LAILA

By NayrbevIggna

198K 6.9K 491

Menikah muda, Mungkin sebagian orang pasti sangat menyenangkan. Terlebih lagi jika sudah dengan persiapan yan... More

PROLOG
Cast
LAILA - 1
Laila - 2
LAILA - 3
LAILA - 4
Laila - 5
Laila - 6
LAILA - 7
LAILA - 8
LAILA - 9
LAILA-10
LAILA - 11
LAILA - 12
LAILA - 13
BUKAN UPDATE
LAILA-14
LAILA - 16
LAILA - 17
LAILA - 18
LAILA - 19
LAILA - 20
LAILA - last (18+)
EXTRA PART (I)
EXTRA PART (II)
EXTRA PART (III) - The End
Next Journey

LAILA - 15

6.2K 266 13
By NayrbevIggna

Ayo kita buka tahun ini dengan sebuah kenyataan masa lalu. Perkara berdamai semua kembali lagi pada jiwa masing-masing. Apa kita mau terus terkukung atau memberanikan diri merengkuh yang terkenang.

######

Laila mematung, lidahnya kelu, kakinya terpaku, pikirannya sibuk berkecamuk memikirkan semua kemungkinan buruk yang berkelebat. Entah hal buruk apa yang terjadi saat ia tengah menikmati hari bersama Rafka. Sontak rasa bersalah langsung menyelimuti hati Laila.

"Ma--Maksud ibu?" Tanya Laila patah-patah setelah berhasil mengumpulkan nyawanya.

Ibu itu terlihat berpikir sebentar, "Aduh, Mbak iki kepiye, wong mertua ne sakit mbak malah nggak tau" Ujar Si Ibu sembari geleng-geleng kepala.

Deg.

Laila mematung ditempatnya.

"Maksud ibu apa?" Tanya Laila sekali lagi.

"Iya, tadi sore ayahnya Pak Adnan pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit. Pak Adnan pulang nyari-nyari Mbak Laila, katanya dia sudah ke sekolah tapi Mbak nggak ada. Pak Adnan panik sekali, dia nelponin Mbak Laila tapi nggak aktip. Akhirnya Pak Adnan pergi sendiri ke rumah sakit" Tutur Ibu tersebut. Wajahnya tampak prihatin mengingat bagaimana gusarnya Adnan tadi.

"Rumah sakit mana, Bu?" Tanya Laila, ia hendak menyusul Adnan.

"Kata Pak Adnan kalau Mbak Laila pulang ke bawah aja, supir Mbak Laila sudah nunggu dibawah"

Laila berlari secepat yang ia bisa. Ia hanya kembali ke kamar untuk mengambil tasnya. Bahkan seragam sekolahnya masih terpasang rapi.

Laila tidak bisa memikirkan apapun. Selain rasa.

######

Laila berdiri didepan ruang rawat inap dengan cemas. Tangannya masih bingung hendak masuk atau hanya akan menunggu diluar. Dari jendela kecil yang ada di pintu terlihat jelas punggung Adnan yang terlihat sangat lelah. Jemarinya menggenggam erat jemari seorang pria yang kini terbaring dengan mata tertutup disebuah ranjang. Meski terpaut usia cukup jauh, tapi wajah pria itu mirip sekali dengan Adnan.

Laila memberanikan dirinya. Klek.

Laila berjalan pelan, bahkan seperti orang yang mengendap-endap. Dia bukan hendak mencuri apalagi melakukan hal buruk lainnya, tapi nalurinya tetap saja menyuruhnya untuk mengendap-endap.

"Ngapain kamu kesini?"

Laila mematung. Dingin. Suara dingin ini seperti mampu membuat Laila beku ditempat.

"Ka--"

"Masih punya hati kamu, Lail?" Adnan memotong ucapan Laila.

Maafkan aku, Lail. Tapi saya sangat tidak ingin mendengar penjelasanmu, yang aku tau pasti hanya dipenuhi kebohongan.

"Bahkan kamu baru pulang malam begini disaat ayah saya terbaring sakit" Lirih Adnan. Ia kehilangan akal menghadapi Laila. Hatinya ingin sekali bertahan, tapi fisiknya sudah lelah. Ia lelah menangis dalam diam, terisak malam-malam, dan mencintai begitu dalam.

"Pergi" Sambung Adnan cepat. Ia tidak ingin pertahanannya runtuh. Cukup sudah ayahnya yang terbaring kini membuat hatinya hancur, tidak lagi penuturan Laila yang jauh lebih menyakitkan.

"Aku bisa jelasin, Kak!" Seru Laila. Air mata menetes dari matanya. Tangannya mengepal kuat menahan isakan.

"Jangan menangis, kamu tau dengan pasti kalau air mata kamu adalah kelemahan saya. Saya muak menjadi lemah karena kamu"

Laila kehilangan kata-katanya. Ucapan Adnan sempurna menambah deretan luka dihatinya. Adnan muak dengannya. Lantas apa gunanya pernikahan ini?

Demi Tuhan, Laila sudah sekuat tenaga menahannya, bahkan ia menggigit bibirnya sendiri. Tapi gejolak itu lebih kuat, kesedihan yang berkumpul di dadanya sungguh menyesakkan. Isakan itu keluar, dengan jelas, ditengah sepinya ruangan.

"Saya bilang jangan menangis!" Teriak Adnan sembari berdiri.

Laila menghapus air matanya kasar, ia bahkan dibuat mundur beberapa langkah karena ketakutan.

Adnan tidak bisa berpikir jernih lagi, hingga sebuah tangan ringkih mulai menyentuh ujung jarinya. Adnan mengalihkan pandangannya, maniknya langsung bertemu dengan manik mata ayahnya yang kini menatapnya sendu.

Adnan membelalak, "Ayah!" Seru Adnan.

Adnan segera menekan tombol yang ada disebelah ranjang, hingga tak lama seorang dokter dan dua orang perawat datang untuk memeriksa Farhan-ayah Adnan.

Tak berselah lama akhirnya dokter itu bisa bernapas lega, karena kondisi Farhan sudah kembali stabil.

"Pak Farhan sudah stabil, tapi jangan diberi bahan pembicaraan yang berat dan bisa memicu stres beliau" Ujar Sang dokter pada Adnan. Adnan mengangguk mengerti lalu mengantar dokter keluar dari ruang rawat inap.

Sementara itu Laila sedari tadi masih terus mematung. Ia merasa semakin kecil bahkan disaat Adnan tidak melihatnya sedikitpun. Adnan menganggap Laila tidak ada, bahkan tidak mempersilakan Laila mendekat kearah ayahnya.

Adnan kembali masuk, lalu tersenyum hangat menatap sang ayah, "Ayah jangan suka buat aku khawatir"

Farhan terkekeh pelan. Anak semata-wayangnya ini memang paling menyayanginya. Farhan menjadi merasa bersalah tiap kali ia harus masuk rumah sakit dan merepotkan putranya.

"Laila kenapa berdiri disitu? Sini duduk" Panggil Farhan.

Laila menegakkan kepalanya. Menatap ayah mertuanya yang begitu lembut. Laila melirik Adnan sekilas, pria itu masih terdiam disisi sang ayah. Laila memberanikan diri mendekat, berjalan pelan dan berdiri kaku disebelah Adnan. 

"Ayah harus istirahat, jangan banyak gerak dulu" Ujar Adnan.

Farhan menggeleng pelan, ia bahkan meminta tolong Laila untuk menegakkan ranjangnya, sehingga ia bisa duduk bersandar. Laila tersenyum kaku, lalu segera menuruti permintaan pria yang kini sudah menjadi ayahnya.

"Maafkan orang tua ini ya, kerjaannya hanya mengagetkan kalian saja" Ujar Farhan pada Laila.

"Ayah ngomong apa sih, Yah?" Sahut Adnan tidak setuju dengan ucapan ayahnya. 

Farhan terkekeh pelan, "Liat aja ini Laila nggak sempat ganti seragamnya karna ayah" Sambung Farhan merasa bersalah.

Laila tergugu, ia mulai mengancingkan jaketnya pelan. Adnan yang melirik Laila hanya bisa tersenyum miris, bahkan istrinya baru pulang selarut ini bersama pria lain.

Lail, aku ini tidak bodoh, kekuasaan yang aku punya sudah lebih dari cukup untuk mengetahui setiap detik keberadaan kamu. Kamu tau, Lail? disaat seperti ini aku benci karena aku berkuasa, karena dengan begitu, sakit ini semakin jelas terasa. 

Melihat Adnan dan Laila yang tidak berinteraksi sama sekali, Farhan dengan jelas paham ada yang tidak baik dengan rumah tangga anaknya. 

"Adnan, boleh ayah bicara berdua dengan Laila?" Tanya Farhan.

Adnan melirik Farhan dan Laila bergantian. Ia tidak punya alasan untuk menolak, maka dengan berat hati Adnan melangkah keluar. Ia hanya berharap Laila tidak gegabah dan menceritakan bagaimana rumah tangga mereka, karena yang Farhan tau semuanya baik-baik saja dan Adnan bahagia.

Seperginya Adnan, Farhan menarik kursi disebelahnya, meminta Laila untuk duduk didekatnya.

"Adnan kaku, ya?" Tanya Farhan.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Laila menjadi kebingungan, memang benar Adnan sedikit kaku, tetapi tidak mungkin ia mengatakannya segamblang itu.

Meski tanpa respon Laila, Farhan sudah tau jawabannya. 

" Adnan itu anak yang baik. Semenjak ibunya meninggal, Adnan selalu mengerti dengan keadaan saya. Ia selalu mendiri, tidak pernah protes dan tidak menjadi anak yang nakal meski saya pulang seminggu sekali. Terkadang saya merasa bersalah pada Adnan dan ibunya, seharusnya saya lebih sering berada disisi Adnan seperti yang mendiang istri saya minta, tapi saya tidak bisa, untungnya Adnan mengerti semuanya." Tatapan Farhan berubah sayu, bayangan Adnan yang bermain dan tumbuh sendirian diusia remaja berputar diotaknya seperti siaran ulang yang menyedihkan. 

Farhan bergerak, ia menarik nakas disebelahnya dan mengeluarkan sebuah boneka koala yang sudah terlihat usang dimakan usia.

"Kamu ingat boneka ini?" Tanya Farhan sembari mengulurkan boneka tersebut pada Laila.

Seperti disambar petir di siang bolong, Laila mematung. Ia memaksakan tangannya yang kaku untuk bergerak menerima boneka itu. Ingatan itu masih samar, tidak sampai tiba-tiba tubuh Laila seperti dipaksa masuk kedalam lorong gelap, sayup-sayup cahaya menusuk indera penglihatannya. Perlahan tapi pasti, Laila diajak bernostalgia, kembali mengais masa lalu yang sudah hilang dari ingatannya.

Malam itu umur Laila baru memasuki 4 tahun, sekitar pukul 11 malam ayah dan ibunya terburu-buru keluar rumah. Laila kecil yang tidak mau ditinggal meski sudah dibujuk dengan permen tetap kekeh untuk ikut. Tina dan Haidar tidak punya pilihan lain selain membawa putri mereka. Hujan belum juga reda malam itu, meski sudah sejak sore mengguyur bumi, petir tidak juga mau mengalah, menyambar dengan dahsyat yang membuat Laila memeluk boneka koala kesayangannya erat.

Laila belum mengerti apa yang terjadi, yang dilihatnya hanya wajah gusar dari ayah dan ibunya. Hingga beberapa saat, mobil mereka menepi di salah-satu rumah sakit terbaik kota ini.

Haidar sigap menggendong Laila, melindungi kepala putri kecilnya dari hujan. Tina mengikuti dibelakang, langkah orang tuanya amat cepat, seperti dikejar oleh sesuatu.

"Farhan!" Panggil Haidar. Ia menurunkan putrinya.

"Gimana keadaan Mayang dan Adnan?" Tanya Haidar.

Sementara laki-laki yang dipanggil Farhan itu hanya mampu menggeleng lemah, tidak kuasa menahan tangis atas kejadian yang baru saja menimpa istri serta anaknya.

Farhan sungguh menyesali hari terkutuk ini. Seharusnya ia mendengarkan istrinya. Seharusnya ia memilih pulang lebih awal, mengabaikan koleganya yang datang tiba-tiba tanpa janji lebih dulu, seharusnya ia mendengar istrinya, memilih membawa mobil istrinya dibanding mobilnya sendiri yang tidak terlalu baik. Seandainya mobil itu tidak kambuh dan tidak mau hidup di pukul 10 malam dengan keadaan hujan deras, istri dan anaknya pasti tidak akan nekat menjemputnya ke kantor. Seandainya ia lebih memperhatikan kalimat istrinya, pasti ia tidak akan berada di ujung jurang seperti ini, di ujung jurang kehancuran karena dua permata hatinya tengah sekarat menghadapi maut.

Malam itu, dari gendongan ibunya, Laila bisa melihat dengan jelas dari balik jendela kaca dipintu ruangan UGD, seorang wanita seumuran ibunya dan anak laki-laki yang baru saja menginjak usia remaja penuh darah disekujur tubuhnya tengah bertahan melawan maut dengan dokter yang membantu mereka.

Laila melihat dengan jelas kejadian itu sekali lagi. Bahkan ia dengan jelas melihat ibu dan anak itu.

Ingatan Laila tidak berhenti sampai disitu.

Tiba-tiba hari berganti. Laila ingat dengan jelas. Sudah seminggu orangtuanya sibuk bolak - balik rumah dan rumah sakit.

Laila yang saat itu baru kembali dari taman kanak-kanak diajak sang ibu langsung kerumah sakit karena tidak ada yang menjaganya dirumah. Tina sering sekali kerumah sakit, membantu menjaga istri dan anak Farhan saat Farhan pergi bekerja.

Tina menatap seorang anak laki-laki lembut, "Adnan gimana keadaannya?" Tanya Tina pelan.

Sementara itu, sang anak laki-laki hanya diam. Tina menghela napasnya, ia mengerti bagaimana perasaan Adnan.

Laila mengamati Adnan dari sudut ruangan, ia duduk dengan tenang di sofa, tidak berani bergerak karena wajah kaku Adnan.

Seingat Laila, Adnan sudah sadar sejak 4 hari lalu, setelah ia berjuang diujung maut selama 3 hari. Tapi setelah sadar, Adnan langsung murung. Ia tidak mau bicara dengan siapapun, hingga nanti malam-malam Laila pernah melihat Adnan menangis sendirian. Sementara itu, Mayang belum juga sadarkan diri. Benturan di kepalanya sangat fatal, bahkan dokter mengatakan kesempatan Mayang bertahan sangat kecil.

"Laila tinggal sebentar ya, ibu mau ketempat tante Mayang, Laila disini jagain Kak Adnan, ya?" Pinta Tina pada Laila.

Laila mengangguk pelan, Lailabisa mengerti sepenuhnya kalimat Tina, maka ia memilih untuk duduk diam diruangan Adnan.

Sementara ibunya pergi, Laila melirik Adnan yang kini tengah mengganti channel televisi, satu tangannya masih di gips karena patah. Sementara luka-luka di wajahnya kian membaik.

Tanpa sengaja Adnan menjatuhkan remot ditangannya. Laila berlari kecil, lalu meraih remot itu dan mengembalikannya pada Adnan.

Adnan mengulurkan tangannya hendak meraih remot itu, tapi tiba-tiba tangannya terasa nyeri, "Ahh" Desis Adnan.

Laila membulatkan matanya, hendak menekan tombol disebelah Adnan untuk memanggil dokter. Adnan menahan tangan Laila, "Jangan" Ujar Adnan pelan.

"Tapi kakak sakit" Sahut Laila pelan.

"Udah biasa" Jawab Adnan singkat.

Laila mengangguk pelan. Lalu memperhatikan Adnan dari atas hingga bawah, bahkan Laila kecil bisa merasakan kesedihannya.

Adnan yang merasa diperhatikan melirik Laila yang masih berdiri disebelahnya.

"Ke--Kenapa?" Tanya Adnan.

Laila menggeleng, bibirnya manyun dan matanya melebar.

Laila kembali ke sofa, membuka tasnya dan mengambil sebuah spidol warna yang tadi baru saja dibelinya.

Laila mengulurkan tangannya didepan Adnan sembari mengedipkan mata. Adnan yang melihat itu kebingungan, "Kenapa?" Tanya Adnan lagi.

Laila menggeleng. Lalu meraih tangan Adnan yang masih di gips.

Laila menggambarkan sesuatu di gips itu. Lalu tersenyum puas setelah melihat hasilnya.

Adnan melirik apa yang anak kecil itu lakukan, ternyata ia menggambar sebuah matahari dengan tulisan 'Semangat' yang jelek.

Adnan mendengus kecil, "Jelek" Ejek Adnan.

Mendengar gambarnya diejek Adnan. Laila kecil tidak bisa menahan tangisnya. Maka sesaat setelah itu, ia sudah menangis tersedu-sedu.

Adnan yang melihat itu menjadi panik, "Eh iya-iya maafin aku, gambar kamu bagus"

Adnan berusaha membuat Laila diam. Karena ia akan merasa tidak enak pada Tina yang sudah sangat baik padanya.

"Aduh Laila aku minta maaf, jangan nangis lagi, ya? Nanti aku beliin es krim!" Pinta Adnan sekali lagi.

Laila termangu, "Es krim? Beneran?" Tanya Laila pelan.

Adnan tersenyum kecil, membuat sudut matanya mengecil.

Laila menghela napasnya. Ingatan itu sudah hilang dari pikirannya. Tentang Adnan remaja 15 tahun dan dia yang masih amat kecil. Laila tersenyum tipis, ingatannya berganti lagi.

Sudah 2 minggu Adnan dirawat dirumah sakit dan saat ini ia sudah pulih dan sudah diizinkan pulang oleh dokter. Tapi Adnan belum kembali seperti Adnan yang dulu orang kenal, ia lebih banyak murung, menatap langit, lalu termangu lama didepan ruang rawat inap ibunya. Sudah 2 minggu pasca kecelakaan maut itu, dan ibu Adnan belum juga sadar. Beberapa kali ia sempat memperlihatkan tanda-tanda akan sadar, tapi sedetik kemudian kembali hilang.

Tina dan Haidar masih setia menemani keluarga Farhan. Biar bagaimanapun Haidar, Farhan, Tina, dan Mayang adalah anak manusia yang tumbuh bersama. Mereka saling berkaitan, dan tidak akan mungkin meninggalkan.

Laila menyempatkan diri melihat Mayang sebelum ia ikut mengantar Adnan pulang. Laila kecil belum mengerti, yang ia tahu sahabat ibunya yang sering berkunjung kerumah dan bermain bersamanya ini tengah tidur panjang.

"Tante masih ngantuk, ya? Kenapa nggak bangun-bangun?" Tanya Laila kecil sembari memeluk erat boneka koalanya.

Laila mencebik kesal, Mayang bergeming. Matanya tertutup erat, hanya suara alat rumah sakit yang terdengar memilukan.

"Kata bu guru koala itu suka tidur, sama kaya Tante sekarang. Jadi, Laila tinggalin koala disini, ya, untuk jadi teman Tante? Karena kata Ibu, besok-besok Laila akan jarang kesini, apalagi Kak Adnan besok sudah mulai sekolah" Sambung Laila lagi.

Ia menatap boneka koalanya sekilas. Sebenarnya ia sangat menyayangi boneka ini, tapi ia juga tidak ingin Mayang sendirian setelah Adnan pulang. Laila meletakkan boneka koalanya tepat disebelah Mayang, berjinjit tinggi untuk menjangkau selimut Mayang dan ikut menyelimuti bonekanya itu.

"Tante jangan sedih, ya. Ada koala disini nemanin, Tante. Nanti Laila datang lagi, ya, Tante? Cepat bangun, Tante, Kak Adnan katanya sudah sangat rindu" Laila tersenyum kecil. Lalu melangkah keluar untuk kembali pada ibunya.

Satu hal yang tidak Laila ketahui saat itu. Bahwa Adnan berdiri didepan pintu, mendengar dan melihat percakapan kecilnya dengan sang ibu. Adnan tidak kuasa menahan tangis, bagaimana gadis kecil itu memiliki hati selembut kapas.

Hari kembali berlalu. Laila ingat, hari itu dia tengah ada pentas kesenian disekolah. Adnan turut hadir, melihatnya menari dengan girang diatas pentas. Ayah dan Ibunya juga datang, memberikan tepukan bangga karena sang anak tampil menggemaskan.

Setelah pementasan itu, Adnan mengajak Laila keluar. Tidak seperti biasanya, taman kanak-kanak itu kini lebih ramai didatangi penjual makanan khas sekolahan.

Adnan melirik sekitar, melihat pedagang es krim yang ramai pembeli anak sebaya Laila.

"Waktu itu aku janji beliin kamu es krim, kan?" Tanya Adnan. Ia menyejajarkan tingginya dengan Laila.

Laila mengangguk semangat. Menggemaskan. Adnan tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak mengacak rambut gadis kecil didepannya.

Adnan menggenggam erat tangan Laila. Mengajak gadis itu membeli es krim diseberang jalan. Setelah berhasil melawan ibu-ibu yang tidak sabaran hendak membelikan es krim untuk anaknya, akhirnya mereka mendapat bagian mereka. Adnan menyerahkan uang selembaran 10.000, lalu digantikan dia dua cone es krim ditangannya.

Adnan memberikan satu pada Laila, membuat gadis itu lompat kegirangan. Lalu Adnan menarik tangan Laila lembut, mengajak gadis itu duduk di salah-satu bangku taman.

Tidak ada percakapan diantara keduanya. Laila begitu hikmat memakan es krimnya. Hingga saat es krim ditangannya baru habis setengah. Ayah dan Ibunya dengan wajah panik berlari ke arah mereka. Menarik ia dan Adnan cepat menuju mobil.

Mereka langsung menuju rumah sakit. Disana sudah ada Farhan dengan wajah getir khawatir. Adnan menangis, membuat Laila kecil hanya mampu menepi di sudut lorong.

Tak lama setelahnya, seorang dokter keluar dengan wajah ditekuk dalam, dengan berat hati menggelengkan kepalanya. Farhan menangis sejadi-jadinya. Begitu pula Adnan yang langsung memeluk tubuh yang sudah ditutupi kain putih itu tepat saat perawat membawanya keluar ruangan.

Suasana amat suram, wajah Adnan yang tadi sumringah membelikannya es krim menghilang, diganti ratapan karena ia sudah kehilangan salah satu malaikat yang paling ia sayang.

Laila terisak pelan. Terlebih lagi saat ia mengingat Adnan yang seperti manusia tidak bernyawa dipemakaman ibunya. Adnan sudah tidak menangis lagi, tapi jauh lebih buruk, bocah 15 tahun itu seperti patung lusuh. Tidak ada topangan sama sekali, bahkan saat teman-teman sekolahnya datang, ia mengabaikan mereka semua. Adnan seperti kehilangan hidupnya seiring duka yang terkubur di pusara ibunya.

Sejak hari itu, Laila tidak lagi melihat Adnan ataupun Farhan. Mereka menghilang karena rasa kehilangan yang sudah tidak bisa ditahan. Hari-hari berikutnya, Laila dan keluarga mulai kembali normal. Tawa mulai menyelimuti. Laila kecilpun perlahan mulai melupakan kenangan itu. Hingga ia kini benar-benar lupa.

Laila menatap Farhan tidak percaya, "O--Om Farhan?"

Farhan tertawa kecil, "Akhirnya kamu ingat semuanya? Padahal dulu kamu sering sekali om gendong" Ujar Farhan seperti kecewa dibuat - buat.

"Setelah semua kejadian itu. Saya dan Adnan memilih untuk meninggalkan semuanya. Kami memilih untuk menetap di Amerika, membangun kehidupan baru. Saat kami berkunjung kerumah sakit untuk menjemput barang istri saya, perawat memberikan kami boneka koala ini. Awalnya saya ingin mengembalikannya pada kamu, tapi Adnan menolak, dan membawa boneka ini bersamanya"

"Semuanya tidak semudah itu. Tidak saat saya menyadari ada yang berubah pada Adnan. Ia selalu ketakutan, menangis, dan meringkuk memeluk boneka koala ini saat hujan lebat, peluhnya tidak berhenti saat petir menyambar. Bahkan saat itu ia pernah pingsan karena rasa takutnya. Adnan mengalami trauma setelah kecelakaan itu, ia harus minum obat tiap kali serangan itu datang. Anehnya, pernah satu waktu boneka koala ini saya cuci, malam itu hujan lebat sekali, petir menyambar kota, satu-dua pohon bahkan sampai tumbang. Trauma itu kembali, Adnan meminum obatnya segera. Tapi, obat itu seperti kehilangan fungsinya saat Adnan tidak memeluk boneka koala ini, ia tetap ketakutan, menangis, hingga akhirnya pingsan. Sejak saat itu, psikiater yang merawat Adnan menyimpulkan, bahwa obat itu hanya mesin, sementara bahan bakarnya adalah boneka ini" Sambung Farhan yang membuat Laila tercengang.

"Adnan mencintai kamu, Laila, sebesar ia mencintai ibunya, percayalah"

Continue Reading

You'll Also Like

228K 14.5K 41
SUDAH DITERBITKAN 16 JANUARI 2017 (BEBERAPA CHAPTER TELAH DIHAPUS) Aryoga Bramantio, cowok ganteng yang terkenal dengan kejeniusannya tapi pemalas da...
3.5M 254K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
829 63 21
Perjodohan antara Rayhan & Laura. Laura yg mencintai Rayhan tapi tidak dengan Rayhan.Karena, Rayhan sudah memiliki kekasih namanya Livia. semua orang...
121K 2.4K 10
Bagaimana rasanya ketika sah sebagai yang pertama tapi hanya sebatas diatas kertas? Bagaimana rasanya ketika perhatian sang suami lebih banyak tercur...