marked of sorrow | kpop thg!a...

By dumbanddoomba

273 27 1

Dua puluh empat idol terbangun di dua belas ruangan terpisah, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengetah... More

PROLOG
a/n
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6

CHAPTER 7

18 2 0
By dumbanddoomba

Kelompok Hanbin berhenti tak jauh dari tempat kejadian pembunuhan Ten, Chungha, dan Jin tadi pagi. Seperti biasanya, Rose memilih untuk berpencar dan mencari makanannya sendiri. Pengetahuannya soal apa yang bisa dan tidak bisa dimakan lebih banyak dibandingkan pengetahuan mereka bertiga digabungkan menjadi satu, jadi Jennie dan yang lainnya lebih pantas mengkhawatirkan diri mereka sendiri.

"Soal Feast." Jennie membuka pembicaraan. Hanbin menghentikan kegiatan mengasah pedangnya, mendengarkan. "Gue ga tau apa tribut lain bakal ke sana juga, tapi ga ada salahnya nyoba. June juga bisa ngambil senjata baru, kan?"

Hanbin mengangguk. "Kalo YooA sama yang lain ke sana, gue harap kita bisa ngabisin mereka," ucapnya. "Sisanya tinggal Irene sama Mark. Antara kita bunuh mereka dengan tangan kita sendiri, atau ngebiarin arena ini yang ngebunuh mereka."

Jennie terdiam. Tatapan Eunha yang terkhianati masih ia ingat dalam-dalam. Tangan perempuan itu menggapai ke depan, mencari bantuan. Apa yang Jennie beri justru tatapan dingin dalam diam.

"Soal Eunha sama Bangchan..." lirih Jennie, Hanbin menatapnya gusar, "gue minta maaf. Tapi itu yang harus kita lakuin, Bin. Seharunya lo paham."

Laki-laki itu terdiam sebentar. "Gue cuma ngerasa udah terlalu banyak hal buruk yang gue lakuin selama lima hari di arena ini. Gue berencana buat nolong mereka—seenggaknya cuma di saat itu aja biar mereka nggak perlu ngalamin mati lambat kayak Mina, tapi..."

Jennie menggigit bibirnya. Ia tak tahu apakah ia bahkan pantas untuk merasa bersalah.

"Udah terjadi. Ga ada yang bisa kita lakuin buat itu," lanjut Hanbin. "Kita fokus ke Feast besok. Kita liat siapa yang dateng, kita gerak langsung tanpa rencana."

Jennie mengangguk. June yang datang dengan tatapan bingung menarik perhatian keduanya.

"Rose belom balik?" ia bertanya, yang dibalas anggukan kedua kakaknya. "Pengumuman Fallen Tributes udah lewat satu jam. Biasanya dia udah balik, kan?"

Jennie dan Hanbin bertolehan. Rasa khawatir tiba-tiba menjalar. Belum ada bunyi meriam, tapi tidak mungkin mereka menunggu sampai bunyi itu terdengar untuk mencarinya.

Mereka tidak benar-benar melakukan apapun saat itu, jadi tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk berberes dan berangkat mencari Rose. June sempat meneriakkan namanya sambil melihat ke sekitar, yang langsung dibekap oleh Jennie karena menarik perhatian. Nyaris saja June menjadi korban pembunuhan malam itu.

Di area kecil tempat mayat Ten, Chungha, dan Jin tadi tergeletak, mereka berpencar—namun Hanbin menyuruh mereka untuk tidak terlalu jauh, apalagi June sekarang tidak memiliki persenjataan.

Ketika kedua kakaknya telah melanjutkan perjalanan mencari perempuan sebayanya itu, June masih terdiam di tempat kejadian. Busur dan panah bius milik Chungha masih ada di sana. Ten tidak memiliki senjata, jadi tidak ada bekas apapun darinya di petak tanah kecil itu. Bagaimanapun juga, tergeletak sebuah sarung pedang yang seharusnya milik Jin di sana.

Seseorang yang juga tak punya persenjataan seperti June mungkin telah mengambilnya.

Tapi tanpa sarung pedang?

"ROSE!"

June baru saja akan mengomel mendengar teriakan Jennie, padahal tadi ia sendiri yang menyuruhnya diam, namun melihat punggung perempuan itu yang cepat-cepat berlari ke suatu arah membuatnya waspada. Ia segera menyusulnya.

Langkah Jennie terhenti di pinggir sebuah celah yang diisi dengan semak-semak pendek, yang di beberapa tempat tumbuh bebungaan merah muda. Matanya membelalak, tangannya bergetar. Ingatannya tentang api unggun, jejak darah, serta mayat Jisoo tiba-tiba berkelebat.

Tidak lagi.

"Rose, jangan." Ia memasukkan saisnya kembali ke sabuknya. Jennie melangkah pelan ke arah adiknya. "We can talk it out."

Rose, bersama dengan sebilah pedang yang ia genggam kuat dengan kedua tangannya menatapnya datar. Jennie mengulurkan kedua tangannya untuk merengkuh adiknya, namun masih ada beberapa meter jarak di antara mereka. Ujung pedang yang sebelumnya milik Jin itu kini nyaris menyentuh perutnya.

"Rose—" Jennie menyadari rahang perempuan itu yang mengeras, matanya yang berkaca-kaca, serta tangannya yang bergetar. Mungkin ia lengah. Mungkin ini saatnya Jennie mempercepat langkah dan menyingkirkan pedang itu dari tangannya.

Kecuali, ketika jaraknya mendekat dan ia hendak menyentuh tangan Rose, ia sepersekian detik terlambat.

"Rose!" Terdengar langkah cepat dan suara milik June di belakangnya, yang kini berdiri diam di belakang Jennie yang berlutut, kepala Rose berada di pangkuannya.

"The fuck is on your mind?!" geram Jennie, namun suaranya bergetar, dan ia terdengar seperti berbisik. Nafasnya panjang-pendek. "Rose, hei. Stay with me."

Rose tak menjawabnya. Jennie tahu ia masih bernafas dan mampu mendengarnya, namun bahkan kedua matanya tak ingin menatapnya.

"Ros..." Jennie melirih, tangannya mengelus lembut pipi adiknya. "Gue minta maaf."

Bagaimana dengan Lisa? Bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana bisa Rose meninggalkannya di sini sendirian? Jennie memejamkan matanya, tangannya mengepal erat.

Dua kali.

Dua kali seorang saudarinya kehilangan nyawa tepat di hadapannya, dan ia selalu sekian detik terlambat untuk menyelamatkannya. Kenyataan bahwa ia harus hidup dengan kenyataan itu tiba-tiba bertengger di pundaknya. Ia tak akan melawan apabila Lisa tak ingin bertemu dengannya lagi, apabila semua orang yang mencintai kedua saudarinya mencaci maki dan mengancamnya dengan kematian.

Jennie menghela nafas panjang ketika akhirnya sepasang mata Rose menatapnya. Jennie tak tahu apa yang Rose rasakan—sakit di perutnya, kekecewaan di bola matanya. Tatapannya begitu dingin, tangannya yang memucat tak ada bandingannya. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya ia berkata.

"I..." Ia terbata. Jennie takut ketidaksabarannya terlihat di wajahnya. "I better be dead before more bodies lie on my feet."

Dengan kalimat itu, Rose menghembuskan nafas terakhirnya. Matanya perlahan kehilangan cahayanya, mengarah ke langit malam dan menatap ketiadaan.

Jennie merengkuhnya erat. Tuhan berkata ia tak cukup merasa kehilangan.

Mau bagaimanapun juga Hoshi mencoba untuk berpikir positif dan mengumpulkan kepercayaan dirinya, keoptimisannya pun memiliki batasan. Setelah terus-terusan berpikir kalau ia akan mengawal Binnie dan kembali bersama teman-temannya dengan selamat, pikirannya kembali ke satu tempat: bagaimana jika tidak?

Ia terbangun atas sinar matahari yang blak-blakan menusuk matanya. Mungkin masih jam enam atau tujuh. Dokyeom masih terlelap di seberangnya, dan ketika ia menilik ke bawah pohon, Binnie berbaring dengan busur panah dalam pelukannya. Hoshi menoleh ke sana-sini.

YooA?

Setelah bunyi meriam semalam, YooA dan Binnie memutuskan untuk tidak meninggalkan kamp (Hoshi tidak tahu apakah dua pohon dan bekas bara api kemarin ini layak disebut kamp, tapi, yah). Mereka berempat tidur tanpa penjagaan. Tapi rasanya tidak mungkin terjadi sesuatu pada perempuan itu.

Kalau terjadi sesuatu pada YooA, maka seharusnya hal tersebut juga terjadi pada mereka.

Hoshi baru berjalan beberapa langkah ketika sosok YooA memasuki pandangan. Ia menghela nafas lega menatapnya, lebih lagi ketika dilihatnya ada segenggam penuh beri di tangannya.

"Sori." YooA meringis mendapati tatapan khawatir Hoshi. "Gue bangun subuh, ga bisa tidur lagi."

"Mikirin Feast?" tanya Hoshi, mengambil sebuah raspberi dari tangan YooA. Perempuan itu tampak terkesiap sesaat dan memasukkan beri-beri berwarna ungu ke kantongnya. Hoshi memilih untuk tak bertanya mengapa.

Perempuan itu mengulum senyum, mengangguk. "Kita udah bertaruh nyawa selama ada di sini, tapi... rasanya kayak Feast bener-bener jadi garis penentuan." YooA berucap seraya berjalan ke dekat bekas api unggun. "Bisa enggaknya kita keluar dan balik ke kehidupan biasanya ditentuin sekarang."

"Emang bisa kehidupan setelah ini berjalan kayak biasanya?" Hoshi bertanya retoris, yang disambut tawa ejekan dari perempuan itu.

Tidak ada pengumuman apapun mengenai Feast dari suara wanita misterius yang mengawal mereka sejak saat pertama mereka berkumpul di arena latihan. Tidak ada yang tahu kapan persisnya Feast secara resmi dimulai, namun yang pasti suplai makanan-minuman, senjata, bom, serta peralatan kemah telah tertata di Cornucopia seperti lima hari sebelumnya.

Hoshi dan yang lainnya merunduk, membentuk lingkaran di satu pinggir lapangan.

"Ambil panah, balik. Itu rencana satu," kata Hoshi, jari telunjuknya mengacung. "Kumpul lagi, serang Hanbin. Itu rencana dua. Kalau kejadi apa-apa di luar rencana, improv."

Yang lain mengangguk. Hoshi menggenggam tangan Dokyeom dan Binnie di kedua sisi tubuhnya, dan keduanya meraih tangan YooA yang berada di seberangnya. Ia menatap ketiganya sendu. Ia sudah kehilangan dua orang, jangan sampai ia kehilangan yang lainnya.

"Gue pingin lo semua mikir seakan ini pertarungan terakhir. Mungkin kesempatan ini ga bakal dateng lagi—ga ada yang tau. Lakuin yang terbaik."

Di saat terakhir, Hoshi akhirnya mampu memahat sebuah senyuman di wajahnya. "Semangat!"

Di utara mereka duduk tiga orang dengan martabat rekor pembunuhan terbanyak di permainan tersebut, memasang mata ke tiga arah untuk berjaga-jaga. Hanbin mencoba melihat ke seberang lewat celah dedaunan. Ia tak bisa menyimpulkan apakah Hoshi dan yang lainnya pun tahu mengenai keberadaan mereka sekarang.

"Irene sama Mark bisa kita urus terakhir." Hanbin memutar tubuhnya, akhirnya menghadap Jennie dan June. Jennie menggeleng, menunjuk ke arah jam dua mereka.

"Mark di sana. Sergap dari belakang," ucapnya. Hanbin dan June mengamati dari sudut pandang Jennie, lantas mengangguk.

"June, lo fokus Cornucopia. Jangan nyerang siapa-siapa sebelum lo punya senjata—"

"Iya iya," June menghela nafas, "gue ga segoblok itu."

Hanbin tersenyum miring. "Mark urusan gue. Jen, cover gue dari pinggir. Jangan keluar kecuali gue atau June butuh bantuan."

Jennie mengangkat bahu, kemudian mengangguk.

Hanbin mengulurkan tangannya, yang disusul dengan tangan June dan Jennie di atas punggung tangannya. Ia menyadari sorot mata keduanya yang penuh determinasi. Di sini, mereka adalah benteng dari satu sama lain. Dengan setengah dari mereka yang telah pergi, perasaan sedih rasanya telah menjadi teman lama yang mereka sambut kedatangannya dengan tangan terbuka.

Mereka harus selamat.

"Jangan ragu." Hanbin mengingatkan. "Kita bisa sampai di titik ini bukan karena iseng atau kurang kerjaan. Inget-inget; lo mau selamat. Balik lagi ke hari latihan keempat. Apapun caranya, kita harus bisa selamat."

Anggukan Jennie dan June mengakhiri ceramah Hanbin pagi itu, dan mata ketiganya kembali terpancang pada sosok-sosok sasaran mereka.

Sementara itu, seorang Irene duduk bersandar di sebuah batang pohon di arah timur Cornucopia. Matanya terpaku pada sosok Mark yang berada jauh di seberangnya—satu-satunya adiknya yang tersisa setelah enam hari perjalanan mereka. Apapun yang terjadi padanya, Irene tak akan mengambil pertanggungjawaban.

Satu orang telah mati atas kelalaiannya, satu orang lagi mengorbankan dirinya agar Irene dapat kembali menghidup udara luar. Sudah cukup rasa bersalah yang dipikulnya. Entah Mark menjadi korban dari pemain lain ataukah Irene sendiri, rasanya ia sudah tak peduli lagi.

Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk menang. Sekarang, bukan hanya June yang menjadi targetnya. Tetapi mereka semua.

Hoshi mengedarkan pandangannya awas sebelum akhirnya ia mengisyaratkan pada Binnie untuk mulai bergerak. Ia mendengar bisikan 'hati-hati' yang diutarakan oleh Dokyeom dan YooA, namun tak sempat mengiyakan sebab dirinya sudah berlari menyusul Binnie yang telah melesat beberapa meter di depannya.

Kesunyian yang menyelimuti Cornucopia membuat Dokyeom semakin waspada. Hoshi telah mencapai tengah lapangan ketika dilihatnya seorang laki-laki melangkah keluar dari semak-semak, busur dan panahnya teracung ke arah leadernya.

Mark berdiri di pinggir lapangan. Hoshi tampak tak menyadari keberadaannya.

"YooA." Dokyeom memanggil temannya seraya membidik Mark. Perempuan itu mengangguk, pun menyiapkan panahnya.

Panah yang dilepas Dokyeom melesat melintasi lapangan. Ia melangkah mundur dalam keterkejutan ketika dilihatnya Mark terperangah bukan atas panahnya, melainkan kehadiran orang lain yang muncul dari balik semak-semak. Matanya membelalak ketika disadarinya panah yang tadi kini menancap di sebuah pohon telah menggores pipi Hanbin.

"Bangsat—"

Hanbin menoleh ke arahnya. Dokyeom menganga, namun YooA telah menyiapkan panahnya.

Laki-laki itu mempercepat pergerakannya dengan menghujamkan pedangnya ke perut Mark yang tak mampu berkutik, dengan segera mencabutnya dan meninggalkannya terjatuh dan menghadapi kematian. Tak hanya Dokyeom dan YooA, Hoshi pun kini menyadari presensinya.

Hanbin berpacu ke arah Cornucopia. Ia sempat mendengar desisan angin yang melintas di belakang kepalanya, menimbulkan asumsi bahwa panah yang dilepas YooA nyaris saja mengakhiri hidupnya. Namun pertarungannya dengan Hoshi jelas saja akan mempersulit bidikan.

Ia tersenyum tipis menangkap kobaran api di mata lawannya. Hanbin tahu Hoshi pasti mengetahui ialah penyebab dari kematian kedua temannya. Hatinya nyaris tenggelam dalam rasa bersalah, namun adrenalin berhasil menguasai dirinya.

Pedang milik keduanya bertabrakan. Dentingan keras yang mungkin terdengar sampai pinggir lapangan timbul, tatapan keras keduanya bertemu.

Hanbin mungkin menghabiskan berjam-jam waktu latihan di ruang simulasi, namun Hoshi melakukan yang sama dan ia cekatan. Hanbin harus mengaku mundur beberapa saat sebelum kekuatannya kembali untuk mendorong Hoshi ke arah sebaliknya.

"Gue harap—" Hanbin berkata, menepis serangan dari Hoshi, "—lo ga begitu percaya diri buat ngalahin gue."

Hanbin terkesiap untuk beberapa detik ketika sebuah tawa melantun dari mulut lawannya. "Kalo lo pernah hidup di luar sana, Bin," Hoshi mengambil dua langkah cepat ke arah Hanbin, nyaris memojokkannya di dinding Cornucopia, "seharusnya lo tau perjuangan kayak apa yang bersedia gue ambil buat satu tujuan."

Hanbin mengangkat pedangnya, menahan serangan Hoshi yang diarahkan ke kepalanya. Giginya gemeretak. Ia berhasil menggulingkan tubuhnya ke samping dan kembali berdiri di atas kakinya, dan pertarungan siap dimulai kembali. Tidak ada yang tahu kapan bunyi denting pedang akan berhenti.

Hanbin yang penuh keinginan untuk menang, serta Hoshi yang terbakar amarah demi membalaskan dendam.

Senyum penuh kemenangan terlukis di wajah Hanbin ketika ia melihat sosok Jennie yang mulai mendekat di balik punggung Hoshi dengan sais di tangannya.

Ada sebuah ransel yang tergeletak tak jauh dari busur panah incaran Binnie. Tetapi, bunyi denting pedang membatalkan keinginannya. Kebutuhan survival tak lagi terkesan berharga ketika keselamatan Hoshi menjadi taruhannya.

Binnie tersenyum puas ketika akhirnya sebuah wadah panah tergantung di pundaknya. Ia tak lagi harus meminjam milik Dokyeom untuk berburu atau berpatroli, tapi—apa iya Binnie masih membutuhkannya setelah Feast berakhir?

Ia menarik sebuah anak panah dengan percaya diri. Hoshi masih bertarung hebat dengan Hanbin dan menghalangi tubuh targetnya dari anak panahnya. "Ayolah..."

Tarikan tangan Binnie semakin mengerat ketika akhirnya punggung Hanbin berada dalam jangkauannya. Ia menahan diri dari senyum miringnya ketika ia nyaris melepas anak panah tersebut. Sosok seorang perempuan muncul entah dari mana, sais miliknya teracung di tangannya.

Sialan—

Binnie cepat-cepat mengubah target. Anak panah itu melesat melewati Hoshi dan Hanbin dan hampir menggores telinga Jennie, menyebabkan perempuan itu kini menatap dirinya terkejut. Tapi apa yang Binnie harapkan tak akan selalu terjadi. Daripada menyerangnya terlebih dahulu, Jennie lebih memilih berfokus untuk menolong pemimpin kelompoknya.

Binnie menggerakkan busurnya ke kanan-kiri. Membidik target bergerak sementara temanmu terlibat dalam pertarungan memang tak semudah itu. Hoshi kini mencoba bertahan diri dari kedua petarung ulung, namun Jennie tak sempat beradu dalam waktu yang lama.

Hanbin, Hoshi, dan Binnie membelalak ketika sebuah panah terlihat dari sudut mata mereka, yang kini bersarang di bahu perempuan itu.

Ya Tuhan.

Pegangan Hoshi pada pedangnya mengendur. Ia hanya mampu melangkah mundur ketika Hanbin hendak menghancurkan wajahnya dengan senjatanya sebelum menghampiri Jennie dengan cepat. Hoshi menatap perempuan itu ngeri. Kematian Mingyu berkelebat tepat di depan matanya. Kali ini ia tak langsung pergi. Ia berteriak sengsara sebelum mati.

Ia menatap ke arah YooA dan Dokyeom yang tampak sama terkejutnya, tak lagi mengarahkan busur dan panah kepada siapapun. Binnie masih siap dengan set busur dan panah barunya, tetapi pandangannya beredar ke sekeliling, mencari sesuatu yang Hoshi tak tahu apa.

Ia mengernyitkan kening, menatap rumput hijau yang menatapnya kasihan. Hoshi tidak bisa kolaps sekarang. Ada empat nyawa yang dipertaruhkan.

Hanbin bertekuk lutut, berusaha sebisa mungkin menenangkan Jennie yang mencengkeram bahunya kesakitan. Entah bagaimana caranya ia menenangkan perempuan itu kalau ia saja tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.

Hoshi bertumpu pada pedangnya. Ia menatap Hanbin yang membelakanginya dengan pedang tergeletak di tanah, serta Jennie yang menutup mata, merintih menahan sakitnya. Hoshi bisa saja menghabisi mereka sekarang.

Ya... Hoshi bisa saja menghabisi mereka sekarang.

Ia berjalan mendekat. Ia masih tak mengacungkan pedangnya, namun ia telah menemukan kekuatannya kembali untuk mencengkeramnya erat. Buat Mingyu, katanya dalam hati.

Buat Mingyu.

Hoshi mengangkat pedang dengan kedua tangannya. Punggung Hanbin menjadi sasaran yang terlalu mudah untuk bahkan disebut 'sasaran'.

Namun, sedikit yang Hoshi tahu, bahwa masih ada satu lagi orang yang menargetkannya. Orang itu yang kini terbakar amarah yang luar biasa.

Hoshi tak sempat berkutik ketika ia merasakan sebuah tendangan di punggungnya. Baru terlintas di pikirannya—June masih ada. Laki-laki itu menyaksikannya melawan kedua kakaknya, laki-laki itu menyaksikannya nyaris menghunuskan pedang ke punggung ketuanya.

Hoshi tergeletak di tanah, matanya membelalak dalam horor. Semua yang terjadi di sekitarnya terasa seperti lapisan animasi yang bergerak terlalu cepat. Ia mencengkeram rerumputan di sekitarnya, menahan pusing akibat terbenturnya kepalanya ke tanah. Saat itu, Hanbin mengerang kesakitan. Di antara buramnya pandangannya dan ketakutan yang menjalar, Hoshi melihat sebuah anak panah menancap di paha lelaki itu.

Ia membalikkan badan, membiarkan Hanbin dan Jennie pergi dari pandangannya. Keduanya lemah, tentu saja, tapi lihat saja keadaannya sekarang. Siapa yang kira-kira akan mati duluan?

Hoshi tak menyadari nafasnya yang tercekat sebelum June mengangkat pedangnya. Dalam hitungan detik, Hoshi akan kehilangan nyawa. Dalam hitungan detik, grupnya akan kehilangan satu lagi anggota, dan keluarganya akan semakin merindukannya.

Ia menutup mata. Apapun yang terjadi selanjutnya, Hoshi memilih untuk berserah.

Tapi, tak ada hal yang terjadi sampai beberapa detik setelahnya. Hoshi berpikir mungkin memang seperti itu rasanya, sampai akhirnya ia mencoba membuka mata.

"Anj—"

Ia segera berguling ke pinggir. Tubuh June berdebum ke tanah tempat ia tadi berada.

Ia tak mampu mengatakan apapun ketika dilihatnya panah-panah menancap di punggung laki-laki itu. Sehoror apapun pemandangan itu—panah yang menancap, mayat June yang tergeletak dengan matanya yang masih terbuka—Hoshi tak bisa menahan diri untuk merasa kalap ketika menyadari ada empat buah panah yang menancap di punggung June.

Ia tak perlu menoleh untuk mengetahui kalau YooA, Dokyeom, dan Binnie adalah pemilik dari tiga panah itu. Lantas siapa pemilik panah keempat?

Hoshi mengedarkan pandangannya ke sekitar, ketika dilihatnya sesosok perempuan tengah duduk di sebuah dahan pohon di pinggir lapangan, satu tangan mencengkeram busur dan satunya lagi menarik anak panah. Hoshi terlalu terperanjat untuk menyadari perempuan itu tentu tengah membidik seseorang.

"BINNIE!"

Anak panah itu melesat. Hoshi menoleh ke pinggir lapangan, menyaksikan YooA yang meninggalkan busurnya dan berlari ke arah Cornucopia.

Oh, tidak.

Dokyeom membelalak. Ia menatap sesaat Binnie yang terjatuh di lututnya, kemudian mencari arah datangnya panah. Dokyeom melangkah memasuki lapangan, memandang Irene yang sekarang pun telah menyiapkan satu panah lagi di tangannya.

Irene tak membalas tatapannya. Perempuan itu sibuk memperhatikan anggota timnya, mungkin sedang menimbang-nimbang siapa mangsanya selanjutnya. Ia tidak sempat untuk berpikir panjang. Dokyeom bersiap dengan busur dan panahnya, membidik Irene tepat di kepalanya. Satu tembakan, mungkin jikapun meleset, perempuan itu akan terkejut dan jatuh menemui ajalnya.

Di saat ia akan melepas panahnya, Irene menoleh. Perempuan itu akhirnya menyadari presensinya.

Anak panah Dokyeom melesat, pun panah milik perempuan itu.

Dokyeom tak harus bergerak sedikitpun untuk menghindari bidikan Irene. Panah miliknya menancap di batang pohon yang ditempati Irene, sedangkan panah milik perempuan itu menyasar tanah, jauh di belakangnya.

Ia sudah akan mengambil anak panah keduanya ketika Hoshi meneriakkan namanya. Untuk sesaat terakhir, ia menatap Irene tajam, yang dibalas dengan tatapan datar perempuan itu. Ketika Dokyeom berlari menuju Cornucopia, Irene memanjat turun dari pohonnya. Masih ada orang yang belum berhasil ia bereskan.

Binnie mengedipkan matanya lemah. YooA adalah hal pertama yang bisa dilihatnya, kakaknya yang kini memangku kepalanya. YooA bisa saja menangis sekarang kalau ia mau. Binnie menatap matanya yang berusaha membendung air mata, tak ingin melepasnya pergi dengan kesedihan. YooA pasti mau ia pergi dengan setidaknya sebuah senyuman.

Dokyeom dan Hoshi muncul di sekitarnya tak lama kemudian. Bunyi helikopter mulai berdatangan, jasad yang jatuh di sekitar Cornucopia akan dibersihkan. Mungkin tak lama, Binnie juga akan.

"Gue bisa nyusul Jiho sama Mingyu sekarang... kan?"

Binnie tak tahu kenapa ia harus meminta izin seperti itu.

YooA menggelengkan kepalanya kuat. "Jangan. Gimana kita sekarang? Gimana gue sekarang?"

Namun hal terakhir yang mampu Binnie lakukan adalah mengulaskan sebuah senyuman. Menyusul helaan nafas terakhirnya, terdengar dentuman sebuah meriam.

Tangis YooA pecah. Ia tak bisa lama merengkuh adiknya karena bunyi helikopter lain terdengar mendekat, siap mengambil jasad terakhir. Dokyeom menepuk pundaknya dan membantunya berdiri sementara Hoshi mengangkat tubuh Binnie, membawanya menjauh dari teras Cornucopia agar helikopter lebih mudah membawanya.

Ketiganya berdiri di bawah angin yang menderu kencang, menatap capit yang turun dan membawa tubuh Binnie pergi. YooA terduduk, isakannya belum berhenti. Hoshi berlutut di sebelahnya, merangkul pundaknya dan berusaha meredam tangisannya.

Laki-laki itu menatap Dokyeom di antara bisikannya untuk menenangkan YooA.

Sekarang apa?

[a/n] ON HOLD SAMPE NEMU MOTIVASI BUAT REVISI PART AKHIR—

Continue Reading

You'll Also Like

161K 11.9K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
69.4K 6.4K 31
Cerita fanfic ini akan fokus kepada kehidupan Hong Haein dan Baek Hyun Woo sebelum mereka menikah kembali, ketika menikah, dan setelah mereka menikah...
734K 58.8K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
57.1K 6.9K 33
"Saat kamu kembali, semua cerita kembali dimulai." Kisal Sal dan Ron kembali berlanjut. Setelah banyak yang terlalui. Mereka kembali bersama. Seperti...