Rhythm Of Love

By dipraal

31.8K 2.3K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... More

Bab 1 Menerka-nerka
Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 3 Menarik
Bab 4 Mengaku Iya
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 9 Negoisasi Revolusi
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 15 Pemulihan Jiwa
Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada
Cerita Baru
Trivia

Bab 6 Rabu Rabu

1.4K 129 70
By dipraal

Jika memang keadaan sekarang memaksanya untuk mengembangkan rasa kagumnya, tidak jadi masalah untuk Vito. Bukankah memang sudah ia lakukan? Mengubah sedikit pribadinya, bukankah itu merupakan desakan dari rasa kagumnya terhadap Chika?

Mengubahnya sedikit tidak apa-apa 'kan? Jujur, masih ada sedikit trauma saat wanita yang dulu membuatnya bertekuk lutut pada yang namanya cinta, mencampakkannya begitu saja hanya karena dia sosok orang yang kaku. Suara lembut yang Vito sukai dulu, tiba-tiba meninggi, dan terasa memekikkan telinga, hingga sakitnya merembet ke hati dan menoreh luka.

"Aku tuh bawa kamu ya buat nemenin aku ngobrol sama temen-temen, ngebaur gitu loh. Sakit tau gak, tiap ketemu mereka, terus aku dicengin kalau pacar aku kayak mayat idup, diem doang. Emang kamu gak sakit hati apa dikatain kaya gitu?" Vito diam, dia masih menunggu lanjutan kata-kata dari kekasihnya itu di belakang kemudi.

"Capek aku lama-lama, malu juga punya pacar yang gak bisa memosisikan dirinya. Kamu tuh lagi kumpul sama temen-temen sebaya kamu yaaa... bukan sama kolega Papa kamu, luwesin lah," lagi, gadis di sampingnya ini masih berceloteh. Seperti mengeluarkan semua uneg-unegnya bersama Vito selama ini.

"Kalau gak karena kamu anak temen Papa aku, mana mau aku jadian sama kamu. Menarik aja gak," Vito menoleh cepat. Mendengar pernyataan itu mampu membuat dadanya seperti ditekan. Jadi selama ini, hanya Vito yang mencinta? Dia tidak?

"Persetan sama perjodohan!" Gadis itu menghembuskan nafasnya dengan kasar, menghempaskan punggungnya ke jok mobil milik Vito.

"Kalau memang kamu mau udahan, ya gakpapa, Mira. Saya gak bisa maksa kehendak hati kamu. Biar nanti saya yang jelasin ke Papa sama om," ucap Vito tenang. Padahal, hatinya terasa seperti ditusuk sekarang. Dulu dia juga enggan menerima perjodohan ini. Kepercayaannya terhadap cinta yang akan tumbuh secara perlahan membuat dirinya mengiyakan. Namun, sepertinya hanya dia yang cintanya bertumbuh, tidak dengan Mira.

"Bagus deh, gak kuat gue lama-lama jalan sama mayat idup kayak lo," Mira keluar dari mobil Vito dan membanting pintu mobil cukup keras. Hati Vito benar-benar retak sekarang –Ah mendekati hancur sepertinya. Mendengar Mira mengubah sebutan dia dan dirinya tadi, semakin membuatnya hatinya teriris. Tapi, dia juga tidak bisa menyalahkan Mira. Ini salah dia, salah dia yang sudah terlanjur jatuh hati pada Mira.

Vito belum paham bagaimana persifatan Chika. Tapi jika ia boleh menilai dari pertemuan pertama hingga hari ini, Chika adalah orang yang menyenangkan. Ia suka saat Chika cerewet menanyakan ini itu. Ia suka dia dengan mudahnya masuk dalam pembicaraan, ia suka dengan senyum Chika, suara Chika, cara makan Chika, dan satu yang paling Vito sukai, mata Chika.

Sesingkat itu dia bisa mengaggumi diri Chika. Tapi, ia tak mau gegabah, ia mau menyelami Chika lebih jauh, sebelum benar-benar menyimpulkan kalau dia jatuh hati dengan anak SMA itu.

"Ewhnakh bwangh, phanashhh huhhh," Vito menoleh saat Azizi tanpa permisi duduk di sebelahnya sambil membawa pisang goreng yang terlihat masih ngebul itu.

"Kamu bantuin mbah ti goreng pisang?" Azizi mengangguk, mulutnya masih sibuk mengunyah pisang yang masih panas itu.

"Lo lama sih perginya, jadi gue ikut bantuin mbah ti. Kak Lala sama Chika rusuh doang tadi,"

"Iya, tadi nungguin mbah kung ngawasin yang ambil ayam sampai selesai," Azizi mengendus-endus tubuh Vito sebentar.

"Bau ayam ternak lo bang! Mending lo langsung mandi deh," usul Zee yang langsung menyumpal kembali mulutnya dengan pisang goreng yang sisa sedikit.

"Nanti lah Zee, masih gerah,"

"Chika gak suka cowok bau loh, bang. Tiati aja," Vito menoleh cepat. "Yang Bener?" Zee mengangguk.

"Ya udah saya mandi dulu kalau gitu," Vito segera beringsut dari duduknya meninggalkan Zee yang kini terkikik sendiri.

Hari Rabu ini mereka tidak pergi kemana-mana, hanya tadi pagi saja Vito mengajak Chika pergi ke pasar. Pembatalan mendadak dari pihak desa untuk melihat lahan, menjadi alasan mereka tinggal di rumah hari ini. Hanya kegiatan kecil yang mereka lakukan. Seperti tadi, Vito menemani kakeknya yang sedang panen ayam di peternakanya, dan Azizi yang menolak ikut Vito dengan alasan takut ayam, akhirnya gabung dengan nenek dan Lala Chika yang membuat pisang goreng untuk cemilan sore.

"Mbah, ini gak kebanyakan goreng pisangnya?" tanya Lala yang masih berada di depan kompor menggoreng sisa pisang. Sedangkan Chika tengah duduk manis di balik meja makan sambil mengunyah pisang yang sudah tidak terlalu panas itu.

"Gak nduk, si Fadran suka banget sama cemilan-cemilan kaya gini. Tadi jajan pasar 'kan dia juga yang habisin sama mbah kung. Dua orang itu emang gragas," jawab mbah ti diikuti tawa dari Lala dan Chika.

"Padahal mbah, tadi Kak Vito di pasar juga udah makan banyak. Makan samosa, risol, kue ku, klepon, kue mangkok, duh banyak, mbah haha," timpal Chika.

"Cie merhatiin banget," sambar Lala.

"Berisik deh!" sewot Chika. Lala hanya tertawa, dia merasa ini hari-hari terbaiknya, bisa menggoda Chika begitu puas.

"Mbah tau gak? Si Chika suka loh mbah sama Vito," kata Lala sambil menaruh pisang goreng yang sudah ia tiriskan tadi.

"Gak usah ngada-ngada kak!" Elak Chika. Rasanya benar-benar ingin menyumpal mulut Nabila dengan pisang goreng sekarang juga.

"Ya gakpapa nduk. Namanya juga anak muda," kata mbah ti. Dia beranjak, memindahkan pisang goreng ke piring kecil.

"Mbah ke mbah kung dulu ya, dimakan pisangnya," Dia berhenti di samping Chika, mengusap lengan gadis itu lembut.

"Fadran beruntung, disukain sama cah ayu kaya kamu nduk," tandasnya sebelum benar-benar pergi.

Chika memperlambat kunyahannya. Hanya dengan ucapan seperti itu dia bisa kehilangan fokusnya sekarang. Lala di seberang meja hanya senyam-senyum memperhatikan Chika yang tertegun.

"Anggep aja itu restu," Chika mengerjap. Berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya yang sempet hilang beberapa detik tadi.

Baru akan buka mulut, aroma lemon tiba-tiba saja menyeruak memenuhi dapur. Lala dan Chika sama-sama menoleh, dari arah pintu, Vito berjalan sambil menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk yang tersampir di pundaknya. Semakin mendekat, bau lemon itu semakin menusuk, begitu segar.

Lala buru-buru beringsut pergi mengetahui Vito akan menghampiri meja makan. Ia meninggalkan Chika yang tatapannya masih terkunci pada sosok Vito.

"Selamat berduaan pak!" Lala menepuk lenganVito sebelum benar-benar pergi dari dapur.

Rambut basah Vito benar-benar menyita perhatian Chika. Bagaimana itu bisa begitu manarik di matanya? Kaos putih polos agak ketat dan celana pendek di atas dengkul membuat sosoknya semakin terlihat menawan.

Otot lengan yang tidak terlalu besar namun cukup oke itu bisa Chika lihat jelas dari tempat duduknya. Dada bidangnya terlihat semakain jelas. Dada bidang yang pernah Chika dengar degup jantungnya, kini terpampang nyata di depannya. Baru kali ini Chika mendapati Vito memakai kaos seketat ini. Karena biasanya Chika hanya akan mendapati pria ini mengenakan kemeja, sweater, jika pun menggunakan kaos ya kaos biasa tidak ngepas badan.

Chika mengalihkan pandangannya ke bawah setelah sadar Vito telah duduk di hadapan Chika. Buru-buru Chika mengatur dirinya agar tidak gugup.

"Kak, mau aku bikinin teh? Pisang goreng enaknya sama teh," tawar Chika. Bocah ini, kenapa bisa dengan mudah menguasai kembali dirinya? Apa ia memiliki kontrol khusus pengendali kegugupan? Atau ini caranya agar matanya tak melulu terpaku dengan sosok di depannya ini?

"Gak usah, Chika. ngerepotin," tolak Vito. Namun, gadis itu kini suda berdiri sibuk menuangkan air dan memasukan gula lalu mengaduknya. Tak butuh waktu lama, teh itu sudah ia sodorkan di depan Vito.

"Tadi mbah ti udah buat, kak. Tinggal kasih gula aja kok," Vito tersenyum lalu menyesap teh itu. Ia ingin memuji, tapi ya rasa teh memang begini tidak ada yang spesial, gadis di depannya lah yang spesial.

"Makasih ya, " hanya itu yang diucapkan Vito.

Hanya berdua, mereka duduk hanya berdua di balik meja makan. Sama-sama terdiam karena sibuk mengatur debaran. Sesekali helaan nafas panjang mereka keluarkan. Mencengkeram erat cangkir berisi teh menjadi salah satu cara untuk meredam kegugupan.

Chika melirik Vito yang sedang melempar pandangan ke arah lain. Pengakuannya pada Lala tadi pagi, agak dia sesali. Pasalnya, kalimat yang lolos dari mulut teman satu kompleknya itu sudah dapat dipastikan tidak menyenangkan. Bukan menenangkan, apalagi memberi solusi malah membuat otak Chika nyut-nyutan tak karuaan, hingga membuat dia terus kepikiran.

"Aaaa...! Fix, lo suka Vito. Paten!"

Hatinya menjerit, ingin sekali mengeluarkan sumpah serpahnya sekarang. Bukan untuk Lala, tapi untuk dirinya sendiri. Dia masih benar-benar tidak paham dengan semuanya. Dia masih ragu, meragukan perasaannya. Sampai otaknya menyentuh titik terendah, tak mampu lagi berpikir, bertanya pada Lala pun juga hanya akan menambah rumit, ia memutuskan membuka aplikasi mesin pencari yang diklaim paling cerdas sejagat raya itu. Iya! Dia searching! "Tanda-tanda orang jatuh cinta", kata kunci paling bodoh yang pernah ia ketikan di ponselnya. Sialnya kata itu akan menjadi history yang bisa membuat dirinya uring-uringan, merutuki kebodohannya.

Meragukan perasaan saat jatuh cinta itu apakah bisa dibilang wajar? Kebimbangan mengenai pertanyaan macam-macam yang timbul di dalam rongga kepala seperti –'apa gini ya rasanya jatuh cinta' 'masa cinta sih' 'ah ya kali gue cinta sama dia'– itu hanya Chika yang mengalami, ataukah semua manusia megalami itu saat pertama kali terjadi? –ah Chika tidak paham, yang pasti dirinya seperti itu saat ini.

Adakah hal yang lebih rumit dari pada mengaku bahwa aku menyukai pribadinya walau hanya sedikit?

Vito, tidak kalah bingung. Ia sibuk mengorek masa lalunya dengan Mira. Bukan-bukan, dia bukan bingung melupakan kisah cintanya yang sudah karam beberapa tahun lalu. Tapi ia sibuk mencari ingatan bagaimana perasaannya dulu saat pertama kali tertarik dengan Mira. Bodoh, memang, padahal dia sendiri yang mengatakan dalam hati kalau dia tertarik dengan Chika. Menyukai setiap gerak-gerik Chika, tapi dia sendiri pula yang ragu akan kebenaran perasaannya.

Ada apa sebenarnya dengan dua orang ini? Mereka sama-sama tidak percaya cinta datang tiba-tiba. Ketika Tuhan menunjukkannya dengan cara perlahan, keraguan malah membungkus mereka.

Argghh tidak mudah mengakui aku tunduk lagi pada yang namanya cinta. Tapi perasaan ini perlahan meringkuk hatiku, mendesak untuk mengaku luluh.

Mata mereka bertemu, padahal tak ada yang memanggil satu sama lain. Tangan mereka sama-sama tergerak untuk merayap di atas meja, hingga akhirnya berpaut tanpa curiga. Hanya tatap sejuk yang mampu mereka lempar. Hanya senyum yang sanggup mereka umbar. Seperti ada yang menyengat, organ tak terjamah mereka kini sama-sama menghangat. Terlalu terbuai menikmati jantung yang berdebar, hingga tak terasa mereka tengah tersenyum lebar.

Satu tangan Vito yang tadi ia biarkan, kini telah ia sentuhkan ke kulit punggung tangan milik Chika. Dia menggeser kursinya, lalu menangkup tangan lembut itu. Matanya sibuk menyusuri setiap inci wajah Chika. Manik coklat, bibir ranum, hidung mancung milik Chika, semua ia perhatikan dengan detail.

Chika menangkap tatapan teduh dari hitam legammnya mata Vito. Dia seakan jatuh dalam tatapan lembut Vito. Dia hampir ingin menangis melihat mata indah itu. Hatinya terenyuh, kenapa laki-laki ini bisa selembut itu menatapnya?

Vito meneguk ludahnya saat dengan berani ia menempelkan telapak tangan Chika di pipinya. Dia merasakan ibu jari Chika juga sedikit tergerak untuk mengusap pipi Vito. Entah apa maksud dari ini semua, mereka lagi-lagi hanya saling tersenyum.

"Chik –Kak," mereka terkekeh saat tak sengaja sama-sama memanggil. Vito menurunkan telapak tangan Chika dari pipinya, hanya menurunkan, dia masih menggenggam jemari milik Chika itu.

"Nanti abis maghrib, ke angkringan mau?" tanya Vito. Chika mengangguk.

"Pakai baju panjang ya, pakai jaket juga nanti, di sini kadang ganas, bisa sampe 13 derajat," lanjutnya sambil menggesekkan ibu jarinya di jari-jari Chika.

"Sedingin itu kak?"

"Kadang," Vito beranjak melepaskan genggaman tangannya. "Ya udah saya mau ke kamar dulu, belum pakai parfum hehe," dia mengusap puncak kepala Chika lembut, kemudian pergi dari dari hadapan Chika sambil melempar senyum.

Jika Timah memiliki titik leleh 231,9°C, Emas 1064°C, Tembaga 1085°C, Titanium 1668°C, dan Wolfram 3422°C, maka titik leleh Chika adalah senyum dan perlakukan Vito barusan.

*

"Kak Lalaluv, mau apa?" tawar Zee pada Lala.

Mereka sudah di angkringan. Warung tenda pinggir jalan yang menyediakan nasi kucing, berbagai macam gorengan, dan sate-satean, memang sepertinya menjadi tempat favorit berbagai kalangan di mana pun. Harganya yang murah, suasana yang mengasikkan membuat siapapun juga betah jika sudah dihadapkan pada sosok angkringan ini.

Angkringan Caplin salah satu angkringan terbaik menurut orang-orang kecamatan ini. Sebenarnya biasa saja, sama dengan angkringan yang lainnya, hanya satu yang membedakan, tempe bakar krispinya sangat menggoda iman.

"Mau nasi berapa? Saya ambilkan," tanya Vito pada Chika setelah selesai menggelar tikar di depan ruko yang telah tutup.

"Satu cukup gak?" Vito terkekeh, ia mengacak sedikit puncak kepala Chika. Sepertinya hari-hari ke depan Chika harus terbias dengan tindakan Vito yang satu ini, toh dia juga tidak keberatan.

"Dua ya? Dikit banget kalau satu," Chika mengangguk pasrah, menyetujui usul Vito.

"Ada jahe anget gak kak?" Chika mengadah ke arah Vito. Laki-laki itu seperti tidak bosan melempar senyum pada Chika.

"Ada kok, dingin ya?" Chika mengangguk.

"Ya udah, duduk dulu. Tangannya masukin ke sweater aja biar gak kedinginnan," Vito melenggang pergi menyusul Azizi dan Lala yang sedang menunggu tempe bakar yang mereka pesan. Chika duduk sendirian di tikar yang barusan ia dan Vito gelar. Manik matanya tak mau ia lepaskan dari punggung tegap milik Vito. Laki-laki itu kini sedang sibuk memindahkan lauk dari nampan ke piring kecil yang ia pegang.

Diamnya mereka tadi sore di meja makan, ternyata mampu mengubah semua begitu cepat. Semua? Belum! Hanya sebagian besar. Sebagian besar itu seberapa? Chika juga masih menimang-nimang semuanya.

Suhu malam ini mungkin memang dingin. Sweaterpun dirasa kurang untuk mencegah hawa dingin yang terus memberontak untuk masuk menyapa kulit-kulit anak manusia. Chika pun menarik telapak tangannya masuk ke dalam lengan sweater putihnya sesuai perintah Vito tadi.

"Diliatin mulu. Kagak ilang kagak, takut amat Vit," tegur Lala saat memerhatikan Vito berulangkali menghadap belakang melihat sosok anak manusia yang sedang duduk sendiri di sana.

"Kasian dia, La. Kedinginan," jawab Vito. Ia lepaskan pandangannya pada Chika dan menoleh pada Lala yang tersenyum penuh arti di sana.

"Ya udah ih, buru ke sana, di peluk gini," titah Lala yang kemudian memeluk Zee yang ada di sampingnya dengan erat.

"Da pa nehhh pelak peluk?" Azizi yang tadi terlalu fokus melihat proses tempe dibakar, tidak mengacuhkan pembicaraan dua orang tua ini.

"Ishh," Lala memukul lengan Zee. "Jadi gak mau aku peluk?" rajukya sambil memajukan bibir bawah. Demi apapun, Lala yang sedang merajuk seperti ini terlihat tambah lucu. Sampai Zee lupa kalau perempuan ini lebih tua darinya.

"Kalau manyun-manyun jangan di sini dong sayang, susah kalau mau cium," bisik Zee dan mampu membuat pipi Lala memanas. Vito hanya menggeleg-gelengkan kepalanya melihat kedua orang itu berinteraksi. Melihat mereka yang saling mencinta, membuat Vito merasa payah di hadapan bocah SMA ini. Jika Zee yang lebih muda darinya bisa merawat cintanya dengan Lala begitu apik, kenapa dia untuk memulai saja rasanya sulit?

"Mas, ini jahenya," Vito langsung menoleh menerima jahe yang disodorkan mas-mas penjual. Kini dia bingung membawanya bagaimana. Sedangkan dua piring di depannya begitu banyak isinya. Melihat itu Lala langsung berinisiatif mengambil satu piring yang sudah Vito pegang, hingga menyisakan gelas jahe saja di tangan Vito.

"Dah nanti biar gue sama Zee yang bawa. Kasih dulu tuh minumnya, mumpung masih panas," Vito hanya mengangguk menuruti perintah Lala.

"Grecep juga pergerakanya, syukur deh," gumam Lala setelah Vito pergi.

Vito telah duduk di samping Chika dan menyimpan jahe itu di depan Chika. Dia dengan sengaja mengikis jarak duduknya dengan gadis ini hingga bahu mereka menempel.

"Minum dulu biar angetan,"

"Iya kak, makasih ya. Nasinya mana kok bawa jahe doang?" tanya Chika heran.

"Itu nanti dibawin Lala. Dah buruan diminum, takunya keburu dingin," Chika menurut. Baru satu sesapan, tapi kehangatan telah mengalir ke tubuhnya. Dia menoleh mendapati tangan Vito yang mengapit pundaknya. Tidak hanya mengapit, telapak tangan kekar itu mulai menggosok-gosok lengan Chika, hingga menimbulkan rasa hangat di lengannya. Ralat! Seluruh tubuhnya, bahkan hingga organ tak terjamah di dalam sana.

Chika mengadah, matanya bertemu dengan manik Vito yang lagi-lagi begitu teduh Chika rasa.

"Biar anget dikit ya?" kata Vito seolah meminta izin pada Chika. Tak mungkin Chika tolak kalau izinnya di tengah tindakan seperti ini. Beda halnya jika ia izin di awal, mungkin... ah sayang jika ditolak juga.

Dengan jarak sedekat ini, Chika berharap debaran jantungnya yang kini telah menjelma menjadi arena pacuan kuda, tidak terdengar oleh Vito. Ia malah berharap bisa mendengar debaran jantung pria ini. Tapi tidak mungkin, di depan sana lumayan ramai, terlalu bising untuk terfokus pada satu suara. Terlebih detak jantung yang sangat samar itu.

"Mantapppp dah berani pelukan!" Vito langsung melepaskan rengkuhanya pada pundak Chika dan menggeser sedikit duduknya.

"Sans aja bang, gakpapa, jomblo juga ini bocah," Chika langsung melempar tatapan tajam ke arah Azizi, membuat anak itu malah tertawa.

"Sini Lalaluv-nya Azizi," Zee menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. "Kita ajarin mereka gimana caranya romantis-romantisan,"

"Najis, yang ada ilang selera makan gue," Chika bergidik jijik. Sepupunya ini memang jarang memiliki kewarasan penuh, ia rasa.

"Maklumin ajalah Chik, budak cinta ya gini. Asal sama gue aja gininya," Lala meraih dagu Zee dengan cepat mengecup dagu itu singkat, membuat Azizi membeku. Namun hanya sejenak, setelahnya...

"Hehehehhehehehe," dia gesrek sendiri.

"Lu ngapa Vit, cengengesan aja. Kalau pengen minta Chika tuh!"

"Kak! Jan ngadi-ngadi lo!" tak ada jawaban. Hanya tawa riuh yang sudah dapat dipastikan siapa yang tertawa saat ini.

*

Vito menangkup muka Chika, kali ini Chika tak sekaget seperti sebelumnya. Ia sudah lebih bisa mengontrol dirinya meskipun belum pada debaran jantungnya.

"Dingin banget muka kamu. Langsung tidur aja ya, kalau masih dingin pakai sweaternya aja buat tidur. Pakai kaos kaki juga," tangannya berpindah menyentuh tangan Chika. "Tangan kamu juga dingin gini, Chika," Chika tersenyum mendengar nada khawatir keluar dari mulut Vito. Laki-laki ini kenapa menjadi lebih cerewet sekarang?

"Wajar kali kak, kan abis kena angin juga. Gakpapa kok," katanya. Ia mengelus muka Vito mencoba menenangkan tatapan khawatir itu.

"Ya udah yuk masuk kak, udah semakin dingin," Chika berlalu terlebih dahulu meninggalkan Vito yang masih mengunci motornya.

"Chika," panggil Vito saat Chika telah diambang pintu kamarnya. Dia berjalan menghampiri gadis yang kini mendongak menatap Vito.

"Selamat tidur, jangan lupa berdoa," tangan Vito sepertinya gatal jika tidak membelai kepala gadis di depannya ini. Dia gesekkan telapak tangannya di puncak kepala Chika beberapa saat.

"Selamat tidur juga kak, jangan lupa berdoa," tandas Chika kemudian masuk meninggalkan Vito yang masih tersenyum hingga punggung itu hilang di balik pintu. 

---------------------------------------

Tau maksud sub judulnya gak? Hehe yang suka Jejepangan pasti tau!

Bosen gak ceritanya lempeng-lempeng doang? Jangan bosen lah ya, emang mau buat mereka manis-manis aja. Kasian kalau kisruh terus hehe

Makasih buat yang masih mau baca, vote, sama komen. Jujur seneng banget kalian seneng cerita gaje ini :')

Oh iya, kasih ide buat nama bapaknya Chika dong, ide buat nama aja sih hahaha, dari member ya wkkwwkwkwkw 

Kepanjangan gak sih? Kalau kepajangan next dikurangin  hehe

Sampe ketemu part selanjutnya. Jangan bosen-bosen ya!

Jaga Kesehatan!

Salam Sobat Vikuy!

Continue Reading

You'll Also Like

169K 17.7K 23
"𝙏𝙤𝙪𝙘𝙝 𝙮𝙤𝙪𝙧𝙨𝙚𝙡𝙛, 𝙜𝙞𝙧𝙡. 𝙄 𝙬𝙖𝙣𝙣𝙖 𝙨𝙚𝙚 𝙞𝙩" Mr Jeon's word lingered on my skin and ignited me. The feeling that comes when yo...
10K 185 104
Pei Yun is an iron-blooded general who makes the whole galaxy terrified. As long as her name is mentioned, even the highest interstellar admiral will...
51.6K 6.4K 41
Follow dulu lahh minimal. Terima kasih Graciella yang tengah berusaha melupakan masa lalunya yang begitu pahit untuk diingat. Apa lagi masa lalu yan...
Midun By Basilaks

Fanfiction

16.3K 1.1K 15
"Gre, kamu itu nomor 7 di hidup aku. Nomor 1-5 Pancasila, Nomor 6 keluargaku." - Nino Hamids cerita remaja menuju proses pendewasaan tahun 2008. Luma...