marked of sorrow | kpop thg!a...

By dumbanddoomba

273 27 1

Dua puluh empat idol terbangun di dua belas ruangan terpisah, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengetah... More

PROLOG
a/n
CHAPTER 1
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7

CHAPTER 2

22 3 0
By dumbanddoomba

Mingyu berpangku tangan. Dokyeom sudah menghabiskan satu bundel panah dan Jiho sepertinya sudah menyelesaikan satu paket tes menyortir tumbuhan dan serangga yang dapat dimakan di ruangan sebelah, namun Hoshi belum datang juga. Atau jangan-jangan dari tadi dia sudah datang, tapi Mingyu saja yang terlalu grogi untuk keluar?

Binnie meliriknya sedikit, lantas tertawa. Mingyu semakin merengut lagi ketika Dokyeom ikut menertawainya.

"Apa?"

"Deg-degan banget kenapa sih Ming," ucap Dokyeom, seraya mengambil satu lagi paket panah di rak. "Jalanin aja kayak biasanya nyelesaiin masalah di rumah. Hoshi ga bakal baper-baper banget juga."

Mingyu menghela nafas. Masalahnya, yang kemarin ngegas bukan Dokyeom. Mana tahu dia seberapa nervous Mingyu sekarang. Akhirnya dia memilih untuk mengangguk-angguk saja.

"Dateng tuh."

Mingyu menoleh, mendapati Jiho yang melangkah masuk. Perempuan itu menyilangkan tangannya di depan dada, berdiri di sebelah Binnie sambil mengarahkan dagunya ke dua orang yang berjalan ke tempat panahan.

Ketika enam orang sudah berada dalam ruangan, rasanya Mingyu mau menyerah saja. Lima pasang mata itu sekarang mengarah padanya, membuatnya menelan ludah. Tampil di atas panggung dengan ratusan ribu penonton entah kenapa rasanya lebih baik daripada sekarang.

"Gue... minta maaf." Mingyu berkata pelan, pandangannya jatuh ke atas lantai keabuan. "Seharusnya gue tau kalo lo udah mikirin keselamatan kita semua."

Suasana hening. Untuk beberapa saat, yang bisa Mingyu dengar hanyalah suara obrolan orang-orang di luar ruangan dan denting senjata.

Mingyu mengangkat kepala untuk melihat Hoshi yang mengulum senyum, menahan tawa. Laki-laki itu merentangkan tangannya dan bergerak untuk memeluk Mingyu dan menepuk punggungnya. Mingyu menganga, menatap Binnie dan yang lainnya yang cuma tersenyum melihatnya. Dokyeom tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya dan memeluk mereka berdua.

"Gue sayang sama lo semua, oke? Percaya sama gue, ini yang terbaik buat kita semua," kata Hoshi seraya melepas pelukannya.

Mingyu tak bisa berkata dirinya sudah merasa lega. Keberadaan mereka yang masih entah di mana dan nasib mereka ke depannya masih tak diketahui, namun setidaknya masalah di antaranya dan Hoshi telah selesai. Tinggal satu hari latihan lagi, dan akhir cerita mereka baru akan dimulai.

Meninggalkan Mingyu dan kegiatan berbaikannya, YooA beranjak untuk mengambil salah satu busur ketika dua orang lain memasuki ruangan. Ia tak sempat melihat keduanya, berakhir nyaris mengabaikan mereka sampai akhirnya salah satu dari mereka menyapanya.

"YooA."

"Oh." Nyaris saja satu rak berisi busur ia robohkan. "Oh, Taeyong. Hai." Ia tersenyum riang, agak terlalu riang untuk suasana dingin yang menyelimuti tempat latihan.

Laki-laki itu membalas senyumannya, pun mengambil salah satu busur dari rak. Mark di belakangnya menyusul kegiatannya.

YooA tahu Taeyong juga terbawa nasib sialnya ke dalam penculikan yang berujung permainan mematikan ini sejak hari pertama, tapi belum pernah terlintas pikiran untuk menyapa atau membuka pembicaraan dengannya. Tapi basa-basi apa? Ceritakan bagaimana kronologi penculikanmu?

"YooA." Ia menoleh ke arah suara Hoshi, mengajaknya keluar untuk membiarkan Taeyong dan Mark berlatih. YooA baru sadar kalau Jiho dan adik-adiknya yang lain sudah keluar terlebih dahulu, menyisakannya yang berdiri dengan busur di tangan, menyaksikan latihan kedua anggota NCT dalam diam.

Ia berlari kecil menyusul Hoshi setelah meletakkan busurnya kembali di rak. "Kenapa?"

"Gue yang tanya, ngapain lo pake acara jadi hieroglif segala," komentar Hoshi. "Sumpek delapan orang di satu ruangan. Kita mau ngomongin rencana juga."

YooA mengernyit, menunjuk dirinya sendiri. "Gue juga ikut?"

Hoshi mengangguk, segera menyusul keempat orang lainnya yang berada di area penyamaran—tempat yang cenderung sepi, di mana akhirnya YooA melihat tumbuh-tumbuhan yang rupanya imitasi. Ada kaleng-kaleng cat dan tumpukan lempung yang gunanya untuk menyamarkan tubuh peserta dengan alam. Mungkin sekarang sudah kering, karena setahunya belum ada tribut yang pernah menggunakannya.

"Jadi, gue setuju buat tetep di Cornucopia." Mingyu memulai diskusi setelah YooA dan Hoshi berkumpul bersama mereka. "Gue bisa paham kalo lo berdua—" ia mengarahkan pandangannya pada Dokyeom dan Hoshi, "—ga setuju sama ini, lagian pemenangnya juga cuma satu—tapi gue mau Binnie sama yang lainnya gabung sama kita."

Dilihatnya Hoshi dan YooA yang mengangkat alis. Hening yang Mingyu pikir akan berlangsung lama nyatanya segera dipecah dengan suara Jiho.

"Gue juga semalem ngomongin soal ini sama Dokyeom," ujarnya, yang dibalas dengan anggukan kepala teman sedistriknya. "Kita mau ngebikin aliansi."

Kini seluruh mata memandang ke arah Hoshi dan YooA bergantian. Keduanya tampak berunding lewat tatapan mata, yang diakhiri dengan YooA yang mengangkat bahunya santai.

"Gaada salahnya sih, bikin kelompok. Agak aneh ngeliat kita semua masing-masing satu distrik," katanya. "Kita udah punya dua pemanah, tapi susah juga kalo cuma Jiho yang petarung jarak dekat."

"Gue aja bukan petarung," sahut Jiho. "Gue latihan pisau gara-gara gue beneran ga punya keahlian."

YooA menepuk pundak Jiho, mengulum senyum. "Jadi... gue ngerasa kalo kita bikin kelompok, itu bakal menguntungkan," tutupnya. "Hoshi?"

Laki-laki itu mengangguk, menatap satu per satu temannya. "Setuju."

Meski akhirnya keenam orang tersebut tersenyum dan sepakat untuk menjaga satu sama lain, YooA menangkap raut ragu dan khawatir dari wajah Hoshi. Ia memutuskan untuk tidak membicarakannya.

Hari ketiga berlalu tanpa sesuatu yang spesial.

Bobby melangkah berat menyusul Jisoo yang telah berdiri di depan lift. Ia bahkan tak begah setelah menyantap macam-macam sarapan yang disediakan seperti biasanya. Tetapi fakta bahwa ini adalah hari terakhir latihan tiba-tiba menyerang dirinya. Seburuk apapun kenyataan bahwa mereka merupakan korban penculikan dan sudah memegang macam-macam senjata dalam empat hari, apa yang akan terjadi setelahnya lebih membuatnya bergidik.

"Perlu dicubit biar tau kalo lo ga lagi mimpi?" tanya Jisoo, menatapnya sebal karena wajah bantalnya.

Bobby mendengus. "Dikira gue belom nyoba apa sebelumnya?"

Jisoo menggelengkan kepalanya. "Otak lo ga pernah kepake, Bob. Kaget aja kalo lo pernah kepikiran sesuatu."

Bobby belum sempat memprotes ketika lift akhirnya berdenting dan pintunya membuka. Tidak ada siapa-siapa di dalam—antara mereka yang terlalu pagi atau justru terlalu kesiangan. Bobby tak pernah benar-benar memperhatikan waktu di apartemen maupun tempat latihan.

"Nervous?" Jisoo bertanya.

Bobby meliriknya. "Siapa yang nggak?"

"Hm." Jisoo tersenyum simpul. "Semangat, Bob. Hanbin naruh harapan di kita semua. Jangan bikin dia kecewa."

Bobby mengangguk, dan sisa waktu sebelum mereka tiba di tempat latihan mereka habiskan dalam diam. Baru ada beberapa tribut yang tiba, Mark dan Yeri di tempat panahan, serta Eunha dan Bangchan yang menatap mereka dalam diam. Bobby seketika merasa tak nyaman. Ia tak tahu bagaimana rencana mereka tiba-tiba tersebar dan reputasi kelompok pembunuh berdarah dingin tiba-tiba ada di tangan mereka.

Rupanya Hanbin dan June tengah berlatih di ruang simulasi, dengan Jennie yang melihati mereka dari balik tembok kaca. Rose baru memasuki ruang senjata tajam setelah Bobby dan Jisoo datang.

"Hanbin, June." Jennie mengetuk pintu kaca, menunjuk ke belakang punggungnya, di mana teman-temannya berada. Keduanya mematikan simulasi, menaruh pedang dan tombak di tempat semula.

Seperti sebelumnya, mereka berdiri dalam lingkaran. Bobby nyaris dapat melihat ketegangan yang mereka rasakan.

"Mungkin ini terakhir kalinya kita kumpul sebelum ke arena. Ga usah aneh-aneh yang bikin cedera, jangan makan banyak-banyak—jangan dikit-dikit, istirahat yang cukup."

Bobby mengangguk suram. Hatinya mencelos. Itu yang biasa Hanbin ucapkan sehari sebelum proses comeback mereka dimulai.

"Rekap rencana," ucap Hanbin. Yang lain mendengarkan dengan seksama. "Alarm bunyi, langsung ke Cornucopia. Ambil apa yang dibutuhin. Jennie, Bobby, June, lo tau apa yang harus lo ambil. Kalo sempet dan gak ngelibatin pertarungan, ambil ransel. Jisoo, Rose, ambil perlengkapan survival atau ransel yang ada."

Bobby dan yang lainnya mengiyakan.

"Kita gerak cepat," lanjut Hanbin. "Jangan tabrakan sama tribut lain. Kita langsung masuk jauh ke area hutan, cari tempat yang kiranya aman."

Sekali lagi mereka mengangguk. Hanbin menghela nafas panjang, menatap mereka satu per satu.

"Sebisa mungkin, tetep bersama. Jangan mencar."

Ia merentangkan kedua tangannya, merangkul June dan Bobby di sebelahnya, membentuk lingkaran bersama. Bobby melantunkan sebuah doa, pun Rose di sebelahnya, sebelum Hanbin akhirnya berkata.

"Kita bisa keluar," ucapnya. "Enam orang di sini, apapun caranya, harus keluar."

Bobby mengangguk. Ikatan yang tidak ia miliki dengan tribut lain tidak membuat pembunuhan terdengar lebih gampang. Namun mengingat keluarga dan saudara segrupnya yang berada di luar sana...

Ia rela melakukan apa saja.

"Ke mana?" Jin sedikit mengeraskan suaranya. Jarak dari pintu kamarnya ke lift memang sebegitu jauhnya.

"Lift," jawab Irene pendek. Ia benar-benar tak bermaksud untuk membuat kesal teman sedistriknya, tapi memang mau ke mana lagi ia selain ke tabung bergerak itu? Setahunya, ruang latihan tak lagi dapat dikunjungi di malam terakhir ini. Jin memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan dengan memasuki kamarnya kembali.

Ketika lift berdenting, Irene segera memasukinya. Ia tahu lift itu tidak akan membawanya ke lantai enam meskipun ia telah memencet tombolnya—selama ini lift itu hanya mau bergerak ketika Irene menekan tombol lantainya sendiri atau lantai tempat latihan—maka ia menunggu sampai Yeri menekannya. Mungkin wanita di balik speaker yang terakhir kali berbicara di hari pertama juga kesal melihatnya berdiam diri di dalam lift.

Irene menghela nafas lega ketika pintu lift akhirnya menutup dan sebuah layar digital di atasnya menunjukkan angka enam.

"Hei," sapa Yeri ketika Irene akhirnya tampak di lantai apartemennya. "Sini."

Irene menggeleng. "Jangan di apartemen. Gue mau bicara empat mata."

Yeri mengernyit. Ia menatap sesaat Mark yang tengah menonton televisi, dan melangkah masuk.

Tak lepas dari tatapan bingung Yeri, Irene juga baru berpikir mengapa mereka harus berbicara di dalam lift. Tapi setelah empat hari berada di gedung belasan lantai ini dan hanya dapat mengunjungi apartemen sendiri serta tempat latihan, tempat teraman yang tidak memungkinkan adanya orang yang menguping hanyalah lift yang hanya akan menutup ketika ada orang lain yang menekan tombolnya.

Tampaknya tribut-tribut lain pun menyadari akan hal ini, sebab baru saja Yeri melangkah masuk, pintu itu telah menutup dan menampilkan angka 12 di layar digitalnya.

"Gue takut." Yeri mengungkapkan, tangannya bertautan. "Gimana kalo gue ga bisa kembali?"

Irene menyandarkan punggungnya di dinding lift. "Kita semua takut, Yer," ucapnya, ketika lift berdenting dan pintunya terbuka. Bobby yang muncul di hadapan mereka kehabisan kata-kata ketika Irene menatapnya tajam.

"Sori. Pake aja dulu."

Yeri menahan tawa ketika laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan menjauh. Irene menggelengkan kepalanya. Ia tahu benar Bobby bersama dengan teman-temannya telah membentuk satu kelompok yang disegani. Irene bakal kalap kalau rencananya dan Jin terbongkar karena Bobby atau Jisoo mendengarnya.

Ia bertatap-tatapan dengan Yeri untuk beberapa saat dalam diam, sampai akhirnya lift menutup kembali dan bergerak menuju lantai satu.

"Gue sama Jin mau tetep di Cornucopia," kata Irene tanpa basa-basi. Yeri menatapnya heran.

"Tapi dari hari pertama mentor nyuruh buat lari, kan?" Pandangan Irene jatuh ke lantai lift mendengar ucapan Yeri. "Ayolah, Rin. Bloodbath terlalu berisiko buat diikutin."

Pintu lift terbuka, kini menunjukkan Hanbin yang menaruh kedua tangan di sakunya. Apa yang terjadi selanjutnya tak jauh beda dari teman segrupnya tadi—ia meminta maaf dan berjalan ke arah yang berlawanan untuk membiarkan Irene dan Yeri menggunakan liftnya.

Satu lagi keheningan sebelum pintu lift menutup dan mereka menuju lantai tempat apartemen Irene berada.

"Buat ngelindungi lo, gue butuh persenjataan. Terserah lo mau ikut apa nggak. Cuma kalo lo lari, pastiin jangan jauh-jauh dari gue."

Yeri tersentak. "Gue bisa ngelindungi diri gue sendiri."

"Gue kakak lo, Yer. Natural kalo gue berusaha buat ngelindungi lo." Irene menepis argumen adiknya. Yeri mengangkat tangannya, menyerah. "Mark ga bilang apa-apa soal tetep di Cornucopia? Gue curi denger waktu mereka kumpul, katanya rencananya gitu."

Yeri mengangkat sebelah alis. "Nggak, tuh. Perlu gue tanyain?"

Irene merenung sesaat. Taeyong dan anggota NCT lainnya juga merupakan bagian dari keluarganya. Sebagai yang tertua, Irene bisa saja mengasumsikan posisi ketuanya di antara mereka semua. Namun, kenyataan bahwa hanya akan ada satu pemenang mengingatkannya.

Tekanan paksa untuk bertahan hidup membuat mereka mau tidak mau percaya bahwa nyawa mereka dipertaruhkan dan merupakan prioritas utama, menyebabkan kemabukan atas kemenangan yang nyatanya mereka dambakan. Bukan haus akan, tapi harus didapatkan.

Irene menggeleng. "Jangan," ucapnya tegas. "Lebih baik kita kerja sendiri-sendiri."

Yeri menatapnya sendu. Ia pun sadar kalau pembunuhan pada akhirnya tak terelakkan.

Irene merengkuh adiknya ke dalam pelukan. "Janji, lo bakal jadi prioritas gue. Gue bakal berusaha buat ngebawa kita berdua keluar dan kumpul sama yang lainnya lagi."

Ketika bunyi denting lift terdengar, Irene melepaskan pelukannya. Jin berdiri di depannya, berkacak pinggang dengan ekspresi khawatir.

"Sampai besok." Yeri tersenyum simpul ke arah Irene yang kini berdiri di sebelah teman sedistriknya, menganggukkan kepalanya kepada Jin, dan menghilang di balik pintu lift setelah menekan tombol lantai apartemennya.

Irene menghela nafas. Berat rasanya menyadari hari-hari latihan di sini terlalu jauh lebih baik dibandingkan apa yang akan mereka hadapi di arena nanti. Ia terjatuh ke lantai tanpa ia sadari ketika tiba-tiba berkelebat di pikirannya; apa yang akan terjadi apabila ia tak dapat melindungi Yeri?

YooA duduk di salah satu sofa di ruang tamu dengan selimut yang ia ambil dari kamar menutupi nyaris seluruh tubuhnya. Entah karena udara yang terlalu dingin atau kegugupan atas fakta bahwa tinggal menghitung jam sampai permainan dimulai, kakinya mulai menggigil. Hanya kepalanya yang terlihat di antara tubuhnya yang diselubungi selimut tebal.

Hoshi duduk di seberangnya dengan handuk yang disampirkan di bahunya. Air masih menetes dari rambut pirangnya yang baru dikeramasi. "Kenapa lo?"

YooA mengangkat bahu, meski ia tak tahu apakah Hoshi dapat melihatnya atau tidak.

"Nggak sakit, kan?" tanyanya. "Kalo lo sakit sekarang besok gue hanyutin di sungai."

YooA tertawa pelan. Kalau dia sakit sekarang... YooA tidak akan menyalahkan Hoshi kalau tubuhnya akan dihanyutkan di sungai atau dilempar dari tebing. Fakta bahwa ia memimpin lima orang saja terdengar cukup sulit, apalagi jika salah satunya sakit. Daripada menjadi hambatan bagi teman-temannya untuk menang, YooA lebih memilih untuk menyerah saja.

Tatapan khawatir Hoshi kapan hari ketika mereka setuju untuk membentuk aliansi terngiang. Bahkan sekarang pun, ketika keduanya menonton televisi dengan acara yang sama seperti sebelum-sebelumnya, raut yang menunjukkan keraguan itu masih terpampang di wajahnya.

"Hosh," panggil YooA. Laki-laki itu menoleh ke arahnya. "Jangan ngerasa terbebani gara-gara posisi ketua otomatis ada di tangan lo. Gue juga yang paling tua di antara member-member gue di sini, jadi kalo lo mau cerita... cerita aja. Jangan disimpen sendiri."

Rasanya seperti YooA barusan memecah sesuatu di pikiran Hoshi. Ia tampak terkesiap untuk sesaat sebelum tatapannya melemah dan helaan nafas panjang terdengar. Hoshi menaikkan kakinya ke atas sofa, salah satu tangannya menyisir rambutnya yang masih basah.

"Di luar, di Seventeen—gue juga ketua." Ia menopang dagunya dengan tangan kirinya. "Tapi ada dua orang lain yang bersama gue megang kendali sebagai ketua. Sumpah, Yoo... jadi leader ga pernah seberat ini rasanya."

YooA terdiam. Ia yang pertama menyuruh Hoshi untuk tidak menyembunyikan perasaannya, tapi kini dadanya terasa berat. Menjadi ketua dalam urusan penampilan tiga belas orang tiba-tiba terdengar ringan dibandingkan memimpin sekelompok kecil orang, di arena pembunuhan.

YooA akhirnya melangkah, kakinya yang dingin bertemu dengan lantai apartemen yang sama dinginnya. Ia mendudukkan diri di sebelah Hoshi yang kini mengubur wajah di telapak tangannya, lantas menepuk punggungnya.

"Semuanya baik-baik aja, Hosh," ucapnya. "Seenggaknya, sekarang semua baik-baik aja."

YooA tidak akan berbohong kalau kenyataan tidak akan mungkin sebaik itu pada mereka semua di arena. "Gue ga berharap lo bakal ngelakuin segala hal demi kita semua. Kita di sini buat satu sama lain, oke?" Ia beringsut, kembali menenggelamkan diri dalam selimutnya.

Setelah beberapa detik dihabiskan dalam diam, Hoshi akhirnya mengusap wajah dan bersandar di sofa. YooA seketika berpikir kalau barusan ia terlelap ketika YooA menasihatinya.

"Makasih." Hoshi akhirnya berucap, tersenyum simpul ke arah YooA yang akhirnya lega mengetahui laki-laki itu mendengarkannya.

Malam terakhir di apartemen itu mereka habiskan dengan menonton dokumentasi alam, yang tidak serius mereka tonton kecuali membicarakan bagian-bagian yang mengingatkan mereka ke suatu tempat di dunia luar yang pernah mereka kunjungi. Selain itu, mereka tenggelam dalam hening.

YooA terus berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.

Tapi... apa iya?


Continue Reading

You'll Also Like

54.5K 7K 45
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
93.7K 14.3K 19
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
339K 28.2K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
72.8K 6.6K 50
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...