Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

6 | Bu Jamilah

10.5K 959 162
By Ayyalfy

👑👑👑

Alfy

"Aku akan minta satu hal yang selama ini kamu jaga. Dan kamu juga akan mendapatkan satu hal yang selama ini aku jaga."

"Apa?"

Aku tidak paham dengan perkataannya sampai akhirnya aku melihat tatapannya jatuh ke bagian bawah wajahku. Lalu tanpa aku antisipasi bibir kami bertemu.

Ya, ciuman pertama.

Aku dan Riki sama-sama kehilangannya.

Namun sesuatu tiba-tiba menyadarkanku, lebih tepatnya sebuah tepukan pelan mendarat di bahuku. Aku terkesiap saat menyadari sosok Riki berdiri di hadapanku dengan wajah herannya.

Mataku mengerjap beberapa kali. Astaga, tadi itu aku berhalusinasi?

"Mau aku antar pulang, Al? Udah malam," ucap Riki setelahnya.

Aku menggeleng patah-patah, masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Kok bisa-bisanya aku berkhayal Riki menciumku. Sepertinya ada saraf yang putus di tempurung kepalaku.

"Aku pulang dulu, assalamu'alaikum," pamitku kemudian.

"Wa'alaikumussalam."

Baru tiga langkah aku meninggalkannya, aku kembali berbalik. Riki nampak bingung.

"Rik," panggilku pelan. "Tadi kita nggak itu, kan?" tanyaku ragu-ragu sambil menggerakkan semua jariku membentuk kerucut yang kutubruk-tubrukkan.

Riki mengulang hal yang kulakukan dengan wajah cengonya. Jelas, kami terlihat seperti orang bodoh sekarang.

👑👑👑

Semenjak di kelas dua belas, rasa-rasanya aku mulai kehilangan waktu untuk bermalas-malasan. Berbagai macam bentuk ujian sudah ada di depan mata. Tinggal menunggu saja mereka memporak-porandakan hidupku dengan sempurna. Belum lagi dengan status baruku saat ini, jomlo. Benar-benar nasib menyedihkan untuk seorang Alfy yang cantiknya tujuh turunan ini.

Lalu bagaimana dengan Riki?

Tidak perlu menunggu waktu lama, dia sudah kembali dekat dengan si Cebol Dila. Aku tidak menyangka adik kelas yang pernah melabrakku di toilet itu ternyata masih menjadi selera Riki sampai sekarang. Entah Riki tidak laku atau memang mereka ditakdirkan bersama, yang jelas aku sudah tidak peduli lagi.

Kalau dipikir-pikir, kisah asmaraku begitu buruk. Pernah ditinggal nikah lalu sekarang harus jomlo lagi padahal sempat bertunangan. Ada-ada saja memang hidup itu. Banyak cobaan. Tapi bukan hidup namanya kalau nggak banyak cobaan. Kalau sedikit, cobain namanya.

Bruuk!!

Sesuatu tiba-tiba menabrakku. Padahal aku sedang tidak melakukan apa-apa. Hanya berdiri memandangi sungai yang mengalir di bawah jembatan yang menjadi tempat berdiriku sekarang.

Aku melihat ke bawah. Seorang gadis kecil menatap es krim di tangannya yang sudah tidak berwujud karena sudah berpindah mengotori rok abu-abuku. Kepala anak itu tidak berani menghadapku. Tubuhnya bergetar.

Lantas aku berjongkok, mengangkat wajahnya yang tertunduk. Bola mata bulat yang indah langsung menyergapku. Mata anak itu sudah memerah, siap membuncahkan tangis. "Hei, gapapa, kok," ucapku seramah mungkin.

Kepala gadis kecil itu menggeleng ke kanan dan ke kiri. "Abang pasti ngomelin aku kalena nggak dengelin ucapannya yang melalang aku lali-lali di sini. Lok kakak juga kotol gala-gala aku. Habis ini aku pasti nggak dibolehin makan es klim lagi."

Aku menahan geli karena mendengar ucapan anak kecil itu. Dia cadel rupanya. "Abang kamu galak, ya?" tanyaku yang dijawab anggukan pelan olehnya.

"Siapa yang galak?"

Suara bariton tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Aku langsung menoleh, dan terkejut dengan laki-laki yang sudah berdiri di belakangku.

Aku tidak percaya kalau dunia ternyata lebih sempit dari daun kelor.

"Rara nakal, ya! Kapan Abang pernah galak?" tanya laki-laki itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Rara itu langsung bersembunyi di balik tubuhku.

"Dengan Bapak nanya kayak gitu udah nunjukin kalau Bapak galak," ucapku sambil bangun dari posisi jongkok.

Pak Rafka mengembuskan napas. "Terserah kamu aja, deh."

Aku dan Rara terkikik lalu kami berdua ber-tos ria.

"Rara dari mana aja? Baru Abang tinggal sebentar udah ngilang." Pak Rafka mencubit pelan pipi Rara dengan lembut. "Es krimnya mana? Udah habis?"

Rara dengan lugunya langsung tertunduk. "Itu... es klimnya jatuh."

"Kok bisa?"

"Bisa lah, Pak. Nggak ada yang nggak bisa di dunia ini," ucapku membela Rara.

"Termasuk jatuh cinta sama kamu?"

Pak Rafka mulai lagi. Aku memutar bola mata.

"Aku becanda, Alfy." Pak Rafka tertawa ringan.

Sejak kapan dia mengubah panggilan saya menjadi aku? Semoga telingaku salah mendengar.

"Tadi Rara nggak sengaja nabrak saya. Es krimnya jadi jatuh." Aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi kepada laki-laki yang berpenampilan santai itu. Pak Rafka tidak mengenakan kemeja dan celana bahan yang biasa terlihat saat di sekolah. Dia hanya menggunakan kaos putih yang dilapisi jaket jeans dengan bawahan celana jeans hitam. Penampilannya itu membuat Pak Rafka terlihat seperti remaja muda kebanyakan. Meskipun Pak Rafka belum tua juga, sih.

Pak Rafka manggut-manggut. Pandangannya jatuh ke rokku, menatap noda es krim yang masih terlihat di sana. "Nodanya lumayan banyak. Kamu mau tutupi dengan jaketku, Al?" tawarnya kemudian.

Tentu saja aku langsung menolak. "Makasih, Pak. Tapi saya nggak masalah kok sama nodanya."

Laki-laki itu mengumbar senyum manisnya. Lengkap dengan kedua lubang di pipinya yang dalam itu. "Kalau berubah pikiran, bilang aja ya."

Aku hanya mengangguk sekenanya.

Yang terjadi selanjutnya adalah aku mengobrol banyak dengan Rara. Kami berkenalan satu sama lain. Gadis kecil itu rupanya tidak butuh waktu lama untuk langsung akrab denganku. Kami bertukar informasi tentang warna dan makanan kesukaan masing-masing. Rara menyukai warna merah muda, warna yang paling aku benci tentunya.

Sampai aku melupakan fakta penting tentang Rara. Siapa gadis kecil itu bagi Pak Rafka? Setahuku Pak Rafka hanya memiliki satu saudara dan itu... ah, aku malas menyebutnya.

"Kak, aku mau main pelembung ail!" teriak Rara tiba-tiba dengan mata yang terus menatap ke arah tukang pelembung air yang keberadaannya tidak jauh dari kursi taman yang kami tempati.

Aku baru berniat bangun karena berinisiatif untuk membelinya namun Pak Rafka dengan cepat mencegahku. Laki-laki itu langsung bangun dari duduknya. "Biar aku aja yang belikan."

"Aku mau ikut!" Rara berteriak kesenangan, hendak menyusul Pak Rafka yang sudah lebih dulu melangkah.

"Rara, kamu tunggu aja di sana. Masa Kak Alfynya ditinggal sendiri?"

Kalimat larangan Pak Rafka tentu saja membuat Rara kontan cemberut. Aku yang melihatnya langsung angkat bicara. "Kak Alfy berani kok ditinggal sendiri. Rara ikut sama Abang aja, ya. Pilih pelembung yang paling kece!"

Wajah riang Rara langsung tertangkap retinaku. Dua manusia yang terlihat seperti ayah dan anak itu pun berjalan bergandengan tangan menuju tempat penjual pelembung air berada.

Dari kejauhan aku menatap mereka. Ada kesenangan tersendiri saat melihat mereka bersama. Bagaimana Pak Rafka berkomunikasi dan bersikap dengan anak kecil itu membuatku tersadar akan suatu hal. Laki-laki itu memiliki hal yang sama dengan kakaknya. Begitu penyayang dan memiliki hati lembut. Entah punya maksud apa Tuhan menakdirkanku bertemu dan mengenal mereka dengan dekat.

Tanpa sadar aku malah melamun. Saat tersadar, aku sudah tidak melihat Rara dan Pak Rafka yang tiba-tiba hilang dari pandangan. Mataku terus bergerak mencari mereka, namun nihil. Apa aku ditinggal sendirian begitu saja? Meski bukan masalah besar, tapi aku tetap saja merasa gelisah. Niatku yang ingin bergalau-galau ria di taman sendirian jadi teralihkan karena kehadiran mereka. Setidaknya jika memang berniat pergi, aku ingin mereka berpamitan. Meski aku sadar kalau sepertinya aku tidak sepenting itu kan bagi mereka?

Saat aku memutuskan menyerah, tiba-tiba saja bahu kananku ditepuk seseorang. Aku menoleh ke samping dan serbuan gelembung air warna-warni langsung menghantam wajahku. Beruntungnya mulutku tidak terbuka sehingga tidak ada gelembung yang tertelan. Aku tentu saja terkejut. Itu terjadi begitu tiba-tiba.

Pak Rafka yang menjadi pelakunya malah memamerkan senyum merekahnya.

"Selamat ulang tahun, Alfy!"

Aku dibuat semakin terkejut dengan ucapannya.

👑👑👑

Melihat ekspresi laki-laki yang berjalan di sampingku itu membuatku susah payah menahan tawa. Di usianya yang sudah kepala dua, cemberut dan memanyunkan bibir seperti itu terlihat sangat kekanakan sekali. Ya Allah, untung Pak Rafka ganteng. Kalau nggak, sudah pasti aku akan menghina wajah bebangkotannya itu habis-habisan.

"Sialan si Rafli! Gue dikibulin," gerutunya setengah berbisik.

Aku melotot ke arahnya. Jelas-jelas dia sedang menggendong Rara di balik punggungnya tapi begitu lepasnya berkata kasar. "Pak, nanti Rara denger," tegurku.

Pak Rafka sekilas memutar kepala untuk melihat Rara yang sudah terlelap di gendongannya. "Dia nggak bakal denger, Al. Tidurnya itu kek kebo, kamu tenang aja."

Aku tersenyum samar, gadis kecil itu memang terlihat pulas sekali tidurnya. Lelah bermain gelembung air di taman tadi, dia mengeluh ngantuk dan berakhir dalam gendongan abangnya. Ah, aku jadi teringat untuk menanyakan ini pada Pak Rafka.

"Rara itu siapanya Bapak kalau boleh tahu?" tanyaku memutus keheningan di antara kami.

Pak Rafka menoleh padaku. "Yang jelas Rara itu bukan adikku, Al. Aku cuma punya saudara laki-laki nyebelin yang namanya si Rafli Lembek itu."

Dari nada bicaranya aku tahu sekali Pak Rafka masih kesal dengan kakaknya sendiri. Siapa juga yang tidak kesal kalau habis dibohongi, kan?

"Bisa-bisanya dia bohong soal tanggal ulang tahun kamu. Dia bilang ulang tahun kamu hari ini, Al. Tanggal 15 April. Eh tahunya apa? 15 Agustus? Bikin malu aja."

Aku terkekeh mendengar ocehan kesalnya. Pak Rafka yang tadi mengucapkan selamat ulang tahun padaku langsung mengubur malunya dalam-dalam setelah kukatakan kalau aku tidak berulang tahun hari ini, tapi bulan Agustus nanti. Dia langsung mencak-mencak pada kakak kandungnya karena telah memberikan informasi yang salah.

"Bapak salah dengar kali. Mungkin Pak Rafli bilang bulan Agustus tapi Bapak dengarnya April. Bisa aja, kan?" sahutku yang entah kenapa malah terdengar seperti membela Pak Rafli.

"Kata Agustus sama April itu beda banget lho, Al. Ya kali aku sebudeg itu?" kilahnya.

"Iya, deh, iya. Pak Rafli yang salah, bukan Pak Rafka."

"Emang dia yang salah, Al! Kamu belain dia?"

Pelototan Pak Rafka yang terarah padaku membuatku terkesiap. "Eh? Kok ngegas? Becanda aja kali, Pak. Baperan banget, dih. Kayak anak SMP!"

Laki-laki itu hanya cengengesan. "Seneng banget lihat kamu udah biasa aja sebut nama si Rafli. Biasanya muka kamu langsung mendung setiap bahas dia. Udah move-on?" tanyanya.

"Emang siapa juga yang masih ingat dia?" balasku kalem.

"Wah, kalau si Rafli denger dia pasti langsung sakit liver," canda Pak Rafka membuat kami kompak tertawa.

Aku berdeham. "Btw, dia apa kabarnya, Pak? Masih jadi guru bahasa Indonesia, kan?"

Pak Rafka mengangguk. "Masih. Ngerangkap jadi guru mapel lain juga, sih. Kenapa? Tiba-tiba kangen jadi nanyain?"

Pertanyaan terakhirnya yang meledek itu membuat wajahku merengut drastis. "Ngapain kangenin laki orang? Numpuk dosa aja saya."

"Nah, itu tau. Mending kangen sama adiknya aja." Alis laki-laki itu naik turun, menggodaku seperti biasa dengan gombalan recehnya.

"Ngapain kangen? Bapak ada di samping saya sekarang," balasku yang sepertinya salah memilih kata karena laki-laki itu langsung menatapku intens.

"Berarti kalau jauh kamu bakal kangen, ya?"

Tanganku langsung mendarat di lengannya, memukulnya cukup keras. "Narsis banget, sih!"

Pak Rafli tertawa cukup keras bahkan sampai dilihat orang-orang di sekitar kami. Ah, aku bahkan lupa kalau kami sedang jalan beriringan di trotoar jalan raya besar. Aku memutuskan untuk ikut bersama Pak Rafka mengingat aku juga tidak membawa Jagurku hari ini. Laki-laki itu bilang tempat tinggal Rara tidah jauh dari lokasi taman tadi. Cukup berjalan kaki saja katanya.

"Kok ada, ya, cewek digombalin malah ngomel-ngomel bukannya tersipu?" Pak Rafka menatapku dengan sorot geli. "Kamu cewek bukan sih, Al? Ngelihat sikap kamu aku jadi ragu."

Laki-laki itu tertawa lagi. Aku memutar bola mata jengah. "Bapak nggak tahu aja di balik jilbab saya ini saya menyimpan kehidupan yang begitu kelam. Bapak nggak takut dekat-dekat sama saya? Akhir-akhir ini kan banyak cowok gay yang nyamar jadi cewek buat nipu cowok-cowok biar kepincut sama mereka. Nggak ada yang tahu kan kalau saya adalah bagian dari mereka?" tanyaku dengan nada seserius mungkin.

"Oh, jadi ternyata kamu banci, Al?" Pak Rafka malah menyahuti dengan candaan. Dia bahkan sudah tertawa lagi. "Kok aku kecewa ya dengernya?"

Aku memanyunkan bibir. "Ih, nyebelin banget, sih!"

"Ya lagian kamu ada-ada aja. Dikira aku bakal percaya kalau cewek yang cantiknya natural gini seorang banci? Mungkin aku bisa percaya kalau yang ngomong Bu Jamilah, penjual seblak di kantin sekolah itu."

Bu Jamilah yang lengannya berotot besar dan suaranya yang nge-bas itu? Kok Pak Rafka kenal juga, sih? "Bapak kenal Bu Jamilah?" tanyaku tak percaya.

Kepala laki-laki itu mengangguk. "Kenal, dong. Bukan penghuni SMA Yapita kalau nggak kenal Bu Jamilah, penjual seblak termaco se-Asia Tenggara."

Julukan maco yang Pak Rafka sebut membuatku kontan tertawa.

"Mana tahu kan kalau nama Bu Jamilah itu aslinya adalah Jamal? Aku yakin banget, Al, kalau dia itu emak jadi-jadian."

Jamal katanya? Yang benar saja. "Eh, jangan salah, Pak. Dia udah punya empat anak sama dua cucu, lho."

Pak Rafka terlihat berpikir keras. "Kita belum bisa mastiin sebelum lihat suaminya Bu Jamilah. Bisa aja suaminya jadi-jadian juga, kan?"

"Sembarangan!" Aku menepuk lengan Pak Rafka. "Suaminya itu Pak Enjun tau! Satpam sekolah kita."

Kami pun tertawa. Mata Pak Rafka bahkan sampai berair karena tertawa. Aku saja sampai memegangi perut yang langsung terasa kram.

"Mereka tertukar kayaknya, deh, Al. Bu Jamilah yang lebih pas jadi satpam ketimbang suaminya."

"Terus Pak Enjun jualan seblak gitu?"

"Absolutely!"

Kami tertawa lagi sampai tidak sadar kaki kami sudah membawa kami ke tempat tujuan.

Pak Rafka menghentikan langkahnya. Dia menatapku yang sedang termangu melihat bangunan di depanku. "Kita sudah sampai, Al. Dan sepertinya kamu langsung paham siapa Rara buat aku."

PANTI ASUHAN RINDU KASIH

Yang aku tahu setelah membaca tulisan di atas pagar bangunan itu adalah bahwa aku dan Rara memiliki nasib yang sama.

Kami sama-sama anak panti asuhan.

👑👑👑

Rafka

Ada yang berbeda dari gadis itu ketika kami sampai di panti asuhan tempat Rara tinggal.

Gue merasa senyumnya nggak selepas saat kami membicarakan Bu Jamilah, tukang seblak paling maco se-Asia Tenggara. Gue sadar dia sedang menahan kegelisahan yang entah apa gue nggak tahu. Sempat gue berpikir Alfy tidak suka tempat ini, tapi itu tidak mungkin mengingat betapa sukanya dia bermain dengan anak-anak. Itu bisa terlihat saat dia welcome berkenalan dengan anak-anak di panti ini.

Omong-omong, gue tahu panti ini karena Rara. Lebih tepatnya karena tragedi setahun lalu dimana gue dan gadis kecil itu bertemu. Waktu itu gue nggak sengaja melihatnya berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggir trotoar jalan sendirian. Berbekal es krim yang gue beli di sebuah mini market, gue menghampirinya dan mengajaknya bicara. Awalnya dia segan dan takut sama gue, tapi bakat merayu gue nggak bisa diremehkan. Rara akhirnya nyaman mengobrol dengan gue yang membuat gue tahu alasan dia sendirian di tempat itu. Dia bilang kakak-kakak pantinya meninggalkannya sendiri karena Rara terus merengek minta dibelikan es krim. Singkat cerita gue mengantarkannya pulang ke panti asuhan tempat dia tinggal. Penghuni panti sangat ramah, gue senang berada di sana dan mulai sering mengunjungi mereka. Terkhusus Rara, kami menjadi teman baik selayaknya adik dan abang hingga hubungan dekat itu berlangsung sampai sekarang.

"Bang Rafka, Nina nangis diledek Satria, Bang!"

Gue sudah terbiasa dengan aduan seperti yang gue dengar barusan. Semua penghuni panti ini menganggap gue sebagai kakak laki-laki mereka. Dan... ya, mereka semua gue anggap sebagai adik-adik gue.

Karena panggilan dari Rio tadi, gue pun bangkit dari kursi teras panti dan berjalan menghampiri Nina yang sudah menangis tersedu-sedu dikelilingi anak-anak yang lain. Di sana ternyata sudah ada Alfy yang memeluk Nina dan mencoba membujuk anak itu dengan janjinya yang akan memukul Satria nanti. Tanpa sadar gue tersenyum melihatnya.

"Ayo bubar-bubar! Nina bukan topeng monyet yang harus kalian tonton!" Gue membubarkan mereka semua dan berhasil membuat mereka menyebar ke berbagai tempat. Kembali sibuk dengan kegiatan main masing-masing. Biasanya sore hari adalah agenda mereka bermain di pelataran panti yang memang cukup luas.

Entah hal lain apa yang dilakukan Alfy, Nina sudah berhenti menangis dan kembali bermain dengan bonekanya bersama anak-anak lain. Sekarang sosok cantiknya yang masih berseragam putih abu-abu itu menghampiri gue dan langsung menyapa dengan pukulan yang bersarang di lengan gue.

Gue meringis, menatapnya protes. "Hobi banget pukul-pukul, sih? Belum nikah aja udah KDRT gimana kalau udah nikah coba?"

Dia langsung melotot. "Bapak tuh ya emang nggak ada filter mulutnya. Bapak nggak sadar, ya, Nina tuh nangis lagi gara-gara Bapak sebut dia topeng monyet!"

Lah?

"Kapan aku bilang gitu, Al?" tanya gue membela diri. "Tadi tuh aku bilang, "Nina bukan topeng monyet yang harus kalian tonton", dimana letak aku bilang dia topeng monyet coba?"

"Sama aja itu. Gara-gara omongan Bapak, Nina jadi nangis lagi!"

Ya ampun, gue lupa satu hal. Cewek selalu benar. "Iya-iya terserah kamu. Cowok emang selalu salah," pasrah gue pada akhirnya.

"Emang Bapak yang salah!"

Nah, kan. Percuma berdebat dengan perempuan. Apa lagi ini Alfy, sosok cewek yang nggak ada jaim-jaimnya. Jati diri gue sebagai guru sudah nggak ada nilainya lagi di mata dia.

"Jangan marah-marah gitu, kamu jadi makin cantik."

"Gombalannya nggak mempan!" Setelah berkata dengan ketus, Alfy langsung meninggalkan gue dan kembali bermain dengan anak-anak.

Di tempat gue berdiri, gue terperangah. Kenapa susah banget bikin dia luluh?

"Hayo ngapain?" Gue terkejut karena seseorang tiba-tiba menjewer telinga gue. Saat menoleh, sosok Bu Rahma-pemilik panti-sudah mendelik ke arah gue.

Gue meringis, memegangi telinga. "Aduh, kenapa sih cewek selalu suka melakukan kekerasan?"

"Cowok juga kenapa suka jelalatan?" sahut Bu Rahma masih menjewer gue. Dia melihat ke arah Alfy sekilas, lalu melihat gue dengan tatapan menyudutkan. "Cewek mana lagi yang kamu bawa? Sekarang malah jadi pedofil dengan bawa anak sekolah?"

"Bu, Rafka bukan pedofil. Rafka juga masih muda, belum jadi om-om!" Gue bernapas lega ketika akhirnya Bu Rahma menjauhkan tangannya dari telinga gue. "Lagian Rafka nggak pernah ajak cewek ke sini. Alfy yang pertama, Bu."

"Iya. Tapi semua mantan-mantan kamu selalu ke sini setelah kamu putusin mereka dan menghilang. Entah dari mana cewek-cewek itu tahu alamat panti ini."

"Cewek tuh kalau abis diputusin radarnya kenceng, Bu. Rafka sembunyi di lubang semut juga mereka bisa tahu."

Bu Rahma yang sudah berumur kepala empat itu memukul pipi gue pelan. "Makanya jangan suka mainin perempuan, Raf. Kamu itu sudah dewasa, nggak pantas main-main lagi."

Gue hanya cengengesan. Setidaknya saran Bu Rahma sudah gue patuhi selama dua bulan belakangan ini. Gue sudah berhenti gonta-ganti pacar semenjak penasaran dengan Alfy. Sekarang gue malah berniat memacari cewek itu. Tapi, gue belum siap kena damprat kakak gue.

"Tapi, dia kelihatan beda, Raf, dari mainan-mainan kamu sebelumnya. Siapa namanya?" tanya Bu Rahma, kami memandangi Alfy saat ini.

"Alfy, Bu. Nama panjangnya Rafka lupa, kepanjangan soalnya."

"Kelihatan seperti anak baik-baik, dia juga suka sama anak-anak. Berjilbab pula."

Pujian Bu Rahma untuk Alfy malah membuat gue yang merasa bangga. Itu artinya gue nggak salah pilih cewek kali ini. "Dan cantik, Bu. Jangan lupa," tambah gue membuat Bu Rahma mendelik.

Saat sedang diperhatikan, Alfy ternyata menyadari hal tersebut. Gue langsung memberikan kode agar dia mendekat. Dia pun langsung meninggalkan anak-anak di sana, lalu berjalan ke arah gue dan Bu Rahma berada. Dengan sopan, dia menyalami tangan Bu Rahma dan sama sekali tidak menatap gue.

"Maaf, ya, Ibu baru nemuin kamu. Tadi ada urusan di dalam. Sama Rafka ke sini?"

Lalu, keberadaan gue benar-benar tidak dianggap oleh mereka. Mereka sibuk mengobrol dan gue pun memutuskan menjauh dari sana. Memutuskan bermain kelereng dengan Satria and the geng.

Di tengah-tengah permainan, Satria tiba-tiba menyeletuk.

"Kak Alfy cantik ya, Bang?"

Gue memukul kepala bocah itu, tidak kencang tentunya. "Punya Abang tuh. Nggak boleh dilirik-lirik!"

"Dih, pelit. Di badan Kak Alfy nggak ada tuh tulisan "Punya Bang Rafka", jadi Satria bebaslah lihatin Kak Alfy. Lagian Kak Alfy tuh baik, dia nggak masalah dilihatin juga."

Bocah kampret. Lihat, dia sekarang menjulurkan lidahnya pada gue lalu melenggang ke arah Alfy. Bisa-bisanya dia cari perhatian di depan calon masa depan gue. Dia sedang mengeluhkan tangannya yang tergores. Entah dari mana dia mendapatkan luka itu. Drama sekali. Cih!

Usai berdrama dan berhasil mendapat bonus hansaplas di tangannya, Satria melangkah bangga ke arah gue. Dengan pongahnya dia memamerkan hansaplas hasil kerja tangan Alfy pada gue.

"Abang kalah. 1-0."

Sialan.

Gue mencari cara. Enaknya pakai benda apa untuk membuat tangan gue berdarah?

👑👑👑

"Bu, saya boleh tanya?" Alfy tampak terlihat ragu.

"Tanya aja, Alfy. Jangan sungkan."

"Itu ... apa 17 tahun yang lalu ada bayi perempuan yang dititipkan di sini?"

Bayi? 17 tahun yang lalu? Gue tanpa sadar langsung menghampiri Alfy dan Bu Rahma yang masih berbincang itu. Keduanya terlihat bingung dengan kehadiran gue yang tiba-tiba.

"Kenapa kamu nanya gitu, Al?" tanya gue langsung pada Alfy. Dia terlihat gelagapan. "Apa yang sedang kalian bicarakan?

Keduanya sama-sama tidak menjawab. Alfy sendiri malah beralih melihat ke arah tangan gue.

"Pak, tangan Bapak berdarah."

Gue tersenyum iblis dalam hati. Mampus lu, Satria. Dia pikir cuma dia aja yang bisa dapatin perhatian Alfy?

Skor 1 sama.

👑👑👑

HALOOO!
Akhirnya, setelah berabad-abad lamanya Ayy bisa up Princess Sastra juga:)
Tentunya setelah banyak mendapat teror di Whatsapp, Instagram, DM Wattpad

Maapin Ayy yang moody ini ya:*
Jadi penyebab klean nunggu up kelamaan

Tapi terima kasih buanyaaak untuk yang setia membaca Princess Sastra sanpai sekarang, Ayy sayang klean:*

Penulis ngangenin

Ayyalfy

Continue Reading

You'll Also Like

6.6K 418 16
Kehidupan yang terombang-ambing bagai ombak air laut. Menerima kekecewaan yang tak pernah usai, selalu mendapat harapan palsu yang sebenarnya memuakk...
130K 12.4K 42
Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya...
1M 81.2K 49
Sebuah perjodohan yang membuat Alvian dan Adiva harus terikat hubungan pernikahan tidak berjalan mulus. Faktanya, Alvian sama sekali tidak menyetujui...
3.1K 639 38
πŸ’œLavenderWriters Project Season 06πŸ’œ ||Kelompok 04|| #Tema; Past Time β€’Ketua : Amanda β€’Wakil Ketua : Tiara --- Orang bilang senyumnya indah, tatapan...