Rhythm Of Love

By dipraal

31.7K 2.3K 1.1K

"Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya" Yessica T... More

Bab 2 Cukup Tertarik
Bab 3 Menarik
Bab 4 Mengaku Iya
Bab 5 Menyita Perhatian
Bab 6 Rabu Rabu
Bab 7 Rhythm
Bab 8 Penawaran
Bab 9 Negoisasi Revolusi
Bab 10 Kali Pertama
Bab 11 Hati, Ego, dan Logika
Bab 12 Perihal Keresahan
Bab 13 Keberanian yang Bodoh
Bab 14 Penegasan
Bab 15 Pemulihan Jiwa
Bab 16 Pemahaman Rasa dalam Dada
Cerita Baru
Trivia

Bab 1 Menerka-nerka

5.4K 196 31
By dipraal

Selamat Membaca Sobat! :)

------------------

Semua yang mendadak memang tidak bisa begitu saja berterima, cinta sekalipun. Atau ada pengecualian untuk kata sifat yang satu itu? Nyatanya memang tak seperti yang direka adegankan dalam film atau drama. Jatuh cinta dalam pandang pertama itu hanyalah omong kosong, benar-benar kosong, karangan yang tak berdasar. Jika pun benar, kenapa dia tak merasakan itu di saat banyak pria datang menatapnya penuh dengan binar, mungkin bisa dikatakan binar cinta, entah. Atau memang belum? Tak paham juga.

Sampai sekarang tidak ada satupun tatapan atau tindakan dari pria-pria itu yang menggetarkan dada dan menyejukkan jiwanya. Ah, dia memang tidak peka, hatinya terlalu dingin untuk menanggapi kehangatan cinta dari beberapa pria yang mengagumi sosoknya.

Dia bukan tidak tertarik, tapi kata orang, cinta itu menggetarkan hati, sejauh ini, belum atau bahkan tidak ada yang berhasil menggetarkan hatinya. Kekurang pekaannya terhadap cinta yang ada di sekitar, membuat beberapa pria yang mencoba mendekatinya mundur teratur. Sulit sekali menembus pertahanan hati dingin seorang Yessica Tamara itu.

Tidak, dia tidak angkuh, dingin, cuek, atau jual mahal seperti gadis SMA yang sering diceritakan dalam film-film, yang biasanya memiliki kepopuleran di atas rata-rata dan di atas nalar manusia. Dia biasa, humble, saking humblenya ya begitu, menganggap semua perhatian pria-pria hanya perhatian biasa. Populer? Bisa dibilang begitu. Tapi Chika –nama panggilannya– lagi-lagi menyikapinya dengan biasa. Hah, antara polos, tidak peduli, atau memang hatinya berwarna biru, dingin, tidak ada yang pernah tau, Chika sendiri pun tidak paham.

"Gak ya gak ih, maksa banget lo, ah!" Chika memalingkaan wajahnya dari sepupu laki-lakinya yang sedang berlutut sambil menangkupkan kedua tangannya di dada. Dia mengiba penuh harap di depan Chika.

"Ayo lah, sekalian liburan, Chika, pleaseee...!" Entah sudah berapa lama Azizi memohon seperti itu di samping tempat duduk Chika. Tingkahnya itu mengundang setiap pasang mata yang ada di ruangan itu terpaksa menatap mereka.

Chika menghembuskan nafas kasarnya, merasa jengah dengan permintaan Azizi yang sudah pasti akan merepotkannya. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat untuk Zee bangkit. Zee pun manarik kursi untuk duduk di samping Chika.

"Dasar manusia bucin. Kenapa sih lo mau-maunya diajak survei tempat KKN sama Kak Lala? mana jauh," cecar Chika. Ia heran dengan manusia seperti Zee ini, yang dengan mudahnya tunduk takluk terhadap yang namanya Cinta.

"Ya sekalian liburan pikir gue, Chik," Zee mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding ditatap oleh Chika. Jika mata itu bisa menikam, mungkin Zee sudah sekarat di tempat. Ah lihat! Bahkan sepupunya saja tidak tahan melihat manik coklat milik Chika.

"Ohhhh... paham gue, lo ngajak gue buat jadi tukang foto lo sama Kak Lala kan? Kebaca akal bulus lo Asadel!" Chika menoyor kepala Azizi cukup keras.

"Jahat banget gue, ya gak lah, ada temen Kak Lala juga kok, jadi lo gak bakal deh jadi miniatur di antara gue sama Kak Lala,"

"Lah itu udah bertiga gimana sih, napa ngajak gue juga?" Chika menatap Zee heran, sampai alisnya berpaut.

"Hehe, biar diizinin sama Mami," Chika menghembuskan nafasnya kasar. Hal seperti ini memang sering terjadi. Dia sering menemani Azizi dan Lala liburan, pasalnya dia paham, sepupu laki-lakinya ini jelas tak mungkin diizinkan pergi jika hanya berdua dengan Lala. Bodohnya Chika, dia mau-mau saja dimintai tolong seperti itu. Padahal dia paham, ujung-ujungnya dia akan misah dengan mereka, terlalu jengah mendengar pujian manis yang keluar dari mulut Asadel itu untuk Lala.

Tidak, tidak terbesit sedikitpun di hati Chika dengan kata iri, tidak ada. Dia hanya jengah mendengar gombalan-gombalan katro dari Zee. Herannya lagi, Lala bisa tahan, bahkan beberapa kali Chika menangkap semu merah di kedua pipinya yang berisi itu. Apa memang cinta seperti itu? Bisa melumpuhkan segalanya, termasuk kewarasan? Chika kurang paham.

*

Zee bersenandung bahagia saat keluar dari rumah Chika. Keberhasilannya membujuk Papa Mama Chika patut dirayakan, meskipun tadi sedikit alot. Azizi tidak lagi heran, memang selalu alot negoisasi dengan Papa Chika. Dia selalu melindungi anak bungsunya itu, posesif. 

Zee mungkin akan berucap syukur karena dia terlahir sebagai laki-laki, jadi dia bisa mengandalkan iming-iming menjaga Chika dengan baik ke Papa Chika. Manusia bucin itu memang selalu mimiliki akal licik demi bisa berduaan dengan Lala.

Sabtu sore ini, Lala mengajak Chika untuk membeli beberapa cemilan yang akan dibawanya esok hari. Berbagai jenis ciki, biskuit, minuman, Lala masukan ke dalam troli, tentu ini mengundang tanya besar dalam benak Chika. Gadis itu belum membuka suaranya, dia masih setia mendorong troli mengikuti langkah Lala. Berulang kali Lala meminta pendapat Chika untuk menimang-nimang jajan yang ia pegang, baiknya dibeli atau tidak. Namun, berulang kali juga, pendapat Chika tak didengar, akhinya sepanjang jalan ia hanya berkata terserah, toh jawabannya tak pernah diindahkan.

"Chik, Azizi tadi nitip susu coklat apa putih?"

"Susu kuda liar kak," jawab Chika asal.

"Hahah ngaco lo! Eh yang coklat aja kali ya," Chika memutar bola matanya malas.

"Kak, kita di sana mau ngapain sih? Gak mau buka warung 'kan?" Chika akhirnya protes setelah melihat Lala kembali memasukan biskuit yang Chika ingat sudah Lala masukan tadi.

"Eh haha, banyak ya? Ya gapapa sih Chik, lagian kita berempatan kok. Abis lah pasti, bayi gue juga gragas orangnya,"

Berempat, iya Chika baru ingat kalau mereka pergi berempat. Tapi sampai sekarang dia belum tahu teman Lala itu. Bahkan Lala juga tak berinisiatif mengenalkan temannya. Mau tidak peduli, tapi nantinya orang itu akan menjadi patner jalan Chika, karena sudah dipastikan, Lala akan mengunci Zee dalam genggamannya.

Otak Chika masih sulit mencerna kenapa Lala mengajak Zee kalau memang sudah ada teman satu kelompoknya sebagai patner survei. Lagi pula, harusnya survei KKN dilakukan satu kelompok, kenapa mereka hanya berdua. Pertanyaan itu terus berkelut dalam otaknya. Mungkin ini yang akan jadi pebicaraan Chika dan Lala di jalan pulang.

Lala melajukan mobilnya ke arah rumah Chika, ia sudah janjian dengan kekasihnya di sana, sekalian meminta Zee untuk membawa semua snacknya. Mereka sudah membagi tugas ternyata, tas Zee akan digunakan untuk wadah snack, dan kopor Lala akan digunakan untuk tempat baju mereka berdua.

"Najis, kak. Lo ga malu gitu nanti daleman lo dilihat Zee?" Chika bergidik ngeri.

"Ya gue gak bego kali Chik, gampang lah itu tinggal masukin ke tas gamblok gue nanti," Chika hanya menggeleng-geleng, tidak paham lagi dengan mereka.

Chika mengubah posisi duduknya dengan cepat, dia mengahadap Lala yang sedang menatap serius jalanan di depannya. Pertanyaan yang sedari kemarin, entah kapan yang tak mau juga pergi, padahal Chika juga tidak terlalu peduli atau sebenarnya peduli, dia hanya mengelak, mungkin.

"Kak, temen lo pasti gak asik ya, makannya lo ngajak bayi gede lo buat ikut survei?" Tanya Chika selidik. Dia semakin dibuat heran ketika tawa renyah Lala menggema ke seluruh sudut mobil. Anggukan Lala membuat Chika menghembuskan nafasnya kasar, meskipun belum tahu maksudnya tidak asik di mata Lala itu bagaimana.

"Dia kaku Chik, asli deh. Kadang ngomongnya formal banget haha, pakai saya," Kepala Chika semakin dipusingkan dengan fakta yang dikeluarkan Lala. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana, dia nanti berbincang dengan orang yang lebih tua itu. Sebelum mengetahui fakta ini pun dia sudah bingung nantinya bagaimana menyeimbangkan percakapan Mahasiswa semester hampir akhir dengan dia yang masih kelas dua SMA. Eh, tapi sebenarnya kenapa dia terlalu memusingkan hal ini? Toh dia juga hanya menemani, diam saja mungkin cukup.

Dih, dia kan idup, gak mungkin gak ngomong sama gue

"Tuh 'kan, dari awal mah gue juga udah curiga pasti ada yang gak enak," Chika bersidekap, dia mengerucutkan bibirnya, tanda kesal.

"Ya gapapa lah, Chik. Dari pada libur UN lo di rumah doang, gak ada yang ngajak jalan juga 'kan?" Lala menoleh sebentar ke arah Chika, dia tersenyum meremehkan sepupu pacarnya ini.

"Gue heran deh, lo tuh cakep ya, banyak yang suka, kenapa gak lo pacarin aja tuh cowo-cowo yang suka gesrek sama lo?" Lala melirik Chika yang terlihat malas, bahkan sekarang dia membiarkan punggungnya menyatu dengan jok mobil, memosisikannya lebih rendah.

"Gak bisa gue kak. Gak ada rasa," jawab Chika terdengar gusar. Dia bahkan dibuat heran dengan dirinya sendiri. Aneh kah jika belum bisa merasakan yang namanya cinta? Sampai Lala dan Zee terus gencar menyuruh Chika untuk memacari pria-pria yang berulang kali datang dan tunduk padanya.

"Christian?" tanya Lala.

"Gue tolak kemaren,"

"Gokil haha, sependek yang gue liat, dia anaknya baik deh, lo juga sering cerita kalau dia baik banget," Lala memastikan. Ini ke.. ah entah keberapa kalinya Chika menolak pria, tak terhingga. Lala tak paham, hati seperti apa yang Chika miliki, sampai-sampai sulit merasakan cinta. Sepahamnya, Chika juga tidak ada trauma mengenai jalinan kasih.

"Ya emang sih kak, baik dia, baik banget," Chika membenarkan ucapan Lala. Jika diingat-ingat, Christian, anak kelas sebelah yang paling kentara ingin menaklukkan Chika memang baik. Selama dekat dengan Chika, dia selalu meperlakukan Chika dengan penuh kasih sayang. Tutur katanya yang lembut, sifatnya yang kalem, dan yang paling Chika ingat Christian itu selalu melindungi perempuan, siapapun. Chika suka itu, sangat bahkan. Tapi dia tidak bisa jatuh terlalu dalam, sulit.

Banyak orang yang menyayangkan saat Chika menolak Christ, Chika bahkan bingung kenapa berita penolakannya begitu cepat menyebar di sekolah. Chika sendiripun sebenarnya juga merasa bersalah setelahnya. Ia merasa menyianyiakan Christ, tapi mau bagaimanapun dia tak menemukan kehangatan saat bersama laki-laki itu.

Lala pernah bertanya pada Chika, laki-laki seperti apa yang Chika mau. Jelas dengan tegas Chika menjawab ingin laki-laki seperti Papanya. Kemudian Lala menyimpulkan kalau dia merasakan perasaan nyaman seperti sedang bersama sang Papa saat bersama laki-laki, berarti Chika jatuh hati ke laki-laki itu. Chika mengolah simpulan Lala, menjadikannya patokan untuk mengonfirmasi bahwa dia menyukai seorang laki-laki suatu saat nanti.

Sampai sekarang, belum, belum ada. Pelukan Christian, tatapan lembut Sigit, kekonyolan Satya, perhatian Febi, dan semua tindakkan manis laki-laki yang mendekatinya belum ada yang seperti Papanya. Tapi, hal yang menjadi perhatian khusus Chika adalah dentuman jantung. Ya, dia sangat menyukai suara detak jantung Papanya, Mamanya, dan kedua kakak laki-lakinya. Bisa dikatakan konyol mungkin, tapi nyatanya hanya dengan mendengarkan suara detak jantung mereka, mampu membuat Chika tenang, terutama milik Papanya.

Katakanlah, licik atau apalah, Chika sudi dipeluk laki-laki yang mendekatinya bukan karena benar-benar ingin dipeluk, namun ya itu, dia mencari ketenangan dari suara jantung. Tapi, belum ada, benar-benar belum ada. Aneh? Bahkan memang harus diketahui oleh semua orang, penyebab jatuh cinta itu tidak bisa disama ratakan. Ada orang yang jatuh cinta karena tatapan, orang yang lain mungkin jatuh cinta karena tindakan, kekonyolan, atau hal tak terduga seperti Chika, dentuman.

Jika memang cinta membawa sebuah ketenangan jiwa, maka pada detak jantunglah Chika memasrahkannya.

"Lo kenapa suka sama kutu kupret Zee? Diakan bocah, masih suka goda-godain cewe lagi di sekolah," tanya Chika sebelum turun dari mobil. Lala tersenyum, gadis berpipi bulat itu belum menjawab, mungkin sedang menimang-nimang jawaban yang pas untuk ia berikan ke Chika.

"Kalau sukanya sih banyak, tapi kalau lo tanya kenapa gue betah sama bocah pecicilan yang kadang gak ada akhlak itu, gue bakal jawab, karena gue nyaman sama dia. Klasik ya? haha," jawabnya sambil berjalan ke arah pintu masuk ke rumah Chika.

"Ya, gak juga sih kak. Tapi kenapa bisa nyaman? Ehmm maksud gue apa yang bisa bikin lo nyaman sama Zee?" Chika menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, dia menatap lamat-lamat Lala yang sedang tersenyum.

"Dia kadang buat gue lupa kalau dia itu masih bocah SMA, dewasa banget ngadepin gue Chik, serius. Dia jarang marah, kalau pun marah dia gak gengsi buat minta maaf. Tatapan dia pas natap gue itu... gak tau deh, gue ngrasa kayak banyak cinta di sana, gue suka," Lala tak berhenti tersenyum mendeskripsikan laki-laki kesayangannya itu.

Kali ini Chika tak mencemooh itu sebagai kata-kata dari manusia yang mabuk akan cinta. Secuil hatinya membenarkan ucapan Lala, kenyamanan mungkin memang sangat dibutuhkan dalam menjalin sebuah hubungan. Jika dianalogikan mungkin begini, ada banyak baju di lemari, tapi yang dipakai itu-itu saja, alasannya tidak perlu ditanya lagi, yakni nyaman. Setidaknya itu yang Chika akan pegang.

"Temen lo namanya siapa kak?" Chika yang barusan merebahkan punggungnya ke sofa, tiba-tiba bertanya seperti itu. Dia hanya ingin tahu, setidaknya menerka-nerka seperti apa dia melalui namanya.

"Vito. Ganteng kok, pepet aja, kali aja lo cocok haha," jawaban Lala hanya mendapat kerlingan malas dari Chika.

------------

Hai Sobat! Hehe cerita baru nih, silakan dinilai ya. 

Duh, sebelum lanjut mau minta maaf dulu kalau nantinya ga jelas, atau ga ngena atau apalah. Ya pasti mah udah bisa ditebak kanya gimana nantinya. Gpp ketebak, yang penting saya tuh bisa nuangin apa yang dipikiran saya hehe. 

Saya juga berharap kalian terhibur lah ya sama cerita ampasan, lumayan buat temen bengong, dari pada bosen kan ya. 

Semoga terhibur!

Tetap Jaga kesehatan. Terus berdoa ya sobat buat negara kita, semoga semuanya segera pulih, berdoa terus pokoknya! 

Jujur sedih sama keadaan sekarang, tapi jangan sampai down ya kalian. Sebisa mungkin jangan sampai psikis kaliaan tertekan. Bahagia terus pokoknya!

Stay Safe ya!

Salam Sobat Vikuy!

Continue Reading

You'll Also Like

4.1K 294 5
Bunga Peony, memiliki arti sebagai sebuah harapan dan kebahagiaan. Sama hal nya Fiony yang merupakan sumber harapan dan kebahagiaan bagi Freya.
1.3M 56.1K 103
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC
883K 20K 48
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
11.7K 333 16
What if the Ministry re-sorted everyone into their true houses? And what if Draco Malfoy... cared? Harry's POV :) SEQUEL IS ABANDONED PLEASE LMK IF Y...