Cephalotus

By rahmatgenaldi

120K 11.5K 6.6K

❝ Sekalipun tentangmu adalah luka, aku tetap tak ingin lupa. ❞ --- Atilla Solana, Sang Cephalotus. Cewek ta... More

Prologue
1. Atilla
2. Derrel
3. Destiny?
4. Forgiveness
5. Let's Break The Rules (1)
6. Let's Break The Rules (2)
8. A Bet
9. Broken
10. Heal
BACA!
11. How To Play
12. Problem
13. Atilla Vs Butterflies
14. Revenge
15. Epic Comeback?
16. Meaningless Kiss
17. Consequence
18. Fake Confession?
19. Jealousy
20. To Be Honest...
21. Coercion
22. Accepted
23. Fail Date
24. Closer
25. The Camp
( VISUAL )
26. Another Catastrophe
27. Resistance
28. Come Out From Hiding
29. Lovely Little Girl
30. Prestige
31. Fall Down
32. Pathetic Dad
33. Worst Prom Night Ever
34. Cheer Up
35. Darker Than Sin
36. Pretty Savage
37. Dignity
38. Cracked
39. Run Away
40. Not Bonnie & Clyde
41. Her Name Is Andrea
42. Neverland
43. A Passionate Night
44. Anxiety
45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog
46. Forced To Go Home
47. Destruction
48. Drive Him Away
49. Welcomed
50. Miserable Days
51. Secret Admirer
52. The End
Epilogue
EXTRA CHAPTER - 1
GIVEAWAY !!!
Extra Chapter: Unexpected Hero
PRE - ORDER !!!
SURPRISE !

7. Danger?

3K 302 48
By rahmatgenaldi

Aku hanya menginginkan satu hati yang bisa ku percaya, hingga aku lupa bagaimana caranya kecewa.
—Atilla Solana

• • •

Derrel tidak tahu kapan tepatnya dia bisa berhenti berlari. Menoleh ke belakang saja dia tidak berani, apalagi berhenti, dan mengikuti kata hatinya untuk kembali ke sana, hanya untuk memastikan bahwa Atilla baik-baik saja.  Dia merasa tak bisa melakukan itu meski ia sangat ingin.

Saat menemukan sebuah lorong gelap sebelum  pertigaan jalan, dia merasa memiliki harapan untuk lolos. Dengan langkah kaki yang masih mengayun cepat, dia menoleh untuk memperkirakan bahwa orang-orang yang mengejarnya benar-benar akan kehilangan jejaknya.

Dengan sisa napas yang tersengal, Derrel melompat ke samping seolah menarik dirinya masuk ke dalam lorong gelap adalah pilihan paling tepat untuk menyelamatkan diri. Dia lupa bahwa nyawanya hampir saja melayang di tempat semacam itu.

Dua pria berpakaian serba hitam yang tengah mengejarnya berhenti tepat di bibir lorong. Kalau saja salah satunya menoleh ke arah kiri, Derrel yakin bahwa nasibnya akan lebih buruk dari yang ia kira.

"Kemana tuh anak, ya? Cepet amat ngilangnya"

"Udah, ayo kejar lagi. Tuh anak entar paling juga capek sendiri, pas dia berhenti lari, baru deh kita tangkap."

Setelah itu, dua pria yang telah membuat Derrel menahan tawa setengah mati, kembali berlari bersama-sama. Entah mengejar siapa.

• • •

"Gak masuk akal."

Atilla tidak sadar bahwa hanya kalimat itu yang ia rapalkan sedari tadi. Dia masih bisa menikmati rasa puas yang membakar semangatnya untuk terus bersenang-senang sebelum akhirnya sebuah pesan masuk dari Derrel di ponselnya.

"Ini gue Derrel. Lo nggak usah tanya, ya gue dapet nomor lo darimana. Gue udah lupa soalnya. Gue lagi di jalan, nih. Naik taksi ke minimarket buat ambil motor. Lo nggak kenapa-kenapa kan? Di telpon daritadi gak diangkat..."

"Beneran gak masuk akal, nih anak. Mati akal gue." Atilla menjambak rambutnya sendiri, lalu mengetik pesan balasan untuk Derrel.

"Gue udah di rumah. Lo larinya kejauhan, bangsat. Susah gue nyusulnya, jadi, yaudah. Gue pulang sendirian."

Setelah membalas, dia menarik dirinya menjauh dari keramaian untuk sementara. Dadanya terasa sedikit sesak. Mungkin pengaruh alkohol.

Saat sedang melangkah sempoyongan ke arah kursi bar, rasa pusing di kepala dan nyeri di dadanya seketika seperti menguap karena rasa kaget.

Matanya mengenali dua orang itu. Dua pria yang berpakaian serba hitam yang akhirnya diketahui Atilla, gagal mengejar Derrel.

Seperti bisa membaca pikiran dua orang itu, Atilla merasa bahwa kedua pria tersebut tengah mencarinya, sebab mereka tidak sendiri. Ada bartender yang tadi melayaninya juga di sana.

Dengan sisa tenaga dan kesadaran yang dimilikinya, ia menarik tubuhnya untuk kembali terjun ke lautan manusia, berikut suasana memabukkan yang ditawarkan di dalamnya.

"Kalian harus temuin tuh cewek. Pak Rendy bisa marah besar. Kalian pasti tahu seberapa serakahnya bos gila harta itu. Jangankan dua gelas wine, setetes pun dia gak bakalan rela kalo terminum tanpa ada bayaran." gerutu bartender yang merasa ditipu oleh Atilla.

"Bukannya gimana, gak gampang buat nemuin satu orang di tempat sebesar ini. Buang waktu dan tenaga aja." sela salah satu pria yang berpakaian hitam yang diamini oleh teman seperjuangannya  dalam mengejar seorang cowok beberapa menit lalu.

Bartender itu terlihat menimang-nimang sejenak, langkah apa sekiranya yang bisa diambil untuk mengatasi masalah ini. Mereka jelas tidak ingin atasannya tahu, mereka bisa saja kehilangan pekerjaan hanya karena masalah dua gelas wine yang konyol.

"Yasudah. Begini saja," bartender itu menghela napas, sedikit berat hati memutuskan hal ini, "kita patungan aja buat nutupin harga wine itu, daripada kita dipecat,kan?"

Kedua pria berpakaian hitam itu saling menatap sejenak, lalu mengeluarkan dompet mereka masing-masing dengan helaan napas berat pertanda ketidakikhlasan.

Masalah selesai.

Sayangnya, Atilla tidak tahu dan tidak akan pernah mau tahu, bahwa dalam setiap aksi menyenangkan diri sendiri yang dirinya lakukan, dia selalu mengorbankan orang lain, bahkan orang yang sama sekali tidak mengenalnya.

Tapi, menurtnya itu lebih baik, daripada dirinya tetap terkungkung dalam kesedihannya. Persetan dengan orang lain, dunia hanya berisi manusia-manusia yang hanya mempedulikan diri sendiri.

• • •

Nyeri itu menjalar lagi di dadanya. Atilla meremas dadanya, menekannya sekuat mungkin, berharap rada nyeri itu menguap pergi. Saat menyadari bahwa yang dilakukan sama sekali tidak menolongnya, Atilla berusaha dengan sisa kesadarannya untuk keluar dari desakan lautan manusia yang nafsunya masih bergelora, terhipnotis suasana malam.

Kepalanya pusing. Dadanya dijalari rasa nyeri yang membuatnya merasa sesak. Dentuman musik keras itu seolah ingin memperparah keadaannya. Mungkin dia hanya mabuk. Salahnya sendiri karena telah menerima minuman sembarangan.

Saat Atilla sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi, pandangannya memudar, penglihatannya seperti berputar-putar. Dia mungkin sudah terkapar di lantai dansa, dan tidak menutup kemungkinan dia akan mati diinjak-injak manusia yang mabuk suasana lainnya, kalau saja seorang pria kisaran usia empat puluh tahunan tidak datang menghampirinya.

Pria itu merengkuh tubuhnya dari belakang, saat tubuh Atilla melorot dalam rengkuhannya, tanpa perlawanan apapun, tubuh Atilla dibopong untuk keluar dari lantai dansa yang sudah begitu sesak.

Pria itu membawa Atilla keluar dari klub. Hanya ada erangan halus yang keluar dari mulutnya sebagai perlawanan.

"Sabar, sayang. Kamu aman sama om."

Pria itu tersenyum. Saat sudah tiba di parkiran, dengan gesit pria itu membuka pintu mobil bagian belakang sambil masih membopong Atilla masuk perlahan ke dalam mobil.

Atilla tidak tahu apakah dirinya masih bisa melawan atau tidak, yang ia tahu sekarang, tubuhnya tengah dikuasai oleh seorang pria sepantaran ibunya, yang sama sekali tidak dikenalnya.

Saat telinganya mendengar mesin mobil telah menyala, Atilla menghela napas pasrah. Dia telah menyiapkan dirinya dengan kemungkinan terburuk yang akan dihadapi setelah ini.

• • •

Derrel memarkirkan motornya dengan rapi di garasi khusus motornya. Setelah itu, dengan hati-hati ia membuka pintu yang menghubungkan garasi dan ruang keluarga. Ia melihat ibunya tengah menonton televisi sambil duduk bersila di atas sofa.

Dia berniat untuk mengendap-endap naik ke lantai dua di kamarnya, namun kali ini dewi fortuna sepertinya tidak memihak pada dirinya. Kalimat ibunya mengunterupsi langkahnya.

"Ya ampun, Derrel. Kamu dari mana?" tanya Meira dengan raut khawatir.

"Rumah Arkan, Ma. Tadinya Derrel mau nginap, tapi Arkan katanya mau ke rumah pamannya. Yaudah, Derrel pulang."

Untung saja ibunya percaya alibinya. "Tadi kata Daneen, kamu belum bayar iuran komite, bukannya duitnya udah dikasih sama papa?"

Derrel merutuki dirinya. Uang yang diberikan ayahnya untuk membayar iuran komite sudah ia habiskan untuk menolong Atilla beberapa hari yang lalu. Headphone itu, secara tidak langsung menjadi bukti bahwa Derrel telah terperangkap dalam pesona sang Cephalotus.

Memangnya, siapa Atilla sampai bisa membuat Derrel membohongi orang tuanya?

"Anu, Ma. A-ada kok, uangnya. Cuma, Derrel suka lupa akhir-akhir ini."

Ya. Derrel memang suka lupa akhir-akhir ini. Dia bahkan lupa bahwa dirinya bukanlah seorang pembohong.

"Yasudah, mana uangnya? Sini, biar mama aja yang bayarin ke Ibu Mira."

"Gak perlu, Ma. Mama gak usah repot ke sekolah lagi," Derrel menggaruk hidungnya yang tidak gatal, "Ada kok, Ma, uangnya." ia lalu mengeluarkan dompet yang tadi ia dapatkan secara tidak sah di klub malam. Lebih spesifiknya lagi, dompet hasil curian.

Derrel membuka dompet tebal itu, mengeluarkan beberapa isinya sebagai alasan bahwa dia masih bisa dipercayai, lalu memasukkannya kembali.

"Kamu kok beli dompet baru lagi?" tanya Ibunya, seolah ingin membuat Derrel mati kutu.

Derrel menyelipkan dompet itu kembali di saku belakangnya. "Buat koleksi, Ma."

"Aneh. Jadi pelupa, pulang larut malam, sekarang koleksi dompet? Ini bukan kamu banget, sayang."

Sebelum ibunya semakin curiga, Derrel memilih untuk menyelesaikan ini semua. Dia tidak lihai dalam hal berbohong, setidaknya itu alasan kuat yang mendorong Derrel untuk mengakhiri percakapan.

"Aduh, Ma. Derrel capek banget ini, besok aja deh kita ngomong lagi kalau emang mama masih punya pertanyaan. Derrel ngantuk. Pengen bobo. Dadaah, mama cantik."

Meira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat anaknya berlari menaiki tangga. "Anak mudah jaman sekarang, ada-ada aja." dirinya lalu memilih untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat terganggu.

Derrel menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Tulang-tulangnya serasa remuk semua. Dia tak pernah merasa lelah seperti ini sebelumnya. Pikirannya menerawang ke kejadian tadi, dan membuatnya menyadari satu hal: bahwa mulai esok hari, selagi Atilla masih di sampingnya, hidupnya tidak akan selalu tentang pelajaran lagi. Akan lebih banyak petualangan seru yang akan ia lewati bersama Cephalotus yang telah menjeratnya tanpa sengaja.

Omong-omong soal Atilla, Derrel kembali sadar akan sesuatu. Dia belum mendapatkan kabar apapun dari Atilla sampai saat ini.

"Itu anak kabarnya gimana, ya? Ditelpon gak diangkat," gerutu Derrel cemas, lalu merogoh saku celananya yang belum sempat ia ganti, untuk mengeluarkan ponselnya.

Sebuah senyuman kecil tersimpul di bibirnya kala layar ponselnya menampilkan notifikasi pesan masuk dari orang yang ia tunggu-tunggu.

Derrel membuka pesan balasan yang dikirim Atilla.

"Gue udah di rumah. Lo larinya kejauhan, bangsat. Susah gue nyariinya, jadi, yaudah. Gue pulang sendirian."

Derrel terkikik geli. Dari pesan itu, Derrel membayangkan ekspresi menggemaskan Atilla saat menggerutu. Ah, dia tidak sabar untuk bertemu Cephalotusnya besok pagi.

Saat kecemasannya menghilang, Derrel memilih untuk menutup matanya, agar lebih segera bertemu Atilla besok pagi.

Hei, tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Derrel. Atilla baik-baik saja, bukan?

• • •

Kedua alis Atilla saling bertautan dan mulutnya mengerang pelan saat matanya tak siap diserang cahaya pagi yang menelisik masuk dari celah jendela.

Setelah retinanya berhasil menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk, perlahan, Atilla bangkit dari tidurnya dan memilih untuk duduk di pinggir kasur.

Tunggu dulu. Pakaian yang ia kenakan. Kenapa berbeda dari yang semalam ia pakai?

Seketika, ia tersentak. Kejadian semalam terlintas lagi di kepalanya, seperti kaset rusak yang memutar kembali suatu kejadian dengan samar.

Dia mungkin akan menangis histeris  jika seandainya saat ini dia terbangun di tempat yang tak dikenalinya. Ini semua menjadi terasa membingungkan. Semalam, bukankah ia dibawa pergi oleh pria paru baya yang tak dikenalnya?  Tapi mengapa justru dia terbangun di kamarnya sendiri?

"Udah baikan?"

Atilla menoleh saat pintu kamarnya dibuka oleh ibunya.

"Maaf, mana gak ngetok pintu dulu seperti yang biasa kamu omelkan. Mama kira kamu udah tidur, jadi—"

"Aku kenapa?" potong Atilla.

"Kamu beruntung."

Atilla tak menjawab. Dia tahu bahwa kalimat Ibunya belum sepenuhnya selesai.

"Kamu beruntung karena tempat kamu mabuk semalam itu, salah satu milik bos mama. Kebetulan dia juga kenal sama kamu, dan dia yang bawa kamu ke sini. Kamu udah nyusahin banyak orang, Atilla. Apa sih yang kamu cari selama ini?"

Atilla tersenyum sarkas. "Kalaupun gue bilang ke lo apa yang gue butuh, lo gak bakalan pernah bisa wujudin itu." tohok Atilla, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi yang tak jauh dari tempat tidurnya.

Aline menghela napas pelan, dia tahu bahwa sampai saat ini dia masih harus bersabar.

"Kamu mau sekolah? Kamu hampir pingsan loh, semalam. Memangnya udah baikan?"

"Kelihatannya gimana?" jawab Atilla sekenanya? lalu masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya secara kasar.

Lagi, Aline hanya bisa menahan emosinya. Sabar. Baginya, itu adalah solusi paling ampuh untuk menghadapi putrinya.

• • •

Atilla menghentikan kegiatan mengikat sepatu di teras rumah. Matanya menyipit sejenak, lalu kemudian membelalak saat menyadari apa yang dilihat kedua bola matanya.

Atilla dengan gerakan terburu-buru menyelesaikan ikatan tali sepatunya, lalu berlari ke depan pagar rumahnya untuk mengampiri Derrel yang datang tanpa mengabarinya.

"Siapa bilang lo boleh jemput gue, hah?!"

"Udah, cepetan naik, lo kan udah janji kalo mulai sekarang itu kita temenan."

Atilla memejamkan mata pertanda meredam emosi. "Sorry, ya, Derrel. Kita baru kenal, pertemanan masih jauh!"

Derrel terkekeh. "Dengan apa yang kita lakuin semalam, lo masih bilang kita baru kenal?"

Atilla terbungkam. Memang benar, mana ada orang yang baru saling kenal, sudah saling peduli? Jujur saja, selain karena dalam dirinya masih ada sedikit rasa kemanusiaan, ada rasa kepedulian yang tiba-tiba muncul saat ia melihat Derrel hampir mati di lorong gelap beberapa waktu lalu.

"Mau lo apa sih?"

"Temenan sama lo. Gue udah lakuin tantangan pertama, kan?" Derrel menarik tangan Atilla, menyuruhnya agar segera naik.

Entah magis atau hipnotis dari mana, Atilla menurut, dan perlahan naik di atas motor Derrel.

Derrel menyalakan mesin. "Sekarang, gue udah siap buat tantangan kedua. Seberapa bahaya pun tantangan itu, gue bakalan lakuin asal lo akuin gue sebagai teman. Lo harus mau jadi pelindung gue, Atilla."

Atilla tidak tahu mengapa tepatnya tubuhnya merinding saat mendengar kalimat terakhir dari Derrel. Jadi pelindung Derrel? Semoga saja ia sanggup. Sebab ini adalah kali pertama dia mengijinkan seseorang untuk mengusik dan memecahkan keheningan hidupnya.

Tidak ada yang tahu, bahkan dirinya sendiri, bahwa Atilla mulai mempercayakan hatinya pada orang lain, sedikit demi sedikit.

Mari berdoa, semoga rasa percaya Atilla saat ini, tidak akan tercuri oleh kecewa lagi.

• • •

Jangan lupa vomment, ya!
Kalau kalian suka cerita ini, jangan lupa rekomendasiin ke teman-teman kalian.
Percayalah, setiap ada pemberitahuan bahwa seseorang telah menambahkan ceritaku ke daftar bacaannya, pemberitahuan vote, dan komen, sungguh membuatku tersenyum dan tertantang untuk terus menghibur kalian melalui cerita yang belum ada apa-apanya ini,

Oh iya, buat yang mau saling sharing soal kepenulisan, DM aku di instagram aja, ya. @rahmatgenaldi
Terima kasih sudah merelakan waktumu untuk membaca ceritaku:)

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 146 8
⚠WARNING⚠ Ini khusus medeiaros shipper yaa, karna aku ada dikapal itu jadinya berfokus di Eros/Iaros walaupun dia aslinya ga dikasih route hiks (rela...
1M 172K 49
Hwang Hyunjin sangat membenci perempuan bernama Lee Hana. Ia membenci gadis itu lebih dari apapun. Hana sempurna di mata semua orang, namun tidak di...
41.8K 5.7K 100
17+ Setahun yang lalu, Zita tiba-tiba tersadar dan mendapatkan luka panjang dari telapak hingga pergelangan tangannya. Ia tak mengingat apa yang ter...
1.6K 147 25
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai, segala usaha yang kamu lakukan untuk mempertahankan ikatan su...