Invidious

By Atiya_AW

10.1K 765 98

Ray hadir sebagai cowok misterius dalam hidup Levi. Bukan hanya karena sikap dingin dan sorot mata tajam Ray... More

Prolog
1. Namanya Raymond
2. Kisah Raymond
3. Khawatir
4. Peduli
5. Berdua Denganmu
6. Masalah
7. Marah
8. Kecewa
9. Fakta
10. Hukuman
11. Kerja
12. Berdua
13. Cantik
14. Pengakuan
15. Kalah
16. Jadian
17. Kencan
Ray dan Levi
18. Kacau
19. Masa Depan
20. Misteri Bekal
21. Curiga
Info
22. Sayang
24. Masalah Baru
25. Salah Paham

23. Tentang Masa Lalu

254 22 3
By Atiya_AW

Entah untuk keberapa kalinya, semalam Dexie melihat Levi pulang dengan Ray lagi. Ingin sekali pemuda itu menerjang Ray dan menanyakan apa saja yang mereka lakukan di luar sana hingga larut malam. Anehnya orang tuanya hanya bertanya sebentar kemudian menyuruh Levi dan Ray segera masuk kamar. Entah seperti apa pesona Ray di hadapan orang tuanya sehingga tak ada yang curiga ataupun menegur dengan kebiasaan pulang malam itu.

Dexie tak bisa begitu saja meredakan gedoran dadanya yang membara. Rasa cemburu ini sangat membuatnya tak terkendali. Ada rasa ingin membalas Ray atas kekalahannya. Padahal siapa Ray itu? Hanya mantan narapidana yang merusak nama baik keluarganya, tetapi selalu mendapat pujian ekstra dari orang lain.

“Lama-lama gue bosen juga sama lo. Lo sekarang udah kayak anak perawan yang lagi jatuh cinta. Ngelamun terus,” oceh Pram di samping Dexie. Mereka sedang berada di atas atap ketika Dexie memikirkan tentang kejadian semalam.

Dexie mengembuskan napas lelah kemudian melirik Pram yang begitu nikmatnya menyesap rokok. “Lo nggak pernah naksir cewek?”

Pram terbatuk-batuk lalu tertawa terbahak. “Jadi itu yang bikin lo jadi gabut begini. Masih soal Levi.” Pram melanjutnya tawanya tetapi lantas mendapat lirikan tajam dari Dexie. “Oke, oke. Iya gue tahu lo naksir sama Levi,” Pram menginjak rokoknya yang masih separuh. “Gue tahu Levi manis. Tapi dari pada ngejar cewek bego yang lebih milih napi, mending gue cari cewek lain yang lebih agresif.”

“Yola nggak agresif!”

Pram kembali tertawa. “Siapa bilang gue mau ngejar Yola?”

“Gue tahu lo suka godain adek gue. Kalau lo sampe berani deketin Yola, gue pastiin lo nggak bisa jalan lagi.”

“Wuih, sadis amat lo jadi orang. Nggak perlu serius amat gitu, Bro. Lagian hak gue dong mau deketin siapa. Mau adek lo kek, mau Levi kek…”

“Cuma orang sinting yang nggak tahu bejatnya lo.”

Lagi-lagi Pram tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Mending jadi cowok bejat dari pada jadi cowok bucin kayak lo. Tampang lo aja serem. Tapi hati lo benyek kayak kue busuk.”

“Berengsek lo!” Dexie melempar sepotong kayu dari bangku rusak, tetapi Pram segera menangkisnya.

Bagi Pram, mengejar cinta itu adalah bullshit. Namun jika Dexie melarangnya sampai berani mengancamnya, baginya itu adalah sebuah tantangan. Selama ini dia memang tidak pernah memberi perhatian kepada gadis mana pun seperti yang dilakukan pemuda SMA lainnya. Tetapi sejak menjadi teman dekat Dexie, otomatis dia seringkali bertemu Yola. Dan ada keinginan untuk selalu menggoda Yola yang memang lebih cerewet dibanding Levi. Lebih menarik dibandingkan teman gadisnya yang lain. Lalu tekad itu muncul dengan sendirinya. Sekali-kali Dexie harus dilawan, supaya tidak selalu berlagak seperti bos.

***

“Gue mohon banget sama lo, Lev, mending lo jauhin Kak Ray. Dia nggak baik buat lo, Lev. Nggak baik juga buat hubungan kita. Gue pengin kita dan Kak Dexie dan Kak Sammy seperti dulu lagi. Bukan saling musuhan kayak begini.”

“Yol, gue nggak pernah ngajak kalian musuhan. Tapi kalian sendiri yang nggak suka sama keputusan gue.”

“Jelas aja gue nggak suka sama keputusan lo. Lo udah kayak anak nggak terdidik sampai-sampai mau pacaran sama napi.”

“Yol, cukup! Lo harus dengerin gue.”

“Lo yang harus dengerin gue!”

Levi mengembuskan napas lelah. Lelah karena sejak semalam Yola terus memberinya nasihat seolah-olah dia anak muda yang hilang arah. Sampai saat ini, pada waktu istirahat sekolah, Yola masih saja merongrongnya dan memintanya putus dari Ray.

“Yol, gue capek berdebat sama lo. Gue minta maaf banget, gue nggak bisa nurutin omongan lo. Ini udah keputusan gue dan gue harap lo nggak ikut campur lagi.”

Lalu Levi pergi dan tidak menghiraukan panggilan Yola lagi. Dalam hal ini, Levi lebih memilih mengikuti kata hati. Baginya Ray memang terlihat misterius, tetapi bukan berarti jahat. Ray memang tak banyak bicara, tetapi bukan berarti Ray tidak bisa bersosialisasi. Buktinya Ray bisa bekerja di dua tempat. Ray juga pekerja keras, karena di usia 19 tahun, Ray sudah mampu menghasilkan uang sendiri sekalipun itu tidak banyak. Namun paling tidak, ketika remaja di usianya masih berfoya-foya menghamburkan uang orang tua, Ray sudah mampu menghasilkan pendapatan sendiri. Jadi tidak ada lagi pendapat yang dapat memengaruhi pilihannya.

Sedangkan di tempatnya berdiri, Yola masih menggerutu karena merasa persahabatannya mulai mengendur sejak hadirnya Ray dalam keluarganya. Kalau saja boleh mengajukan pendapat, dia ingin sekali melarang ibunya menempatkan Ray di dalam rumahnya. Sebenarnya bisa saja ibunya menempatkan Ray di sebuah rumah kost atau tempat lain, yang penting tidak serumah dengannya. Namun dia tidak mengerti alasan apa yang menjadi keputusan mama dan papa sehingga begitu baik menampung Ray di rumahnya.

“Hai, Yol!”

Yola terlonjak kaget ketika tiba-tiba ada panggilan di belakangnya. Spontan dia berbalik dan melihat Pram dengan wajah menjengkelkan.

“Apa?” tanyanya galak dan malas meladeni.

Pram menyeringai. “Ini yang gue suka dari lo. Lo nggak lembek kayak Levi.”

“Maksud lo?” Yola menautkan kedua alisnya, tak mengerti dengan ucapan Pram.

“Entar malem jalan yuk!”

Yola melongo sebentar kemudian bekacak pinggang. “Sejak kapan lo berani ngajak gue jalan? Udah nggak laku lo di jalanan?” tanpa menunggu jawaban Pram, dan sepertinya Yola juga tidak membutuhkan jawaban, gadis itu segera melenggang pergi diiringi lirikan tajam dari mata Pram.

***

Ray melajukan cepat motornya ke bengkel Bang Hiro. Bosnya itu mengirim pesan bahwa bengkel dan tempat cuci motor mobil sedang ramai. Bulan ini musim penghujan sudah tiba. Rezeki besar untuk Bang Hiro karena itu berarti akan banyak mobil dan motor yang datang untuk mencucikan kendaraan mereka.

Ray tak bisa mengantar Levi pulang. Dia hanya mengirim pesan kepada gadisnya itu karena ketika dia keluar kelas, Levi masih berada di ruang ekskul. Dan Levi memang sangat pengertian. Gadis manis yang sangat cocok menjadi pacarnya.

Sejak pukul dua siang sampai pukul lima sore, Ray tak berhenti mencuci motor dan mobil di bengkel. Kalau sedang tak ada yang dicuci seperti sekarang, dia membantu Muhtar memperbaiki motor yang ngadat.

“Udah, besok lagi. Kalian pulang aja!”

“Tanggung, Bang. Bentar lagi juga selesai. Lagian juga gelap banget nih masih jam lima lebih.” Muhtar berceloteh.

“Lo juga boleh pulang, Ray.”

“Iya, Bang. Saya juga udah beres-beres. Motor yang satu itu belum kepegang. Baru dateng barusan aja.”

“Iya digarap besok aja. Gue udah bilang tadi sama orangnya.” Bang Hiro bersedekap kemudian melirik penjual bakso yang berbunyi “ting ting”. “Kita ngebakso dulu deh.”

“Wah, Bang, kebetulan saya laper berat.” Muhtar segera melempar kain kotor yang sedari tadi dipegangnya dan bergegas ke tempat cuci tangan.

“Saya pulang aja, Bang.”

“Udah, lo makan dulu aja. Masih deres juga.”

Ray tersenyum canggung tetapi kemudian menurut. Dan dalam guyuran hujan deras dengan suasana yang sangat gelap padahal belum jam enam, mereka bertiga ditambah dua karyawan lain, menikmati semangkuk bakso panas yang menggugah selera.

Dalam hati Ray bergumam bahwa Bang Hiro bukanlah sosok yang menyenangkan. Bukan pula sosok yang ramah. Bang Hiro termasuk sosok yang dingin dan terkesan galak. Namun dalam kelemahannya tersebut, Ray bisa melihat kebaikan lelaki berumur 30 tahun tersebut. Hal ini membuat Ray menyimpulkan bahwa seseorang tidak bisa menilai orang lain dari luarnya saja, karena setiap orang pasti memiliki kebaikan lain yang belum tentu diketahui oleh orang lain.

“Bang, makasih ya buat baksonya.” Ray melirik Muhtar yang masih saja menambah beberapa tahu goreng, kelihatan kelaparan atau mungkin rakus.

Bang Hiro tidak menjawab, tetapi tangannya mengibas dan menyuruh Ray segera pulang.

Ray tersenyum karena sudah mengetahui karakter Bang Hiro yang tidak suka basa-basi. Pemuda itu segera menuju motor dan mengenakan jas hujan. Saat dia sibuk mengenakan jas hujan dan helm, sebuah mobil berwarna merah menyala berhenti tak jauh dari tempatnya. Kegiatan Ray terhenti dan mengamati sesosok wanita cantik keluar dari mobil itu kemudian menuju Bang Hiro.

Ray melihat wajah Bang Hiro berubah, mengeras. Seperti enggan bertemu dengan wanita itu. Namun wanita itu tetap mengikuti Bang Hiro yang memasuki kamar mungil tempat Bang Hiro beristirahat.

Sejauh ini yang Ray tahu, Bang Hiro memang belum beristri. Dan wanita secantik itu… entahlah. Ray tidak mau kepo dengan urusan orang lain. Sekarang waktunya dia pulang dan menemui Levi. Sungguh, dia kangen.

Ray melajukan motornya begitu kencang seperti seorang pembalap. Berada di jalanan dalam guyuran hujan deras dan suasana gelap, bukanlah suatu yang menyenangkan. Semua orang pasti ingin segera sampai rumah. Namun ketika berhenti di pertigaan jalan, Ray melihat sosok yang tak asing. Dia yakin sekali bahwa gadis yang sedang berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri itu adalah Inge. Gadis aneh yang dijauhi teman-temanny di sekolah.

Kali ini Ray harus sependapat dengan teman-temannya bahwa Inge memang perlu dipertanyakan kewarasannya. Bagaimana bisa gadis itu bisa berdiri sendiri tanpa berteduh malam-malam begini? Tidak mungkin ibunya menelantarkannya kalau bukan gadis itu yang berjalan sendiri tanpa tentu arah.

Dengan sedikit terpaksa, Ray akhirnya berbelok dan menghentikan motornya tepat di depan Inge. Spontan Inge mundur teratur dengan gerakan waspada.

“Lo ngapain malem-malem ujan-ujanan begini?”

Inge tak menjawab. Tatapannya bersorot takut.

“Gue Ray, temen Levi. Lo kenal Levi, kan?”

Ketika nama Levi disebut, Ray melihat gerakan bola mata Inge. Sepertinya gadis itu mulai mengingat siapa pemuda yang ada di hadapannya.

“Lo, pacar Levi?” tanya Inge terbata.

“Iya, gue pacar Levi.” Ray mengambil helm cadangan yang selalu dibawanya. “Gue anter lo pulang,” lanjut Ray sambil menyerahkan helm kepada Inge.

Bukannya menerimanya, Inge justru bengong tak tahu harus melakukan apa.

“Lo mau ke suatu tempat?”

Inge menggeleng.

“Lo nggak dijemput sama nyokap lo?

Lagi-lagi Inge menggeleng.

“Lo mau gue anterin pulang?”

Perlahan Inge mengangguk, sehingga Ray bisa bernapas lega. Ray kini salut kepada Levi yang bisa begitu sabar menghadapi tingkah Inge. Pantas saja teman-temannya yang lain menjuluki gadis itu dengan sebutan ‘tidak waras’.

Ketika Inge sudah duduk di belakangnya, Ray melajukan motornya dengan kecepatan normal. Dia harus berputar arah demi mengantarkan Inge pulang. Keinginannya untuk segera sampai rumah, harus ditunda dulu.

Inge menunjukkan arah jalan pulang. Dan di sepanjang jalan, Ray merasa tak asing dengan jalanan yang ditunjuk Inge. Hingga motornya berhenti di depan rumah yang ditunjuk Inge, Ray tak bisa berkata-kata lagi. Rumah itu, rumah yang ditunjuk Inge sebagai rumahnya, adalah bagian dari masa lalunya. Rumah seorang biadab yang takkan pernah dilupakannya. Lalu amarahnya kembali membara.

***

Continue Reading

You'll Also Like

484K 25.3K 35
SEBELUM BACA JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR NYA DULU YA GUYSS.. ~bagaimana ketika seorang perempuan bertransmigrasi ke tubuh seorang perempuan yang memili...
4.8M 365K 51
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
4.8M 258K 58
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
3.5M 170K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...