Andaikan Saja Kita

By alamandatera

137K 20.2K 3.4K

RANK #1 comingofage [25.08.2020] RANK #1 mentalhealth [30.08.2020] RANK #1 ambis [02.10.2020] RANK #1 olimpia... More

Prakata
Prolog
1 | Sebuah Perubahan
2 | Yang Tak Terlihat
3 | Sebuah Pemahaman
4 | Melepaskan dan Menerima
5 | Sisi Lain
6 | Pintu Hati
7 | Prinsip
8 | Kuning
10 | Putih
11 | Memulai Kembali
12 | A Sweet Date
13 | (Not So) Sweet Date
14 | Terhempas Lagi
15 | Dekonstruksi
16 | Rekonstruksi
17 | Next Move
18 | Kejutan
19 | Usaha
20 | Everything's Alright
21 | Rotten
22 | Pecah dan Terburai
23 | Bantuan Tak Terduga
24 | Tumpukan Emosi
25 | Jalan Gelap, Jalan Terang
26 | Mulai Bersama
27 | Bentuk Peduli
28 | Feels Right
29 | Kejutan (2)
30 | Jatuh
31 | Bentuk Peduli (2) ⚠️
32 | A Broken Angel
33 | Goodbye, Angel
34 | 'Cause She Belongs to Me
35 | Be a Champion
36 | The Storm is Coming
37 | To Protect ⚠️
38 | Problem(s)
39 | Dream(s)
40 | Fear(s)
41.1 | Fears Do Come True ⚠️
41.2 | Fears Do Come True ⚠️
42 | Andaikan Saja Kita ⚠️
43 | Dari Sedekat Nadi, Jadi Sejauh Mentari
44 | Girls, Let's Talk About Sex ❣
45 | Boys, Let's Talk About Sex ❣
46 | Membuka Mata
47 | The Strongest Angel ⚠️
48 | The Future of Us
Epilog
Extra Part | Tiga Tahun Setelah Kelulusan
Catatan Akhir
NEW STORY | A MISMATCH SO PERFECT

9 | Hitam

2.3K 482 49
By alamandatera

"Gue masih ingin belajar banyak dari bidadari yang dititipkan surga ke bumi ini. Bisa nggak, mereka nggak memanggil bidadarinya terlalu cepat?"

-0-

ALVIN 

-0-

Gue benci rumah sakit. Perasaan ini timbul akibat kenyataan bahwa hampir setiap kali gue menginjakkan kaki di bangunan dengan suasana muram itu, kabar buruk bakal menghampiri setelahnya. Terutama, kabar yang berhubungan dengan Bunda.

Gue baru aja beres melaksanakan seleksi untuk mengisi tim inti DKI Jakarta di Kejuaran Basket Nasional Februari besok. Satu pesan singkat dari Papa yang menyatakan Bunda harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami komplikasi sukses membuat gue membelah jalanan Jakarta dengan ugal-ugalan. Gue sampai di depan ruang konsultasi dokter onkologi yang menangani Bunda setelah berlari secepat yang gue bisa dari parkiran. Di dalam ruangan itu, ada Papa yang sedang mendengarkan kabar perkembangan keadaan Bunda.

Nggak berselang lama, pintu itu terbuka. Menampakkan laki-laki paruh baya yang keluar dengan wajah pias. Air muka lelaki itu sedikit lebih cerah saat ia menyadari keberadaan gue.

"Pa," suara gue hampir nggak bisa didengar telinga orang normal, tapi pria di hadapan gue ini cukup memahami apa yang gue ingin sampaikan lewat tatapan mata.

"Kita duduk di kursi sana dulu, yuk." Papa menepuk pundak gue dan membiarkan tangannya tetap di sana, merengkuh gue dan mengarahkan langkah kami menuju kursi panjang di ruang tunggu rumah sakit.

"Udah nggak lama lagi, Alvin."

Gue nggak sanggup berkata apa-apa. Papa memang seorang yang realistis dan nggak akan berpegang pada harapan palsu, tapi gue berharap Papa akan bermanis-manis dulu sebelum menyatakan fakta yang berusaha gue tolak kebenarannya.

"Seberapa ... lama?" dua kata itu berhasil meluncur dari mulut gue. Gue berusaha melawan perasaan nyeri yang mulai menggeranyangi setiap inchi tubuh, seakan-akan organ gue diremukkan dari dalam oleh kekuatan tak kasat mata. Kekuatan itu punya nama. Namanya adalah keputusasaan.

Papa mengalihkan pandangannya ke depan. Gue yakin Papa nggak sungguhan memperhatikan lalu lalang koridor rumah sakit, ia pasti memikirkan sesuatu yang hanya hadir di memorinya sendiri.

"Nggak ada yang tahu. Dokter bilang ... kanker Bunda kamu unik. Baru pertama kali ini mereka melihat tipe kanker yang begitu ganasnya merusak organ penting tubuh, tapi selalu mempertahankan fungsi minimum organ tersebut sehingga Bunda masih bisa bernapas sampai sekarang. Tetapi ... bukannya itu lebih kejam? Seakan-akan Maya punya dosa begitu besar sampai mendapat ujian seperti ini selama hidupnya. Maya tersiksa secara perlahan, Vin, dia..."

Papa menundukkan kepala. Tangan kirinya memijat kening, lalu bahunya mulai bergetar hebat. Nggak ada yang lebih kuat menyangkut Bunda di antara gue dan Papa. Gue pun nggak punya harapan dan kata-kata penghiburan untuk dibagi. Akhirnya, kami menjadi dua lelaki yang saling membagi perih lewat tangis yang tertahan di ruang tunggu rumah sakit.

---

"Udah selesai sholatnya, Bun?" Gue bangkit mendekati Bunda yang terbaring di kasur rumah sakit masih mengenakan mukenanya.

Bunda memberikan seulas senyum tipis, kemudian mengangguk lemah. Ia berdeham, terlihat berusaha keras membentuk kata, tetapi suara yang keluar sangat lirih. Gue mendekatkan telinga supaya memahami perkataan Bunda.

"Bunda masih pingin pakai mukenanya. Nggak apa-apa, kan?"

Gue menatap mata Bunda yang nggak pernah kehilangan binarnya meskipun energi hidup tubuh Bunda sudah sangat kritis sekarang.

"Ya nggak apa-apa dong, Bun." Balas gue sambil mendekatkan bibir ke pipinya.

Cup. Gue mendaratkan kecupan singkat di pipi Bunda. Bunda belum menghapus senyumnya sejak tadi, namun afeksi kecil gue jelas membuatnya makin bahagia.

Ah, Bunda ... wanita terkuat yang pernah gue kenal. Gue nggak habis pikir, bagaimana wanita ini masih bisa menebar senyum kepada setiap orang dan saat mendengar berita apa pun, bahkan berita buruk menyangkut kesehatannya sekali pun? Gue yang bisa suntuk seharian cuma karena gagal jadi pencetak skor tertinggi dalam suatu pertandingan tentu punya level keikhlasan dan kesabaran yang jauh lebih cetek dibanding Bunda.

Gue masih ingin belajar banyak dari bidadari yang dititipkan surga ke bumi ini. Bisa nggak, mereka nggak memanggil bidadarinya terlalu cepat?

"Alvin anak Bunda ... Bunda penasaran. Alvin mau jawab rasa penasaran Bunda?"

Gue terkaget mendengar Bunda berbicara lagi. Tentu saja gue mengangguk dengan antusias. Apa pun untuk Bunda. Bahkan hidup gue rela gue serahkan untuknya, apalagi sekadar menjawab pertanyaan.

"Sampai kamu udah mau punya KTP gini, kamu pernah jatuh cinta nggak?" Bunda menembakkan pertanyaannya.

Gue sontak menelan ludah, nggak menyangka Bunda akan membahas topik seperti ini. Setelah berpikir sebentar, gue menjawab. "Bunda cinta pertama Alvin. Setelah Bunda ... mungkin Chrysan. Aku nggak tahu sih, itu perasaan suka biasa aja atau gimana." Gue berusaha jujur. Menyembunyikan fakta ... berbeda dengan berbohong, bukan?

Bunda mengernyitkan dahi. "Masa? Bunda tahu lho, ada beberapa hal yang kamu nggak ceritakan, meskipun kamu selalu curhat ke Bunda tentang hari-hari di sekolah. Ibarat rekaman film ... ada beberapa adegan yang sengaja kamu skip, Nak. Bunda tebak, ini masalah cewek?"

Astaga.

Gue nggak akan pernah lagi meragukan intuisi seorang ibu.

"Kemarin-kemarin aku sempat galau aja, soalnya Chrysan jadian sama cowok lain." Gue mendesas dalam hati. Kebohongan pertama di hadapan Bunda hari ini.

"Oh ..." Bunda menganggukkan kepala pelan. "Jangan dianggap serius rasa suka kamu kalau nggak berbalaskan seperti itu, Alvin. Pilih orang yang mencintai kamu. Dicintai itu lebih membahagiakan daripada mencintai orang lain. Percaya sama Bunda."

Gue tertegun mendengar omongan Bunda. Satu nama langsung muncul di otak gue mendengar kata "dicintai". Gue sempat sangat beruntung dicintai oleh Thalia, dulu.

Tampaknya Bunda menangkap muram yang membuat wajah gue mendung tiba-tiba. "Atau ... ada yang mau kamu sampaikan lagi?"

'Gimana kalau anak Bunda jatuh cinta sama anaknya Marissa Gunardi, Bun? Apa Bunda akan merestui?'

Kalimat tanya itu udah berada di ujung lidah gue, tetapi urung gue ucapkan.

"Enggak ada." Dasar cemen. Umpat gue kepada diri sendiri. "Paling membahagiakan itu dicintai balik sama orang yang kita cintai nggak sih, Bun?"

"Benar sekali." Bunda meraih tangan gue dan menggengamnya, meskipun genggaman itu sangat lemah. "Makanya, Bunda mau menceritakan masa lalu ... Masa lalu yang Bunda yakin bisa kamu jadikan pelajaran. Berhubung usia Bunda udah nggak lama la—"

"Bun, aku nggak suka arah pembicaraan ini." Gue memotong kalimat Bunda karena debaran jantung gue yang meningkat tiba-tiba. Gue nggak suka ketika Bunda, wanita paling penuh harapan, mengakui dirinya sendiri sedang sekarat. Gue benci itu. Gue nggak akan mau mengakui kenyataan pahit ini.

"Alvin, kamu pasti lebih menyesal seumur hidup kalau nggak mendengarkan apa yang akan Bunda katakan." Nada bicara Bunda menukik.

Gue melihat kesungguhan di kedua manik matanya. Gue menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dan berpikir lebih jernih.

"Alvin akan dengerin." Ucap gue akhirnya, penuh kepasrahan.

Melihat gue siap mendengarkan, Bunda memulai uraian panjangnya.

"Bunda pernah punya ketakutan membesarkan anak lelaki. Di luar sana, banyak banget remaja yang nakalnya kelewatan, yang gagal menjadi manusia berhati baik ... nyatanya, kekhawatiran Bunda sampai sekarang nggak terbukti, Alvin. Bunda tahu pasti anak Bunda ini tumbuh jadi lelaki yang berprinsip, nggak mudah terbawa arus pergaulan, serius menjalani semua tanggung jawabnya dan sangat menghargai wanita. Akhirnya, Bunda punya sesuatu yang bisa dibanggakan di hidup Bunda. Kamu." Tangan Bunda berpindah, dari menggenggam tangan gue menjadi menyentuh hidung, kemudian pipi gue dan berhenti di sana.

"Tapi Bunda masih menyimpan ketakutan lain, Alvin. Bunda tahu banget gimana kamu memandang Bunda kayak malaikat yang nggak pernah salah. Cinta yang kamu tunjukkan adalah cinta yang diimpikan semua ibu untuk mereka dapatkan dari seorang anak ... Tetapi Bunda nggak merasa pantas mendapatkannya, Alvin. Bunda hanya pintar menyembunyikan kebusukan dari kamu. Sekarang, Bunda ingin beberkan semuanya, supaya Bunda bisa pergi meninggalkan kamu dengan tenang. Mungkin dengan ini kamu akan membenci Bunda ... melihat Bunda dengan anggapan yang jauh berbeda, tapi Bunda udah siap dengan semua risiko itu. Yang terpenting, kamu tahu kebenarannya."

Detik ini, untuk bernapas pun seperti perbuatan yang sangat salah. Gue masih kesulitan memproses perkataan Bunda. Sebusuk apa sesuatu yang Bunda tutupi dari gue selama ini? Gue tahu nggak ada manusia yang luput dari kesalahan, tetapi gue yakin kebaikan Bunda udah lebih dari cukup untuk memberatkan timbangan amalnya ke kanan.

"Tentang keluarga Gunardi ... apa yang kamu tahu tentang mereka?" Bunda melanjutkan dengan menyuarakan sebuah tanya.

Dari sekian banyak kemungkinan 'kebusukan' tersebut, nama keluarga itu menjadi yang paling terakhir gue harap Bunda sebutkan. Berbagai skenario melayang di otak gue. Gue pun mulai membuka mulut, sambil berusaha menyusun serpihan-serpihan memori masa lalu.

"Aku nggak tahu apa-apa tentang keluarga Gunardi, sampai suatu hari, waktu itu aku umur sepuluh tahun, ada wanita yang bertamu ke rumah kita. Aku nggak mendengarkan percakapan Bunda sama wanita itu dengan jelas, tapi dari sedikit yang bisa Alvin pahami, wanita itu meminta maaf ke Bunda sampai menangis dan bersujud. Bunda nyuruh wanita itu pergi. Setelah kunjungan itu, Bunda jadi sangat murung, Bunda nggak mau bangkit dari kasur sampai tiga hari. Aku takut ... akhirnya aku menelepon Om Deri." Gue menjelaskan sambil mengamati air muka Bunda dengan seksama. Bunda tetap terlihat tenang.

"Apa yang Deri bilang ke kamu waktu itu?"

Om Deri adalah adik laki-laki Bunda, satu-satunya saudara kandung yang Bunda miliki.

"Om Deri bilang, Bunda sedang depresi, dan penyebabnya adalah wanita itu. Marissa Gunardi."

Ingatan gue melayang ke momen enam tahun yang lalu, saat Om Deri datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh, memaksa Bunda menceritakan kegalauannya. Om Deri keluar dari kamar dengan wajah yang memerah menahan amarah. Mulutnya merapalkan kata-kata yang masih sangat jelas di telinga gue sampai sekarang. "Marissa Gunardi sialan. Marissa Gunardi sialan."

Gue kembali menarik napas. "Om Deri juga bilang, Marissa Gunardi itu selingkuhan Ayah. Wanita yang bikin Ayah mabuk sebelum mengendarai mobil, lalu Ayah meninggal dalam kecelakaan tunggal itu." Gue merasakan kelegaan yang aneh setelah menyuarakan fakta tentang ibu Thalia yang gue simpan sendiri selama ini.

Sebelum kedatangan Om Deri, gue pergi ke rumah Nini Astina untuk meminta pertolongan menangani Bunda yang sedang mengalami mental breakdown. Alangkah terkejutnya gue saat itu mendapati Marissa—yang saat itu belum gue tahu namanya—ada di sana, bercengkerama dengan akrabnya bersama Nini Astina, Chrysan, dan teman Chrysan yang sudah menginap di sana selama beberapa hari terakhir, Thalia.

Wajah Bunda berubah sangat sendu sekarang. Gue menghujat diri sendiri melihat efek bahasan ini kepada emosi Bunda. Nggak seharusnya kami membicarakan penghancur keluarga kami saat keadaan Bunda serapuh sekarang. Gue semakin meyakini keputusan untuk nggak pernah membalas perasaan Thalia memang yang terbaik.

Namun, kata-kata Bunda selanjutnya sukses berperan seperti alat penghisap udara yang menghabiskan seluruh oksigen di ruangan ini: membuat gue susah bernapas.

"Deri salah sangka. Parahnya lagi, dia keras kepala dan nggak mau mendengarkan Bunda. Cerita lengkapnya jauh lebih rumit."

Lebih ... rumit? Apakah ada kemungkinan Marissa Gunardi bukanlah seorang pemeran antagonis seperti yang selama ini Om Deri nyatakan?

"Bunda akan kasih tahu kamu kebenarannya. Dan Bunda harap kamu mau menerima ini dengan pikiran terbuka, nggak seperti Deri."

Gue hanya bisa menganggukkan kepala. Sedetik, dua detik, Bunda masih bergeming. Gue menunggu dengan sabar. Apa pun yang akan Bunda sampaikan, pastinya telah menjadi beban yang sangat berat untuknya selama ini. Tentu nggak mudah melepaskan beban itu.

Tiba-tiba, Bunda mulai terisak. Awalnya hanya suara pelan, lama-kelamaan Bunda histeris dan napasnya terganggu akibat ia sesenggukan. Gue buru-buru menenangkan Bunda, jelas gue nggak mau Bunda kehabisan napas berhubung fungsi parunya udah nggak maksimal.

"Maafin Bunda, Alvin ... Bunda belum siap. Nggak akan bisa Bunda menceritakan ini semua secara langsung di hadapan kamu ..." ucap Bunda terbata-bata di sela tangisnya.

Gue menggenggam sebelah tangan Bunda dengan kedua tangan, lalu menciumi punggung tangan wanita itu dengan penuh khidmat.

"Take your time, Bun ... aku tetap akan dengerin, dan apa pun itu yang Bunda ingin sampaikan, nggak akan pernah mengubah cinta Alvin ke Bunda. Alvin janji." Ujar gue mantap.

"Kalau waktu Bunda di dunia ini sudah habis tapi keberanian untuk berbicara langsung belum Bunda dapatkan, Bunda minta kamu mengambil amplop putih di nakas sebelah kasur Bunda di rumah, oke? Di dalamnya ada sebuah surat. Bunda tuliskan semuanya di sana satu setengah tahun yang lalu."

Sejujurnya, gue nggak terlalu peduli tentang rahasia yang menjadi sumber kekhawatiran Bunda ini. Yang ada di otak gue adalah bagaimana caranya Bunda nyaman di rumah sakit secara fisik dan mental. Walaupun begitu, gue tetap mengiyakan permintaan Bunda.

"Siap, laksanakan, Bunda sayang."

---

Gue nggak pernah menganggap menangis adalah tanda kelemahan. Menangis itu respons alami manusia ketika merasakan sakit. Namun, selama nyaris tujuh belas tahun gue hidup di dunia, air mata gue hanya pernah keluar di empat kesempatan.

Pertama, saat luka di kaki akibat manuver bersepeda gue selesai diobati oleh Nini Astina. Kedua, saat Bunda teronggok nggak berdaya di kasurnya selama beberapa hari setelah kedatangan Marissa. Gue memanggil Bunda berkali-kali, menggoyangkan pundaknya, bahkan menaiki badannya, tetapi Bunda tidak menggubris. Pandangannya kosong, semangat hidupnya menghilang. Gue melihat Bunda nggak lagi menjadi dirinya sendiri, dan gue merasakan ketakutan teramat sangat.

Ketiga, saat kelas delapan dulu, di pemakaman nenek Chrysan yang sudah gue anggap sebagai nenek sendiri itu. Chrysan menangis keras di samping gue. Kayaknya, air mata gue saat itu adalah kombinasi dari rasa kehilangan sosok nenek dan rasa iba melihat gadis yang gue suka berkubang dalam kesedihan. Keempat, beberapa hari yang lalu bersama Papa di ruang tunggu rumah sakit, meratapi nasib berat yang menimpa Bunda.

Seharusnya ini jadi momen kelima. Seharusnya, Dokter Dodit yang keluar dari ruang operasi sambil mengatakan satu kalimat pedih, "Ibu Maya telah meninggal dunia" beserta embel-embel tim dokter telah mengusahakan yang terbaik yang mereka bisa, menampar kesadaran gue dan membuat gue bercucuran air mata seperti Papa saat ini.

Nyatanya, semua yang terjadi setelah itu bagaikan adegan slow-motion di film-film, sedangkan gue seperti penonton yang secara lancang masuk ke dalam lokasi syuting. Gue merasa nggak seharusnya menjadi bagian dari film sialan ini. Ini pasti cuma mimpi. Gue memejamkan mata gue yang masih kering untuk berusaha kembali ke tempat tidur gue di rumah. Gue yakin ketika gue bangun, gue pasti akan menemukan Bunda tersenyum di kamarnya, seperti satu setengah tahun belakangan. Gue nggak mau secepat ini kalah dengan tipu daya—

"Alvin! Nak!"

Tubuh gue diguncangkan oleh seseorang, tapi gue belum mau membuka mata.

"Alvin, kita bisa lihat Bunda ... kapan pun kamu siap." Suara yang sedari tadi memaksa gue membuka mata itu mulai berubah parau. Takut-takut, gue mengintip perlahan. Setelah mata gue sempurna terbuka, sosok pria dengan wajah sembab menyambut gue.

"Pa, jangan bercanda." Gue berucap sarat akan ketakutan.

Papa menggeleng kuat. Genggamannya di pundak gue semakin mantap. "Kita hadapi bersama, Nak." Bisiknya lirih.

Ketika gue menatap wajah Bunda yang tidak berbeda jauh seperti saat ia tertidur, barulah gue tersadar, surga telah memanggil bidadarinya kembali. Barulah butir-butir air mata deras mengucur membasahi pipi gue. Barulah gue percaya ini semua kenyataan, bukan mimpi, karena justru jika ini mimpi, hidup gue pasti sangat terkutuk sampai-sampai tidur gue dihinggapi mimpi terburuk seperti ini.

---

Hai semua! Bab ini aku anggurin cukup lama karena aku merasa belum capable menceritakan kisah kehilangan orang yang dicintai. Bahkan sampai sekarang aku belum percaya diri dengan bab ini huhu :( But oh well, kalau nggak pernah dicoba, gimana bisa tahu berhasil atau enggaknya, kan? Jadi, kasih tahu aku pendapat kalian tentang bab ini yaa! 

See you and keep safe, everyone!

Continue Reading

You'll Also Like

9M 368K 27
Untuk semua laki-laki yang mencoba mencari tahu bagaimana perasaan perempuan. Ketahui permainan tentang seorang gadis. "Aturan mainnya, kalau peremp...
266K 42.6K 62
[The Jakarta Series 1.5] ✦ written in lowercase ✦ seandainya bukan karena proposal kegiatan classmeeting yang harus diajukan esok harinya, jaka yakin...
3.3M 272K 46
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
767K 80.6K 30
Saras tahu pasti Leo membencinya. Sederet gelar positif mulai dari Mapres nasional, kesayangan dosen, cowok tampan pujaan kita bersama, dan senior ti...