Rhythm Of Love

By dipraal

33.2K 2.4K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... More

Bab 1 Menerka-nerka
Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 4 Mengaku Iya
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 6 Rabu Rabu
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 9 Negoisasi Revolusi
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 15 Pemulihan Jiwa
Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada
Cerita Baru
Trivia

Bab 3 Menarik

1.7K 156 29
By dipraal

Mereka telah sampai di depan rumah joglo milik kakek Vito. Cukup besar, bahkan bisa dikatakan rumah paling besar dan terlihat wah dari beberapa rumah yang mereka lewati. Kayu jati mendominasi bangunan rumah itu. Ukiran-ukiran yang ada di pintu, jendela, dan sebagian dinding, membuat tiga orang yang mengekor Vito di belakang lumayan terkagum. Ternyata masih ada rumah seperti ini.

Seperti rumah joglo pada umumnya, saat masuk, ruang depan itu cukup luas, ah bahkan luas, seperti lapangan futsal. Tidak ada bilik kamar di sana, hanya ada meja kursi yang sudah dapat dipastikan itu adalah meja kursi untuk tamu. Beberapa pajangan lukisan dan foto-foto keluarga. Lampu gantung yang cukup besar menambah kesan mewah rumah ini. Sepertinya kakek Vito bukan orang sembarangan di sini.

Baru ketika mereka melewati pintu lagi, di sana baru terlihat ada bilik-bilik kamar, televisi, dan perkakas rumah tangga seperti biasa. Lala dan Chika telah merebahkan diri di kamar yang Vito tunjukan tadi. Perjalanan 9 jam cukup berhasil membuat punggung mereka kaku.

"Gede banget ya kak rumahnya," celetuk Chika dengan mata terpejam.

"Kayanya emang modelannya gini semua deh Chik rumah joglo tuh. Lo gak pernah ke anjungan Jawa Tengah yang ada di Taman Mini? Kek gini juga tau,"

"Pernah sih, tapi keren loh kak, kayu jati semua ini mahalll," kata Chika sambil bangun dari rebahannya. Dia masih saja terkagum-kagum dengan rumah kakek Vito.

"Sok tau banget lo, emang iya ini kayu jati?" Lala ikut duduk.

"Tadi Kak Vito yang cerita di kereta," jawab Chika santai. Lala menoleh cepat.

"Lo ngobrol banyak?" tanya Lala selidik. Chika mengangguk.

"Lo salah ah, Kak Vito asik kok orangnya, gak kaku. Cuma ya ngomongnya aja yang formal," Lala malah tertawa mendengar penyataan Chika barusan. Sepahamnya Vito itu memang kaku, jarang mengobrol banyak, apalagi sampai bercerita tentang rumah kakeknya yang dari kayu jati. Sekalinya ngobrol, pasti tentang kuliah atau akhir-akhir ini tentang proker.

Mereka sudah kenal lama dari semester dua semenjak sama-sama ikut klub Jurnalistik fakultas. Satu divisi, sering rapat bareng, ke mana-mana bareng, tapi yaa sependek Lala kenal Vito, benar-benar jarang Vito cerita. Cerita panjang lebar pasti seputaran jurnalisme, membosankan. Tapi, jika Chika berkata begitu, hmmm.

"Cinta itu datengnya sering tiba-tiba loh, Chik,"

"Hah?! Ngapa lo tiba-tiba ngomong gitu? Gak ada korelasinya sama omongan kita deh, ngaco!" Chika mendorong tubuh Lala. Dia malah cekikikan, paham betul jika membahas cinta, si Chika ini agak males.

"Ya gakpapa, gue Cuma memperingati. Dah ah, gue mau mandi," Lala bangkit, membuka kopornya mengambil handuk. Kemudian keluar meninggalkan Chika yang kembali merebahkan tubuhnya.

Isi tempurung kepalanya sedikit terusik dengan ucapan Lala. Dia tak pernah percaya cinta itu datang tiba-tiba. Bahkan pepatah jawa pun mengatakan witing tresna jalaran saka kulina, pohon cinta ada karena terbiasa, "Karena terbiasa". Pandangan pertama itu hanyalah pandangan kekaguman, bukan cinta, itu yang Chika percaya. Tapi?

"Apa iya ya?" dia memegang dadanya. Merasakan detaknya yang berarturan. Pikirannya terlempar ke insiden tadi, insiden saat rongga dadanya terpacu dengan cepat hingga timbul rasa hangat.

***

Pagi ini, mereka berempat sudah bersiap untuk pergi ke kantor desa. Mengutarakan hajat Vito dan Lala, menindak lanjuti untuk menjelaskan program kerja yang telah mereka tuliskan di proposal. Lala dan Vito berpakaian cukup formal, mereka terlihat sibuk membaca kembali program kerja mereka. Sebenarnya agak susah kalau hanya berdua yang menjelaskan setiap program kerja, karena setiap program kerja, penanggung jawabnya beda-beda, tidak hanya Vito dan Lala.

Tapi Vito paham, tak semua anggota kelompoknya adalah orang yang berada. Dia tidak tega memaksa mereka untuk turut. Ongkos bolak-balik mungkin bagi Vito dan Lala bukanlah apa-apa, tapi bagi mereka anak rantau yang bahkan makan saja kadang dirapel, uang PP Jakarta-Solo bisa mereka gunakan untuk hidup beberapa hari. Belum lagi mereka harus serba hemat, menabung untuk modal KKN. KKN itu tidak murah, meski sebagian proker mungkin ada yang dibantu pihak kampus. Tapi jujur, KKN itu benar-benar menguras uang tabungan. Mencari sponsor tidaklah mudah, mereka mau membiayai jika program kerja kita benar-benar jelas dan menghasilkan keuntungan.

Saat ini kelompok mereka masih dalam tahap memasukan proposal ke dinas lingkungan hidup yang ada di Boyolali untuk membantu mereka menyediakan bibit pohon yang nantinya akan digunakan untuk tanam pohon bersama. Setidaknya jika itu tembus, mereka bisa menghemat pengeluaran.

"Nanti biar saya yang jelasin bagian UMKMnya ya, La,"

"Iya, lo yang lebih paham, gue yang proker kecil-kecil aja. Susah sih ya Cuma berdua gini," Lala sedikit menghembuskan nafas beratnya. Dia masih membolak-balik copyan proposal mereka.

"Kok gak ikut semua sih kak anggotanya?" Kali ini Chika yang melempar pertanyaan. Dia memang masih dibingungkan akan hal itu. Melihat Vito dan Lala ribet seperti ini mendorong keingintahuannya lebih besar.

"Kasian diongkos, Chik. Selain gue sama Vito, mereka anak rantau semua. Biar aja duitnya ditabung buat persiapan KKN. Lagian gue juga gak keberatan, Cuma emang agak ribet haha," jawab Lala yang hanya diangguki Chika. Pertanyaannya terjawab, memang ya, finansial itu rumit.

"Ututu kasian tembemnya Azizi. Sini aku bantuin bawa tasnya," Zee mencubit gemas pipi berisi milik Lala itu, lantas menyambar tas Lala dan minyimpannya di punggung.

"Maaciw bayiku," Lala mengecup pipi Zee singkat. Membuat Chika yang melihatnya bergidik sambil memberikan gestur muntah jijik. Vito hanya tersenyum menyaksikan interaksi Lala dan Zee. Ia tak habis pikir, Lala yang menurutnya galak itu bisa bertekuk lutut dengan cinta anak kelas dua SMA.

"Masih pagi elah, sarapan gue juga masih nyangkut ini di tenggorokan," kata Chika sewot.

"Jomblo sih ya, gak bakal paham," cemooh Lala. Sebelum mendapat hardikan dari Chika, ia buru-buru menggandeng Zee untuk keluar. Vito melihat Chika yang menggerutu di sampingnya. Benar-benar tak habis pikir, ternyata benar dia belum memiliki kekasih.

*

Vito terus melirik Chika dari kaca sepion. Gadis yang duduk di belakang itu, tengah terkesima dengan hamparan sawah yang begitu luas. Sesekali ia merentangkan tangannya, membiarkan angin menerpa dirinya. Vitopun sengaja memperlambat motornya, membiarkan Chika menikmati angin sawah ini.

Garis bibir Chika melengkung ke atas dengan sempurna, seperti oase di tengah gurun, menyejukkan sekaligus mengobati penatnya otak Vito setelah menjelaskan program kerja dengan cukup panjang. Sanggahan, perdebatan, serta ribut-ribut kecil tadi, cukup menguras tenaga. Ia tak menyangka, memperhatikan senyum Chika, efeknya cukup besar untuk mengembalikan tenaga.

"Mau foto-foto?" tawar Vito, ia melirik Chika sekilas di spionnya.

"Gapapa kak?" Vito terkekeh, jelas tidak apa-apa, toh hanya berfoto. Orang kota memang selalu terkagum dengan hamparan sawah, begitupun sebaliknya, orang desa yang ke kota juga akan terheran-heran melihat gedung-gedung pencakar langit.

Dia menghentikan motornya di tepian jalan sawah itu. Beruntung, langit tak terlalu bersih siang ini, sehingga tak terlalu terik. Chika memberikan ponselnya ke Vito, lalu dia berpose membelakangi hamparan sawah.

Gadis itu bak foto model, tidak kehabisan gaya. Vito hanya senyum-senyum, entah sudah berapa puluh foto yang ia ambil. Asik berpose, Chika bahkan tidak memeriksa apakah hasil jepretan Vito bagus atau tidak. Vito sendiri pun juga tidak yakin hasilnya akan sesuai dengan ekspektasi Chika.

Vito menurunkan ponsel Chika, saat gadis itu terdiam merentangkan tangannya berbalik memunggungi Vito. Gadis itu seolah sedang memberi isyarat, membiarkan angin membasuh seluruh tubuhnya. Dingin, seperti angin tanda hujan yang terpaannya cukup membuat rambut Chika sedikit berantakan.

Manik mata Vito seolah dikunci oleh punggung itu. Dia melangkahkan kakinya mendekati Chika. Tangan Chika telah turun, namun matanya masih terpejam. Vito meneguk ludahnya susah payah saat angin dengan kurang ajarnya menyibak rambut yang menutupi tengkuk Chika. Darahnya berdesir.

"Kak fotoin," Vito gelagapan. Ternyata Chika menyadari dirinya tengah berdiri di sampingnya. Buru-buru ia mengarahkan ponsel Chika untuk mengambil gambar sesuai permintaan Chika. Tapi kini, Vito ikut membuka ponselnya, mengambil satu pose saat mata Chika terpejam.

"Cantik," lirih Vito saat memeriksa hasil jepretan terakhirnya.

"Apa kak?" Chika menoleh dengan cepat. Bukan dia tidak dengar, suara lirih itu bagaimapun tetap terdengar dengan jarak sedekat ini. Pujian Vito... dia hanya ingin memastikannya.

"Cantik," Vito menunjukkan foto wajah samping Chika kepada pemiliknya. Layaknya perempuan kebanyakan, dipuji seperti itu wajahnya langsung terasa panas. Chika malu.

"Hehe, makasih ya kak," dia masih tersipu, sampai-sampai mengalihkan wajahnya agar Vito tak melihat semburat merah yang mungkin telah merubah warna pipinya.

"Pacaran terosss!!!" Triakan itu membuat Chika dan Vito membalikan tubuhnya. Mereka mendapati Azizi dan Lala yang cekikikan di atas motor yang dilajukan perlahan. Mereka berhenti namun tidak turun.

"Berkaca pada kaca ya!"

"Wah...! Beneran pacaran, sayang," Azizi menimpali dan masih terus cekikikan di atas motor. Lala turun, ia menghampiri Chika dan Vito. Tanpa babibu, ia menarik ponsel Chika. Begitu cepat hingga tak sempat Chika mengelak.

"Gue fotoin. Pw lo masih sama?" tanya Lala.

"Gegayaan banget sih dikasih pw, pacar aja gak punya," ejek Zee yang masih pada posisi yang sama. Chika melotot hendak melangkah memukul kepala sepupunya itu, namun Lala segera mendorong bahu Chika agar mendekat ke arah Vito. Mau tak mau mereka pose apa adanya.

Lala berdecak kesal. Berulang kali ia mengarahkan mereka agar tidak kaku atau canggung. Chika juga bingung, harus bergaya seperti apa melihat Vito juga kaku sekali untuk berpose.

"Jangan kek Arca deh, enjoy," Lala kembali mengarahkan mereka.

"Deketan Chika!"

"Rangkul elah bang! Ga ada yang bakal marah,"

Entah apa yang ingin dua orang itu perbuat, Chika dan Vito nurut-nurut aja. Chika agak jengkel sebenarnya, melihat perangai jahil dari muka Zee. Tapi ia tidak enak dengan Vito, dia takut dianggap tidak sopan menolak foto dengannya. Ah, padahal dia bisa saja menolak, bukan Vito ini yang meminta. Dia heran, Vito juga iya-iya aja di 'stir' Lala. Laki-laki ini polos atau apa, hmmm.

Vito menangkap dengan baik perintah Azizi. Dia mengapit pundak Chika, hingga tak membiarkan ada jarak. Chika agak terkejut, hingga ia mendongak ke arah Vito. Lala pun tak menyianyikan pose ini, dia ambil berulang kali.

"Eh maaf, kaget ya?" Chika menggeleng, kemudian berusaha berpose se-enjoy mungkin. Dia sedikit melirik tangan kekar milik Vito yang mengapit bahunya cukup erat. Sungguh demi apapun, Chika bukan kaget karena tiba-tiba Vito menarik bahunya. Tapi, entah Chika tidak paham juga, bersamaan dengan menempelnya tengan kekar itu, tiba-tiba ada yang menyengat ke dalam dadanya sana.

Lala dan Zee tertawa bahagia melihat kecanggungan antara Chika dan Vito. Lucu kalau dilihat-lihat muka kedua orang itu.

"Gak usah dicomblangin, juga udah gencer itu si Bang Vito mepet Tamara. Padahal baru dua hari kenal," celetuk Zee saat melihat-lihat hasil foto Lala. Dia mengeluarkan ponsel, membuka galeri, menunjukan salah satu foto yang ia ambil di kereta kemarin. Foto saat Chika yang tertidur di dada Vito dan tangan Vito yang mungkin tanpa sadar merengkuh tubuh Chika dengan erat.

"MANTAP VITO!" Lala memekik bangga sambil mengacungkan jempolnya. Sedangkan Vito dan Chika yang berjalan ke arah Lala menatapnya penuh tanya.

"Sawan lo kak? Montap mantap,"

"Saya mantap apanya, La? Gantengnya?" Pernyataan Vito sontak membuat tawa mereka pecah, tak terkecuali Chika. Dengan alis dinaik-naikkan dan gaya sok keren khas cowo kegantengan membuat mereka benar-benar tak kuat untuk tidak tertawa. Lala yang kaget akan celetukan Vito yang tak biasa itu pun sampai harus menyeka air mata yang keluar di sudut-sudut matanya.

"Anjay... bisa lawak juga lo ya bang, haduhh haduhh keras perut gue," Zee memegangi perutnya, tak paham lagi.

"Chik, lo pake pelet apa sih? Haha dua hari juga belom genep bareng sama lo, si Vito bisa kek gini. Gak nyangka gue," Lala masih mencoba untuk menghentikan tawanya. Dia masih tak menyangka Vito bisa konyol seperti itu.

"Kok gue sih?" Chika menyirit ke arah Lala

"Au ah.. pulang yok, capek nih," dengan tawa yang masih tersisa mereka mulai menaiki motornya.

"Rese lo Nabila!" Hardik Chika. Chika mencium bau-bau perjodohan dari Lala dan Zee. Biasanya dia tak acuh, tapi kali ini, sepertinya dia cukup tertarik. Apalagi, tadi dia cukup terkejut Vito memiliki tingkat percaya diri yang cukup berbahaya.

Menarik... eh

---------------------------------

Hai...! Apa kabar? Gimana part kali ini? hehe kasih pendapat ya Sobat, biar bisa saya perbaiki heheh. 

Oh iya saya mau tanya serius, beneran serius, tolong dijawab. 

Di antara kalian adakah yang baca lapak sebelah saya? Ada yang udah baca postingan terakhir saya yang "Bimbingan" ? Yang udah baca saya mau tanya dong. Menurut kalian itu fulgar gak? Kalau fulgar mau saya hapus aja part itu, huhu. Saya paham banget gimana bacaan itu berpengaruh ke pembacanya.

Insiden akhir-akhir ini jujur buat khawatir, saya gak mau kejadian Gracia kemarin itu keulang lagi dan lagi. Saya gak mau oshi saya dibuat pelampiasan seksual oleh orang yang ga bertanggung jawab. Karena, sekali lagi, bacaan itu berperngaruh ke pembacaanya. 

Tolong ya sobat, bijak bermedia sosial. Kita gak pernah tau, kesalahan yang kita perbuat tuh bakal kena imbas ke siapa aja. Jadi tolong, hargai dan lindungi idola kita :)

Jangan buat reputasi yang udah susah payah dibangun JKT48 rusak cuma gara-gara fans gak bertanggung jawab. Yuk dukung dedek-dedek dengan cara yang sehat :)

Jaga kesehatan jangan lupa!

Salam Sobat Vikuy!

Continue Reading

You'll Also Like

45.7K 3.9K 53
Frndshp story hai!! 7 saal pahele galat Femi main ho gaye the door dono! Kya hoga jab ayegi woh wapas apni hi nahi andaz main! Inspired by maddam si...
23.1K 1.1K 7
"Lah?! Diakan adek gua!" "What?!"
161K 11.4K 61
BOOK #2 They say love heals scars, but Seokmin's scars were lessons-bitter reminders that twisted him into a creature of darkness. His life was a ser...
295K 14.6K 95
Riven Dixon, the youngest of the Dixon brothers, the half brother of Merle and Daryl dixon was a troubled young teen with lots of anger in his body...