Semua mata memandangku dengan ngeri, bingung, dan mereka membuka jalan.
Dingin. Sekujur tubuhku membeku. Semua karena kebodohanku. Semua karena kesalahanku.
Setidaknya sekarang dia tahu isi hatiku.
"Desta!" Teriakan itu berasal dari belakang dan berhasil menghentikan langkahku sedetik, sebelum aku melangkah lagi.
Seharusnya aku berani, namun... aku bukan hanya pengecut, tapi terlalu dungu untuk mengakui semuanya.
Semua..... semua berawal dari hari itu. Di mana rasa itu muncul, tapi tertutupi oleh banyak hal.
Biar aku ceritakan kisahku bersama Hesti.
Semua sesuai memori yang terpatri dalam hati, pikiran, dan membentuk kenangan juga harapan.....
*
*
*
Entah mimpi apa tadi malam, bisa bertemu cewek barbar. Gara - gara Hesti, sekarang aku kena sidang Mama.
Aku duduk diantara dua sujud di karpet ruang keluarga menghadap Mama yang duduk di sofa.
"Mama ndak pernah ngajarin kamu berani sama wanita, kan?"
Aku tertunduk. "Dia duluan yang mulai. Lagian aku nggak tahu kalau dia cewek."
"Ndak penting siapa yang mulai. Kamu lelaki, ndak boleh main fisik ke wanita, Le."
"Tuh dengerin," celetuk Kak Mia, bersila kaki di sofa sebelah Mama. Dia kakak kandungku.
"Apa sih," sahutku. "Kakak nggak usah ikut campur, ini urusan anak kecil."
"Yee bocah, dibilangin malah nge-bas."
"Desta, dengerin Mama. Sekali lagi kamu berani main fisik ke wanita, Mama laporan ke Ayah."
Aku menggeleng. Kalau sama Mama paling cuma dimarahin, diceramahin, kalau sama Ayah, waaah bisa dipotong uang jajan, plus disuruh cabut rumput.
"Sekalian nasehatin Ma," Kakak bilang, "Cowok jangan suka naik - naik ke badan cewek. Untung masih bocil, coba kalau sudah SMP atau SMA kayak gitu, bisa dikira macem - macem kamu ntar."
Mama mencubit pinggang Kakak sambil menghela nafas. "Desta, kamu lelaki, fisikmu lebih kuat dari wanita."
"Normalnya gitu, Ma. Tapi entah kalau Desta," celetuk Kakak, menahan tawa. Lirikan Mama membuat Kakak diam.
Mama menasehati. "Walau kamu ditinju, ditendang, didorong, dijambak oleh wanita, jangan membalas."
"Tapi kan sakit."
Kakak menjawab, "Pfft. Makannya jadi cowok yang kuat, jangan lembek."
"Apaan sih Kak, mentang - mentang cewek, belain sesama jenis."
"Yee salah siapa jadi cowok lemah." Kakak melempar bantal ke mukaku. "Besok kalau gede kamu harus melindungi cewek. Kalau lemah, bagaimana bisa?"
"Bukannya cewek maunya disederajatkan sama cowok? Ya udah lindungi diri sendiri, dong!"
"Udah, udah, kamu jangan ngeledekin adikmu teru," sela Mama. "Desta, sekarang kamu mandi, mamam, terus belajar."
"Iya Ma."
Sesuai perintah, aku mengambil handuk lalu masuk kamar mandi. Hangat shower membilas penat sekujur tubuhku yang lengket.
Biasanya aku menurut kalau dibilangin orang tua. Cuma masalah tadi, aku nggak salah. Aku nggak bohong ke Hesti tentang masalah kalimat Jancok. Aku juga awalnya nggak main fisik, hingga dia yang mulai. Lagian, aku nggak tahu kalau dia cewek sebelum kejadian tindih - tindihan.
Dan untuk masalah fisik lemah. Sepertinya aku harus mulai latihan fisik. Masak iya didorong cewek bisa jatuh begitu. Mana dilihat Debi sama Kiki. Wah, bisa jadi gossip besar nih.
Terutama Kiki. Si Tionghoa punya mulut corong masjid. Kejadian sekecil apapun, kalau sama dia, bisa diworo woro sampai satu kompleks tahu.
Tapi, tuh cewek lumayan cantik. Aku teringat wajahnya ketika aku menindihnya, dia nampak cute dari posisi itu.
Mikirin kejadian itu membuat perasaan dongkolku perlahan sirnah. Aku senyum - senyum sendiri seperti kodok diguyur air hujan.
Setelah mandi segar, aku memakai kaos oblong dengan wajah Bon Jovi menghias dada dan celana pendek longgar.
Baru juga mau naik tangga menuju kamar, Mama menghentikan langkahku dengan suara beliau.
"Ta, Tata. Dicariin nih."
"Siapa, Ma?"
Aku menghampiri Mama yang tengah menahan pintu dengan punggung.
"Ini loh, dicariin Hesti. Sebentar ya, Tante masih ada kerjaan di dapur." Mama pelan meninggalkan Hesti sambil memberi kode lirikan kepadaku sambil berucap tanpa suara. "Yang ramah. Jangan buat gaduh."
Mau nggak mau aku nemuin hesti dan entah kenapa sekarang dia beda banget dari tadi sore.
Harum jeruk semerbak. Penampilan Hesti manis ketika memakai summer dress putih melapisi kaos biru muda.
Mata bundar kelereng Hesti, dengan titik hitam membuatku kikuk. Aku baru sadar kalau dia punya mata indah.
Deheman Ibu membuat kami kembali berkedip. Hesti menyodorkan tiga kantong plastik gede. Sepertinya berisi air.
"Nih, buat kamu."
"Makasih." Isi plastik ternyata jus.
"Maaf." Kayak nggak ikhlas dia bilang begitu.
Belum juga aku menjawab, Ufo melintas dengan suara khas. "Ngaung." Kesempatan kucing belang mau keluar rumah. Biasanya aku tangkep, tapi kedua tanganku penuh kantong plastik.
"Ih ada mpus." Hesti sigap menangkap punuk kucing lalu dia angkat, peluk.
Aneh. Kucing gembul berbulu putih belang oren harusnya nggak suka dipeluk orang asing, sekarang Ufo pasrah dipeluk Hesti.
"Ufo, Ta, Tata Ufo kabur!" Kakak lega melihat Ufo dalam pelukan Hesti "Syukurlah, gini gini Ufo larinya kenceng kalau kabur. Loh, kok dia mau sama kamu, Hes?"
"Nggak tahu juga, kak." Hesti menunjukkan senyum yang manis. Kecil, tapi imut. Aku nyaris nggak percaya kalau dia yang tadi ngajak berantem bisa senyum seperti ini.
Tiba - tiba Ufo kejang kejang, seperti tersengat listrik.
"Ufo, Ufo? Kamu kenapa?" sahut Kakak.
Ini kali pertama kami melihat Ufo seperti kesetanan.
Aku geram pada Hesti. "Nih gegara kamu gendong dia!"
Ufo emang cuma kucing persia tembem, tapi dia bagian dari keluarga kami. Dia yang nemenin aku kalau rumah sepi. Sekarang dia kejang seperti ini, siapa yang nggak panik?
"Kalau ada apa apa sama Ufo, awas kamu ya!" tambahku, tapi Hesti tetap tenang.
Dengan tenang Hesti mengambil Ufo, dia tiduri ke lantai teras rumah dalam kondisi tengkurap. Lalu dia elus - elus punggungnya. Lama kelamaan Ufo kembali tenang.
"Ini kayaknya kegendutan Kak, kurang gerak." Kata Hesti. "Ototnya kejang dadakan. Nanti kasih air madu dan kalau bisa makannya dikurangi. Nah, kalau seminggu dia masih kejang, baru bawa ke dokter. Kalau nggak kejang, berarti biarin aja dia diet natural."
Kakak mengangguk kecil. Mama dan Papa keluar menengok ruang tamu.
"Ada apa?" Mama nanya.
"Ini Ma, Ufo kejang kejang," sahut Kakak. "Tapi udah nggak apa - apa. Makasih ya Hesti."
Hesti ramah tersenyum ke Mama, menciun tangan beliau dan Papa dengan sopan.
"Kalau begitu Hesti pulang dulu Tante, Om. Selamat malam."
"Makasih ya Hesti," kata Kakak.
Ufo ngeong ngeong, seperti bilang makasih.
Hesti pergi begitu saja tanpa menoleh ke padaku. Sepertinya dia kesal habis kena tuduh.
"Kamu sih, main marah aja. Untung ada Hesti," gumam Kakak, pandangan bengisnya menusuk hatiku.
Sepertinya Hesti nggak seburuk yang aku kira.
****
Jangan lupa vote ya guys, makasih.