Rhythm Of Love

By dipraal

31.6K 2.3K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... More

Bab 1 Menerka-nerka
Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 3 Menarik
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 6 Rabu Rabu
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 9 Negoisasi Revolusi
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 15 Pemulihan Jiwa
Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada
Cerita Baru
Trivia

Bab 4 Mengaku Iya

1.5K 147 35
By dipraal

Hari kedua, Lala dan Vito memang tak mau menyianyiakan waktu, tak ingin bertele-tele mengurusi masalah survei. Karena, setelah ini pun masih banyak yang harus dipersiapkan. Seperti mengaji ulang proker yang sedikit mendapat sanggahan, mendata barang-barang apa yang harus dibutuhkan, sampai membuat beberapa properti-properti kecil untuk keperluan KKN nantinya.

Mereka –ah hanya Chika dan Vito kini sedang duduk di teras rumah kakek Vito, menunggu sarapan mereka turun dengan sempurna ke perut. Udara pagi yang segar menyeruak masuk ke dalam rongga hidung, hingga sejuknya memenuhi paru-paru di dalam sana. Meski tak terbilang desa yang jauh dari keramaian kendaraan bermotor pun pabrik, namun udara di desa ini terbilang bersih. Bahkan, sangat segar, tak kalah dengan udara di dataran tinggi sana.

Kebuh jati depan rumah kakek Vito menjadi pemandangan mereka saat ini. Lumayan rimbun, hijaunya daun membuat mata terasa dimanjakan oleh pemandangan sederhana itu. Suara nyaring dari serangga bisa terdengar jelas memekakan telinga mereka, berisik. Tapi itu lebih baik, dari pada bisingnya klakson kuda-kuda besi yang selalu membuat naiknya emosi.

"Kak, yang bunyi-bunyi itu sih serangga apa? Aku kok baru denger ya, hehe," tanya Chika membuka percakapan. Dia duduk bersama Vito di kursi panjang yang ada di teras. Sedangkan Lala dan Zee entah apa yang sedang mereka lakukan di halaman depan sana.

"Tonggeret, tapi kalau orang sini nyebutnya Garengpung. Nyaring banget ya?" Jawab Vito sambil melempar senyum ke arah Chika yang sedang memajukan kepalanya, untuk melihat pohon-pohon jati yang menjulang cukup tinggi itu.

"Banget kak, tapi seru sih, jadi gak sepi gitu," Kini giliran Chika yang menoleh dan tersenyum ke arah Vito.

Rasa hangat kembali menjalar di dada Vito bersamaan dengan mengembangnya senyum Chika. Benar-benar tak bisa lagi dielak, jika ia menyukai senyum Chika ini. Senyuman itu membuat Vito juga mengembangkan senyumnya.

"Cupu ya mereka, liat-liatan doang. Kalau aku mah dah aku gandeng gini," Zee mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Lala erat. "Elus-elus sekalian biar mantap," lanjut Zee, matanya masih terus memperhatikan bagimana dua orang itu berinteraksi, hingga membuat gemas.

"Elas elus elas elus, Vito gak bar-bar kaya kamu," Lala menoyor pelan kepala Azizi yang kini hanya hahahehe.

"Bar-bar juga sama kamu doang, beb," Tangan Azizi mengusap lembut pipi Lala. Dia menatap wajah samping Lala lembut. Pipi itu dirasanya semakin berisi, tapi Zee suka, sangat.

"Aku lagi gak pengen dengerin gombalan kamu," Lala melepaskan genggamannya. Ia beralih melingkarkan tanganya di lengan Zee, menyandarkan kepalanya di lengan yang cukup keras itu.

"Ya kalau kamu manja gini, gak bisa gombal aku. Pengenya uyel-uyel uwuwuwu," pipi Lala memang sudah menjadi target kekerasan Zee. Tak pernah tanggung mencubit, menarik, bahkan pernah digigit saking gemasnya.

"Sayang kamu banget ih," Zee mengecup puncak kepala Lala. Anak ini memang tak pernah menggubris omogan orang yang aneh-aneh. Dia tak peduli terhadap pandangan orang yang menganggap hubungannya dengan Lala ini tak wajar. Yang terpenting bagi Azizi sekarang bagaimana dia bisa membuat hubungan ini menyenangkan, syukur-syukur sampai jenjang pernikahan. Kadang, mereka yang memandang aneh hubungan seperti Lala Zee, memang harus diberi paham, kalau manusia itu tak bisa memilih kepada siapa akan jatuh cinta. Toh hanya perbedaan umur, masalahnya di mana?

"Yuk sekarang," dengan reflek Vito meraih tangan Chika untuk digandengnya. Chika terdiam, menatap Vito yang sepertinya belum sadar.

Merasa tak ada pergerakan dari Chika, Vito menoleh, mengerutkan dahinya. Ia mengikuti arah pandang Chika. Dia tersentak melihat jarinya menelusup ke sela-sela jari Chika. Dengan sekali hentakan, ia pun melepaskan genggamannya.

"Eh, maaf maaf," Vito tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya yang sudah dipastikan tidak gatal itu. Chika hanya membalasnya dengan senyum canggung. Ia menjadi semakin tak paham, kenapa setiap kulit Vito menyentuh dirinya, membuatnya tertegun. Membuat dadanya tersentak dengan rasa hangat yang tiba-tiba mencuat. Chika benar-benar tak paham.

*

Sepanjang jalan, tak ada yang tak ditanyakan oleh Chika. Gadis itu benar-benar seperti anak TK yang baru pertama kali di bawa ke kebun binatang, semua ditanyakan. Namun, tak ada rasa lelah untuk Vito menjawabnya, dia malah bahagia bisa mendengar suara Chika. Bahkan, dam-diam dia merekam suara Chika di dalam memori kepalanya. Suara yang mungkin nanti akan menjadi lantunan favorit Vito, mungkin.

Berulang kali, Chika mengeratkan pengangannya di kaos Vito saat motor melewati jalan yang kurang bersahabat. Hanya pada kaos lah dia memasarahkan keamanan dirinya. Melingkarkan tangannya di perut Vito seperti yang di lakukan Lala ke Zee? Jelas tidak mungkin, dia tak seberani itu dan tak selancang itu. Vito siapa? Hanya orang yang baru dikenalnya tiga hari ini. Meskipun dalam diri ingin, ingin hanya agar semakin aman membonceng di belakang, itu saja.

"Kak, itu apa gak serem ya rumah sendirian di situ, deket pohon gede lagi. Aku aja liatnya merinding," tanya Chika saat melihat bangunan berwarna putih menyerupai rumah yang letaknya tak jauh dari jalan yang ia lewati. Hanya saja bangunan itu samping-sampingnya berupa sawah dan di dekatnya ada pohon yang lumayan besar dan terlihat lumayan mistis.

"Itu bukan rumah, Chika. Tapi kaya kali gitu di dalemnya,"

"Ha?" Chika terkejut. Dia pahamnya kali ya mengalir panjang, terbuka, tidak ada bangunan yang melindunginya. "Ihh, mata air mungkin kak maksudnya," Chika protes. Karena menurutnya tidak nalar jika itu aliran kali.

"Eh, iya itu maksudnya haha," dengan gemas, Chika memukul punggung laki-laki yang masih tertawa itu.

"Haha. Mau ke sana lihat gak? Ada macem kolam renangnya loh, tapi gak boleh buat berenang,"

"Gak ah, serem gitu kak kliatannya,"

"Emang horor hehe," mendengar kata horor, tubuh Chika langsung merinding, ia pun mengeratkan peganganya pada kaos Vito. Mereka memang sudah agak jauh, tapi saat ini mereka sedang melewati jalan yang kanan kirinya hanya kebun jati seperti kebun depan rumah kakek Vito.

"Mitosnya sih, pohon gede tadi, itu gak bisa ditebang. Tiap coba ditebang, yang keluar bukan getah, tapi darah gitu," Vito tersenyum saat ia merasakan tangan Chika melingkar dengan agresif di perutnya, punggungnya juga terasa berat.

"Terus juga, Budhe saya pernah itu, Chika, diketawain sama penghuni situ pas lewat,"

"Om saya malah ditepok pundaknya," Vito mengulum senyum. Sepertinya berhasil sedikit menakut-nakuti Chika.

"Udah ih kak, ngeri dengernya. Aku di belakang loh ini," Chika masih dengan erat memeluk Vito dari belakang. Dia terpejam, menenggelamkan wajahnya di punggung Vito.

Cukup lama ia dalam posisi itu, entah sadar atau tidak, degup jantung milik Chika yang terpacu akibat rasa takut dengan cerita Vito, perlahan kembali tenang. Agak samar, tapi cukup terdengar detak jantung Vito itu di telinga Chika. Bahkan, dia mengerjap beberapa kali sebelum menarik kepalanya.

Kembali, ada rasa hangat yang menjalar menyengat rongga dadanya. Kali ini begitu nyata, begitu terasa. Entah apa yang ingin Tuhan tunjukkan lagi ke Chika, angin yang tadi Chika abaikan, tiba-tiba menusuk indra penciumannya dengan membawa bau parfum Vito. Aroma mint dan citrus secara bersamaan menyeruak memenuhi penciuman Chika. Seperti bau ocean yang benar-benar bisa mengendurkan semua syaraf. Chika merasa tenang, benar-benar tenang dan nyaman.

"Chika?"

"Eh iya kak, gimana?" tepukan tangan Vito di lutut Chika, membuat gadis itu segera menarik kembali jiwanya yang tadi sempat melayang akibat terlalu memikirkan hal yang membuat dirinya bingung.

"Mau?" tanya Vito.

"Hah? Mau apa kak?" tanya Chika bingung. Sepertinya memang tadi dia tak mendengarkan Vito berucap.

"Ini hmm... mau coba susu murni gak? Ya gak murni-murni banget sih, udah diolah,"

"Ah, boleh. Eh tapi di mana? Perasaan keliling desa gak nemuin ada peternakan sapi kak. Padahalkan kota susukan ini?" Chika berusaha menormalkan kembali dirinya. Dia tiak ingin terlihat kaku atau salah tingkah.

"Di sini emang gak ada, Chika. Boyolali bagian sini produksinya padi. Tapi nanti kita bisa ke pasar kalau kamu mau coba,"

"Boleh kak, penasaran sama rasanya, hehe,"

"Sebenarnya gak beda sama susu murni yang dijual kemasan gitu sih, Cuma lebih seger aja menurut saya," Chika hanya manggut-manggut.

"Jam lima kita berangkat ya,"

"Atur-atur aja kak, aku ngikut hehe," jawab Chika. Vito tersenyum melihat wajah antusias itu melalui spion.

***

Vito tengkurap di atas kasur, menikmati aroma seprei yang memang baru diganti semalam. Baunya khas, sampai-sampai ia menghirupnya dalam-dalam berulang kali sambil terpejam. Benar-benar mampu membuat nyaman setelah panas-panasan keliling desa.

Dia membalik tubuhnya, menatap genting yang menjadi langit-langit kamar itu. Ada sorot cahaya yang masuk dari salah satu genting kaca di atas sana. Tidak menyilaukan, tapi cukup memberikan penerangan. Ia jadi teringat wajah Chika yang terkena sorot matahari kemarin. Kenapa gadis itu bisa dengan mudah mengusik isi kepalanya? Ia merasa ada dorongan yang begitu kuat dari dalam dirinya untuk mengenal lebih jauh gadis SMA itu.

Jika diingat, baru kali ini dia tertarik lagi dengan yang namanya wanita. Sudah cukup lama dia tak menaruh perhatian pada kaum hawa setelah ia dicampakkan begitu halus namun menyakitkan oleh mantan pacarnya dulu. Dia tak menutup hati lantaran tersakiti, tapi memang belum ada yang bisa menyentuh hatinya, hati terluar sekalipun.

Kegugupan pertama kali saat melihat mata Chika, menjadikan dirinya seolah tertarik ke dalam manik magis itu. Vito suka, Vito suka warna coklat mata Chika.

"Ngapa lo bang? Senyam-senyum, senyam-senyum," Azizi masuk, menghidupkan kipas lalu ikut merebahkan badannya di samping Vito.

"Adem ye bang, kayak mukanya Tamara?" Ucap Zee. Ada nada menggoda di sana.

"Tamara?" Vito menyirit, ia tak paham Tamara siapa yang dimaksud bocah ini.

"Chika, nama belakang dia Tamara,"

"Oh... haha iya," Jawaban Vito berhasil membuat Zee beranjak dari acara berbaringnya. Teman pacarnya ini sepertinya manusia yang tak suka basa basi, terang-terangan mengakui ucapan Zee yang jelas membuat Zee terkikik geli.

"Lo suka sama dia bang?" tanya Zee selidik. Dia memang penasaran dengan sosok Vito ini. Lala, pacarnya pernah bilang kalau orang ini kaku dan tak asik. Tapi, tidak juga, semalaman bahkan dia dan Vito berbincang cukup lama di teras bersama kakek Vito. Apa ia kaku hanya dengan perempuan, atau hanya dengan Lala yang memang sedikit galak? Zee tak paham.

"Siapa? Chika?"

"Ya kalau Kak Lala, hayuk lah bang kita baku hantam," Vito tertawa.

"Belum," Dia menggeleng, karena memang dia belum paham. Rasa suka tidak mudah datang begitu saja, mungkin saat ini Vito hanya kagum dengan Chika.

"Kenapa? Dia cakep, pinter lagi, ya walaupun sering ngeselin sih bang," kata Zee, dia masih mencoba memancing Vito. Entahlah, dia ingin sekali menjodohkan Chika, dia merasa iba dengan sepepunya itu. Ia kasian dengan Chika yang selalu melihat adegan romantis dirinya dengan Lala, tapi tak bisa melakukan hal romantis dengan pasangan. Tapi sungguh, itu hanya pikiran Azizi, Chika? dia bodoamat, tidak iri, tidak ingin juga.

"Saya gak percaya sama cinta yang datang tiba-tiba, Zee. Kalau buat sekarang, saya akui, saya kagum sama Chika," Vito mengubah posisinya, ia bangun dari acara berbaringnya dan memilih duduk di lantai.

"Dengan waktu dua hari?" Zee memastikan.

"Haha, aneh ya?" Azizi menggeleng. Dia sedikit tertawa, mendengar pertanyaan Vito. Kenapa mahasiswa semester tua ini menanyakan hal remeh temeh yang jawabannya pun bisa dipilh sendiri.

"Gak lah bang. Gue aja Cuma butuh beberapa detik buat suka sama Kak Lala, hehe," Zee turun, ikut duduk di samping Vito.

"Kamu, kenapa bisa? Ehmmm maksud saya, umur kalian," Vito agak ragu bertanya. Dia tidak enak mencampuri urusan hubungan orang. Dia kenal Lala lama, tapi dia baru kenal Zee kemarin, tidak etis sepertinya bertanya seperti ini.

"Gak usah tegang kali bang. Dah biasa gue ditanya kek gitu hehe, santai aja," Zee menepuk pundah Vito beberapa kali sebelum menjawab.

"Cinta gak mandang umur bang. Iya sih emang sering banget pikiran gue sama dia bersebrangan, jauh bahkan. Tapi gue coba buat mahamin pikiran dia, dia juga untungnya sering nurunin ego. Dari dia gue bisa paham gimana buat bersikap dewasa, dari gue dia bisa belajar... belajar apa ya? Haha ya pokonya ada deh bang yang bisa diambil dari gue," terang Zee diikuti tawa dari mereka berdua.

Vito tak habis pikir, anak kelas dua SMA bisa juga menghadapi pacarnya yang notabene memang lebih tua, lumayan jauh pula jaraknya. Dilihat secara zaman saja sudah beda, lingkungan pun, dan sudah dapat dipastikan pikiran-pikiran mereka pasti sering tak sejalan karena perbedaan angakatan. Tapi mereka bisa mengontrol itu semua, entah bagaimana.

"Bang, kata Kak Lala lo itu kaku, gak asik," Vito tersenyum. Dia melihat Zee yang sedang cengar-cengir takut Vito marah.

"Lala bilang gitu?" Zee mengangguk mantap. "Tapi gak ah, lo gak kaku gue lihat-lihat, sama Chika juga gak. Masa sama Kak Lala doang? Haha,"

"Yang bilang saya kaku gak Cuma Lala doang kok Zee haha, banyak. Bahkan dulu saya diputusin ya gara-gara saya kaku, katanya kaya mayat hidup, haha," kata Vito sambil tertawa kecil. Zee tidak paham harus ikut tertawa atau tidak, karena ia tahu itu tawa yang mengandung rasa perih.

"Jahat banget bang, gak etis sih sampai ngatain kaya gitu, kaya bocah,"

"Gapapa Zee, nyatanya gitu," kata Vito tanpa beban. Dia sepertinya juga tidak terlalu memikirkan hal itu. Biar saja, toh hanya masalalu yang tak perlu diungkit.

"Saya tertarik sama Chika, saya mau jadi orang yang hangat dan luwes di samping dia. Kalau nanti memang takdirnya jatuh cinta sama Chika, dan dia punya rasa yang sama, saya gak mau kehilangan orang yang saya sayang dengan alasan yang sama," Zee tepuk tangan mendegar ucapan Vito barusan. Dia semakin yakin untuk menjodohkan Vito dengan Chika.

"Deketinnya pelan-pelan aja bang, dia susah jatuh hati. Dia itu dah dalem banget sayang sama bokapnya, jadi dia pengen cowo yang kaya bokapnya, tau deh gak jelas banget emang bocahnya," Zee mengangkat bahunya tak acuh. Agak bingung juga dengan sepupunya itu.

"Ya bener dong dia. Cinta pertama anak perempuan 'kan emang bapaknya. Eh tapi saya gak perlu jadi bapaknya, 'kan, biar dicaintain dia?" Zee dengan lancang memukul kepala bagian belakang milik Vito. Apa Vito tak berpikir dulu sebelum mengeluarkan kata-kata itu?

"Ya lo pikir gue bakal setuju lo nikahin tante gue haha kocag yu," Vito hanya hehahehe sambil mengusap kelapa belakangnya yang masih nyut-nyutan digeplak Azizi.

"Bang, urusan KKN masih banyak?"

"Tinggal mastiin lokasi buat tanam pohon aja sih, Zee. Mau jalan-jalan?" Tanya Vito. Azizi mengangguk semangat.

"Mau pacaran hehe," Vito hanya geleng-geleng. Ia tak menanggapi lagi Azizi yang masih nglemprak di bawah sedang dia sudah naik dan berbaring lagi.

"Eh, besok saya sama Chika mau cari susu murni ke pasar, ikut?" Tanya Vito kemudian saat teringat rencanya dengan Chika.

"Lo berdua aja deh, biar ada waktu berduaan. Tapi beliin gue sama Kak Lala ya hehe,"

"Oke deh," tandas Vito yang kini sudah membuka ponselnya, melihat foto Chika yang dia ambil diam-diam kemarin. Wajah samping itu benar-benar terlihat tenang. Bagaimana mungkin dia tak tertarik dengan gadis ini. Bahkan senyum tipisnya saja terlihat begitu manis dari samping. Tuhan memang tidak main-main menciptakan Chika.

Cantik itu memang relatif, tapi cantiknya kamu itu mutlak. Saya suka lihat senyum di wajah kamu.

------

Hai Apa Kabar?  

2300+ kata kepanjangan gak? hehe 

Kasih pendapat yuk!

Dah gitu aja.

Tetep jaga kesehatan dan kebersihan ya sobat. Berdoa biar pandemi ini segera berakhir, biar kegiatan berjalan seperti semula lagi.

Terima Kasih loh buat yang masih mau baca, seneng banget saya 

Dah ah, semoga seneng ya saya apdet heheh

Salam Sobat Vikuy!

Continue Reading

You'll Also Like

1M 38.7K 90
๐—Ÿ๐—ผ๐˜ƒ๐—ถ๐—ป๐—ด ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ ๐˜„๐—ฎ๐˜€ ๐—น๐—ถ๐—ธ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๐—ณ๐—ถ๐—ฟ๐—ฒ, ๐—น๐˜‚๐—ฐ๐—ธ๐—ถ๐—น๐˜† ๐—ณ๐—ผ๐—ฟ ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ, ๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฒ๐˜€ ๐—น๐—ผ๐˜ƒ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๏ฟฝ...
19.7K 599 7
WARNING!! INI HANYA CERITA FIKSI FIKSI!! JANGAN DIBAWA KE DUNIA NYATA!!
396K 6.4K 79
A text story set place in the golden trio era! You are the it girl of Slytherin, the glue holding your deranged friend group together, the girl no...
50K 6.3K 41
Follow dulu lahh minimal. Terima kasih Graciella yang tengah berusaha melupakan masa lalunya yang begitu pahit untuk diingat. Apa lagi masa lalu yan...