16 | psst, zane punya pacar!
DEMI apa, Sabrina jadi yang paling terakhir tiba di kantor keesokan paginya! Yang lain sudah datang semua, menunggu di lantai dua untuk meeting, kecuali Timothy yang sibuk teleponan di teras, dan Zane berdua Mbak Iis yang masih berdiskusi di ruangan Zane.
Sudah begitu kepala Sabrina pening bukan kepalang. Semalam suntuk dia tidak bisa merem sama sekali karena efek kafein yang diminumnya. Sekarang badannya jadi ringan dan gampang oleng. Jantungnya juga terasa berdebar-debar.
Ini semua gara-gara Zane! Gara-gara keasyikan ngobrol, Sabrina sampai tidak sadar sudah menghabiskan dua gelas es kopi susu. Padahal kopi yang dipesannya sudah varian yang paling creamy, tapi tetap saja membuatnya terjaga sepanjang malam.
Selain minum kopi malam-malam, dosa lain yang dia tidak pernah berpikir akan melakukannya adalah ngobrol dengan Zane berjam-jam, sampai tengah malam. Gila, sudah ngalahin Rachel saja rekornya.
Dan sialnya, Zane memang asyik diajak ngobrol. At least, dengan topik yang menyangkut masa depan, seperti mau lanjut kuliah ke mana atau mau karir yang seperti apa. Dia oke untuk diajak berdiskusi. Kayak lagi diskusi dengan kakak sendiri. Dia pendengar dan pembicara yang baik, honestly.
For God's sake, Sabrina baru saja memuji Zane, Sodara!
"Tumben lo galau, Beb?" tanya Karen saat melihat Sabrina tiba, dan langsung menjatuhkan diri ke sofa, nemplok ke paha Akmal sebagai bantal. Akmal yang memang selalu baik ke Sabrina karena merasa seperti saudara seangkatan, pasrah saja. Apalagi saat dirasakannya kepala Sabrina lumayan panas, di atas rata-rata. Sepertinya cewek itu agak demam.
"Bukan galau, ngantuk." Sabrina menjawab tanpa buka mata, apalagi menoleh, dari posisi miring, nyaris tengkurap.
"Insom?" tanya Karen lagi.
"Abis ngopi," gumam Sabrina. Ingin mengumpati Zane, tapi batal. Takut makin panjang urusannya. Lagipula, ngumpat di saat kepala pening itu lebih banyak ngabisin energi.
Karen melengos, sementara Gusti dan Jun kompak mendengus. "Bego! Udah tau lo nggak bisa ngopi kalau malem, malah minum kopi! Begadang gara-gara kerjaan? Elah, lo kerja keras bagai kuda gitu digaji berapa, deh!"
"Khilaf, Beb." Sabrina lemas. Nggak mau ribut.
Tiba-tiba terdengar suara Timothy dari arah tangga.
"Gue ada hot news!" serunya, tapi dengan suara pelan. Cewek bongsor itu langsung menjatuhkan pantatnya di dekat Sabrina, membuat Sabrina jadi sandwich di antara Akmal dan dirinya.
"Paan?" tanya Karen, masih agak datar, yakin yang dimaksud hot news adalah gosip yang belum diverifikasi kebenarannya. Dia memang lumayan pemilih kalau sudah ngomongin gosip. Gosip artis, dia nggak doyan. Kalau nggosipin temen, baru dia oke.
"Zane punya cewek!"
Jantung Sabrina berhenti berdetak sesaat.
Bukan dia yang lagi diomongin, kan?
Jangan bilang semalam Timothy memang melihatnya!
"Rachel?" tanya Akmal sambil mulai memijit bahu Sabrina pelan. Sabrina berlagak sibuk memberi instruksi pada Akmal bagian mana yang sakit dan ingin dipijat.
"Bukan! Rambutnya lebih panjang."
Kali ini Sabrina menelan ludah.
Ini Timothy sengaja banget bikin dia deg-degan dengan ngasih clue dikit-dikit, apa gimana?
Untung dia jarang mengurai rambut di kantor. Dan hari ini pun dia mencepol rambutnya. Semoga Timothy tidak sadar seberapa panjang rambutnya, samakah warna dan model potongannya.
"Yakin ceweknya?" Gusti mulai tertarik. "Doi nggak pernah ngungkit-ungkit cewek, perasaan."
"Yakin. Orang mereka peluk-pelukan mesra!"
Astaga! Mesra dari mananya, sih? Sabrina pengen menghilang ditelan bumi.
"Di mana emang lo ketemunya?" tanga Gusti lagi.
"Di warung sate biasa. Seberang RSPP."
"Gilee, pacaran ke warung. Nggak modal amat." Jun nyerocos dengan suara cempreng yang nggak cocok dengan mukanya. "Mobilnya aja sok keren. Tongkrongannya sama aja kayak kita-kita!"
"Lo lihat mukanya?" tanya Karen, mulai antusias. Dia paling rajin mendoakan Zane supaya cepet punya pacar, biar Rachel gigit jari.
Sabrina yakin, selain karena Rachel memang suka keganjenan ke Zane, dua cewek itu pasti punya masalah lain yang membuat mereka jadi sesensi itu terhadap satu sama lain. Soalnya Sabrina dan Timothy yang juga kesal saja nggak segitunya.
"Lihat sekilas." Timothy menyahut yakin.
"Lah, bukannya kayaknya dia sama Rachel ada apa-apa, ya? Kok sama cewek lain?" Kali ini Akmal yang bertanya. Cuma Akmal dan Gusti yang kayaknya nggak bermasalah sama Rachel. Eh, Mbak Iis juga, ding.
"Cantik?" tanya Jun.
Elah, pakek nanyain muka segala.
"Nggak cantik-cantik amat, sih."
Kampret!
"Zane beneran apa bukan? Jangan-jangan mirip doang!" Karen masih belum yakin.
"Bener, ih! Orang motornya juga yang dulu sering dipake pas belum ada mobil baru! Kan gue hafal platnya. Yang 4000."
Sabrina tahan napas, sudah saatnya undur diri.
"Bentar, Mal, gue ambil minum dulu. Ntar lanjut pijitin lagi."
Sabrina langsung ngacir, nggak mau dengar apa-apa lagi. Di pantry, dia papasan dengan Ucup.
"Sakit, Mbak? Kelihatan pucet banget."
Sabrina menggeleng. "Lo kalau semaleman nggak tidur dan paginya gemeteran, lemes gitu, tapi tetep harus kerja, lo kasih apa, Cup?"
"Mbak udah makan?" Ucup coba memberi solusi.
Sabrina menggeleng lagi. "Buru-buru tadi."
"Saya orderin, deh. Mau sarapan apa? Mbak Karen sama Mbak Timothy tadi minta dipesenin nasi uduk, buat dimakan abis meeting."
"Boleh, deh. Sama lo sekalian." Sabrina kemudian mengeluarkan selembar uang dari saku jinsnya. "Nanti taruh di meja gue, ya."
Ucup mengangguk patuh.
Ketika Sabrina kembali naik, setelah duduk agak lama di bawah, semua sudah masuk ruang rapat. Akmal bahkan sudah memulai evaluasi projectnya kemarin. Tidak ada yang benar-benar perlu dievaluasi karena acaranya lancar, tidak ada kendala. Mereka toh hanya menyediakan akomodasi, nggak ikut ngurusin acaranya.
Selanjutnya membahas project Mbak Iis. Semua mendapatkan plottingan untuk acara pernikahan Raline-Christian, kecuali Timothy yang projectnya memang sudah dekat. Dan Sabrina yang dibebaskan hanya pada saat acara berlangsung, karena masuk ke dalam daftar tamu undangan.
Di tengah-tengah pembacaan job description dari Mbak Iis, tatapan Sabrina bertumbukan dengan Zane yang ada di seberang. Bisa-bisanya itu orang tetap terlihat bugar meski abis minum kopi semalam! Cuma dia seorang yang jadi korban!
Ponsel Sabrina berkedip.
Ada pesan masuk. Dia membukanya di bawah meja.
Zane Abram
Sakit?
Sabrina menautkan alis. Kenapa Zane jadi sok akrab, sih? Akhirnya dia pilih membalas dengan emoticon sebiji. Singkat. Padat. Jelas.
Sabrina Tanjung
😴
Tak lama kemudian rapat usai. Mbak Iis mengumpulkan cowok-cowok untuk briefing, terkait jobdesc mereka. Dan sisanya pun otomatis terusir dari ruang rapat.
"Sarapan dulu, yuk," ajak Timothy pada Karen dan Sabrina. "Udah laper gue."
"Udah dateng nasi uduknya?" tanya Karen.
"Udah, lah. Lo kira belinya di mana? Bogor?"
Mereka bertiga makan di rooftop. Menunggu Zane selesai merokok dan turun, baru mulai bergosip.
"Emang pelukannya gimana?" tanya Karen, masih kepo.
Perut Sabrina mules mendengarnya.
"Zane di atas motor, terus ceweknya didekep gitu, di dada doi. Sok romantis kek drakor."
Karen ngakak membayangkannya. Geli banget, pasti. Cowok sekelas Zane mesra-mesraan di pinggir jalan, depan warung sate. "Dia nggak lihat lo?"
"Lihat kayaknya. Dia nggak mau gue ngelihat muka ceweknya, makanya langsung disembunyiin."
"Jelek kali, ceweknya."
Astaga. Sabrina jadi nelangsa. Dilihat dari mana juga, dia nggak ada jelek-jeleknya, sumpah. Asal nggak dibandingin sama kakaknya aja. Perbedaan jumlah limit kartunya kejauhan! Jelas dia kayak upik abu dan majikan.
"Kali." Timothy malah setuju. Padahal sebelumnya dia cuma bilang nggak cantik-cantik amat!
"Ckckck. Murah banget ceweknya, mau-maunya dipeluk-peluk di pinggir jalan. Nggak disuit-suitin ama abang-abang parkir emang?"
Fix. Murah, emang. Silakan hina sepuasnya!
"Disuitin lah, pasti."
"Ckckck."
Kemudian keduanya Sadar kalau Sabrina tidak banyak nimbrung.
"Lo tau nggak, kira-kira siapa ceweknya?"
Sabrina tersedak. Timothy segera mengangsurkan gelas air dinginnya.
"Enggak," sahut Sabrina setelah minum. Gila, tenggorokannya jadi ikutan sakit!
"Ye, lo nanya Sabrina. Mana tau!"
"Ya kali, kan Sab paling sering keluar sama Abang Zane tersayang. Kali aja si Abang keceplosan curhat, gitu."
"Kagak ada!" Sabrina menegaskan.
Karen menatap Timothy. "Kalo disembunyiin, bisa jadi tu cewek lebih eww dari pada Rachel."
"Bisa jadi."
"Please, deh." Sabrina akhirnya mewek. Sakit kepala dan sakit hati. "Bukan pacarnya, keleus!"
Timothy dan Karen menaikkan alis. "Analisanya apa?"
"Itu gue." Sabrina akhirnya buka mulut. Diledekin dua orang jauh lebih baik dari pada dihina-dina. Sabrina lalu melanjutkan penjelasannya. "Semalem kita pergi makan. Tapi karena males ketemu elo, Zane nyembunyiin gue. Udah ya, nggak perlu kasih tau yang lain-lain. Males gue diledekin."
"Lah?" Timothy melongo. "Ini gue yang lemot dan nggak peka, apa gimana? Lo ada something sama Bos?"
"Lo kena pelet?" Karen bergidik ngeri.
"Kami pergi makan doang, kali."
Timothy dan Karen saling pandang lagi.
"Nggak makan doang nggak pa-pa juga kali," ujar Karen akhirnya.
"Kita malah seneng kalo Zane sama lo, bukan sama mak lampir." Timothy mengiyakan.
"Ya meskipun elo masih kebagusan, sih, kalo buat Zane." Karen menambahkan sekali lagi.
"Aneh aja kalo lo sampe bisa ada rasa ke Zane. You know, lah ... Zane kan ngillfeelin. Kalau nggak ada Mbak Iis paling juga udah gulung tikar dari lama."
"Ya lagian anak IT mana ngerti bisnis?"
Sabrina nggak mau nimbrung lagi. Dia fokus makan. Sumpah, after effectnya kafein benar-benar membuat badannya terasa nggak enak. Sakit semua. Kayak orang vertigo.
"Btw gue pernah cerita tentang Milo ke kalian, nggak?" tanyanya kemudian, setelah cukup lama hening karena akhirnya Karen dan Timothy jadi sibuk saling pandang. Saling menyalahkan, siapa yang tadi memulai topiknya duluan.
Timothy mengerutkan dahi. "Kenapa emangnya Milo? Gue nggak demen minum susu."
... to be continued