marked of sorrow | kpop thg!a...

By dumbanddoomba

273 27 1

Dua puluh empat idol terbangun di dua belas ruangan terpisah, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengetah... More

PROLOG
a/n
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 7

CHAPTER 6

11 2 0
By dumbanddoomba

Ada saat-saat ketika Dokyeom merasa ia berada di titik terbawah hidupnya, dan baru kini ia menyadari masih ada kepahitan lain di bawah penderitaan yang pernah ia rasakan.

Kalau ia berkata 'kita nggak bicara sama sekali semalem', Dokyeom benar-benar memaksudkannya. Setelah capit itu membawa Jiho pergi, hanya ada isak tangis yang bertahan satu-dua jam sebelum keheningan menyelimuti area kecil tempatnya beristirahat bersama.

Ia sungguh tak melakukan apa-apa selama beberapa hari selain berbicara dengan Jiho, namun entah bagaimana ia merasa letih sekali. Malam itu, ia dan Hoshi duduk di tanah, bersandar pada sebuah pohon dan memandang kosong ke kejauhan. YooA dan Binnie melakukan hal yang sama di seberang mereka.

Ia sempat berpikir mungkin ia mendadak lemas karena perutnya yang kosong. Daging yang seharusnya ia masak telah dikembalikan ke tabungnya. Semalam, dua sponsor turun berturut-turut setelah kematian Mingyu dan Jiho. Di antara mereka berempat, bahkan tidak ada yang beranjak untuk sekedar mengecek apa isi tabung itu.

Kedua tabung itu, bersama tabung daging sebelumnya, sekarang masih berada di dekat pohon tempat mereka bermalam.

Kini Dokyeom duduk di pinggir sungai, menemani Hoshi yang tengah mencuci kaosnya yang penuh cipratan macam-macam. Tanah, air sungai, darah—

Oh, tidak. Member grupnya pasti akan sangat kecewa kalau ia pulang membawa kabar duka.

Seakan membaca pikirannya, Hoshi akhirnya angkat bicara.

"Gue... ga tau apa gue siap buat keluar dari sini," ucapnya. Dokyeom mengangkat kepala, menatap kakaknya. "Gimana caranya gue ngomong ke yang lain kalo gue selamat sementara Mingyu nggak? Kalo gue gagal ngelindungi adik gue sendiri?"

Pada awalnya, Dokyeom terdiam. Ia memikirkan hal yang sama persis, tetapi membawanya ke dalam pembicaraan rasanya akan memperkeruh suasana. Tidak ada yang membutuhkan lebih banyak kenegatifan sekarang.

"Seventeen bakal lebih ngehargai kalo kita selamat, Hosh," katanya, ragu akan ucapannya sendiri. "Mereka nggak pantes kehilangan anggota lainnya lagi."

Hoshi belum sempat memberikan respon ketika Binnie tiba-tiba muncul di sebelah Dokyeom. Mengalihkan pandangan dari Hoshi sebisa mungkin, ia akhirnya bertanya.

"Dokyeomnya bisa gue pinjem?"

Hoshi menatapnya dan Binnie bergantian. "Ambil aja."

Dokyeom merengut, mengikuti langkah Binnie di belakangnya. Perempuan itu berhenti di pohon tempatnya dan YooA tertidur semalam.

"Buat lo." Binnie menyerahkan sepasang busur dan panah kepadanya. "Sori ada darah di yang itu, kapan hari gue pake berburu."

Ia mengerutkan alis tak mengerti. "Ini bukan punya lo?"

Binnie tersenyum kecil, menggeleng. "Mingyu tau lo lari dari Cornucopia. Dia udah nyimpenin ini buat lo dari hari pertama." Kedua mata perempuan itu menatap busur-panah itu sendu. "Gunain sebaik-baiknya, oke?"

Nafas Dokyeom tertahan. Mengingat bagaimana ia adalah orang terakhir yang Jiho lihat sebelum kematiannya dan bagaimana ia tak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada saudaranya, ia mengangguk mantap.

"Pergunaan sebaik-baiknya sekarang cuma buat ngebalesin dendam mereka berdua."

"Tengs."

June menyerahkan botol minumnya pada Rose, sebelum perempuan sebayanya itu mengangguk dan duduk di bebatuan di depannya. Tempat istirahat mereka malam ini tak dikelilingi banyak sesemakan, tempatnya berbatu dan agak menanjak. Agak beresiko, tapi kaki mereka rasanya sudah menyerah mengelilingi arena, mencari Mark dan yang lainnya.

Rose duduk di sebelah Jennie, yang mendapat giliran berjaga bersama malam ini. Kakaknya itu mengulas senyum tipis sebelum menatap ke angkasa. Seharusnya fragmen-fragmen langit arena bersinar, menampilkan wajah-wajah dan nama korban yang jatuh hari ini. Perempuan itu hanya menghela nafas ketika sekali lagi, tidak ada tribut yang mati.

Rose menjejak-jejakkan kakinya di bebatuan. Empat hari, dan mayoritas idol yang tewas adalah akibat ulah tangan mereka. "Gue ga tau apa gue masih kuat ngadepin permainan ini."

Ia sama kagetnya dengan Jennie yang seketika menoleh ke arahnya. Ia benar-benar tidak bermaksud untuk mengatakannya secara lisan.

"Kita nggak punya pilihan lain kalo kita emang mau keluar, Ros." Jennie akhirnya berkata, meraih tangan Rose dan menggenggamnya. Rose tahu Jennie dapat merasakan dinginnya tangannya, ketakutan akan kematian selanjutnya.

Rose menatap sayu kakaknya. "Apa iya?" tanyanya, bersama seulas senyum suram.

Jennie menatapnya sesaat, bibirnya bungkam. Rose tahu betul ketiga kawannya yang tersisa mungkin sudah muak dengan kekeraskepalaannya. Semua selalu bergerak dalam lingkaran—mereka yang menyebutkan soal membunuh tribut lain, Rose menjadi satu-satunya yang tak ingin, lalu situasi yang mendadak dingin.

"Apapun yang terjadi, apapun yang harus kita lakuin, gue bakal memastikan kita semua bisa keluar," kata Jennie, mengabaikan ucapan Rose sebelumnya. "Cuma itu yang penting sekarang."

Rose menahan diri dari tawa pahitnya. Kita bisa keluar. Bukannya memang itu janji mereka di tempat pertama? Bagaimanapun juga, apakah mereka sudah lupa kalau dua dari enam anggota mereka kini telah tiada?

Jennie berakhir tak mengucapkan apapun setelahnya, melepas genggaman tangannya dan duduk bersandar di bebatuan. Ia memutuskan untuk menghabiskan malam dalam diam.

Terakhir Rose membuka sebelah matanya, kepala Jennie sudah terkulai lemas di bahunya. Mengabaikan tugas jaganya, tampaknya perempuan itu telah terlelap. Rose tak ingin membangunkannya, toh kepalanya sendiri sekarang sudah terkantuk-kantuk menahan kelelahan.

Seharusnya sebentar lagi June dan Hanbin bangun, berganti giliran jaga dengannya dan Jennie. Tidur sesaat tidak akan jadi masalah.

Matanya sudah memburam dan kepalanya terasa semakin berat ketika suara geraman memasuki indra pendengarnya. Apa June sedang mimpi buruk? Rose tak meragukannya, mengetahui jumlah kematian yang ditanggungnya.

Sekarang, yang bisa Rose lihat tinggal lanskap hitam dan bintang-bintang yang bermunculan. Sebentar lagi ia akan bisa beristirahat dengan tenang.

Bentar, ngapain June di sebelah gue—

Rose membuka matanya atas kepala seekor serigala yang menoleh ke arahnya. Matanya bersinar memantulkan cahaya bulan—merah, tajam, mematikan. Rahangnya membuka, menampilan deretan gigi yang siap melahap apapun di depannya.

Rose terbata, "Guys..."

Matanya semakin membelalak ketika sebilah pedang menghunus leher serigala itu, menyebabkannya untuk jatuh terguling dari tanjakan bebatuan. Rose menoleh ke arah June yang sama terkejutnya dengannya, tangannya menggenggam pedang milik Hanbin yang diambilnya sementara si empunya masih terlelap.

Keduanya mengetahui Rose tak sempat mengucapkan terima kasih. Mereka lantas membangunkan Jennie dan Hanbin dalam kepanikan, membereskan barang-barang ketika suara lolongan demi lolongan terdengar dari puncak bebatuan.

"Mutts serigala," geram Jennie, sebuah sais telah bersiap di tangannya. "Cari tempat terbuka!"

Mereka berlari menuruni bebatuan, kejar-kejaran dengan mutts serigala yang cepat menyusul mereka. Bahkan setelah memasuki semak-semak dan mengambil jalan berbelok-belok pun, para mutts itu masih dapat mengikuti Rose dan yang lainnya. Kawanan serigala itu mengenal arena ini jauh lebih baik dari mereka.

"Cornucopia!" teriak Hanbin, menunjuk lurus ke depan. Kaki mereka berderap lebih cepat lagi, melompati semak-semak yang membatasi hutan dan lapangan.

Rose menoleh, mendapati empat ekor serigala yang berlari di belakangnya. Ia baru saja nyaris terlelap, kedua kakinya tak siap berlari bermeter-meter jauhnya sementara serigala berwajah mengerikan mengejarnya, semakin mendekat di belakang mereka.

"Jennie—loncat!"

Hanbin dan June memendak, Jennie bertumpu pada paha mereka untuk mencapai puncak Cornucopia. Rose menyusulnya, kemudian keduanya mengulurkan tangan untuk membantu Hanbin dan June untuk naik ke atap.

Rose menatap ngeri keempat serigala yang melompat-lompat, berusaha mencapai mereka. Ia dan yang lain terengah-engah, masih berusaha memproses apa yang barusan terjadi. Keempatnya linglung, berada di antara kelelahan dan rasa lega, sementara keempat serigala yang tadi mengejar mereka berjalan pelan kembali ke arah hutan, seakan barusan tidak terjadi apa-apa.

Rose duduk dalam diam, berusaha mengatur nafasnya kembali. Ia baru saja akan meminum air dari botol minum ketika suara lolongan lain terdengar.

Mereka berempat bertolehan. Serigala lain, mungkin berarti akan ada korban lain.

Maka berarti, akan ada orang lain yang juga pergi menuju Cornucopia.

Rose memindai keadaan di hutan sekitar tempat mereka berada. Dari arah yang berlawanan dari tempat mereka datang, gemerisik semak-semak terdengar, seiring dengan suara derap langkah kaki dan gonggongan yang menyusulnya.

Tak lama, tiga sosok manusia memasuki pandangan. Ketiganya berlari menjauh dari hutan sambil sesekali menoleh ke belakang. Dua di antaranya, satu perempuan dan satu laki-laki, melesat ke depan. Satu perempuan di belakangnya tertinggal beberapa langkah—dan Rose menyaksikan bagaimana seekor serigala berhasil menggigit kakinya.

Dua serigala lain menyusul dan turut mencabik-cabik tubuh perempuan itu. Dua orang yang tersisa berhenti berlari—yang laki-laki terlihat bersikeras untuk kembali dan menyelamatkan temannya, perempuan satunya menarik pergelangan tangan laki-laki itu dan meneriakinya.

Teriakan pilu perempuan yang kini berada di kerumunan serigala terdengar. Rose berusaha sebisa mungkin menutupi telinganya, namun jeritannya berhasil menyusup masuk ke dalam pendengarannya. Rose tak tahu siapa yang berada di sana dan menyaksikan kematian berkelebat di depan matanya, namun air mata tetap mengalir di pipinya.

Bunyi meriam pun terdengar.

Ketika Rose berpikir serangan mutts telah usai, ia melihat kedua tribut itu—yang rupanya Eunha dan Bangchan—berlari ke arah Cornucopia, dengan tiga serigala tadi menyusul di belakang mereka.

"Hanbin—tolong mereka." Rose menatap Hanbin tajam, yang tengah melihati Eunha dan Bangchan yang semakin mendekat. Rose bisa merasakan gelengan kepala Jennie dan June di belakangnya.

"Tapi—"

"For once, Bin, stop minding your own self!" teriak Rose. Ia tak menunggu respon Hanbin dan segera berlutut, menjulurkan tangannya untuk membantu Eunha menyelamatkan diri.

Rose menoleh untuk melihat Hanbin yang turut mengulurkan tangannya. Bangchan meraihnya, sehingga kini ada enam orang di atas Cornucopia dan tiga mutts serigala yang menggapai-gapai mereka semua.

Rose menghela nafas panjang, mengutarakan sebuah 'makasih' kepada Hanbin yang membalasnya dengan anggukan. Hanbin tampak membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu sebelum matanya membelalak lebar—

"JENNIE!"

Rose menoleh terkejut, menyaksikan seorang perempuan terlempar dari atap Cornucopia. Jeritannya tenggelam di antara geraman para serigala.

"Eunha—" Bangchan terpaku, menatap gerombolan serigala yang menutupi tubuh temannya. Ia berbalik, menatap Jennie yang memandang dingin mayat Eunha yang tergeletak di atas tanah. "Lo—"

Rose terkesiap. Langkah Bangchan terhenti ketika sebilah pedang menancap di dadanya.

"Jun..." Hanbin melirih, menatap adiknya tak percaya.

Satu lagi meriam terdengar. Ketika helikopter datang dengan suaranya yang meraung-raung, pedang milik Hanbin yang tertancap di dada Bangchan telah dicabut, mayatnya jatuh terbanting ke atas tanah. Rose menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Kecewa yang ia rasakan kini tak lagi terbayangkan.

Jarak di antara Irene dan Jin dengan Ten dan kelompoknya bisa dibilang merupakan garis do or die. Lebih lama lagi mereka mengulur waktu untuk melakukan apa yang harus mereka lakukan, ketiga orang itu akan menyadari keberadaan mereka sebelum Irene siap melepaskan panahnya.

Irene menyaksikan argumen Ten dan Chungha yang semakin berisik. Memang baru sepuluh menit Irene dan Jin berdiri di sana, namun tampaknya perdebatan mereka sudah berlangsung sejak sebelumnya. Mark tidak tampak dalam pandangan, menyebabkan keberadaan mereka semakin rawan.

Ia mendengar soal Ten yang berencana membunuh setidaknya satu tribut lain, karena tangannya kosong sejak hari pertama dan ia membutuhkan senjata. Chungha menolaknya dan bersikukuh untuk tetap pada rencana awal—tidak menyerang apabila tidak diperlukan.

Irene tersenyum tipis. Semua orang yang berprinsip demikian akan berakhir sepertinya, lagipula.

Ia berdiri, hanya setengah tubuhnya bersama dengan busur dan panahnya yang tampak dari balik pohon. Jin turut berdiri dan memunggunginya, berjaga apabila Mark tiba-tiba muncul dan menyerang mereka.

Irene menahan nafas. Ten, yang dulu adiknya...

"Maaf."

Pekikan Chungha terdengar. Irene belum menurunkan busurnya, menatap tubuh Ten yang jatuh ke atas tanah, serta Chungha yang menatap terkejut—bukan ke arah mayat Ten lagi, melainkan ke semak-semak di kanannya.

Irene mengernyit.

"Udah, kan?" Jin bertanya, menepuk pundaknya, ikut melihat Chungha yang kini berlutut. "Ayo pergi—sial."

Irene dan Jin otomatis merunduk. Irene tahu empat orang memasuki tempat Ten dan Chungha tadi berada—dan orang-orang itu pun mungkin mengetahui keberadaannya. Ia mendengar bisik-bisik 'ini bukan panah Chungha' dan 'pasti bukan Mark' sayup-sayup, dan jantungnya kini berdebar parah.

"Itu Mark." Jin menunjuk sosok seseorang yang bersembunyi di balik pepohonan seperti mereka di kejauhan. Mengetahui keadaan kelompoknya yang tidak diuntungkan, mungkin ia memilih untuk lari setelah ini. Bunyi meriam lain terdengar. Chungha telah tiada.

Jin kemudian membalikkan badan, mengintip dari balik semak-semak. "Itu kelompok Hanbin. Mereka mencar. Mungkin nyari kita."

"Jennie temen gue. Mungkin kalo gue negosiasi kita bisa lari." Irene menatapnya yakin, namun Jin tidak sama yakinnya. Ia menggelengkan kepalanya.

"Di antara semua cara buat bertahan hidup dan menang, mereka percaya ngebunuh tribut lain itu satu-satunya cara. Kalaupun Jennie mau ngebiarin kita lari, apa menurut lo temennya yang lain bakal?"

Irene menatap Jin tak percaya. Suara langkah kaki dan gemerisik sesemakan kian mendekat. Waktu mereka untuk memutuskan semakin menipis.

"Malam itu Jaehyun mati, dan Jennie pembunuhnya."

Akhirnya Jin mengungkapkan, yang disambut dengan mata Irene yang membelalak dan mulut yang menganga dalam keterkejutan. Selama ini hanya Ten dan June yang dijadikannya target—sebab ia pikir June yang melakukan semuanya sementara ia membalikkan badan, tak sanggup melihat pembantaian teman-temannya.

Jin menepuk pundaknya. Irene ketakutan melihat keyakinan yang nyaris tersurat di matanya. "Gue udah janji buat ngelindungi orang yang bisa gue lindungi. Pemenangnya cuma ada satu, Rin—dan itu lo."

"Jin—" Irene menutup mulutnya, menatap Jin yang tiba-tiba berdiri dengan pedang miliknya di tangan. "Sinting."

"Lari."

Adalah kata terakhir yang laki-laki itu ucapkan sebelum ia berjalan ke arah seseorang yang bahkan Irene tak sempat mengetahui siapa. Tanpa persiapan ia melesat, air matanya tak lagi dapat terbendung setiap kakinya melangkah lebih jauh dari teman sedistriknya. Setiap langkah terasa seperti satu pengkhianatan, meninggalkannya di sana menghadapi kematian sendirian sementara ia berlari untuk menyelamatkan diri.

Jin telah hilang dari pandangan ketika bunyi meriam ketiga hari itu terdengar. Irene bersandar di sebuah pohon, punggungnya merosot turun. Kalau ia sudah cukup merasa sendirian di saat Yeri pergi, ia tak tahu lagi apa yang ia rasakan setelah orang terakhir yang ia percaya mati.

Ia menatap pepohonan di depannya ngeri. Sekarang ia benar-benar seorang diri.

YooA dan yang lainnya akhirnya cukup percaya diri untuk menyalakan api unggun dan memasak daging dari sponsor yang Dokyeom terima kapan hari. Mereka merakit alat sederhana untuk memanggangnya—mungkin cara yang sama dengan apa yang manusia lakukan di zaman prasejarah. Kalau misal ia berhasil keluar dan rupanya dunia sedang di ambang kehancuran, YooA sudah siap hidup menjadi manusia gua.

Semuanya terlihat lebih baik sekarang. Ada kesedihan yang tersisa di raut muka mereka, namun perbincangan terus berjalan. Dokyeom yang sebelumnya kelihatan benar-benar terpukul kini melontarkan lelucon secara tiba-tiba, serta tawa Binnie yang akhirnya dapat terdengar.

Di antara bunyi obrolan dan percikan api pemanggangan, lagu kebangsaan Panem—negara fiksi yang sejujurnya benar-benar kacau—terdengar, beserta dengan munculnya nama-nama dan wajah tribut yang telah pergi.

Rahang YooA mengeras. Enam tribut. Ia cukup yakin hampir semuanya adalah ulah Hanbin dan yang lainnya.

Ia mengalihkan pandangannya pada Hoshi yang masih fokus pada daging yang mereka panggang, entah saking laparnya atau karena ia tak lagi peduli.

"Perhatian, para tribut."

Kepalanya kembali menatap langit malam ketika suara wanita yang mereka dengar di hari latihan pertama terdengar. Masih tidak ada sosok yang terlihat—rasanya seperti mendengar wahyu dari Tuhan.

"Besok adalah hari keenam di arena. Akan diadakan Feast, di mana Cornucopia akan diisi dengan barang-barang penting yang kalian butuhkan."

Mereka bertolehan.

"Selamat malam, semoga Tuhan menyertai kalian."

YooA mengangkat alis atas kalimat terakhir. Dokyeom tertawa pelan mendengarnya, sementara Binnie mendecih dan menggelengkan kepala. Hoshi tersenyum mengejek. YooA bisa menduga ia menyimpan cemoohan dalam hatinya.

"Seterpuruk apapun kita sekarang, kita nggak bisa lengah," ucap Hoshi. "Gue ga nyuruh kalian buat berhenti bersedih. Yang mau gue bilang, Mingyu sama Jiho bakalan kecewa kalo kematian mereka berakhir sia-sia. Gue mau kita berjuang demi mereka."

YooA dan yang lainnya mengangguk mantap. Duka yang mereka rasakan sebelumnya kini telah menjelma menjadi keinginan untuk membalaskan dendam.

"Feast yang tadi dibilang... itu apa?" tanya Dokyeom.

"Katanya, gamemaker bakal ngadain event-event—kalo mereka mau—salah satunya Feast. Senjata, makanan-minuman, tenda, macem-macem yang bakal kita butuhin bakal dipasok lagi di Cornucopia. Jadi itu semacam Bloodbath kedua," kata Binnie.

Mendengar 'katanya' dan mengetahui fakta bahwa mereka tidak benar-benar berbincang dengan siapa-siapa di tempat latihan, YooA menyimpulkan kalau Mingyu-lah yang memberitahu Binnie informasi ini. Mungkin benar, sebab ekspresi adiknya itu tiba-tiba terlihat sedikit muram.

"Berarti kemungkinan besar tribut-tribut pada ke sana, kan?" tanya YooA.

"Belom tentu," kata Hoshi. Akhirnya ia menyingkirkan potongan daging dari bara api, menggunakan pisau milik Binnie untuk memotongnya. "Kalo emang bener ini kayak Bloodbath, mungkin bakal ada tribut yang cari aman dengan nggak dateng ke sana."

YooA dan Binnie mengangguk-angguk dan menerima potongan daging dari Hoshi, sementara Dokyeom justru menopang dagunya dengan kedua tangan sambil mengunyah makanannya.

"Tapi ya," kata Dokyeom setelah dua menit berlalu, mengundang perhatian dari ketiga orang lainnya yang sedang menikmati makanan, "gue baru sadar kalo sisa tribut tinggal kita berempat, June berempat, Irene, sama Mark."

Suara kunyahan tiba-tiba berhenti. Iya juga. Mereka menatap satu sama lain, sama-sama baru menyadari hal itu.

"Nice catch, bro." Hoshi menepuk punggung adiknya, yang dibalas dengan senyum lebarnya.

"Ngeliat pergerakan Hanbin sama yang lain selama ini, gue rasa mereka bakal ke Cornucopia." YooA berkata seraya mengambil potongan daging lain. "Mereka ngeliat Feast sebagai tempat nyari mangsa."

Dokyeom bergumam setuju. "Yang kita tau mereka semua petarung jarak dekat, dan June..." ia berdehem sesaat, "udah gapunya senjata lagi."

YooA mengangguk lemah. Tatapan Dokyeom terlihat sedikit lebih suram.

"Kalo kita berhasil ngebunuh mereka di Feast besok, kesempatan kita buat keluar jadi lebih besar. Kita punya tiga pemanah, jadi gue rasa kita bisa lebih unggul dari mereka," ucap Hoshi. Ia menatap Binnie yang mengacungkan jari telunjuknya pada dirinya sendiri.

"Gue cuma punya pisau lempar," katanya.

Semua terdiam, tampak memikirkan sesuatu.

"Besok kita bagi jadi dua tim," kata Hoshi. "Gue bakal ngecover Binnie yang ke Cornucopia buat ngambil panah, Dokyeom sama YooA tetep di pinggir buat back-up kita berdua. Kalo kalian ngeliat siapa-siapa yang bakal ngejatuhin kita... tembak. Jangan mundur."

YooA dan Dokyeom mengangguk bersamaan.

Rencana awal yang seharusnya bertahan hidup tanpa mengusik kehidupan tribut lain telah berubah. Rencana mereka sekarang adalah terus melawan untuk melangkah keluar, apapun konsekuensinya.

YooA sekali lagi menginjak sisa-sisa panggangan apa adanya tadi. Abunya masih tersisa dan ada sedikit sisa bara api yang masih menyala, tapi setidaknya sudah tidak ada lagi asap yang mengepul.

"Udah?" Binnie bertanya, menyelempangkan wadah anak panah milik Dokyeom yang sekali lagi dipinjamnya. YooA mengangguk.

"Jangan muter jauh-jauh. Amanin aja sekitar sini sama seberang sungai," ucap Hoshi mengingatkan, sebelum memanjat pohon untuk beristirahat.

"Siap."

YooA dan adiknya baru saja berjalan beberapa langkah ketika tiba-tiba terdengar bunyi meriam. Mereka bertolehan.

Hanya tersisa sepuluh tribut, dan masih ada kematian?

Continue Reading

You'll Also Like

1M 86.1K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
54.9K 8.5K 52
Rahasia dibalik semuanya
826K 87.4K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
248K 36.9K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...