EPIPHANY

Da NurAzizah504

12.3K 1.2K 185

Rania berada di ambang kebingungan. Antara memilih Elang atau 'dia' yang sebelumnya pernah ada di hatinya. Hu... Altro

Prolog
1. Sore Yang Menyeramkan
2. Telepon Darinya
3. Jealous
4. Perihal Hujan
5. Tanyanya, "Kenapa?"
6. Dia Punyaku
7. Hujan di Malam Hari
8. Terima Kasih
9. I Need You
10. Cemburunya Rania
11. Ada Apa dengan Elang?
12. Lagi-lagi Dia
13. Tentang Kita
14. Pingsan
15. Maaf Untuk Semua Luka
16. Tidak Ada Sentuhan
17. Sekilas Bayangan
18. Menjauh
19. Siapa Dia?
20. Dia Yang Tampak Sama
21. Kebingungan Yang Berbeda
22. Tentang Nama
23. Sesuatu Yang Aneh
24. Deal!
25. Keyakinan
26. Janji, Rania!
27. Tentang Luka
28. Lorong Belakang Gudang
29. Apa yang Terjadi?
30. Jangan Benci Aku
31. Bertamu
32. Romantis (?)
33. Pertama Kalinya
34. Sorry
35. Kedatangannya
36. Tangan Elang
37. Dia Yang Akan Datang
38. Tertangkap
39. Yang Patah Pagi Hari
40. Nasihat Mama
41. Kejutan Malam Hari
42. Upah Dari Rania
43. Si Tangan Penghancur
44. Tentang Rasa Sayang
45. Pulang dan Kekacauan
46. Pergi Untuk Kembali
47. Pilihan Opsi Kedua
48. Mendadak Ragu
49. Rasa Yang Dilupakan
50. Hilangnya Sebuah Senyuman
51. Sebenarnya Hancur
52. Amarah Terbesar Elang
53. Bentuk Kepedulian
55. Bukan Karena Sayang
56. Terungkapnya Fakta
57. Kimbab Dari Rania
58. Tentang Kita Berdua
59. Perasaan Yang Tak Lagi Sama
60. Pesan Tak Terbaca
61. Pergi dan Hilang
Epilog

54. Janji di Malam Hari

143 13 2
Da NurAzizah504

"Ck, udah dikasih tau suruh nunggu, tapi kenapa malah cuci piring?"

Rania tertawa kecil, melirik sekilas ke arah Vernon yang berdiri di sebelahnya. Dengan sebelah tangan sibuk memegang handuk untuk mengeringkan rambut, maka laki-laki itu tampak memasang muka paling garang yang ia punya. Namun, bukannya ketakutan, Rania malah melanjutkan cucian piringnya hingga selesai. Setelah mematikan keran dan mengeringkan tangan menggunakan kain lap, Rania terlihat menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Jangan salahin Rania. Salahin aja tuh kenapa piring kotornya numpuk minta dicuci."

Vernon berdecak sambil menjawil ujung hidung Rania. Dengan gemas ia bertanya, "Udah pinter ngejawab, ya, kamu?"

Sementara Rania hanya tertawa saja. Dia pasrah sewaktu pergelangan tangannya digenggam oleh jari-jari dingin Vernon yang segera membawanya menuju ke sofa. Di atas kursi panjang yang empuk, kekasihnya itu menyuruhnya untuk duduk. Sedangkan dia sendiri mengambil remot AC untuk mematikan mesin tersebut.

Malam ini hujan kembali datang. Membawa hawa sejuk yang seketika menyergap masuk hingga menusuk ke dalam tulang. Rania merapatkan kaki, lalu dilanjutkan dengan menggesekkan kedua tangan dalam gerak yang cepat. Dia perlu kehangatan untuk tubuhnya. Setidaknya agar giginya tidak terlalu menggelatuk bunyinya. Baiknya, laki-laki yang beberapa saat tadi pergi entah ke mana, kini kembali lagi dengan sebuah selimut tebal tertumpuk dalam pelukannya. Dengan cekatan lelaki berjanggut tipis itu menggeraikan selimut dan membiarkannya memeluk tubuh Rania dari arah belakang.

Sembari membenarkan tatanan selimut agar Rania tak lagi kedinginan, Vernon lantas bertanya dengan raut cemas penuh kekhawatiran. "Dingin banget, ya?"

Dan sama halnya seperti Vernon yang tak ragu untuk mencemaskannya, maka Rania pun juga tak ragu untuk menganggukkan kepala. Namun, dirinya dapat memahami bahwa di sini dia tidak boleh membuat Vernon mengkhawatirkan keadaannya secara berlebihan. Hingga akhirnya Rania memutuskan satu hal baik. Dia menarik kedua sudut bibirnya dengan sederhana, menciptakan lengkungan indah yang enak dipandang mata. "Tapi ini udah mendingan, kok. Gak usah cemas gitu."

"Gimana Abang gak cemas, Rania? Tadi Abang jemput kamu dalam keadaan baik-baik aja. Masa pulangnya udah enggak, sih? Bisa-bisa dimarahin nanti Abang sama bunda. Okelah kalo cuma dimarahin doang. Kalo Abang dilarang ketemu kamu lagi gimana? Siapa yang mau tanggung jawab kalo misalkan Abang rindu kamu?"

Demi keluh resah Vernon yang terdengar lucu di telinga, maka dalam detik itu juga Rania tergelak lebar. Dia sempat tak bisa berkata-kata beberapa saat lamanya. Juga membiarkan Vernon melongo karena heran melihatnya. "Abang lebay banget, sih? Mana ada bunda begitu?"

"Ya ... siapa tau, 'kan? Kali aja marahnya bunda enggak main-main," sahut Vernon membantah perkataannya. "Um, bentar. Kamu tunggu di sini dulu, jangan ke mana-mana," lanjut Vernon tiba-tiba.

"Emangnya Abang mau ke mana?"

"Ke dapur. Mau buatin kamu minuman yang hangat dulu."

"Eh, gak usah--" Vernon langsung berlari, meninggalkan Rania yang tak sempat lagi melanjutkan kalimatnya. Akhirnya, demi melihat sang kekasih yang mulai sibuk merebus air, Rania hanya bisa menghela napas pelan.

Tak lama menunggu, laki-laki kesayangannya itu pun kembali mendekatinya dengan wajah semringah. Vernon menyerahkan sebuah gelas kepadanya. Dan saat diteliti lebih lagi, ternyata Vernon memberinya secangkir wedang jahe kesukaannya. "Makasih."

"Sama-sama." Saat ini Vernon langsung menjatuhkan bokongnya di sebelah Rania. Suasana pun mendadak hening untuk beberapa saat lamanya. Hanya menyisakan suara derai hujan dan juga deru napas yang berembus secara beraturan. Keduanya larut dalam diam, tampak disibukkan dengan pikiran masing-masing yang sulit untuk diabaikan.

Rania bersyukur. Berkat selimut dan wedang jahe buatan Vernon, maka ia tak lagi merasakan kedinginan. Tegukan demi tegukan ia telan. Kecanduan menyesap habis semua bau jahe yang bercampur dengan gula merah itu. Namun, untuk detik kedepannya rasa manis dan hangat itu hilang mendadak hilang seketika. Tepat saat Vernon membuka suara dan bertanya, "Di sekolah kamu gimana sama Elang?"

Rania terdiam beberapa saat lamanya. Spontan saja ia menunduk, menatap ujung jari kakinya yang tertekuk kuat. "Um, gak gimana-gimana."

Detik itu juga Vernon menoleh dengan kerutan di dahi yang terlihat jelas. "Lho, kalian, 'kan, udah kenalan kemarin. Masa pas ketemu masih gak saling ngobrol? Emangnya Elang cuek banget, ya, di sekolah?"

"Um, maybe. Soalnya Rania juga gak berani ajak dia ngobrol. Jadi gak sepenuhnya Elang yang salah, sih, Bang." Rania memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Benar, ini memang bukan sepenuhnya salah Elang. Rania juga salah. Dia berbohong. Berlakon seolah dia dan Elang baru saja saling mengenal.

"Eh, Rania." Vernon memanggil dengan antusias. Dia bahkan meletakkan gelasnya di atas meja, lalu menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah gadis yang masih merasa gentar untuk menatapnya. Tampak senyum merekah menghiasi bibirnya. Indah. "Kamu kenal pacarnya Elang gak? Karna seingat Abang, Elang pernah ngomong kalo dia itu punya pacar."

Kedua tangan Rania bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Hawa dingin yang sempat hilang, kini kembali datang. "Em, Rania gak kenal sama pacarnya Elang, Bang. Bahkan Elang jalan sama cewek aja Rania gak tau tuh." Bohong. Bahkan semua rintik hujan di luar sana pun tahu bahwa dialah satu-satunya gadis yang selalu dipegang tangannya oleh Elang.

"Yah ...," Vernon tampak putus asa, kedua bahunya luruh seketika, "kirain kamu tau, Ran."

Samar-samar Rania menganggukkan kepala. Dia kemudian meletakkan gelas yang sudah habis isinya ke atas meja kaca. "Kalo Abang sendiri gimana pas udah jadi barista? Enak gak?" Rania mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Beruntung siasatnya berhasil.

"Ada enaknya, ada enggaknya juga."

"Iyakah?" Rania bertanya antusias. Sedikit berharap bahwa Vernon akan menceritakan tentang pekerjaannya.

"Iya. Enaknya, sih, karna kita bisa ketemu banyak temen di sana. Bisa sharing ilmu, pengalaman, dan banyak lagi. Pokoknya kalo udah ketemu temen yang se-chesmetry itu rasanya udah beda. Dan gak enaknya kalo udah kebagian jatah buat lembur. You know lah, capek. Belum lagi kalo ada pelanggan yang suka komplain. Bilang kalo rasa minumannya gak enaklah atau tentang cara kerja kita yang kurang bersihlah. Dan yang lebih sakitnya lagi, pas ada pelanggan yang langsung minum minumannya tanpa perlu repot-repot buat liatin dulu line art yang udah kita bikin seindah mungkin buat mereka. Rasa-rasanya kaya itu gak ada harganya buat mereka."

Pertama kali dalam hidupnya, Rania mendengarkan Vernon bercerita dengan melibatkan semua emosinya. Pun untuk mengurangi sedikit marahnya itu, dia tertarik untuk mengelus punggung tangan Vernon menggunakan ibu jarinya dengan gerakan memutar. Sambil terus menyunggingkan senyum terbaiknya, ia bertanya tentang sesuatu yang jelas-jelas sudah ia tahu jawabannya. "Capek, ya?"

Vernon balas menatap Rania tanpa sedikit pun mengedipkan matanya. Lantas dirinya langsung menyadari bahwa malam ini Rania begitu terlampau manis untuknya. "Iya, banget," jawabnya dengan nada suara yang lebih rendah, "tapi Abang gak bakalan mundur, Ran. Karena dibalik itu semua, menjadi seorang barista itu nyenengin. Bisa capek dan bahagia dalam sehari. Kapan-kapan kamu dateng, ya, ke sana. Biar Abang buatin minuman paling istimewa buat kamu."

"Iya. Nanti Rania ke sana."

Baru saja dirinya selesai berkata, pada detik berikutnya ia dibuat terdiam karena Vernon tiba-tiba memeluknya. Awalnya Rania sempat kaget. Namun, tak lama setelahnya ia akhirnya bisa menguasi diri dengan sedikit kesenangan yang berangsur menjalari hatinya.

Rania bisa merasakan bagaimana hangatnya napas Vernon menyapu lembut area kulit di sekitaran lehernya. Dia bisa mendengarkan dengan jelas dan detail getaran kecil sewaktu kekasihnya itu mulai mengeluarkan suara. Katanya, "Rania jangan tinggalin Abang, ya. Sabar dulu. Abang janji akan sukses demi kamu. Abang janji akan berusaha buat terus bahagiain kamu. Abang janji akan selalu sayang sama kamu. Kamu mau nunggu Abang, 'kan, Rania?"

Rania mengembuskan napas pelan, sedikit mendorong bahu Vernon agar dirinya bisa memandangi lebih jelas raut muram lelakinya itu. Hanya perlu menunggu seperkian detik untuk Rania mengulas senyum terbaik yang ia punya. Dia merasakan cengkraman Vernon pada lengan kanannya semakin kuat. Baiknya, Rania tidak merasakan risi sama sekali.

Dari dulu sampai sekarang, Rania selalu menyadari bahwa sorot Vernon tak pernah berubah kala memandanginya. Cara menatapnya masih sama. Masih tenang dan dalam, seolah menegaskan kepada siapa saja bahwa memang Ranialah satu-satunya yang ia punya. Bahwa memang hanya gadis inilah yang menjadi pemilik hatinya.

"Abang juga harus janji satu hal lainnya sama Rania." Sekilas dia mengabaikan pertanyaan Vernon dan malah mengatakan hal lain yang mendadak muncul di kepalanya.

"Apa?"

Rania tak langsung memberikan jawabannya. Dia masih sibuk menjamah bagian wajah Vernon yang selalu tampak tenang di setiap waktunya. Rania ingin terus Vernon seperti itu. Selalu tenang, selalu damai. Dia ingin Vernon terus menjadi lautan yang kelebihannya tak bisa diterka hanya oleh mata. Dia ingin Vernon menjadi tempat berlabuh terbaik yang ia punya. "Cintai Rania secukupnya aja. Gak usah berlebihan. Rania gak sebaik yang Abang kira. Takutnya nanti Abang kecewa."

* * *

Continua a leggere

Ti piacerà anche

513K 19.3K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
5.1K 506 31
[FOLLOW SEBELUM BACA] kisah dari putri prabu Siliwangi dan Ratu Subang larang dengan berbagai perjalanan nya kisah cinta,dendam,misteri hingga perper...
755K 10.3K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
1.4M 102K 44
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...