MATAHARI API

By nadyasiaulia

57.6K 6.3K 2.7K

Hidup Gesna berubah. Dia yang biasanya petakilan dan tertawa membahana, mendadak galak dan jutek kalau ketemu... More

PROLOG
1. Diam-diam
2. Kepala Suku
3. Tragedi Bokser
4. Putri Salju
5. Perisai
6. Permainan
7. Ayam Bakar Madu
8. Bubur Ayam
9. Pyjamas Party
10. Manuver
11. Pelangi
12. Penasaran
13. Diapelin
14. Sebuah Misi
15. Kurcaci
16. Yang Mengawasi
17. Sisi Lain
18. Lebih Dekat
19. Dalam Gelap
20. Bukit Rahasia
21. Titik Awal
22. Sebuah Kebetulan
23. Sebelah Tangan
24. Keluarga
26. Mengaku Kalah
27. Di Belakangmu
28. Pura-pura Baik-baik
29. Ksatria Untuk Xena
30. Mrs. Aditya
31. Kantin Kelas Dua Belas
32. Percakapan Tangga
33. Ayo Bicara
34. Membesarkan Hati
35. Sial Amat
36. Janji Adalah Janji
37. Sok Ganteng Stadium Empat
38. Label Sahabat
39. Rasa Tak Terperinci
40. Timpang
41. Perubahan Berarti
42. Hanya Mimpi
43. Kepastian Yang Menyakitkan
44. Di Bawah Nol
45. Keinginan Terpendam
46. Ingatan Paling Mengerikan
47. Gosip Hangat
48. Sahabat Itu Obat
49. Missing Something
50. Forgive Me
51. Sinyo
52. Konspirasi Hujan
53. Pagi Berikutnya
54. Juru Kunci
55. Mengenal Lebih
56. Kembali Ke Basecamp
57. Lagi Rindu
58. Matahari Terbit
59. Mau Kencan
60. A Man Called Papa
61. Titanium Girl
62. Waktu Malam Itu

25. Guntur Menghilang

459 65 14
By nadyasiaulia

(OST. Rumpang - Nadin Amizah)

•••

Guntur Menghilang

•••

Gesna terengah-engah. Badannya sudah basah oleh keringat. Sesi latihan kali ini cukup menguras tenaga sebab sekolah mereka sedang bersiap untuk ikut turnamen lagi.

Di tengah lapangan, tim putra masih berlatih. Pelatih membagi dua tim. Tim inti yang terdiri dari Renard, Adrian, Riko, Ilham dan anak kelas sebelas lain berhadapan dengan tim senior kelas dua belas. Namun hari ini, Guntur tidak datang latihan dan tidak ada kabar.

Gesna memperhatikan permainan teman-temannya. Di tim putra seangkatan, yang bisa slam dunk hanya Renard dan Guntur. Postur Guntur yang tinggi tentu sangat membantu, di luar cara melompatnya yang terlatih. Kalau Renard, meski tidak setinggi Guntur, cowok bermuka kaku itu menguasai semua teknik. Beda jam terbang, sih. Mungkin waktu di Jerman, Renard dilatih oleh pelatih yang mumpuni dan klub profesional.

Sembari mengusap keringat dengan handuk, Gesna meraih ponsel. Pesannya tadi pagi terkirim, tetapi belum dibaca. Dia coba untuk menghubungi Guntur. Si Badak itu tidak biasanya bolos latihan tanpa kabar berita. 

Cinta pertama Guntur itu basket. Cinta keduanya juga basket. Cinta ketiganya? Kayaknya basket juga. Siapa juga yang bisa mendekati Guntur selama cowok itu masih ada di balik punggung Gesna. Lagi pula Guntur nggak suka meladeni keganjenan para luwakwati. Palingan cuma senyum saja dan langsung merangkul Gesna. Dan luwakwati yang agresifnya kayak cacing baru diangkat dari tanah biasanya langsung kicep.

Telepon ketiga Gesna tidak juga diangkat Guntur. Dia berdecak dan menaruh kembali ponsel di tas. Kenapa ya dengan Guntur? Apa dia sakit?

"Gege!" 

Pelatih memintanya dan tim putri bersiap. Gesna kembali bangkit dan berlari menuju lapangan. Menyimpan semua pertanyaan erat-erat di kepala dan berlatih seperti biasa. Hingga matahari di atas kepala dan mereka terlentang kelelahan di koridor sekolah yang sepi.

"Ge, Guntur kok nggak latihan?" tanya Adji sembari meneguk air. Kesibukan kelas dua belas membuat Adji jarang ikut berkumpul dengan junor-juniornya.

"Iya, ke mana nih  kembar siam lo?" Riko yang menaruh badan di kursi panjang sambil mengatur napas, juga melirik Gesna.

Gesna hanya berdecak dan mengangkat bahu.

"Tumben lo nggak tahu, Ge," sahut Ilham sambil merebut botol minum Gesna.

"Ya kali gue emaknya." Gesna menoyor Ilham yang sudah habiskan setengah isi botol dan merebut kembali miliknya. "Main rebut-rebut aja lo! Permisi, kek. Kulonuwun."

"Kayak lo kulonuwun aja kalau ambil minum gue," balas Ilham melempar handuk lembap ke arah Gesna dan ditangkap cewek itu.

"Lo kalau mau melempar yang enakan dikit. Dompet kek, THR kek, harta hasil korupsi kek," sahut Gesna sambil membuang handuk Ilham ke tong sampah.

Ilham mengumpat, berlari memungut handuk. Yang lain terkekeh. Gesna memang seperti itu, nggak kurang nggak lebih.

"Kok gue merasa aneh, ya?" Adrian yang diam sedari tadi ikut bersuara. Cowok itu memandang tim basket yang masih tersisa. "Kemarin, dia nggak datang dan nggak ada kabar. Hari ini juga gitu. Itu anak kenapa, ya?"

"Jangan-jangan Guntur sakit?" Riko bangkit dan duduk sambil memeluk lutut. "Nggak pernah-pernah dia kayak gini."

"Jum'at kemarin, Guntur sama saya, Naraya dan Joceline sebar proposal OSIS," timpal Renard sambil sedikit berpikir. Muka putih cowok itu sudah kemerah-merahan karena terpanggang. "Dia pulang hujan-hujan sama Joceline, saya dan Naraya menunggu hujan reda."

Gesna terdiam. Dia juga dapat melihat ekspresi di muka Adji berubah, tapi Gesna tidak mau ambil pusing sebab dia tahu nama Naraya memang begitu berpengaruh untuk kakak kelasnya itu. 

Gesna kembali mengingat. Guntur memang menelepon dan bilang kehujanan, tetapi setelah itu tidak ada kabar lagi. Apa sehabis itu Guntur sakit? Dan Joceline? Guntur nggak bilang kalau dia sama Joceline. "Kalau yang habis kehujanan, dia sempat telepon gue, kok. Kedengarannya baik-baik aja," jawabnya coba meredam gundah.

"Ye... Orang yang kelihatan baik-baik aja, belum tentu lima menit lagi masih hidup, Ge."

"Mulut lo, Ilham! Minta disate!" Gesna melempar botol kosong ke Ilham, mengenai kepala cowok itu.

Ilham menyengir. "Istilah aja, Ge. Perumpamaan."

"Nggak ada akhlak memang lo," gumam Gesna kesal. Nama Joceline terngiang-ngiang dan bermain-main di kepalanya. "Ya udah, entar gue ke rumah Guntur. Kalau dia kenapa-kenapa gue kabari kalian."

Keingintahuan kelas dewa menyeret Gesna langsung ke rumah Guntur tanpa pulang terlebih dahulu. Dia khawatir jika benar Guntur sakit. Apalagi saat dia menelepon Pelangi, nomor gadis itu selalu sibuk.

Yang menyambut kedatangan dia adalah Mamah. Wanita kesayangannya itu seperti sedang memasak. Apron berwarna pudar terpasang di badan Mamah. 

"Aduh, anak Mamah sayang. Ke mana aja atuh jarang nongol? Dari latihan, ya?" sapa Mamah sambil menyodorkan tangan.

Gesna menyambut dan mencium punggung tangan Mamah. "Iya, dari latihan, Mah. Gege bau, ya?"

Mamah menggeleng. "Masih apek keringat Abang kok ke mana-mana." Wanita itu lalu tertawa pelan. "Oh, iya. Nanti kalau mau pulang, sekalian bawa ayam buat kamu, ya. Nanti Mamah siapin di meja."

Gesna kemudian mengangguk. Dia mengambil ancang-ancang untuk naik ke lantai dua dan mendatangi Guntur. "Guntur sakit, Mah? Kok nggak latihan?"

Wanita itu terdiam sebentar. "Abang keluar, katanya jenguk teman di rumah sakit. Coba tanya Pelangi."

Jenguk teman di rumah sakit? Gesna langsung melesat ke arah kamar Pelangi yang tidak dikunci. "Ngi..."

Pelangi yang sedang berteleponan lantas menoleh. Gadis itu memberi isyarat kepada Gesna agar menunggu. Gesna merebahkan badan di kasur Pelangi dan menunggu Pelangi menyelesaikan teleponnya. "Teleponan sama siapa lo? Sok manis bener."

Pelangi terkekeh. "Sama Ghazi, Kak."

Gesna langsung mencibir. "Pantesan hape lo sibuk terus. Buset! Udah bisa pacaran, ya?"

Tidak menolak dituduh seperti itu, Pelangi memandangi Gesna. "Kenapa, Kak? Tumben belum mandi datang ke sini."

"Guntur ke mana, sih?" Gesna mulai mencari jejak sahabatnya yang lenyap ditelan bumi.

"Nggak tahu. Tadi pagi, Abang keluar bilang ada perlu." Gadis itu mencoba mengingat-ingat. "Katanya ada teman yang sakit."

"Siapa temannya yang sakit?"

Pelangi lantas mencibir. "Kalau Kakak nggak tahu, apalagi Pelangi?"

"Iya juga, ya." Gesna menggaruk kepalanya yang berkeringat. "Dia bawa hape nggak, sih? Telepon gue nggak diangkat-angkat coba."

"Nggak tahu. Coba Kakak periksa kamarnya."

Gesna menarik pelan rambut panjang Pelangi. "Apa sih yang lo tahu, Ngi?"

Bibir Pelangi menyengir, menghadiahi jawaban yang makin buat Gesna ingin menggetok kepala anak itu. "Pacaran sama Ghazi, Kak."

Gesna melengos dan menuju kamar di sebelah kamar Pelangi.

Kamar Guntur sepi. Ya iyalah sepi, penghuninya tidak ada. Cowok itu selalu mengejek kamar Gesna sebagai kandang kerbau. Mentang-mentang kamarnya rapi. Guntur memang orangnya tertata, sih. Lagi pula kalau dia jorok, Mamah pasti akan memberi siraman rohani yang pendengarnya dipastikan akan kejang-kejang seharian.

Gesna melangkah masuk. Meja belajar Guntur menjadi tujuan pertama. Kalau ponsel Guntur tertinggal, benda itu pasti ada di meja. Sebab Guntur selalu menaruh ponsel di meja atau di dalam lacinya. Laci meja itu Gesna buka. Tidak ada ponsel juga di sana.

Gesna lalu duduk di kursi, memandangi meja Guntur. Seperti ada yang janggal. Tempat pena berwarna hitam masih ada di sebelah kanan. Layar monitor komputer juga masih ada di tengah meja. Keyboard dan mouse ada di dekat layar. Terminal semua colokan juga ada. Sansivera mini milik mama bervas putih juga ada.

Mata Gesna membulat, menyadari ada yang hilang. Foto mereka.

Dia lalu menoleh ke kanan kiri, berdiri dan mengitari ruangan. Bingkai itu juga tidak ada di nakas, lemari buku atau di atas printer. Guntur tidak pernah memindah-mindahkan foto mereka sebelumnya.

Ada apa sebenarnya dengan Guntur?

Teleponnya tidak diangkat, foto mereka disingkirkan, dan Guntur menghilang secepat kabut.

Gesna pulang dengan langkah gontai dan langsung membanting badan ke sofa ruang tengah. Guntur enggak pernah seperti ini. Kesambet apa sih anak itu? Berbagai kemungkinan hilir mudik di kepala Gesna hingga dia mengantuk dan tertidur.

Rasanya baru saja Gesna hendak bermimpi indah ketika pintu rumah diketuk dari luar. Dia pengin masa bodoh dan pura-pura tidak mendengar, tetapi ketukan di pintu makin kencang. Gesna bangkit dengan muka masam. Siapa sih yang bertamu di jam-jam seperti ini?

Muka Adit yang sedang tersenyum menjadi hal yang Gesna lihat pertama kali saat membuka pintu. Dia refleks memandang Adit dari atas ke bawah. "Ngapain lo ke sini?" tanya sambil mengucek mata kemudian bengong sesaat ketika menyadari langit sudah gelap.

"Kan dompet gue ketinggalan kemarin," sahut Adit masih dengan senyum tiga jari.

Alis Gesna otomatis berkerut. Kenapa dari intonasi yang dia tangkap sepertinya Adit sengaja meninggalkan dompetnya? "Gue belum sempat cek kamar tamu. Lo ambil aja sendiri sana," ujarnya sambil kembali rebahan di sofa. Dia masih merasa mengantuk.

Adit berjalan menuju kamar tamu yang berada di dekat tangga. Tak lama, cowok itu keluar dengan dompet di tangan. "Ketemu. Bener ketinggalan."

Gesna mengangguk cuek sambil memejamkan mata kembali. "Udah, kan? Pulang sana."

Yang diusir bukannya pulang malah duduk di sofa tunggal, sebelah Gesna.

"Ngapain lagi lo? Balik sana."

"Kenapa sih lo? PMS? Orang mau duduk bentaran aja salah."

"Kalau mau duduk-duduk, di pos satpam. Jangan di rumah gue," balas Gesna sengit. Dia masih ingat bagaimana malunya diledek Naraya dan Asri karena Adit nggak lihat-lihat tempat bertanya tentang dompet yang tertinggal. Itu kan bikin orang berpikiran negatif. Bikin orang pikir ada apa-apa antara mereka berdua.

"Mulut lo bahan bakunya api neraka, ya? Panas banget," sela Adit meringis.

Gesna sudah melotot dan hendak melempar bantal sofa. Namun, langsung dipotong Adit lagi.

"Bercanda, Non. Bercanda," decak Adit. "Emosian amat."

Cowok itu lalu menoleh sesaat. "Bang Gustav mana, Non?"

 "Nggak tahu, gue bukan Google Maps."

Balasan jutek Gesna dan jawaban asalnya membuat Adit tertawa. "Eh, lo ada masak apa? Gue lapar, belum makan malam."

Kepala Gesna kembali menoleh dengan tatapan runcing. Jika saja bambu, mungkin bisa dipakai untuk menombak Adit. "Nyari makan kok di sini? Lo pikir rumah gue Dinas Sosial? Gue aja belum makan dari siang."

Gesna langsung menepuk kepalanya. Dia lupa membawa ayam yang sudah disiapkan Mamah. Tapi badannya sudah terlalu malas untuk datang kembali.

"Kenapa?" tanya Adit. Cowok itu ternyata memperhatikan gestur Gesna.

"Lupa bawa ayam yang udah disiapin Mamah." Dia menghela napas pelan.

"Tante Meilan lagi di Jakarta?"

"Bukan Mamah yang itu!"

Alis Adit terangkat. "Jadi, Mamah yang mana?"

"Ye... Banyak tanya kayak soal UAS," dengkus Gesna sembari kembali meraih ponsel. Pesannya masih belum dibaca Guntur. Nggak ada paket atau gimana sih itu anak?

"Lo suka Burger King nggak?" tanya Adit sambil memainkan ponselnya.

"Mau tahu aja lo." Gesna melempar ponsel tanpa notifikasi itu ke sebelah. Dia menggaruk kepala hingga rambutnya teracak seperti singa.

"Gue pengin pesan Burger King, Non. Lo mau nggak?"

Gesna langsung duduk. "Mau, mau. Kenapa nggak bilang dari tadi? Lo sih kepanjangan basa-basi." Cewek itu langsung menatap Adit antusias. "Gue Mozzarella Cheeseburger XL. Kasih catatan, jangan kasih sayur apa pun di dalam."

Sudut bibir Adit terangkat. Dia mulai tahu celah-celah apa yang bisa dimasuki. Tuntutan perut memang bisa membuat orang berkompromi.

"Ngapain lo senyam-senyum? Udah dipesan belum? Buruan. Nunggu apa lagi? Bantuan dari pemerintah?!"

"Gue cium lo nanti kalau bawel-bawel." Adit mulai memilih menu dan menuliskan kepada pengantarnya kalau pesanan Gesna jangan dikasih sayur. Setelah dibalas oleh jasa antar, Adit kemudian menaruh ponsel di meja. "Lo kenapa? Lagi kesal?"

Gesna tidak menjawab, dan mulai menutup mukanya dengan bantal. Iya, dia kesal. Guntur berubah jadi Jelangkung.

"Gue cancel aja deh Burger King-nya," gumam Adit sambil meraih ponsel. Sebuah bantal melayang, membuat ponsel Adit jatuh ke pangkuan. Adit lalu tertawa melihat reaksi Gesna seperti yang diharapkan.

"Nggak solider amat jadi orang." Cewek itu kembali duduk sambil merengut. "Lagian kasihan Abang Grab-nya kalau lo cancel."

"Sama Abang Grab kasihan, sama gue enggak."

Gesna mulai tertawa. Tawa pertamanya hari ini, untuk Adit dan untuk dirinya sendiri. "Lo mau dikasihani?" Dia menggeleng sambil berdecak-decak dramatis. "Kasihan, kasihan. Nggak jelas motivasi hidupnya apa. Mana masih muda."

"Bukan kasihan yang kayak gitu, Non." Adit kembali meraih ponsel dengan muka kesal. Membuat gerakan seolah-olah akan membatalkan pesanan.

"Iya, iya. Enggak!" Gesna berdiri dan berlari, merampas ponsel Adit. Dia memukul bahu Adit sambil tertawa. "Begitu doang lo baper, Bang. Gue cuma bercanda. Lo bisa bercanda, masa gue kagak."

Adit masih diam.

"Lo, sih. Ngapain coba pakai tanya-tanya dompet di depan anak-anak. Kan gue malu, diledekin Nay sama Aci sampai sekarang."

Adit berdecak. Rupanya Gesna kembali jutek karena kejadian itu. "Iya, sori. Lagian kan udah pernah gue bilang, malu itu kerjaannya tukang. Malu, maku, ngegergaji."

"Bodo amat! Bodo amat!"

Gesna kembali tertawa sambil melempar bantal sofa ke Adit. Pintu rumah terketuk dan Gesna buru-buru bangkit. "Udah lo bayar belum?" tanyanya ke Adit.

"Udah." Adit ikut berdiri ke arah pintu, membuntutinya. "Kan kata lo, bagusan cashless."

"Baguuus! Udah kayak iklan layanan masyarakat gue, ya?" Dia terkekeh geli. "Harusnya pemerintah atau BI bayar gue jadi ambasador, deh."

Gesna meraih handel pintu dan tawanya langsung mengabur. Guntur berdiri menjulang di sana. Tatapan cowok itu datar dan tangannya memegang Tupperware.

Gesna mengerjap dan langsung menyadari ada Adit di belakang. "Gun?" tegurnya tergagap.

"Gue disuruh Mamah antar ini. Kata Mamah, lo lupa bawanya waktu pulang tadi." Guntur mengulurkan wadah plastik itu ke Gesna lalu berbalik meninggalkan teras.

"Gun," panggil Gesna terburu-buru mengejar Guntur yang sudah naik ke motornya. "Lo dari mana aja? Kenapa nggak latihan? Hape lo ke mana? Gue teleponin tauk."

"Guuun." Gesna memukul bahu cowok itu. "Dicariin dari tadi juga."

"Gue sibuk."

Hanya itu kata-kata Guntur sebelum motornya melaju meninggalkan rumah dan sesuatu yang rumpang di dalam hati Gesna.

🌺🌺🌺

Banyak amat yang kepo si Guntur kayak mana. Gue juga bingung yalord. Sampe ada readers, sebut saja Wiwid, bantu ubek-ubek cogan basket.

Niat banget lo, Wid. 😝

Terus, taraaaa...

Gugun (Gabriel)

Gege (Astrid)

Kepala Suku (Cintaku❤️)

Jangan bilang jomplang, anggap aja sama. Udah, pening amat gue. 🤣

Eh, tapi, yang jadi Gege aslinya juga ngegemesin.

Tapi gengs, jangan sampe gambaran ini menghancurkan bayangan kalian. Kalau kalian punya kandidat yang dirasa lebih cocok, ya silakan aja.

Anak Wattpad nih kebiasaan pake real player segala. 🤣

Continue Reading

You'll Also Like

553K 26.9K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
2.6M 267K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

2.3M 98.6K 57
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...