DI BAWAH UMUR

By Eriscafebriani

499K 35.7K 9.2K

(Telah Terbit dan Difilmkan) "Jadi, gimana caranya biar bisa buat sang Puteri nyaman?" "Aku... More

PEMBUKA
PART 1: Punggung Penuh Rahasia
Part 2: Luka Transparan
Part 3: Salam Kenal, Lana
Part 4: Siapa Dia?
Part 5: Bantuan Tanpa Nama
Part 6: Sebuah Rencana
Part 8: Secarik Pesan

Part 7: Senyuman Rahasia

31.5K 2.5K 816
By Eriscafebriani

Halo, ketemu lagi sama Aryo dan Lana. 

Spesial upload part ini untuk merayakan ulang tahunku yang ke 22. Happy reading!

----

"Ke mana aja sih lo? Lama banget! Gue tinggal deh, bye!"

Lana membaca WhatsApp yang dikirim Kevin ke ponselnya. Padahal dia sedang ke toilet sebentar—dan mungkin tidak lebih dari lima menit. Kalau diminta sebuah keinginan, ingin rasanya Lana meminta supaya hati sepupunya itu dilunakkan. Tidak lagi egois. Tidak lagi semena-mena. Tidak lagi selalu menyalahkan oranglain atas kesalahannya, tapi percuma saja, Kevin adalah orang paling keras kepala yang pernah dia kenal.

Dia berjalan ke depan gedung sekolah, berniat memesan ojek online. Namun tidak ada satu orang pun menerima pesanannya. "Ojek online lagi pada demo, katanya sih gara-gara terlalu banyak diskon jadi upah mereka diturunin." Lana menoleh dan menemukan Aryo berdiri di sebelahnya, seperti cenayang yang selalu muncul tiba-tiba.

"Oh."

"Iya udah pulang bareng gue aja gimana?"

"Nggak."

"Ya udah."

Lana mengulurkan tangan untuk memberhentikan angkutan umum. Dia segera naik dan ternyata Aryo mengikuti. "Kamu ngapain ngikutin aku?"

"Lo kan baru pindah, emang udah ngerti jalan di Jakarta?"

"Emangnya aku anak kecil?"

"Gue nggak bilang gitu, lho."

"Nggak butuh ditemenin, kamu turun aja deh."

"Iya udah, anggap aja gue gaib deh. Pura-pura nggak kenal aja kita, tapi gue mau tetap nemenin lo, gue diem aja nih—"

"Buat apaan?"

"Buat memastikan aja kalau lo sampai di rumah dengan selamat."

"Terserah deh."

Lana menyerah. Aryo tersenyum mengetahui bahwa dirinya memenangkan perdebatan. Aroma parum Lana yang khas seperti bau apel kini memenuhi indera penciumannya, aroma yang beberapa hari ini Aryo pikirkan dan berhasil masuk ke alam bawah sadar. Pandangan Aryo tertuju pada seorang nenek tua sedang membawa ayam dalam keranjang membuat beberapa penumpang meliriknya kesal. "Gue penasaran deh, ayam tuh bisa ingat masa lalu nggak ya?"

"Hah? Ayam?"

"Iya, ayam."

"Ya nggaklah."

"Bagus deh, berarti dia nggak menyimpan dendam." Lana menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. "Ingatan manusia tuh salah satu hal paling penting dan harus dijaga, percaya nggak?" Aryo melirik Lana yang juga menatapnya. Mereka saling bertatapan. "Nenek gue kena Alzheimer, ada saat di mana dia nggak bisa ingat apa-apa. Dia nggak ingat gue siapa, hal-hal apa yang pernah dia lakuin ke cucunya. Kejadian yang sampai sekarang kalau diingat lagi bikin sedih."

Lana tidak tahu harus bereaksi apa saat mendengar cerita Aryo. "Jadi, nanti lo harus inget tanggal ini. Empat Februari, hari di mana Aryo nemenin Lana naik angkutan umum."

"Apaan, sih. Udah ah, tadi janjinya apa? Nggak mau berisik, kan. Ganggu aja!" Lana lupa dengan janji Aryo di awal yang sudah diikrarkan. "Kiri, Pak!" Lana turun, Aryo langsung memberikan uang.

"Ambil aja, Pak kembaliannya."

"Kok jadi kamu yang bayarin? Aku punya duit."

"Nggak apa, sesekali."

"Nanti aku ganti!"

"Rumah lo di mana, sih?"

"Bintaro."

"Lumayan jauh dong kalau dari Bintaro ke Jaksel?" Aryo melihat Lana kebingungan. Mereka berdua sudah berdiri di depan stasiun. Lana membuka ponselnya, berusaha mencari di Google rute KRL menuju ke rumah. "Kenapa nggak nanya gue aja, sih? Kan lebih akurat, udah ada kartu-nya belum?"

Lana menggeleng.

"Pake kartu gue aja, gue ada dua." Aryo mengeluarkan dua kartu, satu dia serahkan ke Lana. Lana setia mengikuti Aryo dari belakang. Terdengar bunyi pemberitahuan dari operator bahwa kereta akan segera datang. "Buruan, Lan!" Aryo menggenggam tangan Lana. Lana tertegun merasakan kehangatan tangan Aryo. Mereka berlari menyusuri stasiun, melewati orang satu per satu. Berdesakan di tangga.

Betul kalau ada yang bilang Jakarta termasuk kota dengan tingkat kesibukan tinggi di dunia. Lihat saja aktivitas para manusianya. Mereka tepat waktu, sewaktu berhenti. Kereta datang. Keterkejutan Lana masih belum sirna, apalagi waktu melihat kumpulan manusia masuk ke gerbong. Nyaris tidak ada cela. "Waktu pulang sekolah sama pulang kerja, makanya rame, Lan." Aryo seolah mampu membaca pikiran Lana. "Udah gue bilang kan tadi, naik motor gue aja."

"Emang kenapa naik kereta? Nggak apa, kok, kamu ngeremehin aku?"

"Suudzon mulu, salah gue apa, sih?"

Lana segera masuk. Tubuhnya terhimpit oleh lautan manusia, dia berada di antara beberapa laki-laki dan tidak kebagian memegang hand strap. Lana berusaha menjaga keseimbangan dengan berdiri tegak dan kaki menapak. Kereta mulai berjalan. Lana melirik Aryo, cowok itu terlihat santai. Tidak terganggu sama sekali. Kereta berguncang membuat tubuh Lana kehilangan keseimbangan, dia nyaris saja terjatuh ke kiri kalau tangannya tidak menahan tas Aryo.

Lana masih gengsi, dia bersikukuh untuk tidak berpegang pada apapun. Kereta berhenti dan pintu terbuka. Gerombolan orang di belakang Lana menyerbu keluar, dia nyaris saja terdorong ke depan kalau saja tangan Aryo tidak cekatan merangkul tubuhnya dan memberi keseimbangan supaya tidak terjatuh. "Biar nggak jatuh, tapi kalau jatuh hati sama gue sih nggak apa."

Ekspresi Lana berubah masam mendengarnya. Dia ingin melepas rangkulan Aryo, tapi di sisi lain, dia tidak bisa melakukan itu karena kereta masih ramai. Oke kali ini dengan terpaksa dia pasrah karena situasi memang tidak memungkinkan. Lana memainkan ujung dasinya. "Lo pindahan dari Bandung, ya?"

"Hm."

"Kenapa pindah?"

Lana tidak menjawab.

"Mas, boleh pinjam kursinya? Kasian pacar saya, dia kena darah rendah, takut pingsan." Aryo berbicara pada seorang pria muda yang asyik main ponsel sembari duduk di kursi penumpang.

Ekspresi Lana berubah tercengang. Pacar, katanya? Lana berniat untuk meralat, tapi pria itu segera berdiri dan mempersilakan Lana duduk di kursi semula. "Makasih, Pak," karena mendapat kesempatan dan berhubung kakinya juga pegal. Lana akhirnya duduk di kursi tersebut. "Kamu mau ke rumah sakit, nggak? Nanti pingsan, aku yang repot." Aryo terlihat berakting.

Lana tersentak. "Hah?" dia terlihat bingung, Aryo mengedipkan mata, seolah memberi isyarat agar Lana menurutinya. "Apaan, nggak jelas."

Aryo meletakkan tangan di kening Lana. "Tuh, agak demam."

"Apaan, sih, nggak, aku nggak sakit iiiih ...," Lana menjauhkan tangan Aryo, masih berusaha menghilangkan ekspresi terkejutnya dari sentuhan Aryo yang mendadak. Kulit bertemu dengan kulit. Hangatnya tangan Aryo, menyentuh keningnya yang dingin. Seperti api disiram oleh air.

"Dia tuh emang begitu, Bu, nanti kalau nggak diperhatiin bilangnya ada yang lain. Waktu diperhatiin malah begini," Aryo melirik seorang ibu-ibu yang duduk di sebelah Lana dan sibuk memperhatikan mereka.

"Aryooo!" Lana gemas setengah mati, dia menginjak kaki Aryo. "Berhenti, nggak?"

"Perempuan kayaknya sih suka gitu. Ibu sama suami pun sama," kali ini justru si Ibu jadi curhat colongan. "Sengaja ditarik ulur, biar bikin penasaran."

Lana melipat tangannya di depan dada dan memejamkan mata. Berharap dengan itu bisa menghentikan Aryo untuk mempermalukan dirinya di kereta.

****
Lana berjalan kaki masuk ke dalam perumahan setelah turun dari angkutan umum yang berhenti di depan gerbang masuk. Dia menendang bebatuan kerikil di depannya, sembari masih setia memainkan ujung dasi. "Kamu mau nemenin aku nih sampai ke rumah? Terus kamu pulangnya gimana?"

"Gampang itu, mah, yang penting lo nyampe dulu."

"Udah sampai sini aja."

"Rumah lo di mana?"

"Masih jauh."

"Iya udah jalan aja terus."

"Nanti ketahuan."

"Emang kenapa? Nggak boleh pacaran, ya?"

"Iya dan aku juga nggak mau jatuh cinta."

Aryo mengernyit, tertarik dengan jawaban itu. "Kenapa nggak mau? Lo nggak ... lesbian, kan?" tanyanya berhati-hati sekaligus menyiapkan mental seandainya jawaban yang dia dengar tidak sesuai ekspektasi.

"Jatuh cinta itu cuma buat orang yang berani, aku penakut. Jatuh cinta berarti harus terima resiko. Resiko kalau cintanya bertepuk sebeluh tangan, resiko buat jatuh cinta sama orang yang salah, atau resiko suatu hari nanti cinta yang dia kasih nggak sebanding dengan yang dia dapat. Lagian di dunia ini memang masih ada ya cinta yang betul-betul murni dan ikhlas, gitu?" Ada senyum sumir tercetak di ujung bibir Lana waktu mengucapkan itu. "Orangtua aja pamrih lho. Ada orangtua yang justru menganggap anaknya investasi, bukan kewajiban."

"Maksudnya gimana?"

"Iya, orangtua nyekolahin anaknya tinggi-tinggi dengan harapan suatu hari nanti mereka bakal balas jasanya dan jadi jaminan di masa tua. Ketika anak berlaku sesuatu yang nggak sesuai sama harapan, bakal dimaki-maki. Bilangnya durhaka, nggak bisa membalas karena udah dilahirkan di dunia. Padahal seorang anak kan nggak pernah minta dilahirkan, mereka yang buat."

Tanpa Lana sadari, Aryo terdiam mendengarnya. Cowok itu berhenti melangkah dan otomatis membuat Lana menoleh. "Gimana sama orangtua yang nggak melakukan kewajibannya dalam mengurus anak?"

"Dia durhaka sama Tuhan." Jawaban singkat Lana membuat Aryo bungkam. "Rumahku di situ, kamu balik aja. Bye!"

"Eh, Lana, bentar!" Aryo menahan lengan Lana, "makasih lho udah mau ngobrol sama gue."

"Baru sadar kalau itu obrolan terpanjang aku sama kamu, ya?"

"Lebih panjang lagi nggak apa, gue bakal setia dengerin," Aryo menyentuh telinganya.

"Udah ah, kamu pergi!"
"Satu lagi, gue belum selesai."

"Apa?"

"Pertanyaan lo masih ada yang belum terjawab."

"Yang mana?"

"Tentang cinta yang menurut lo nggak ada yang ikhlas, gue punya jawabannya."

"Hm ... jawaban?" Lana mengangkat alis kiri, "apa jawabannya?"

"Lo coba dulu buka hati lo buat gue, lo bakal ngerasain gimana dicintai dengan tulus dan ikhlas. Oke, bye! Sampai jumpa besok di sekolah." Aryo berbalik, meninggalkan Lana yang terdiam sewaktu mendengar kata-katanya. Seolah kalimat Aryo adalah salju beku dan membuat seluruh sistem syaraf di kepala Lana menjadi tumpul.

*****
"Kalau ini cuma dua puluh lima juta aja, Jeng." Obrolan Sully dengan teman-temannya menyambut kemunculan Lana setelah pulang sekolah. Suara derap kakinya menyadarkan Sully untuk menoleh.

"Wah, sudah pulang ya? Eh, kenalin ini keponakanku, Lana. Lana, kenalin ini teman-teman Tante, Tante Brenda dan Tante Retno."

"Cantik lho, udah punya pacar belum? Mau nggak dijodohin sama anak Tante."

"Hust, masih kecil." Sully tertawa kecil. "Kamu sendirian? Kevin mana?"

Lana bersaliman. "Nggak tahu, Tan, harusnya sih dia sampai rumah duluan."

"Kalian berantem, ya? Kalian tuh sepupu-an, jangan kayak kucing sama anjing dong."

"Iya, Tante." Lana mengangguk ogah-ogahan.

"Eh Lan, Tante bingung nih. Menurut kamu bagusan mana?" Sully menunjukkan dua buah kalung berlian mewah di tangan kiri dan kanannya. Menurut Lana sama saja, menunjukkan kemewahan sekaligus elegan di waktu bersamaan, tapi untuk mempersingkat waktu. Lana menunjuk kalung berlian di jemari kiri Sully. "Tuh kan, selera Tante juga yang ini sebetulnya—"

"Tan, aku ke kamar ya, ngantuk banget."

"Nggak makan dulu?"

"Udah. Tante, aku permisi naik ke atas, ya." Lana mengangguk sopan, basa-basi untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah seseorang yang bertata-krama sebelum menjadi bahan gunjingan para orangtua. Lana bergegas naik dan sempat mendengar teman-teman Sully berbisik, "Dia kenapa pindah ke sini? Ada masalah keluarga atau gimana?"

Orangtua dan segala sifat ingin tahunya yang berlebihan, Lana masuk kamar, melemparkan tubuhnya ke ranjang. Rebahan adalah salah satu nikmat duniawi yang tidak ada tandingannya. Dia melepaskan sepatu dan kaus kaki, sebelah tangannya lagi meraih remot untuk menghidupkan pendingin ruangan. Lana mengeluarkan ponsel, melihat wallpapernya. Foto dia, kakak, bersama kedua orangtuanya. Diambil sewaktu ulangtahunnya yang ke 16 tahun.

Mereka terlihat begitu bahagia di sana, sama sekali tidak ada masalah. Lana berniat mengirim sebuah pesan teks. Dia ketik perlahan. Bu, apa kabar? Lana kangen, sama Ibu, sama Ayah, sama Kakak, sama Bandung. Kangen juga masakan Ibu. Sedetik lagi dia menekan tombol kirim, Lana berubah pikiran, dia menghapus seluruhnya dan meletakkan ponsel di ranjang sembari menghela napas berat.

Pikirannya penuh, tapi sebuah kalimat lembut terputar seperti sebuah kaset yang berusaha menghiburnya.

"Lo coba dulu buka hati lo buat gue, lo bakal ngerasain gimana dicintai dengan tulus dan ikhlas." Tak lama Lana tertidur, dipeluk hangat oleh kata-kata Aryo yang berembus di kepala. 

----

Aryo sama Lana makin gemesin, ya? 

Coba komen pakai emotikon, perasaan kamu setelah baca part ini!

See you on the next part, ya! Tetap stay safe dan #dirumahaja

Continue Reading

You'll Also Like

7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
4.1M 318K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’β€’ "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
297K 13.6K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...