Rhythm Of Love

By dipraal

31.7K 2.3K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... More

Bab 1 Menerka-nerka
Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 3 Menarik
Bab 4 Mengaku Iya
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 6 Rabu Rabu
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 15 Pemulihan Jiwa
Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada
Cerita Baru
Trivia

Bab 9 Negoisasi Revolusi

1.4K 129 64
By dipraal

Di kamar, Lala sedang bersungut-sungut. Ia tengah menelfon Zee dengan perasaan jengkel yang bergumul. Berulang kali ia menghentak-hentakkan kakinya di lantai, ia sedang jengkel. Tak jarang pula tangannya yang bebas, ia gunakan untuk mengacak rambutnya. Bibirnya pun terus ia gunakan untuk meberondong Zee dengan kata-kata umpatan.

"Asli ya, kalau gak capek nih, sayang, udah aku samperin tuh si Chika. Hantem palanya biar agak pinteran dikit. Bego banget coba ih!" Cerocos Lala. Ia membanting tubuhnya ke atas kasur dengan kesal.

"Bego, bego, bego! Ini juga si Vito, gemes tau gak, pengen dah tuh nginjek lehernya,"

"Haha, gak abis pikir juga aku, beb. Terus gimana? Kamu kasih?" tanya Zee di seberang sana. Dia cekikikan tiada henti mendengar omelan Lala yang sebernarnya ia tujukan untuk Chika dan Vito.

"Kasih, tapi aku hina-hina dulu tuh dua orang sampe mendidih kepala aku, beb. Gak tau deh ini udah pada chattingan apa belum,"

"Ya udah dong, kamu jangan marah-marah mulu hehe. Tapi lucu deh kayaknya muka kamu sekarang,"

"Lucu terus emang Nabila ini, baru sadar?"

"Mulai deh, narsisnya,"

"Eh, tapi beneran deh, Zee, itu berarti mereka seminggu bareng tapi gak tukeran kontak gitu? Bisa ya, aneh. Si Vito ini gak tau cara sepik-sepik cewek apa gimana deh, heran aku tuh. Biasanya 'kan kalau mau PDKT yang paling diincer nomor hp. Kek kamu dulu, modus beliin aku pulsa, udahnya nomor aku dikantongin,"

"Gila ya, masih inget aja. Ya, bang Vito gak kepikiran kali, kak. Orang kemarin juga serumah, minta nomor hp buat apa coba? Kalau bisa ngobrol langsung," Lala menimang-nimang ucapan Zee. Dia membalikan tubuhnya, menarik satu bantal untuk menahan dagu.

"Iya sih. Ah tapi mah intinya mereka oon banget sumpah. Kalah sama anak SMP yang lagi PDKT, haha," ada nada menggoda di sana.

"Emang Azizi mantep banget dulu PDKTnya," balas Zee bangga.

"Modusnya banyak,"

"Ya namanya modus, kak harus gas pol. Kalau usahanya rata-rata nanti namanya Mean,"

"Haha apa deh. Udah ah, istirahat sana, besok kamu masih sekolah. Capekkan pasti?"

"Iya nih, sayang. Tangan aku pegel meluk kamu terus tadi di kereta,"

"Halah, kamunya juga suka aja, pake sok-sokan ngeluh. Dah ah, bye!" Lala menutup sambungan telefonnya. Ia beralih membuka chatt Chika yang belum ia baca. Di sana, ucapan terima kasih berulang kali Chika lontarkan, entah dengan kalimat, ataupun stiker-stiker lucu. Tak Lala balas, ia masih gemas dengan sepupu pacarnya ini.

*

Di meja makan, Chika terus kepikiran tentang kontak Vito yang tadi ia minta dari Lala. Dari sebelum mandi, sampai sekarang ia belum berani mengirim pesan ke laki-laki itu. Ia masih ragu, ragu memulai chatt harus bagaimana.

Masa nanyain kabar? Jelas-jelas tadi baik-baik aja. Gila ya, Cuma mau ngechatt aja pusing banget pala gue

Dengan kasar, dia memasukkan makananya ke dalam mulut, hingga menimbulkan gesekan antara sendok dan gigi hingga menimbulkan sedikit suara yang membuat ngilu untuk sebagian orang. Chika kini sedang benci dengan dirinya yang pengecut seperti ini.

Chika tak pernah berpikir ini akan terasa begitu sulit untuknya. Kalau ditanya dia senang atau tidak, karena memiliki perasaan yang cukup asing bagi dirinya ini, dia pasti jawab, dia senang. Hanya, dia tak pernah menyangka, jika untuk melakukan apapun yang berhubungan dengan Vito jadi serba sulit seperti ini. Ia masih malu dan ragu, didukung pula dengan rasa gugup yang terus berdegup di dalam sana.

Pantas saja, Tuhan kemarin-kemarin belum mempercayai dirinya untuk memiliki rasa kagum berlebih pada seseorang. Dia belum cukup pandai dan berani mengambil keputusan perkara hatinya. Jangankan untuk memulai chatt terlebih dulu, mengaku 'suka' saja rasanya begitu susah dan menyiksa.

"Ma, Pa. Adek udah selesai nih, ke kamar dulu gakpapa ya? Mau beresin buat sekolah besok," Chika meminta izin, karena biasanya, barang sepuluh menit usai makan, akan ada bincang sejenak, sebelum semua kembali keaktivitas masing-masing.

"Boleh, nanti kalau mau tidur, susunya diambil sendiri ya, udah Mama bikin. Mama taruh di kulkas, sesuai maunya kamu," balas Gracia lembut pada Chika.

"Iya, Ma," dia beranjak mengecup pipi Shani, Gracia, dan kakak-kakaknya bergantian sebelum berjalan menjauh dari meja makan.

Shani memerhatikan punggung putrinya yang sudah menghilang dari pandangan. Lantas ia beralih ke Vino dan Boby.

"Adek kalian ada cerita lagi deket atau dideketin sama orang gak?" tanya Shani agak berbisik, ia takut Chika mendengar.

"Kenapa emang Pa?" tanya Vino sambil terus mengunyah makananya.

"Gini," Shani beranjak. Ia menyuruh Boby pindah ke kursi paling pinggir agar ia bisa duduk di tengah. Sedangkan Gracia yang sedang membereskan piringnya hanya memandang heran tiga pria itu.

"Tadi si Chika, minta izin ke Papa, katanya boleh gak kalau besok dia dijemput temennya buat dianter ke sekolah," kata Shani berbisik.

"Weh! Tumben dia mau?" Seru Boby yang langsung kena pukul Shani.

"Jangan keras-keras,"

"Papa izinin?" Tanya Gracia.

"Belum. Tapi anaknya, Papa suruh ke sini, minta izin,"

"Aneh gak? Aneh 'kan? Gak biasanya itu anak gak mau diajak berangkat bareng cowo yang lagi deketin dia," Gracia menghela nafas berat. Tiga laki-lakinya ini kalau sudah diskusi akan ruwet urusannya.

"Karmanya Papa ini mah, kemarin-kemarin suka cengin itu bocah gegara gak pernah dijemput cowok. Giliran ada yang mau jemput, ribut," ucap Boby.

"Iya kali ya?" Shani menggaruk kepalanya yang sudah dipastikan tidak gatal itu. Jika diingat-ingat, masuk akal, sedikit.

"Eh tapi bener kata Papa, aneh. Iya gak sih, bang?" Boby yang ditanya begitu mengangguk mantap.

"Haduh... Masa urusan gini aja kalian gak paham? Mana yang katanya pakar cinta, hm?" Gracia yang sudah kembali duduk, menatap bergantian mereka yang kini tengah tersenyum malu.

"Gini ya, laki-laki tersayangnya Mama," Gracia menegakkan tubuhnya menghadap mereka semua. Seketika mereka diam, menanti Gracia melanjutkan ucapannya.

"Cinta itu sebuah revolusi. Segala yang ada di kepala kalian itu bisa tiba-tiba kebalik," lanjut Gracia sambil memberikan gestur membalikan telapak tangannya. Tiga laki-laki itu terus memerhatikan Gracia.

"Kalau kalian sedang jatuh cinta, dan segalanya terbalik, bakal muncul diri kalian yang lain. Hmm maksudnya, muncul kepribadian yang gak biasa. Nah, si Adek tuh lagi gitu," tandasnya.

Hening sejenak.

"Ahhhh... Ya ampun, adek gue udah gede ternyata haha," seru Boby yang sudah paham dengan analogi yang Gracia berikan, sambil tertawa.

"Paham 'kan, Pa? Anak kita emang udah gede dah bisa rasain jatuh cinta. Udah lega sekarang anaknya bisa suka cowok?" imbuh Gracia sambil tersenyum jahil ke arah Shani. Dia beranjak memberi Shani minum kemudian berjalan ke wastafel untuk menyimpan beberapa piring kotor yang masih tertinggal.

"Papa agak seneng sih, dia akhirnya bisa jatuh cinta. Berarti dia normal,"

"Kita emang gak bisa larang dia buat jatuh cinta, tapi kita masih bisa awasin dia kok," Boby menimpali.

"Bener sih, bang. Meski gue sebenernya gak rela kalau dia beneran jatuh cinta terus pacaran nantinya. Gue masih takut itu bocah sakit hati, gak rela gue," balas Vino serius. "Tapi, menurut Vino, dia berhak sih, Pa, ngrasain gimana pacaran waktu muda," lanjutnya.

"Papa juga sebenernya gak pantes sih misal ngelarang dia buat gak pacaran atau deket sama lawan jenis. Soalnya dulu Papa juga gitu. Hmmm maksudnya pacaran juga waktu SMA. Mama kamu juga pasti pernah pacaran pas SMA. Jadi, salah sih misal Papa sama Mama ngekang dia kaya gitu sedangkan orang tuanya nglakuin itu di masa lampau. Gak fair aja gitu. Cuma ya, kalau ada yang macem-macem sama anak gadis Papa, pulang-pulang kakinya tiga," terang Shani.

"Serem-serem," Boby bergidik ngeri.

"Heh! Tunggu! Kalian 'kan juga pacaran! Bisa-bisanya loh ya!" Shani memukul kepala dua anak laki-lakinya itu bergantian, membuat Vino dan Boby hanya haha hehe.

"Udah izin loh padahal. Ya 'kan bang?" Vino mencari pembelaan.

"Tapi tetep lah, Papa sama Mama kudu awasin kalian-kalian ini, biar gak aneh-anehin anak orang," sambar Gracia yang baru saja datang dari arah belakang.

"Menurut Mama gimana? Izinin gak?" tanya Shani pada Gracia.

"Katanya Papa besok mau ketemu dulu sama orangnya. Pake insting aja, Pa. Orang tua punya kok insting kaya gitu-gitu, misal ini gak bagus buat anaknya, pasti orang tua bisa rasain, gitu sebaliknya," Shani manggut-manggut.

Orang tua memang seringnya bisa merasakan hal seperti itu. Mungkin bisa dikatakan firasat. Dan sebagai anak, memang sebaiknya menyadari itu. Izin orang tua adalah izin Tuhan. Kalau orang tua mengizinkan, berarti Tuhan juga setuju dengan apa yang akan kalian lakukan.

"Yang mau jemput siapa sih, Pa? Temen sekolahnya? Ada ngomong gak dia?" tanya Vino.

"Temen Lala katanya,"

"KAN....!!!!" teriak Vino sambil berdiri dari kursinya. "Dah curiga dari tadi gue," lirihnya.

***

Kini Chika sedang bercermin merapikan seragam sekolah yang menempel ditubuhnya. Ia menjepit salah satu sisi rambutnya, serta memberikan sedikit olesan lipbalm pada bibir. Kebingungannya semalam, dipatahkan oleh orang yang ingin ia kirimi pesan. Vito ternyata menghubunginya terlebih dahulu. Chika tak lagi merasa gugup ataupun takut, jika memang nanti Papanya tak mengizinkan ia diantar oleh Vito, masih ada hari-hari berikutnya untuk meminta izin lagi.

"Kalau besok Papa kamu gak izinin, saya bakal coba lain kali, Chika. Sampai dizinin,"

Kalimat Vito yang satu itu, masih terngiang di kepala Chika. Melalui sambungan telefon pun suaranya masih terdengar begitu lembut. Tekadnya, membuat Chika senyum-senyum sendiri semalaman.

Dia meraih ponselnya, memasukkannya dalam saku. Kemudian keluar kamar sambil menenteng jaketnya. Sebelum mandi tadi, dia sudah mengirimkan lokasi rumahnya ke Vito, tapi dia tak bertanya apakah sekarang Vito sudah di jalan atau belum. Vito juga hanya membaca pesan terakhir Chika tanpa membalasnya. Jadi Chika ragu untuk bertanya lebih dulu.

Sampai di meja makan, Chika langsung meneguk susu yang telah Mamanya siapkan. Dia menyendok sedikit nasi goreng yang ada di depannya, memindahkannya dalam piring, kemudian menyantapnya. Chika hanya melirik Vino, Boby, dan Papanya yang baru saja bergabung di meja makan. Boby dan Papanya datang dengan pakaian rapi, sedang Vino hanya dengan kaos polos dan celana boxernya.

"Belum mandi ya lo, kak?" tegur Chika melihat penampilan Vino, mukanya pun masih basah, Chika yakin dia hanya cuci muka, entah sikatan atau tidak.

"Laper, makan dulu baru mandi. Gue kuliah siang ini, gakpapa lah," jawab Vino.

"Jadi dijemput temen kamu?" sontak Chika menghentikan kunyahannya. Ia menegakkan kepalanya, menelan dengan susah nasi yang ada di dalam mulutnya.

"Papa izinin?" tanyanya tak percaya. Pasalnya, pertanyaan tadi, seperti sebuah keputusan final bahwa Papanya setuju jika Vito menjemput Chika.

"Liat orangnya dulu sih. Udah jalan? Takutnya kamu nanti kesiangan," Chika melirik jam tangan yang melingkar dipergelangannya. Dia menyirit, masih terlalu pagi padahal, berangkat setengah jam lagi pun juga tak akan terlambat.

Chika langsung ngambil ponselnya yang ia simpan di saku. Tertera nama Vito di sana. Tanpa membuka, dia sudah bisa membaca preview pesannya. Dia teguk susunya beberapa kali untuk menenangkan keterkejutannya. Vito sudah di depan.

"Pa, temen Adek udah di depan," kata Chika

"Oh ya udah, suruh masuk aja dulu, nanti papa samperin, tapi kamu di sini aja," Chika mengangguk paham. Segera ia ketikan balasan untuk Vito.

Kak Vito

Kak, kata Papa, masuk aja dulu

Oh iya, saya masuk ya ini berarti?

Iya, kak

Eh kak, kamu gak takut?

Gak kok

Emang harusnya gitu, Chika

Minta izin langsung ke Papa kamu

Tak lama setelah Chika baca pesan Vito yang terakhir, bel rumahnya berbunyi. Shani pun segera bangkit meninggalkan sarapannya yang baru ia suapkan dua sendok ke dalam mulutnya. Chika memandang tegang punggung Papa itu berlalu. Tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Memang sudah menjadi urusan Papanya.

"Ciee yang dijemput gebetan,"

"Cie yang udah bisa jatuh cinta," goda Vino dan Boby bergantian saat menangkap muka tegang Chika melihat Papanya berlalu.

"Gak ya, sok tau banget lo, kak," sanggah Chika. Ia mengerling malas ke arah Vino.

"Haha, bang, semalem kata Mama gimana bang? Yang revolusi-revolusi itu?"

"Cinta itu revolusi, kalau lagi jatuh cinta, isi kepala bakal kebolak-balik. Nah, isi kepala lo lagi kebalik ini, dek, haha," balas Boby diikuti suara tertawa yang keras dari arah Vino.

"Heh heh, digodain terus adeknya. Biarin dia sarapan dulu," tegur Gracia.

Chika tak lagi menanggapi, ia fokus menghabiskan sarapannya. Ia ingin segera ke depan, mengintip Vito dan Papanya bernegosiasi, jika sempat.

*

Vito berjalan dengan percaya diri memasuki gerbang rumah Chika yang terbuka sedikit itu. Meski tadi ia bilang ke Chika ia tidak takut, tapi ternayata dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Dia sudah lama tak melalukan hal seperti ini –jemput menjemput anak orang. Ah– bahkan jika diingat kembali, dia tak pernah gugup dengan hal seperti ini.

Dulu, saat berpacaran dengan Mira, tak ada rasa gugup berlebih saat menjemputnya untuk pertama kali. Selain sudah mengenal orang tua Mira terutama sang Papa, ada satu hal lain, yakni tak ada debaran kehangatan seperti ini di dalam dadanya sana saat pertama kali menjemput Mira pun hari-hari berikutnya, itu yang Vito ingat.

Berbeda dengan hari ini, ada perasaan yang tak bisa ia jabarkan ketika melakukan sesuatu yang berhubungan dengan sosok Chika. Jantungnya selalu bekerja lebih keras saat berada di dekat gadis itu. Tapi, sependek mengenal Chika dan dekat dengannya, ia cukup bisa mengendalikan dan menguasai diri. Kecuali satu, saat manik indah milik Chika menembus matanya.

Kini dia telah tiba di depan pintu kayu bercat pituh itu. Dirabanya dada sebelah kiri, ia merasakan detaknya semakin cepat. Vito pun menarik nafas dalam dan menghembuskannya berulang kali untuk sedikit membuat detaknya kembali normal.

Vito bukan laki-laki yang takut berhadapan dengan orang baru atau segerombolan orang asing sekalipun. Beberapa kali ia ditunjuk untuk menjadi ujung tombak dalam projek-projek organisasi ataupun urusan akademik kuliahnya. Ia juga sudah terbiasa berhadapan dengan beberapa rekan kerja papanya saat ikut menghadiri acara-acara penting. Mungkin memang banyak orang yang menganggapnya sebagai pribadi yang kaku, tapi dia memiliki public speaking yang mumpuni. Kemampuan itu didukung dengan keunggulan isi tempurung kepalanya yang tidak bisa diremehkan.

Tentu sebenarnya, situasi sekarang ini berbeda. Degup jantungnya saat ini bukanlah degup gugup saat akan melakukan presentasi atau berbicara di depan banyak orang. Kegugupan seperti itu mungkin bisa ia redam dengan mudah menggunakan ketrampilan berbicaranya juga ilmu atau materi yang ia kuasai.

Tapi kali ini, ia masih awam. Ia bahkan baru mengenal Chika seminggu yang lalu. Lantas dengan beraninya menawarkan diri untuk mengantar Chika sekolah dan mengiyakan permintaan Papa Chika untuk datang dan meminta izin secara langsung. Kejadian yang diceritakan Azizi, menjadi latar belakang dirinya di sini sekarang. Ia benar-benar merasa tidak rela Chika diganggu oleh laki-laki lain. Ia ingin melindungi gadis SMA itu. Vito ingin gadis itu aman, jika dizinkan, ia ingin melindungi Chika dalam dekap dan genggaman tangannya.

Vito masih menempelkan telapak tangannya di dada. Detak jantungnya sekarang ini bukan detak jantung yang biasa ia rasakan. Ada perasaan berbeda di setiap degupannya. Seperti ada ritme khusus yang sedang dimainkan di dalam sana. Permainan itupun akan semakin terasa saat dirinya berada di dekat Chika. Permainan ritme yang membuat organ tak terjamahnya menghangat dengan segera.

Ketika dirasa sudah sedikit tenang, Vitopun memencet bel rumah milik Chika. Tak perlu menunggu lama. Pintu itupun terbuka, memerlihatkan sosok pria paruh baya dengan setelan rapi khas orang yang akan pergi kerja. Vito tak perlu banyak bertanya, ia yakin pria ini adalah Papa Chika.

"Pagi om," sapa Vito yang langsung menjabat tangan Shani dan mencium punggung tangannya.

"Kamu siapa? Ada perlu apa pagi-pagi seperti ini sudah bertamu?" tanya Shani berlagak galak dan tidak paham. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana kainnya, memandang Vito selidik.

Vito yang tadinya sudah cukup tenang menjadi kembali gugup, mengingat kakak Chika menggertak dirinya saja sudah cukup ngeri, apa lagi, ini berhadapan dengan Papa Chika langsung.

"Sebelumnya perkenalkan dulu om, saya Vito teman Lala," ucapnya setenang mungkin, persis mahasiswa yang sedang presentasi tetapi tidak menguasai materi. Bahkan dia kini merapatkan kakinya, berdiri tegak bak anggota paskibra. Meletakkan tangannya di depan badan dengan telapak tangan kanan menutup punggung tangan kiri, layaknya orang Jawa yang sedang menjamu tamu.

Vito menundukkan kepalanya sejenak, lantas menatap Papa Chika takut-takut. Padahal iya tadi bilang pada Chika tidak takut, tapi ternyata berhadapan langsung cukup membuat jantung Vito kembali berpacu cepat, dia gugup sekarang, sangat.

Di dalam hati Shani, dia terkikik geli melihat gerak-gerik pemuda ini. Ingin tertawa melihatnya begitu formal, namun, ia harus tetap menjaga wibawanya.

"Masuk, duduk dulu, pegel saya berdiri. Kamu gak pegel apa, berdiri tegak gitu?" Vito hanya menurut. Dia masuk dan duduk di hadapan Shani, sesuai perintah.

Shani menatap Vito yang telah duduk di depannya. Tampilanya rapi, celana jeans navy berpadu dengan kemeja pajang abu-abu dibalut rompi rajut dengan warna sama namun sedikit lebih gelap. Rambutnya ditata sedemikian rupa, terlihat ada sentuhan pomade juga di sana.

"Rapi banget kamu, ada perlu apa?" tanya Shani setelah keduanya duduk. Vito mulai mengggosok-gosokkan telapak tanganya ke lutut. Tatapan mata Papa Chika yang sedang menatapnya kini, mirip milik Chika, sama-sama melemahkan Vito. Jika ia akan tenggelam dalam tatap indah mata coklat milik Chika, maka pada tatapan mata Papa Chika ini, ia merasa tengah dilucuti, lumayan menakutkan.

"Ini om, Saya mau minta izin buat antar Chika ke sekolah hari ini, boleh tidak?"

"Suratnya mana?" tanya Shani, ia mungkin akan sedikit bermain dengan Vito pagi ini.

"Eh, surat, surat apa ya, om?"

"Kan kamu minta izin toh ini, pakai surat lah," jawab Shani sambil memainkan arlojinya, melirik Vito yang terlihat kebingungan.

"Tegang amat, saya becanda," lanjut Shani. Ternyata ia masih punya rasa tak tega melihat pemuda di depannya ini kebingungan.

"Jadi, udah berapa cewek yang sering kamu jemput ke rumah kaya gini?"

"Gak ada om," jawab Vito cepat. Ia melihat keterkejutan Shani di sana.

"Ah masa?? Gak percaya saya. Jangan bohong ya kamu! Kamu kan... ya lumayan ganteng lah kalau saya liat-liat, tapi masih ganteng saya sih. Pasti cewek mu banyak, pasti abis anter Chika, kamu jemput cewek lain, iya kan?"

"Demi Tuhan, om saya gak bohong. Saya gak bisa berlaku seperti itu ke banyak perempuan, om. Membagi-bagi hati, bukan keahlian saya om," Shani sedikit terperanjat mendengar jawaban yang terdengar serius itu.

"Ow, serius juga ya kamu. Terus, kenapa mau antar Chika, hm?" Vito menegakkan badannya. Mengetahui cara bicara Papa Chika yang cukup santai itu, membuat rasa gugupnya sedikit menguap.

"Saya pengen bantu om jaga Chika, meski Cuma, sekadar antar dan jemput dia sekolah. Memastikan Chika sampai dan pulang dengan aman, ingin saya lakukan mulai sekarang, om. Itu pun kalau om izinkan,"

"Kenapa? Bahkan kamu baru kenal anak saya semingguan ini, loh?" mendengar jawaban serius dari Vito, membawa Shani yang tadinya ingin bermain sedikit dengan Vito, kini ikut serius menanggapi anak muda ini.

"Saya kurang paham juga, om. Seminggu kemarin saya sudah terbiasa menjaga Chika. Saya hanya ingin melanjutkan menjaga dia di sini. Ditambah cerita Azizi tentang Chika yang diganggu kakak kelas saat pulang sekolah, membuat hati saya semakin tergerak buat jaga dia, om. Maaf kalau jawaban saya terkesan template atau membual, tapi itu adanya," balas Vito. Ia menundukkan pandangannya, menghembuskan nafas panjang di sana.

"Kamu pernah nglakuin ini sebelumnya ke perempuan lain?"

"Belum sama sekali, om. Baru kali ini,"

"Kenapa belum?"

"Saya... saya... gak bisa om, kata kebanyakan orang, saya kaku," Dia menunduk mengusap tengkunya, agak malu sebenarnya mengungkapkan ini.

"Tapi, kamu bisa deketin Chika, eh maksud saya, kenapa ke Chika bisa?" tanya Shani memastikan.

"Maaf, om. Lagi-lagi saya kurang paham, saya Cuma mau jadi orang luwes di dekat Chika, biar dia nyaman sama saya,"

"Kamu belum pernah punya pacar?"

"Sekali, om, tapi putus gara-gara katanya saya kaku," Shani manggut-manggut, dia langsung berdiri tak mengatakan apapun.

Shani mulai melangkahkan kakinya, pergi meninggalkan Vito yang sedang kebingungan di tempat duduknya sekarang. Dia berjalan menuju meja makan sambil menggumamkan kalimat Gracia semalam.

"Ya ya ya, revolusi, Isi kepala menjadi terbalik, muncul diri yang lain," gumannya.

"Gimana Pa?" tanya Gracia saat Shani sudah mulai terlihat berjalan menuju mereka.

"Buru ih, Pa, biar gak mepet sampe sekolah, Adek upacara. Kalau gak diizinin, biar kak Vino ganti baju, anter Adek," cecar Chika saat sang Papa telah duduk di kursinya.

"Sabar," kata Shani sambil meneguk air putihnya sampai habis.

Mereka diam, menantikan jawaban Shani.

"Hahhhhhhh gila ya! Papa tadi udah kaya ngadepin orang yang mau lamar anak gadis Papa!" teriak Shani membuat mereka semua terkejut.

"Papa ih, alay banget pake triak-triak segala!"

"Asli ya dek, kamu nemu di mana deh orang kaya dia. Serius banget, gak bisa digocek,"

"Papa aja yang kelewat slengean," jawab Chika santai.

"Eh, asli ya Ma, ini Papa jadi ikut tegang loh tadi. Padahal niat Papa ngerjain dia biar takut atau mati kutu gitu. Tau-taunya ya ampun," Ucap Shani gusar. Ia meneguk kembali minum yang sudah Gracia isi.

"Dah niat jelek dulu sih kamu, Pa,"

"Papa tuh agak aneh ya, bang orangnya, haha. Mau dikata galak, ya galak, posesif juga, tapi sering juga gak jelas. Kaya sekarang, apaan coba mosok frustasi Cuma gara-gara ngadepin bocah kuliahan," celetuk Vino.

"Heh! Gak sopan ya bilang Papa gak jelas!" tegur Shani yang kemudian disambut dengan tawa istri dan anaknya

"Papa gak frustasi. Cuma, bisa loh ada orang kaya gitu. Bener kata kamu semalem, Ma. Orang kalau udah jatuh cinta otaknya kebolak-balik, terus muncul diri yang lain,"

"Papa ngobrol apa aja deh?" tanya Chika penasaran.

"Gak tau ah, lupa. Dah sana berangkat, nanti telat. Ayo Papa anter ke depan," Shani kembali beranjak menunggu Chika yang sedang memakai jaketnya. Ternyata tak hanya Shani yang mengangtar Chika ke depan, tapi semuanya.

"Ma, Adek berangkat dulu," dia mencium punggung tangan dan pipi Gracia begitupun ke Shani dan Boby.

"Kak Vino peluk aja belum mandi, bau,"

"Halah," Vino menoyor kepala Chika pelan.

Vito pun ikut menyalami mereka juga. Sampai pada Vino, dia mendapat tatapan tajam.

"Awas lo kalau sampe macem-macemin adek, gue," Vito hanya mengangguk.

"Ya udah, om, tante, abang-abang, saya antar Chika dulu, permisi," Chika dan Vito pun beriringan berjalan menuju mobil Vito yang terpakir di depan.

"Gak usah gandengan, hei!" teriak Shani saat melihat tangan Vito menyentuh tangan Chika, padahal itu tidak disengaja.

"Jauhan dikit eh!" kali ini Vino yang berseru.

"Kabarin kalau udah sampai sekolah!" tambah Vino.

"Kak Vino berisikkkk....!" teriak Chika dari depan gerbang.

"Keknya lo besok kalau jadi bapak kek Papa deh, posesif tapi gak jelas," kata Boby yang langsung menarik Vino.

"Tapi insting aku, dia baik Ge," ucap Shani sambil terus memandang Chika yang kini sudah masuk ke mobil Vito.

"Aman dong ya ini Chika dianter Vito?"

"Kataku sih aman, ya udah yuk. Sarapan aku belum habis,"

*

Sepanjang jalan, mereka mengobrol biasa. Ada rasa senang dalam benak mereka masing-masing. Chika juga tak menyangka Papanya mengizinkan Vito untuk mengantarkannya ke sekolah. Pasalnya, ini pertama kali dia diantar oleh lawan jenis yang bukan keluarganya seperti sekarang ini. Papanya memang berulang kali mengejek dirinya karena tak pernah dijemput oleh laki-laki, tapi Chika tahu, meski Shani sering meledeknya begitu, Papanya tetap khawatir dan akan penuh pertimbangan memercayakan Chika diantar oleh orang lain.

"Eh kak, udah tau jalan ke sekolah aku kan?" tanya Chika.

"Tau kok, 'kan udah kamu kasih tau,"

Vito menoleh, melihat Chika sebentar. Ini kali pertamanya melihat Chika menggunakan seragam SMA. Bahkan sedari tadi, senyumnya tak ia pudarkan, karena menurutnya, Chika yang menggunakan seragam SMA ini, keindahannya bertambah. Ada sinar berbeda yang terpancar dari diri Chika saat tubuhnya dibalut seragam SMA seperti ini. Rambut yang digerai dengan aksesori jepit rambut putih yang tak cukup besar disalah satu sisinya, membuat keanggunan gadis ini bertambah.

"Tadi Papa ngomong apa aja ke Kak Vito?" tanya Chika.

"Cuma tanya-tanya biasa aja kok, Chika,"

"Kamu gak takut gitu? Atau gugup?" Vito terkekeh.

"Gugup hehe, tapi inget niat saya juga Papa kamu yang bicara agak santai, buat gugup saya sedikit hilang,"

"Maaf loh kak, misal tadi ada kata-kata Papa yang menyinggung kak Vito,"

"Eh, gak kok, gak sama sekali," balasnya. "Siap-siap, Chika, ini udah mau sampai," Chika mengangguk.

Mobil Vito kini telah menepi di pinggir jalan sebelah gerbang masuk sekolah Chika. Vito masih memerhatikan bagaimana gadis itu sedang merapikan rambutnya.

"Udah?" tanya Vito saat Chika sudah terlihat puas dengan penampilannya. "Yuk turun," Chika terkejut mendapati Vito turun terlebih dahulu. Chika pikir, Vito akan langsung pergi setelah Chika turun, seperti Vino atau Boby saat mengantarnya. Tapi ternyata dugaannya salah, Vito malah ikut turun, seperti sang Papa saat kejatahan mengantar dirinya.

"Makasih ya, kak," ucap Chika. Vito mengulurkan tangannya, menepuk puncak kepala gadis itu beberapa kali.

"Kok kamu kayaknya hobi banget ya, kak, tepuk-tepuk kepala aku, hehe,"

"Biar kamu tenang, Chika. Kamu seneng gak?" Chika mengangguk malu. Dia merasa, semakin ke sini, Vito semakin menunjukkan kalau dia menyangai Chika. Chika benar-benar tidak bisa menghandle perasaan carut marutnya ini.

"Ya udah, buruan masuk. Belajar yang rajin ya, Chika. Nanti saya jemput mau?" tawarnya.

"Emang Kak Vito gak kuliah?"

"Senin saya kosong, nanti kalau misal Kakak kamu gak bisa jemput, hubungi saya aja ya? Saya gak mau kamu pulang pas sekolah udah sepi," Chika paham kenapa Vito ingin sekali menjemputnya. Mungkin nanti ia akan datang ke hadapan Azizi, dan berterima kasih. Karena ceritanya Sabtu lalu, membuat dirinya dan Vito memiliki alasan untuk bertemu.

"Hmm, iya kak. Ya udah ya aku masuk, Kak Vito hati-hati," Chika berlari kecil menuju gerbang. Sesaat sebelum benar-benar memasuki gerbang, ia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Vito.

Kemarin aku lupa kalau dia adalah gadis SMA. Pagi ini, aku melihat langsung dirinya dibalut oleh seragam sekolah menengah atas. Aku menangkap ada pancaran sinar berbeda dari gadis ceria itu. Aku cukup takjub, hanya sebuah kain berlogo sekolah, dapat membuat Chika terlihat semakin menawan. Seragam itu juga yang membuatku sadar, bahwa dia benar-benar masih SMA. Membuat hatiku semakin mantap untuk ikut membantu melindungi masa mudanya. Mungkin terdengar terlalu cepat, tapi aku benar-benar ingin melindungi dirinya lebih dari ini. Bukan hanya sekadar mengantar atau menjemput atau berjalan di samping atau belakangnya. Aku ingin menggenggam tangannya dan memasukan dirinya ke dalam dekapku. Aku ingin melindungi dirinya secara utuh. Apa sekarang aku bisa mengatakan kalau aku mencintai sosoknya? Teralu cepat, ya. 

***

Hai gimana? Masih mau baca 'kan? Mau ya semoga!

Yok dikit lagi yok mau bubar, hehe

Makasih buat yang selalu baca, vote, komen. Haha asli ya,tiap kalian komen tuh bikin seneng banget :')

Seneng kalian suka cerita saya. Jujur ya, gak pernah pede sama cerita yg saya buat. Tapi respon kalian bener-bener buat semangat nulis. Semoga abis cerita ini kelar, bisa buat cerita yang lain hehe. Duh, lapak sebelah belum di update

Oh iya, buat kalian yang nulis juga, semangat ya! Gak ada karya yang jelek. Setiap orang punya ide ceritanya sendiri, gaya penulisannya sendiri, pun penikmatnya sendiri. Jadi semangat ya para author!

Dah lah, sampai ketemu part berikutnya!

Nih ada bonus sosok Vito dalam imajinasi saya hahaha. Kalian imajinasiinnya siapa kalau bole tau? hmm?

Nyari visual buat Azizi agak susah haha



Continue Reading

You'll Also Like

11.7K 333 16
What if the Ministry re-sorted everyone into their true houses? And what if Draco Malfoy... cared? Harry's POV :) SEQUEL IS ABANDONED PLEASE LMK IF Y...
183K 3.8K 46
"You brush past me in the hallway And you don't think I can see ya, do ya? I've been watchin' you for ages And I spend my time tryin' not to feel it"...
1M 40.2K 93
๐—Ÿ๐—ผ๐˜ƒ๐—ถ๐—ป๐—ด ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ ๐˜„๐—ฎ๐˜€ ๐—น๐—ถ๐—ธ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๐—ณ๐—ถ๐—ฟ๐—ฒ, ๐—น๐˜‚๐—ฐ๐—ธ๐—ถ๐—น๐˜† ๐—ณ๐—ผ๐—ฟ ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ, ๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฒ๐˜€ ๐—น๐—ผ๐˜ƒ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๏ฟฝ...
17.6K 672 16
Naruto needs a break from his life before he breaks, and some of his precious people know it too. Tsunade decides to send Naruto on a mission to the...