[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan...

By nourapublishing

280K 42.2K 7.9K

Kian Erlangga, penulis novel non-romance dengan ratusan ribu penggemar, gagal menggarap cerita romansa remaja... More

Prolog
Bab 1: Kian - Ameba
Bab 2: Laudy - Semak Berjalan
Bab 3: Senin - Perjanjian
Bab 4: Pagi - Pertama Kali
Bab 5: Tangan - Genggaman
Bab 7: Two Is Better than One
Bab 8: Pesta - Malapetaka
Bab 9: Rasa - Pura-Pura
Bab 10: Sepasang Sepatu
Bab 11: Permainan - Kemungkinan
Bab 12: Yang - Tersayang
Bab 13: Buka - Rileks
Bab 14: Luka - Berbagi
Bab 15: Akuarium dan Ikan Terbang
Bab 16: Pelukan - Dekapan
Bab 17: Truth or Dare
Bab 18: (Not) At the First Sight
Bab 19: Roses Are Red
Bab 20: Daftar ke-10
Introducing Character: Laudy
Bab 21: Kian - Orlando
Introducing Character: Kian
Bab 22: As You Like It
Introducing Character: Abim
Bab 23: Hujan - Berderai
Introducing Character: Arsen
Bab 24: Bintang-Bintang
Introducing Character: Nando
Special Chapter: Bros Before Hoes
Special Chapter: Paranoia
Special Chapter: Jodoh untuk Nando
Bab 25: Kembali, Semula
Bab 26: Pengakuan - Kejutan
Vote Cover
Vote Cover Winner
Bab 27: Lepas, Bebas
Bab 28: Jatuh, Sejatuhnya
Bab 29: Bestfriends - Beastfriends [END]
Lomba Review
Brainstorming
Review Winner
Wawancara Karakter dengan MiNus
Novel vs Wattpad
Cover & Blurb
Moving Out of (What I Thought) My Comfort Zone
Wawancara Penulis
Tanya Penulis
Penulis Menjawab
Merchandise dan Jadwal PO
PO Dimulai!
PO Diperpanjang!

Bab 6: Ratu - Pengganggu

7.6K 1.2K 47
By nourapublishing

"Ada jenis manusia yang ... kesalahan terbesarnya adalah bernapas,

dan kita membenci orang itu karenanya."



Sambil mengetuk-ngetukkan jermari panjangnya di atas meja kayu persegi yang menunjukkan serat, cowok jangkung berwajah tirus dengan potongan rambut cepak itu menghitung mundur, lalu menghela napas kasar. Ada dua hal yang membuatnya tidak nyaman sejak tadi. Pertama, pesanan piza yang tidak kunjung datang meski rasanya sudah lewat dari dua puluh menit yang dijanjikan pelayan. Dan, alasan kedua ....

"Nan, lo kalau mau maho, mahoan sendiri aja, deh. Jangan ajak-ajak gue," ucapnya pada akhirnya, setengah berbisik.

Bukan tanpa alasan Arsen, cowok itu, merasa gelisah dengan keadaan mereka sekarang. Masalahnya, mereka hanya berdua, setelah pertemuan di depan fakultasnya, Fakultas Kedokteran, yang berlanjut pada kesepakatan melipir ke kedai piza tepat di samping kampus. Berdua, berhadap-hadapan, cowok sama cowok, dengan Nando yang senyum-senyum sambil menatapnya penuh cinta. Jelas saja cewek-cewek yang dia duga berasal dari fakultas yang sama dengannya di meja ujung sana mulai berbisik-bisik mencurigakan sambil sesekali mencuri pandang.

"Apaan? Gue cuma bahagia ketemu lo lagi," jawab Nando dengan suaranya yang waktu lahir sepertinya langsung diberi camilan toa masjid. "Sekarang lo makin ganteng, ya!"

Tuh, kan!

Cewek-cewek itu makin berbisik-bisik heboh.

"Thanks, Bro. Tapi, enggak perlu diingetin. Lo adalah orang ke-2376 yang memuji gue hari ini."

Menjilat ludah sendiri, boleh? Nando membatin. Seharusnya, dia tidak lupa bahwa Arsen itu terlarang untuk dipuji. Terbangnya jauh, susah kembali ke bumi.

"Hidung lo gede! Gue mah basa-basi doang, siapa tahu ditraktir calon dokter, gitu."

Atau, tepatnya, calon dokter yang tidak punya harapan. Karena, mengabaikan biaya semesteran yang selangit itu, Arsen justru lebih sering meninggalkan kuliahnya demi Mapala dan kunjungan gunung ke gunung.

"Rakjel khawatir banget. Pesan, dah," Arsen membalas seraya tersenyum, lupa bahwa mereka masih diawasi.

Sambil menyeruput Blue Ocean-nya yang sudah diaduk dan sekarang berwarna hijau, Arsen menatap Nando. Kangen juga setelah dua bulan tidak pernah bertemu lagi karena kesibukan Arsen menaklukkan Rinjani dan memijak Mahameru. Setahun itu juga dia tidak pernah mendengar banyolan Nando yang kebanyakan tidak lucu. Muka merakyatnyalah yang sebenarnya membuat orang ingin tertawa.

Ah, ya. Jadi mengenang masa-masa SMA, ketika mereka punya banyak waktu luang untuk sekedar mengejar layangan atau main game online di warnet sampai dijemput ibunda masing-masing dengan centong nasi di tangan. Saat itu, mereka masih berempat: dia, Nando, Kian, dan Laudy. Arsen punya banyak teman sejak dulu, apalagi Nando, tetapi cuma geng berisi empat orang itu yang paling klop, ke mana-mana bareng. Sampai-sampai geng mereka punya nama: GENG NAKAL.

Bukan. Bukan karena mereka suka pesta miras atau balap liar pas masa sekolah, apalagi jadi begal. NAKAL sebenarnya berawal dari NAKL, singkatan dari Nando, Arsen, Kian, Laudy. Kalau diingat-ingat, Arsen jadi meringis sendiri. Semenjijikkan itu nama geng mereka dulu.

Pertanyaan Nando kemudian mengalihkannya. "Eh, lo gimana sekarang? Kagak ada ujian apa? Kok lo santai banget?"

"Ada, ujian blok. Tapi, gue males."

"Bagus, ya. Udah banyak duit apa? Mending duitnya lo bagi kaum dhuafa aja!" Nando memang tidak mengenal basa-basi. Apalagi, saat menyebutkan dua kata terakhir, dia ikut menunjuk-nunjuk tulisan cetak tebal 'sobat missqueen' pada kaus birunya.

"Maksudnya elu?!"

"Ya, hanya mengingatkan bahwa sahabat lo ini udah dua hari belum isi kuota."

Arsen melemparnya dengan sedotan. "Lo sendiri gimana? Proposal skripsi udah bikin?"

"Hah? Makanan apa itu? Di mana kita sekarang?" Sambil memegangi kepala dengan dramatis, Nando mungkin berpikir dirinya sedang membintangi sinetron.

Dan, Arsen mengingatkannya kepada pemeran antagonis kala cowok itu menoyor kepalanya.

"Ck, ck! Kasarnya kamu, Arsen." Nando geleng-geleng sok bijak. "Nando enggak laik."

"Bodo."

Perhatian Arsen sedikit teralih kepada bunyi geseran kursi yang, bukan hanya tunggal, tetapi jamak dari meja ujung. Cewek-cewek di sana berdiri, siap-siap pergi. Dan, ya, masih dengan tatapan jijik yang mereka alamatkan kepadanya. Gusti, salah Arsen apa coba?

Ketika dia menoleh kembali, bukan hanya salad buahnya yang telah berhasil ditikung Nando, tetapi juga minumannya. Piza belum juga datang, tetapi Nando sudah menghabiskan milkshake yang tadi dipesan, dan sekarang berpotensi menghabiskan punya Arsen juga.

"Habis nguli lo, ya?" sindir Arsen.

"Habis nganter cewek gue pulang kampung ke Bogor. Kakeknya sakit."

"Tampang kayak lo punya cewek? Oke, kasih tahu gue lo pakai dukun mana?"

"Anjir, sia─" Nando buru-buru menarik rem cakram di mulutnya karena pelayan yang tadi mencatat pesanan mereka sudah datang membawakan pizza, "─pa ini?" lanjutnya sambil tersenyum kepada si pelayan. Yah, bagaimana tidak? Orang cantik dosa kalau dicuekin. Apalagi yang senyumnya bikin teduh kayak gitu.

"Mata lo minta dicolok banget, Bego!" Arsen meraih sendok piza, lalu menaruh satu potong di piring sendiri, tidak mau repot-repot melakukannya untuk Nando. Karena orang yang disebutkan pun, tanpa mau repot-repot, langsung mencomot dengan tangan.

"Eh, enggak seru berdua doang. Gue telepon Kian, deh, ya? Udah lama enggak main bareng."

Sambil berkata begitu, Arsen mengeluarkan ponsel pintar keluaran terbaru miliknya, siap mencari nama 'Tuang Dongeng' yang dia simpan di kontak, menimbang-nimbang haruskah dia menghubungi Laudy juga. Cewek yang dulu jadi bandar remi di kelas dan satu-satunya cewek di geng NAKAL.

"Jangan ganggu. Tuh anak kunti paling lagi pacaran sekarang."

Arsen mengernyit. Ia menggigit bagian yang paling banyak kejunya. "Hah? Kian yang taunya baca buku doang itu bisa pacaran beneran?"

Yang ditanya mengangguk-angguk dengan mulut penuh, berusaha menelan separuh dari potongan pizanya sebelum memberikan informasi lanjutan. "Dhan, lo hau dhia hencan hama hiapa?"

"Hiapha?" Sekarang, Arsen menggigiti bagian tengah, yang banyak dagingnya.

Nando menelan, kemudian fokus kepada Arsen yang masih mengunyah. Dia menyipitkan mata, persis Feni Rose dalam acara gosip legendaris. "Laudy."

"... uhuk!"

***

Sudah agak malam ketika mereka keluar dari bioskop bersama puluhan penonton lainnya. Dengan Laudy yang masih gemetaran dan harus dibimbing berjalan lantaran masih menolak membuka mata.

"Udah, Dy. Hantunya udah ilang!"

Perlahan, Laudy mengintip dengan satu mata. Oke, terang, banyak orang. Dia kemudian segera berdiri tegak dan berdeham. "Apaan, sih? Gue enggak takut, ya. Enak aja. Agak ngantuk aja tadi."

"Mmm." Kian mengangguk-angguk, lalu membelalak tiba-tiba, sementara tatapannya terarah lurus melewati pundak Laudy. "Apaan, tuh, di belakang?"

"Biji mata lo keluar!" Laudy berteriak seraya mendorong Kian, lalu bersembunyi di belakang punggung cowok itu, cowok yang sama dengan yang dia dorong keras hingga nyaris nyungsep. Laudy seanarkis itu kalau kaget.

Sadar dengan lelucon basi Kian, dia segera meninju pundak lebar itu, membuat si empunnya meringis sakit. "Basi, lo! Gue sumpahin bisulan segede bola basket!"

"Kidding," balas Kian dengan senyuman seraya menarik cewek itu untuk berjalan menjauhi bioskop.

Kian tahu Laudy tidak suka film horor, tetapi cewek itu pura-pura tabah. Kiat-kiat dari Google telah memberi saran demikian, menyatakan bahwa cewek-cewek yang ketakutan akan berpegangan erat pada pasangan. Bukan berarti Kian ingin seperti itu juga dengan Laudy. Dia hanya ... penasaran. Namun, reaksi cewek itu berbeda. Meskipun terlihat sangat ketakutan, Laudy hanya memejamkan mata dan komat-kamit berdoa sambil pura-pura pingsan sehingga, sepanjang film diputar, Kian tidak pernah melepaskan genggamannya tanpa diminta, memastikan cewek itu tidak apa-apa, memastikan dia merasa aman.

Pesan yang bertubi-tubi masuk di WhatsApp mengalihkan perhatian keduanya, membuat Kian terpaksa mengeluarkan ponsel untuk memeriksa. Takut ada yang penting. Mungkin kemalingan, kebakaran, atau Nando berbuih-buih karena overdosis parasetamol, siapa tahu.

Ternyata, Mbak Egi.

Kian.

Yang baju merah gimana?

Kiaaan???

K

I

A

N

Kian!

Berisik.

Galak :(

Lagi pacaran, ya?

Y

Cewek yang kemaren?

Nope

Yang baru? Siapa?

Ya Allah. Gabut banget, ya?

Kerjaan udah beres belom?

Naskah ribuan tuh masuk.

Kerja, Mbak! Kerja!

Ini juga lagi kerja.

Mastiin kamu bakal ngasih kami draf romance itu. Hehehe.

Omong-omong, ceweknya cantik, enggak?

Foto dong, selfie. Berdua!



Kian menyimpan kembali ponselnya, meninggalkan Mbak Egi dengan centang dua biru. Terserahlah. Tidak akan dia layani psikopat satu itu.

"Kian, kok berhenti?"

Namun, yah, kenyataannya langkahnya terhenti. Kian menatap Laudy, menimbang-nimbang. Tidak ada salahnya, 'kan, berfoto? Biasanya, jika dia dan Laudy foto bersama, selalu bertiga, atau berempat, dulunya.

"Dy, biasanya kalau foto bertiga, orang di tengah duluan mati kan mitosnya?"

Laudy tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan pandangan antara 'lo-ngomong-apaan' dan 'jangan-mentang-mentang-habis-nonton-horor-ya'.

Kian tidak menunggu cewek itu menjawab. Dia melanjutkan. "Kalau foto, enggak usah ajak Nando lagi, deh."

Dia lalu menarik pinggang cewek itu, membuat mereka bersisian rapat. Dia menyalakan kamera depan, memilih filter yang tampak bagus dan mengambil gambar mereka, dengan Laudy yang memasang senyum otomatis begitu tahu akan difoto.

"Udik banget foto-foto di tengah mal," komentarnya, tetapi tetap saja mengarahkan dua jari membentuk simbol hati kecil ke kamera.

"Laudy!"

Seruan itu menghentikan kegiatan keduanya. Mereka menoleh bersamaan. Lalu, di balik seorang pria berbadan besar dan tambun yang berjalan bersama anaknya, mereka melihatnya. Seorang cewek. Cukup tinggi, dengan rambut hitam lurus sepunggung.

Senyum semringah merekah selagi cewek itu setengah berlari ke arah mereka. "Laudy, enggak nyangka, deh, ketemu di sini!"

"Ratu," Laudy bergumam.

Kiara Ratulistina. Satu-satunya cewek yang membuat Abimana Prayuda mengabaikannya. Dan, Ratu tidak tahu itu.

"Lagi ngapain, Dy?" ujar Ratu ramah, berbasa-basi.

"Habis nonton aja. Lo?"

Sesaat setelah pertanyaan sederhana itu meluncur dari bibirnya, Laudy segera menyesal. Bagaimana jika ... jika cewek ini datang bersama Abim? Sudut matanya beredar cepat, antara ingin dan tidak ingin menemukan sosok yang dimaksud. Nihil.

"Oh, gue abis nongkrong aja sama temen-temen. Tapi, ada yang kelupaan gue beli, jadi balik bentar." Tatapannya kemudian beralih kepada Kian. "Pacar lo?"

"Ng, i-iya." Ada senyum palsu yang terpaksa di sana.

"Wah, sori deh ganggu. Ini, gue cuma mau ngasih sesuatu. Tadinya, mau gue titip Kak Abi aja, tapi karena ketemu lo di sini, sekalian, deh."

Ratu menggeledah tasnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu segi empat berwarna pink. Sebuah undangan yang kemudian dia jejalkan ke tangan Laudy.

"Dateng, ya, ke ultah gue. Awas kalau enggak. Ajak doi sekalian." Seseorang memanggil Ratu. Cewek itu memanjangkan leher, lalu melambai cepat ke arah beberapa temannya yang berkumpul di depan barber shop, menungguinya. "Dy, gue udah ditunggu. Duluan, ya!"

Dia tidak menunggu Laudy untuk membalas, hanya menepuk lengan cewek itu singkat sebelum berlari ke arah teman-temannya.

Seperti itulah Ratu. Cantik, gesit, pintar, punya banyak teman ..., baik. Wajar Abim suka, cinta malah. Jika harus dibandingkan dengan dirinya, Ratu adalah ratu, dirinya hanya rakyat jelata, Ratu adalah biskuit kaleng mahal saat Lebaran, sedangkan dia, remah-remah kerupuk berminyak di bagian bawah.

Ada jenis manusia, yang kesalahan terbesarnya adalah bernapas, dan kita membenci orang itu karenanya. Ratu termasuk kategori itu. Laudy membencinya. Dia begitu baik, sampai-sampai Laudy tidak bisa merasakan apa-apa selain membencinya.

Sejenak, Laudy melupakan keberadaan Kian sampai cowok itu meremas tangannya. Tangan mereka tidak pernah berpisah sejak tadi, ternyata.

"Jadi, itu, ya, cewek yang secara enggak langsung udah bikin lo patah hati?"

Laudy mendongak, menatap sahabatnya yang memiliki tinggi kurang ajar, dua puluh senti di atasnya. Tiba-tiba, dia merasa perlu dihibur, berharap cowok itu melontarkan komentar yang mendukungnya. Sedikit dibubuhi pujian, mungkin?

Namun, hanya satu kata yang cowok itu ucapkan. "Pantes."

Si Kian ini ... minta ditonjok, ya?[]

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 66.1K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
2.3M 81.3K 18
(CETAK DI KAROS PUBLISHER / E-BOOK GOOGLE PLAYBOOK) #hewantsmeseries Sura harus terjebak dalam pekerjaan yang melibatkannya untuk 'mengurusi' Nemesis...
852K 68.3K 50
[ Espace, artinya angkasa atau ruang dalam bahasa Perancis. ] "Ketika hati telah memilih, tak akan ada yang pernah boleh menyalahkannya." Bulan, Mata...
236K 13.6K 33
Apakah kau sadari ada orang lain yang sama-sama tulus mencintaimu dan selalu berada di sampingmu juga? Sayangnya, Lilo Greimas tidak. Dia tidak sadar...