha, lihat gue, dong." Entah dari mana, gue mendapat suntikan keberanian untuk menyampaikan isi hati gue yang bergemuruh minta dikeluarkan seharian ini.

"Apa?! Lo pasti mau ngomong yang aneh-aneh lagi, kan? Lo itu-"

"Gue suka sama lo."

Waktu terasa berhenti, padahal kapsul yang kami naiki masih bergerak.

Gue terdiam.

Thalia juga terdiam. Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Thalia menatap gue sambil terperangah.

"Alvin, gue nggak mau lo merasa bersalah ke gue sampai harus maksain perasaan lo-"

"Gue suka lo dari lama, gue aja yang baru nyadar. Gue nggak kepaksa, apalagi ngomong gini cuma karena kasihan sama lo." Dada gue naik turun, tiba-tiba debaran jantung gue meningkat drastis.

Thalia menarik napas panjang. Kami membiarkan deru mesin bianglala dan riuh rendah Dunia Fantasi mengisi kekosongan suara di antara kami. Sekarang adalah putaran terakhir. Kapsul kami terhenti dan kami pun segera keluar, tanpa bercakap apa pun dengan satu sama lain.

Dalam hati, gue menyebut semua nama binatang dan sumpah serapah, gue mengejek diri sendiri atas kekacauan yang gue perbuat. Bisa-bisanya gue mengungkapkan perasaan saat berbicara layaknya teman dengan Thalia aja baru sekitar seminggu gue lakukan.

Thalia adalah yang pertama kali memecahkan keheningan di antara kami. "Lo mau sholat maghrib dulu? Gue tungguin."

Gue mengangguk, lalu segera meninggalkan Thalia yang sedang dapat tamu bulanan. Selesai dari musholla, gue membahas rencana makan malam dengan Thalia. Thalia bilang, dia nggak berselera makan, tapi akan menemani gue makan kalau gue mau. Lagi-lagi gue merutuki diri sendiri. Pengakuan gue barusan sampai berefek ke selera makan Thalia, lho, kurang ajar banget kan, gue?

"Burger-nya enak lho, Thal, sumpah," gue menunjuk salah satu menu di kedai makanan yang kami temukan di dekat tempat parkir. Thalia hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. Astaga, kalau begini caranya, selera makan gue ikutan hilang.

Gue menghabiskan makan malam kali ini dengan kecepatan super. Gue nggak mau membuat Thalia yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya menunggu lama.

"Yuk, balik." Gue mengajak Thalia menuju tempat mobil gue terparkir.

Perjalanan pulang ini jelas lebih suram dari berangkat tadi. Nggak ada canda tawa, nggak ada obrolan ringan, nggak ada komentar Thalia tentang pengendara lain di jalanan. Hening. Gue mencuri pandang ke arah Thalia, rupanya ia tertidur. Kepalanya bersandar ke jendela mobil. Gue memutuskan untuk memelankan mobil dan berkendara lebih hati-hati supaya kepala Thalia nggak terantuk kaca kalau gue bermanuver secara tiba-tiba.

Kami sampai di depan rumah Chrysan sekitar pukul delapan. Jalanan cukup padat tadi. Gue berniat membangunkan Thalia, tapi gue tunda niat itu selama beberapa menit. Gue masih ingin menatap lamat-lamat wajah Thalia yang damai dalam tidurnya. Bandana gadis itu melorot, membuat helaian rambutnya mulai berantakan dan menutupi muka. Gue menahan keinginan untuk membelai rambut halus itu. Sialnya, mata gue justru jatuh ke bibir Thalia yang sedikit terbuka. Pewarna bibir yang ia kenakan tampak pudar, tapi bibir itu tetap menawan. Gue berpikir apa rasanya-

"Fuck!"

Gue mendengar pergerakan di samping gue. Mata Thalia mengerjap, dia mulai terbangun. Gue menelan ludah, barusan ternyata gue nggak menyumpah dalam hati.

"Udah sampai?" suara Thalia terdengar serak. Seksi.

Goddamn it, gue harus mandi air dingin habis ini.

"Udah, Thal. Lo ketiduran. Gue bingung mau bangunin gimana."

Thalia membetulkan letak bandananya, kemudian memeriksa barang bawaannya. Ia menatap gue, seperti ingin berbicara sesuatu.

"I had fun today. Makasih, Vin." Di luar dugaan gue, Thalia justru tersenyum manis dan terdengar sangat tulus. Sebuah senyuman lebar nggak bisa gue tahan terbentuk di bibir gue.

Mungkin memang gue harus berpura-pura pengakuan tadi nggak terjadi sama sekali. Jika itu satu-satunya cara gue bisa dekat dengan Thalia, gue nggak keberatan.

"Makasih juga, Thal." Gue berbagi senyum dengan Thalia.

Ketika Thalia akan membuka pintu mobil, dia menoleh ke arah gue. "Take it slow, okay? Jangan ngegas-ngegas. Gue ... bingung."

Gue tersentak. Apakah ini kode dari Thalia bahwa dia mengizinkan gue mendekatinya dalam konteks romantis, asalkan nggak buru-buru?

Gue menahan senyuman yang semakin melebar dengan menggigit pipi bagian dalam.

"Kalau gue ngajak lo untuk duduk di singgasana lusa pas gue show-off, kecepetan nggak?"

Thalia nggak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lo mau gue nemenin lo di singgasana?"

Gue mengangguk mantap.

"Oke."

Dada gue bisa meledak saking bahagianya mendengar persetujuan Thalia. Gue berkendara ke rumah dengan pikiran melayang-layang. Gue membayangkan semester empat akan gue hadapi dengan semangat empat lima. Hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam kamus hidup gue. It almost felt too good to be true.

---

Today is indeed too good to be true. Saat mobil gue memasuki carport, sesosok manusia muncul di teras rumah. Gue mendesas ketika melihat sosok itu adalah Om Deri. Setelah pemakaman Bunda, Om Deri pergi entah ke mana, nggak berpamitan ke gue atau pun Papa. Sekarang, ketika Papa telah mengakhiri cuti berkabungnya dan sedang mengurusi kerjaan di negara tetangga, Om Deri muncul tiba-tiba.

Gue mengamati Om Deri sedang nggak berbahagia. Lelaki itu berusia dua tahun lebih muda dari Bunda, sekitar pertengahan tiga puluhan. Om Deri punya struktur wajah lembut dan awet muda yang menjadi ciri khas keluarga Bunda, tapi pembawaannya yang dingin, galak, dan menguarkan aura intimidatif jelas merupakan kebalikan Bunda.

"Udah? Seneng-senengnya?" suara Om Deri begitu menusuk. Ada emosi kemarahan yang kental di sana. Nggak bisa gue pungkiri, suara itu membuat gue begidik.

"Om? Baru sampai?" gue berusaha mengalihkan pembicaraan.

Alih-alih menjawab gue, Om Deri menggeser tubuhnya yang sedari tadi berada tepat di depan pintu sambil berkata singkat. "Masuk."

Gue melangkah masuk sambil merutuk dalam hati. Rumah siapa, anjir!

Tepat setelah pintu masuk tertutup, suara menggelegar Om Deri terdengar. "Om nggak pernah mendidik kamu jadi anak durhaka kayak gini!"

Gue memejamkan mata, mengatur debaran jantung gue yang meningkat.

Om Deri adalah seorang figur ayah untuk gue semenjak Ayah meninggal dunia. Dari Om Deri gue belajar cara mengenakan sarung, Om Deri yang bercakap-cakap lama dengan gue saat gue pertama kali kedatangan mimpi basah saat kelas lima SD, Om Deri yang mencontohkan gerakan bela diri sederhana dan menjadikan dirinya sendiri sasak hidup untuk gue berlatih, katanya anak laki-laki nggak boleh lemah.

Tetapi, menyematkan predikat 'durhaka' untuk gue adalah sesuatu yang udah kelewatan.

Sepeninggal Ayah gue saat gue berumur lima tahun, gue hanya punya Bunda yang menemani gue menghadapi dunia ini. Bunda adalah seseorang dengan hati terlembut yang pernah gue tahu. Ditambah penyakit yang menggerogoti tubuh Bunda, gue merasa jadi makhluk terkutuk jika sampai mengecewakannya sedikit saja. Itulah yang menyebabkan gue, kata Dhanu, termasuk anak yang nggak pernah 'nakal'. Dhanu sudah merasakan rokok, klub malam, dan bermain-main dengan wanita, tetapi hal-hal seperti itu sama sekali nggak masuk kamus hidup gue. Gue cukup mendengarkan cerita-cerita Dhanu atau Aldo, gue udah kenyang. Nggak perlu mengalaminya langsung dan membuat Bunda kecewa.

Durhaka, katanya? Enak aja!

Gue berbalik menghadap lelaki itu.

"Maksud Om apa? Aku durhaka sama siapa?" cecar gue mencicit, berusaha meredam amarah.

"Sama Bunda kamu, lah! Om lihat, kamu seneng-seneng ke Dufan sama anak cewek dari wanita sialan itu, hah? Update instagram kayak orang nggak punya malu! Maya pergi seminggu lalu, Alvin! Pergi untuk selama-lamanya. Sedangkan kamu," Om Deri maju beberapa langkah. Kini, jarak kami hanya sejengkal. Tangannya merengkuh kerah kaos gue. "Kamu buang-buang waktu, terlena sama gadis yang seharusnya kamu hancurkan," desis Om Deri.

Gue melotot mendengar penuturan itu. Gue menghempas tangan Om Deri kuat-kuat. Gue mengumpulkan keberanian untuk menatap balik dua bola matanya. Betapa terkejutnya gue saat menemukan dendam dan gelap yang tersirat di sana.

"Om. Nggak. Tahu. Apa. Apa." Gue menekankan setiap suku kata. "Om yang selama ini termakan cinta om sama kakak om sendiri, sampai buta sama keburukan yang udah Bunda lakuin. Om memilih untuk menyalahkan orang lain dibanding mengakui kalau kakak om yang kayak malaikat ternyata juga bisa melakukan hal busuk!"

Plak!

Om Deri baru saja mengerahkan tenaga di telapak tangannya untuk menggampar gue di pipi. Anehnya, dibandingkan sakit fisik, hati gue lebih terluka.

"Lo masih tanya lo durhaka di mana?!? HAAH?!" Om Deri menarik kerah gue lebih kuat dari pada sebelumnya. "Itu lo udah nggak sopan sama ibu lo sendiri, berengsek!! Kakak gue lo bilang?! Itu Bunda lo, setan!"

Tangan Om Deri terangkat, bersiap menghantam pipi kiri gue yang belum terkena tamparan tadi. Namun, gue udah siap menahan pergelangan tangannya sekarang. Kalau om gue yang gue yakin mulai kehilangan kewarasannya ini mau berduel fisik, maka akan gue layani. Gue udah bukan lagi cowok jangkung kurus tanpa otot yang Deri lihat lima tahun lalu. Latihan kekuatan basket dan latihan gue di gym membuat gue percaya diri akan kemampuan fisik gue sekarang.

"Lepasin gue. Kita bicara baik-baik." Gue menanggalkan segala panggilan hormat gue buat Deri. Mata Deri masih berapi-api, tapi dia melepaskan tangannya dari kerah gue lalu menepuk-nepuk dua tangannya seperti habis memegang sesuatu yang jorok.

"Bunda pasti mau gue bahagia. Dan gue bahagia sama Thalia."

"Nggak usah lo sebutin nama anak dari wanita sialan itu!"

"Sialan apa yang lo maksud, hah?!" kali ini, gue yang maju untuk mengintimidasi Deri balik. Lelaki itu nggak bergeming.

"Gue udah pernah jelasin ke lo. Nggak perlu gue ulangi lagi."

"Oh ya?" gue tertawa sarkas. "Kalau gitu gue yang harusnya ngejelasin ulang ke lo. Bunda sendiri yang bilang semuanya ke gue. Ngejelasin semuanya dari sudut pandang dia yang beneran mengalami, bukan sudut pandang lo yang buta sebelah."

"Oke." Deri mengangkat kedua tangannya. "Kita denger apa yang lo tahu."

Gue menarik napas. "Gue tahu, Ayah nggak pernah benar-benar bisa melupakan Marissa, pacarnya sewaktu SMA. Gue tahu, Bunda punya gue di luar nikah, dan itu yang bikin Ayah akhirnya mau nikah sama Bunda. Semenjak Papa Thalia meninggal, Bunda makin insecure karena artinya Marissa udah nggak punya pendamping hidup. Apalagi ternyata setahun kemudian Ayah ada urusan kerjaan dengan Marissa. Bunda cari cara untuk dapat perhatian Ayah, salah satunya dengan membuat Ayah cemburu. Bunda menyusun skenario perselingkuhan bersama seorang temannya yang sebenarnya gay. Tapi, keadaan makin membaik di hubungan mereka sampai akhirnya Bunda hamil lagi. Di saat yang bersamaan, seseorang membocorkan rencana perselingkuhan yang sebenarnya udah Bunda batalkan. Ayah kecewa, dia jadi meragukan Bunda hamil anaknya. Ayah mabuk, dan kecelakaan itu terjadi, sedangkan Bunda keguguran."

Gue memegang dada gue dengan kedua tangan. Rasanya lega, tetapi debar di dada gue belum mau melambat. Gue baru saja memuntahkan semua yang gue tahu dari surat yang Bunda tulis dua tahun yang lalu. Gue memandang Deri dengan penuh penantian, menunggu apa yang akan dia katakan.

Nggak gue sangka, Deri malah tertawa. Tawanya menggema sampai ke seluruh pojok ruangan. Tawa yang menyeramkan, seperti tawa pasien-pasien di bangsal psikiatris.

"Apa yang lucu?" gue bertanya dengan gugup.

Deri menyeringai lebar. Dia mendekatkan kepalanya ke arah gue. Bibirnya berada tepat di sebelah telinga gue saat dia membisikkan satu kalimat yang kemudian menjungkir balikkan dunia gue.

"Tampaknya Bunda lo menghilangkan bagian Marissa meminta Ayah lo menjadi donor sperma untuk program bayi tabungnya, ya?"

Gue merasa seluruh darah yang mengalir di tubuh gue lenyap. Badan gue mulai gemetaran. Gue menatap Deri yang kini sedang memandang gue terhibur. Dia menikmati syok yang sedang gue terima sekarang.

"Lo kaget? Berarti beneran belum tahu, ya? Ah, udah gue duga. Maya itu memang terlalu lemah sama cinta. Gue berlaku tegas seperti ini demi kebaikan dia juga. Ridho Ayah lo itu, diminta Marissa untuk jadi ayah biologis dari anaknya. Itu fakta."

Gue mendudukkan diri di sofa terdekat yang gue temukan sebab kaki gue nggak kuat lagi menopang tubuh. Gue meremas tangan gue yang nggak bisa berhenti bergetar.

"Gue ... sama Thalia ... satu ayah?" tanya gue dengan suara parau.

Seringai Deri semakin lebar. Gue melihat dia akan membuka mulut, jadi gue menutup mata. Gue nggak siap mendengar jawabannya.

Hari ini telah berjalan terlampau baik, tapi seharusnya gue nggak boleh terlena karena semesta memang nggak akan mengizinkan gue mendapat kebaikan sebanyak itu. Benar saja. Sampai di rumah, gue mendapat fakta paling mengerikan yang pernah gue dengar seumur hidup gue.

---

Kenapa masih aja ada rahasia yang Alvin belum tahu, sih :( Drama banget hidup dia :(

Continue Reading

You'll Also Like

Sashi By -

Teen Fiction

582K 51.6K 47
📌 Listed to @WattpadRomanceID Reading List Kategori Kisah Klasik di Sekolah edisi Januari 2022 ** Di tahun keduanya Sashi bersekolah, entah mengapa...
97.6K 818 1
Selama ini batasan mereka sudah jelas. Just friends. Gina yakin Ghani tidak akan mengecewakannya sebagai teman. Otomatis gadis itu bisa fokus memint...
886K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...
1.9M 68.2K 44
Seorang santriwati yang terkenal nakal dan bar-barnya ternyata di jodohkan dengan seorang Gus yang suka menghukumya. Gus galak itu adalah musuh bebuy...