Ryeon: Someone Named Love

By x1nightshadow

38.7K 5.9K 4.3K

AU Seungzz Ryeonseung / Han Seungwoo x Cho Seungyoun / Multichapter Di akademi milik Swing Entertainment, tid... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16 (END)

Chapter 10

2.1K 344 155
By x1nightshadow

"HUSH! HUSH!"

Yohan menghampiri Wooseok dengan langkah-langkah kaki yang dipercepat. Pemuda itu membawa dua kantung belanjaan besar dan mendatangi Wooseok yang berdiri tak jauh dari parkiran swalayan, di ujung, tepatnya di bawah sebuah pohon. Satu tangannya memegang ranting pohon, diarah-arahkan ke satu titik. Setelah cukup dekat, sebuah senyum tersungging di bibir Yohan. Senyumnya meneduh.

"Hush! Pergi! Pergi!"

Seekor anak kucing ketakutan karena ada kucing besar—sepertinya kucing garong jelek—yang mendekatinya.

"Yaa, Wooseokkie."

"Yohanaaa."

Rengekan itu cukup untuk membuat Yohan meletakkan dua kantung belanjaannya ke atas tanah. Ia lalu bergerak mengusir kucing besar itu dan mengangkat kucing kecil—mungkin berusia dua bulanan—menjauh dari sana. Yohan kembali ke tas belanjaannya, mengangkatnya satu dan menoleh pada Wooseok. Yang dipandangi segera mendekat—pelan-pelan sampai Yohan menjauh sedikit, barulah Wooseok mengambil satu tas belanjaan sisanya dan mengikuti Yohan. Keduanya berhenti ketika Yohan menemukan tempat duduk, mengambil posisi di ujungnya. "Duduklah dulu."

Wooseok mengangguk.

Yohan memeluk kucing itu di dadanya, lalu menggumamkan 'pus pus' berulang kali. "Di tas yang itu ada susu kotak cair murni, bisa ambilkan satu?"

Kim Wooseok menurut dan mendorong benda itu di bangku. Ia dan Yohan duduk berjauhan.

Sementara Yohan sibuk dengan anak kucing itu, Wooseok mengamatinya dari jauh. Iseng, ia gunakan ranting panjang di tangannya untuk membelai jidat kucing belang warna oranye itu. Badannya kurus, pasti kucing liar. Yohan memandangi ranting itu, dan menyisirkan pandangannya hingga ujung, pada jemari kurus Wooseok. "Awas kumat."

Wooseok menggembungkan pipinya. "Enak ya, tidak punya alergi."

Yohan hanya tersenyum.

"Padahal aku mau juga sayang-sayang."

Yohan bangkit berdiri, meninggalkan kucing kecil yang menjilati susu murni di bawah bangku. Ia mendekat pada Wooseok yang duduk, mendongak menatapnya heran. Pemuda Kim itu lalu menepuk kepala Wooseok.

Menepuk-nepuknya.

"Ap-apa?"

"Kenapa kucing ingin sayang-sayang ke kucing?"

"Tsk." Wooseok memalingkan wajahnya, menghindari Yohan. "Kucingnya mau diapakan setelah ini?"

"Aku keliling dulu. Siapa tahu ketemu induknya. Kau di sini jaga barang belanjaan."

"Iya, bawel. Jangan lama-lama nanti aku bersin-bersin."

Yohan mengangguk dan segera pergi.

Wooseok memandangi punggung Yohan yang menjauh, memasuki gang-gang di antara mobil-mobil yang terparkir, sebelum akhirnya sosoknya menghilang. Pemuda itu menggembungkan pipinya, memandangi anak kucing kehausan itu di bawah bangku, tak bisa ia dekati. Ia lalu membelai puncak kepalanya sendiri, pada jejak tepukan Yohan beberapa saat lalu. Wooseok menggigit bibirnya. "Sejak kapan aku jadi kucing?"

Hening. Tentu saja kucing kecil itu tak akan menjawab pertanyaan Wooseok.

"Kau beruntung Yohan segera menolongmu tadi. Kau tahu aku tidak bisa memegangmu kan, Cing? Aku berharap aku bisa, tapi aku bisa sakit," cerocos Wooseok. "Asal ada Yohan, kau pasti aman. Dia selalu bisa diandalkan." Wooseok mengangkat kakinya ke atas bangku, lalu memeluk lututnya. Disandarkannya dagunya di atas lututnya sementara satu tangan Wooseok memainkan ranting di tangannya, masih memainkan jidat dan leher si anak kucing. "Dia akan selalu menolong orang lain seperti dia menolongku dulu."

Kisaran dua tahun lalu, Wooseok pertama kali bertemu Yohan ketika pulang sekolah. Anak baru—baru hari itu ia bertemu dengan Yohan.

Wooseok adalah visual terbaik yang dimiliki Swing. Saking indahnya parasnya, ia tahu banyak orang yang diam-diam iri. Kadang ia menemukan lokernya dirusak, kuncinya dijebol, barangnya hilang—atau sepatu olahraganya diisi lumpur. Awalnya ia mendiamkannya, ia tak ingin bercerita pada Seungyoun ataupun Hangyul, terutama Hangyul yang hidupnya penuh dengan masalah di rumah. Ia ingin menjadi seseorang yang kuat.

Namun yang membenci Wooseok tidak hanya dari sekolahnya saja. Murid sekolah lain sering menggodanya ketika ia pulang sekolah. Biasanya mereka mencegat Wooseok tak jauh dari halte. Dulu, ia sering pulang telat. Kalau sedang beruntung, Hangyul akan menemaninya—biasanya Hangyul pulang terlambat karena urusan klubnya.

Tapi hari itu ia sendiri. Hari berhujan. Ia berlari ke halte, dan malah bertemu murid-murid dari sekolah lain. Empat atau lima siswa, ia tak ingat. Menggodanya karena Wooseok 'cantik', berkata kalau kulit wajahnya mulus, melecehkan Wooseok dengan mengatakan bahwa mereka ingin mencium Wooseok—kalau perlu melucuti pakaian Wooseok supaya bisa memastikan apa Wooseok itu laki-laki atau siswi berseragam siswa.

Bukan main takutnya Wooseok saat itu.

Ia menjerit ketika seseorang menyentuh dagunya.

"Brengsek, pergi kalian!"

Berteriak pun, suaranya sudah goyah. Jalanan tidak terlalu ramai karena gerimis dan langit sudah gelap. Ia harus berbalik, ingin kembali ke sekolah tapi justru diikutin oleh siswa-siswa bajingan yang tidak ia kenal. Ia sangat ketakutan ketika telapak tangan kasar menyentuh rahangnya dengan keras—melukai kulitnya karena kuku kotor siswa jelek di depannya.

"HEI!"

Wooseok jatuh terduduk ketika sebuah tas jinjing melayang di depannya, menabrak sisi muka murid yang tadi melukainya. Lutut Wooseok bergetar. Ia tak ingat apa-apa lagi dan menolak mendongak. Ia hanya mendengar geraman dan usiran seseorang, sebelum akhirnya terdengar beberapa kali gebukan—lalu suara-suara yang membuatnya memejamkan mata itu perlahan berangsur menghilang, pergi bersama suara derap langkah yang menjauh.

Kim Wooseok tak berani membuka matanya.

Tapi ia mendengar suara napas tersengal di dekatnya. Atau lebih tepatnya terengah.

"Kau tidak apa-apa?"

Wooseok bergeming.

"Hei, mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa?"

Ia masih membisu.

"Kau kuat berdiri? Perlu kubantu?" tawar suara itu. "Kalau kau duduk terus di sini, kau akan masuk angin karena gerimisnya awet."

Akhirnya, Wooseok yang menunduk, membuka matanya perlahan. Sepasang sepatu converse putih tertangkap matanya. Gerimis? Tak ada air hujan jatuh ke tubuhnya. Kim Wooseok mendongak. Sepasang mata lebar menatapnya—pemuda di hadapannya mengangkat tas jinjingnya di atas kepala Wooseok, melindungi Wooseok dari gerimis. Beberapa kali Wooseok mengerjap. Dia siapa? Apa ia baru saja diselamatkan? Ujung bibir pemuda itu lecet dan darah mengintip di satu lubang hidungnya. Ia terluka.

"Kau temannya Hangyul, kan? Lee Hangyul. Kemarin aku melihatmu dengan Hangyul di sekolah. Aku ... anak baru di sekolahmu. Namaku Yohan, Kim Yohan."

Sebaris kalimat itu membuat Wooseok terpekur, sebelum akhirnya ia menangis. Suara tangisnya tumpah.

Pemuda itu menyelamatkannya.

Sejak itu, Wooseok membawa Yohan masuk dalam lingkaran gengnya—Hangyul jelas tidak menolak. Dan Seungyoun adalah perkara gampang. Yohan selalu mengantarnya pulang sekolah sejak malam itu—tidak pernah tidak.

Tidak pernah.

Kadang ia merasa memanfaatkan Kim Yohan, menjadikan pemuda polos itu sebagai penjaganya—

"Wooseokkie?"

Yang dipanggil tersentak dari lamunannya. Ia mendongak dan Yohan sudah ada di hadapannya, tersenyum lebar.

—tapi senyum Yohan tidak seperti seseorang yang merasa dimanfaatkan.

"Melamun apa?"

"Eh?" Wooseok melotot. "Kucingnya?"

"Tuh sudah pergi."

Wooseok mengikuti arah yang ditunjuk Yohan, seekor induk kucing berlari-lari kecil dengan menggigit leher si anak kucing, membawanya pergi.

"Ketemu kan induknya. Bukankah aku selalu bisa diandalkan?"

Wooseok tersenyum tipis.

"Ayo kuantar pulang. Belanjaanmu banyak. Mentang-mentang mau liburan."

"Main saja ke rumah kalau bosan."

Yohan terpekur sesaat, menatap Kim Wooseok yang bangkit berdiri dari bangkunya. Tumben menawarinya main ke rumahnya. Biasanya hanya minta diantar sampai depan rumah. Main pun kalau ada urusan tugas.

"Ayo."

Yohan mengangguk dan mengambil satu tas belanjaannya. Ia mengulurkan tangannya yang bebas, meraih tas belanjaan yang dijinjing Wooseok. "Sini biar kubawa juga."

Wooseok tak memberikannya.

"Ada apa?"

Pemuda berambut kecokelatan itu hanya mengerucutkan bibirnya. Ia lalu meraih tangan Yohan yang bebas, menggenggamnya. "Begini saja." Yohan boleh jadi membatu. Selama beberapa saat ia berdiri mematung, sampai Wooseok menarik tangannya lebih kuat. Keduanya berjalan melewati beberapa mobil di parkiran—mencari mobil milik ayah Yohan yang ia kendarai hari ini.

Betapa Yohan ingin langkah kakinya tak akan membawanya cepat-cepat ke mobilnya.

Pertama kalinya, Wooseok bersikap manis begini.

Wooseok yang galak dan sangat ... tsundere.

Ia tersenyum.

Kalau saja tidak ada larangan berpacaran dalam geng mereka, ia akan berusaha sedikit lebih keras untuk mendapatkan hati sahabatnya ini.

"Ponselmu bunyi?"

Yohan mengangguk pelan. "Ada di sakuku."

"Mau mengangkatnya?"

"Nanti saja. Itu suara dering telepon dari Seungyoun."

"Seungyoun?" Alis Wooseok mengernyit. "Sabtu sore begini ada apa dia telepon?"

"Entahlah."

"Angkat saja." Wooseok melepas genggaman tangannya—namun jemari lentik itu terkungkung kembali dalam sepersekian detik.

Yohan meraih jemarinya lagi, memenjara buku-buku jarinya. "Nanti saja."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Seungyoun menghela napas menyadari Yohan tak mengangkat teleponnya. Di mana sahabat sialannya itu saat ia sangat butuh bantuannya sekarang? Seungyoun mengetuk layarnya dengan setengah emosi, mengirim pesan pada Yohan, mengirim rentetan bom pesan yang sebenarnya isinya adalah permintaan tolong agar pemuda Kim itu mau mengunjungi Hangyul, menggantikannya.

"Serius sekali."

Seungyoun melempar cengiran di bibirnya. Ia menggaruk tengkuknya lalu pamit ke toilet—sebelum Seungwoo melemparinya pertanyaan. Ia tak henti meneror Yohan dengan teleponnya, Seungyoun yang pantang menyerah. Ia duduk di kloset duduk, menunggu Yohan mengangkat panggilannya.

"Sialan, Seungyoun!"

"Kau ini sedang apa, sih! Ke mana saja tidak mengangkat teleponku? Kencan ya?"

"Bi-bicara apa!"

Seungyoun ingin marah tapi di sini ia lah yang membutuhkan bantuan. Yohan satu-satunya yang bisa ia mintai tolong. Dengan polos, Seungyoun akhirnya menceritakan soal janjinya pada Hangyul untuk berkunjung, bahkan menginap di tempat Hangyul. Tapi bodohnya, ia lupa dan kini ia berakhir berada di sebuah kereta yang akan mengantarkannya tiga ratus kilometer sekian jauhnya dari Seoul.

"Memangnya kau ke mana?"

"Aku ... ada acara piknik dengan keluargaku. Tolong, ya, Yoh. Tolong."

"Tapi hari ini aku tidak bisa, aku ada—ya pokoknya aku ada perlu kalau hari ini. Kenapa tidak minta maaf saja sih di grup chat?"

"Minta maaf itu urusan gampang, yang sulit sekarang adalah bagaimana supaya ada yang menemani Hangyul. Ayahnya baru pulang dinas. Kau tahu kan, maksudku?"

"Besok aku akan menginap. Tapi malam ini tidak bisa. Bagaimana?"

Seungyoun berdiri melompat dari kloset dan melompat girang. "Oke!"

"Belikan oleh-oleh kalau pulang."

"Kubawakan hiasan kerang khusus untukmu!"

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Sore hari, raganya sudah berpindah kota, benar-benar menjauh dari bisingnya Seoul. Ketika kaki telanjangnya menjejak pasir pantai, Seungyoun melompat kegirangan. Ia berlarian menuju ujung batas antara ombak yang mengecup bibir pantai—meninggalkan jejak basah di antara butir-butir putihnya. Seungwoo tersenyum memandangi punggung Seungyoun. Matanya tak sedikit pun lepas dari sosok Cho Seungyoun.

Seungwoo rasa, ia bisa menatap sosok itu selamanya—sebetah itu.

"Nak Seungwoo?"

Seungwoo menoleh. "Ahjumma. Apa kabar?"

Seorang wanita berusia kisaran lima puluh tahunan dengan tinggi badan kisaran seratus lima puluhan dengan helai rambut yang memutih, menghampirinya dan memeluknya. "Kau pulang?"

"Liburan, Bibi."

"Sendiri?"

Dalam pelukan wanita itu, Seungwoo menggelengkan kepalanya. Dibelainya punggung wanita itu dengan lembur. "Dengan temanku. Dia di sana, bermain air." Seungwoo menunjuk ke arah bibir pantai.

Tepat ketika ia dapati Seungyoun ternyata memandanginya dengan bingung.

"Ah, dengan teman?" Mata wanita dengan bintik keabu-abuan di iris matanya itu menyipit. Ia lalu menepikan helaian rambutnya yang berantakan ke belakang telinga, sebelum akhirnya menoleh lagi pada Seungwoo. "Pertama kalinya."

Seungwoo tersenyum canggung. "Iya, pertama kalinya."

"Berarti anak itu sangat spesial."

"Bibi jangan meledek—oh!" Seungwoo melambaikan tangannya pada Seungyoun, memanggil pemuda itu agar bergabung untuk mengenalkannya.

"Biarkan saja dia main air. Anak kota kan?"

"Iya."

"Mau makan malam di sini kan?" tanya wanita itu, menunjuk rumah makan miliknya di tepian pantai. "Tangkapan nelayan pagi tadi banyak sekali. Ada udang-udang besar hari ini, kau harus makan!"

"Kami akan tinggal sampai sehabis senja."

"Lalu?"

Seungwoo membelai lengan wanita itu. "Kunci rumah, boleh kupinjam?"

Wanita itu tersenyum teduh. Sangat teduh dan mengangkat tangannya untuk membelai kepala Seungwoo. "Tentu saja, mana mungkin aku melarang anak sahabatku pulang ke rumahnya sendiri?"

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Seungyoun malu-malu, canggung karena wanita yang dipanggil Bibi oleh Seungwoo itu terus memaksanya makan seafood yang banyak. Katanya Seungwoo makin kurus jadi setiap Seungwoo datang, ia harus banyak makan. Seungyoun lebih merasa tak enak hati karena wanita itu menolak masakannya untuk dibayar, padahal itu kedai yang cukup ramai, dan tentu saja seharusnya tidak ada yang gratis untuk yang namanya barang dagangan.

Seungwoo yang duduk di hadapannya, seberang meja, mengibaskan tangannya pada Seungyoun, mengatakan kalau tak apa-apa, Bibi Heo memang begitu. "Aku berteman baik dengan putranya dulu saat masih kecil. Namanya Heo Chan dan Heo Jun."

"Ke mana mereka sekarang?"

"Masih sekolah di sini."

"Aaah, aku tetap merasa tak enak. Apa karena kita masih anak-anak sekolah?" tanya Seungyoun. "Jadi aneh kalau anak sekolah membayar mahal makanan sebanyak ini?"

"Bibi melihatku sebagai anaknya juga."

Seungyoun mengangguk-angguk. Ia memakan banyak kerang dan udang—hari ini ia baru tahu kalau Seungwoo rupanya sangat menyukai udang. Fakta itu membuat Seungyoun tersenyum lembut. Tepat ketika Seungwoo menatapnya, Seungyoun menoleh ke arah pantai. Semburat jingga berarak di langit yang cahayanya meredup oleh jingga, ditinggalkan matahari semakin menjauh. Perlahan, warna-warna keunguan menggantikan garis-garis kuning dan merah di atas sana. Angin membelai sisi wajahnya dengan lembut dan hangat. Aroma asin menggelitik hidungnya.

Nyaman.

"Matahari terbit di sini lebih bagus."

"Ini sudah bagus." Seungyoun tak ingat, kapan lukisan alam terakhir kali membuatnya terpesona seperti saat ini. Pemuda itu terpekur ketika Seungwoo menyodorinya sesuatu.

Kamera polaroid.

"Sudah kuisi. Pakai saja."

"Sungguh?"

Seungwoo mengangguk. Diam-diam bibirnya menyunggingkan senyuman ketika menatap betapa iris mata Seungyoun berkilauan, berbinar membiaskan warna keunguan yang semakin mendominasi langit, menggerogoti sisa-sisa senja. Beberapa kali Seungyoun memotret pemandangan, sebelum Seungwoo akhirnya tersadar, Seungyoun memotretnya. "Kemari."

"Hm?"

"Duduk di sampingku."

"Ke-kenapa?"

Seungwoo menepuk-nepuk dudukan di sampingnya, menolak menjawab. Tak butuh waktu semenit baginya menanti Seungyoun untuk menurut bak anak kucing yang manis. Seungyoun duduk di sampingnya dan Seungwoo meraih kamera dari tangan Seungyoun. "Ayo berfoto bersama."

"Eh?"

Jepretan pertama, Seungyoun melongo.

Seungwoo tertawa keras melihat lembar polaroid hasil foto berdua dengan Seungyoun. Seungyoun mencebik, membuat Seungwoo gemas dan langsung memotretnya.

"Ya! Han Seungwoo!"

"Ayo foto bersama lagi."

Seungyoun tak dapat menyembunyikan senyumnya. Ia membentuk tanda 'V' dengan jemarinya dan berfoto. Dua jepretan setelahnya, Seungwoo merapatkan jarak antara keduanya. Seungyoun masih terpekur ketika lututnya dan lutut rekan sekolahnya itu bersinggungan.

"Lihat ke kamera."

Seungyoun menurut.

Tepat ketika blitz polaroid itu menyala, sebuah sentuhan lembut singgah di pipi kanannya.

Han Seungwoo mengecup pipinya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Katanya kenang-kenangan kalau kangen.

Bisa-bisanya, melakukan itu di kedai umum. Seungyoun hampir mengamuk, tapi wajahnya kepalang merah padam duluan. Malu setengah mati sementara Seungwoo hanya tertawa kikuk, meski Seungyoun bisa menangkap ekspresi teduh di wajah Seungwoo. Pemuda itu menunduk, mengibaskan kertas polaroid di tangannya, lalu memandangi lembar potret terakhirnya barusan.

Seungyoun menggigit pipi dalamnya, berusaha keras untuk tidak tersenyum lebar—melihat Han Seungwoo yang merona kulit wajahnya.

Manis sekali.

Seungyoun ingin sekali menciumnya balik. Eh. Tapi tidak.

"Ke mana kita setelah ini?" Seungyoun menggembungkan pipinya.

"Hm?" Seungwoo merogoh saku cardigannya lalu mengangkat sebuah kunci. "Ke rumahku. Rumah ayahku."

Keduanya berjalan menjauh dari kedai setelah berpamitan, mengucapkan terima kasih sampai Seungyoun membungkukkan badannya beberapa kali sebagai balasan atas jamuan makannya yang luar biasa enak. Seungyoun kenyang. Pemuda itu berjalan menyusuri jalan setapak menuju pemukiman, setengah langkah di belakang Seungwoo, membiarkan Seungwoo memimpin jalannya. Ditatapnya bahu lebar Seungwoo, sesekali kepala Seungwoo menoleh ke sekitar. Seutas senyum betah bertengger di bibirnya.

"Kangen ya?"

"Sangat."

"Sering pulang?"

"Tidak," jawab Seungwoo. Pemuda itu mengeluarkan satu tangannya dan meraih satu pergelangan tangan Seungyoun. "Tidak semua masa lalu itu menyenangkan dan worth to remember, Seungyounie."

"Kalau begitu kenapa sekarang kita kemari? Kenapa, mengajakku ke sini?" Seungyoun menunduk, menatap jemari panjang Seungwoo yang menggenggamnya lembut namun kuat.

"Masa lalu itu, sesekali aku menoleh ke belakang. Bukan untuk meratap. Tapi untuk melihat sejauh mana sekarang aku sudah membaik dari sosokku yang dulu kutinggalkan."

Seungyoun terpekur.

"Dan lagi, aku membawamu ke sini."

"Kenapa?"

"Agar kau mengenalku lebih baik." Seungwoo menghentikan langkahnya di depan pagar sebuah bangunan rumah bertingkat dua. Ia lalu mengangkat tangan Seungyoun yang ia genggam, menangkupkan telapak tangan mungil itu di pipinya. "Aku mengizinkanmu masuk ... dalam kehidupanku, Cho Seungyoun."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

"Rumah ini dibersihkan seminggu sekali oleh adik Bibi Heo. Katanya sebagai balas budi karena dulu ayah pernah menyelamatkan suami Bibi Heo saat berlayar mencari ikan. Ayahku nelayan, sangat jago menangkap ikan."

"Wow." Seungyoun melangkah masuk. Lantainya kayu dan benar, bersih. Tak banyak debu beterbangan.

"Ayah tidak mau menjual rumah ini. Mungkin berpikir suatu saat akan kembali ke sini. Dengan Eunsang. Dengan ... ku."

Seungyoun menoleh dan tersenyum tipis. "Kau pasti merindukan mereka."

Seungwoo mengangguk, lalu menggeleng.

"Hm?"

"Ada orang lain yang akhir-akhir ini merebut atensiku, jadi aku lebih sering merindukan dia daripada merindungan appa dan Eunsang."

"Ya!" Seungyoun mengembuskan napas keras. "Sejak kapan kau jadi gampang menggombal begini?"

"Aku tidak bilang itu kau."

Seungyoun memicingkan matanya.

Yang dilempari tatapan menusuk justru tertawa dan berjalan menuju tangga. "Aku kangen Kookheon tuh. Minhee juga."

"Ish."

"Ayo naik."

"Malas ah." Seungyoun bersedekap, menyilangkan kedua tangannya di atas dada.

Seungwoo tertawa dan menarik lengan Seungyoun. "Ayo ke kamarku, kau akan suka."

"Ke-kenapa aku harus suka berada d-di k-kamarmu, hah!"

"Kau bahkan pernah tidur di kamar flatku, kenapa sekarang terbata-bata?" goda Seungwoo. "Ayo, aku janji. Aku tidak akan melakukan apa-apa padamu."

Seungyoun mengerucutkan bibirnya dan menurut.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Seungwoo tidak bohong. Kamar Seungwoo di lantai dua, berada di loteng. Bagian atapnya miring, mengikuti desain genteng rumahnya. Jendelanya menghadap langit, memantulkan sinar bulan dari atas sana, membuat sulur cahayanya merangsek masuk ke lantai kamar. Ada sebuah lemari, meja belajar di bawah jendela, dan sebuah ranjang di lantai yang cukup lebar untuk ukuran ranjang anak kecil—malah cukup untuk ditiduri dua orang dewasa.

"Dulu Eunsang suka tidur denganku, makanya kasurnya lebar."

"Oooh," Seungyoun mengangguk-angguk. "Lampunya tidak dihidupkan? Apa kita akan gelap-gelapan dengan cahaya bulan dari luar?"

"Kau takut gelap?"

"Sedikit. Apalagi kalau hanya berdua denganmu."

Seungwoo tertawa. Ia bergerak menuju lemari, mencari-cari sesuatu dan mengeluarkan beberapa buah lilin aromaterapi. "Ini akan sedikit menambah penerangan. Cukup terang." Seungwoo tak berbohong. Dengan lima atau enam lilin, kamar itu menjadi lebih terang. "Tapi bintangnya jadi tidak kelihatan kalau kamar ini terlalu terang."

Cho Seungyoun menggigiti bibirnya. "Um, kalau begitu dimatikan lagi saja."

Seungwoo lalu menepuk kepala Seungyoun. "Tidak usah."

"Umm—"

"Aku buatkan teh ya, tunggu di sini."

Melihat Seungwoo bangkit berdiri, Seungyoun meraih ujung cardigan Seungwoo, menahannya. "Jangan pergi."

"Eh? Kau takut?"

"Bukan! Tapi kan tidak enak juga kalau ditinggal sendiri," Seungyoun menggembungkan pipinya lagi. "Dan lagi kan tadi kau bawa soju dan snack. Untuk apa membuat teh."

Seungwoo mengangguk. "Tapi aku beli ini untuk diriku sendiri, bukan buatmu."

"Jahat sekali!" Mata Seungyoun melotot.

Pemuda Han itu tertawa. "Kau tidak kuat mabuk, Seungyounie."

"Memang kau kuat?"

"Kau tidak akan pernah melihatku mabuk saat meminum alkohol. Toleransiku sangat bagus."

"Cih, sombong."

Seungwoo mengusak rambut Seungyoun. "Mau bukti? Kau makan keripik kentangnya saja." Pemuda itu meletakkan sebungkus besar keripik ke pangkuan Seungyoun dan menenggak sojunya sendiri—hingga hampir habis satu botol sebelum Seungyoun memukul lutut Seungyoun.

"Tukang pamer!"

"Itulah kenapa aku kerja bartender." Seungwoo mengelap sudut bibirnya yang basah. Pukulan Seungyoun yang mendadak di lututnya membuatnya setengah tersedak. Likuid soju itu mengalir hingga ke dagunya dan kerah cardigannya.

Seungyoun mencondongkan tubuhnya dan menyapukan lidahnya pada dagu Seungwoo.

Membuat Seungwoo terbelalak. "S-Seungyoun?"

"Kalau sedikit begini, aku tidak akan mabuk."

Seungwoo tertegun sebelum menepuk jidat Seungyoun. "Jangan aneh-aneh!"

"Aduh!"

"Tidur sana," Seungwoo menarik Seungyoun ke ranjang, "kau pasti lelah. Aku mau pergi mandi dulu habis ini. Mendadak gerah."

Seungyoun dipaksa berbaring oleh Seungwoo. Pemuda itu hanya berkedip-kedip, gemas sendiri melihat Seungwoo yang panik. Ia lalu terkikik pelan, membuat Seungwoo melotot. "Kau tidak tidur?"

"Nanti."

Seungyoun mengangguk. Ia memejamkan matanya sebentar sebelum membukanya lagi. Masih ada Seungwoo di tepian tempat tidur yang memandanginya. "A ... pa?"

"S-Seungyoun, aku—"

"Ya?"

"—aku ... aku—"

"Aku apa?" Suara Seungyoun ikut memelan.

Seungwoo menggigit bibirnya.

Seungyoun bingung. Pemuda itu lalu duduk, mendekat pada Seungwoo dan memerhatikan wajah Seungwoo dengan lekat.

Detak jantung Seungwoo berdetak terlalu kencang. Ia tak menyangka, Seungyoun berada di kamarnya akan memberi efek sebegini hebatnya pada tubuhnya. Setiap senti permukaan kulitnya memanas, dan itu membuat napasnya seolah tersengal.

"Seungwoo?"

Yang dipanggil mengulurkan kedua tangannya: satu meraih pinggang ramping Seungyoun dan satunya menyentuh leher Seungyoun, mendongakkan wajah Seungyoun untuk merapat padanya. Ditatapnya mata rubah Seungyoun yang melebar, begitu dekat di depan matanya.

Seungyoun membeku, ketika Seungwoo mengecup bibirnya lembut.

Lalu melumatnya sedetik kemudian.

Isi perut Seungyoun tergelitik—bergejolak seolah kaki-kaki udang yang ia makan kini hidup dan menari-nari di dalam perutnya. Seungyoun mencengkeram bagian dada cardigan Seungwoo yang kancing atasnya terlepas entah sejak kapan. Satu kejap, Seungyoun membalas ciuman pemuda itu, tak kalah lembutnya.

Tapi Seungwoo melepas tautannya.

"Seungyounie..."

Yang disebut namanya membuka matanya perlahan.

"Sepertinya ... aku mabuk."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To be continue.

Notes:

That's fluff Yocat for you. Aku pengen nulis Yocat tapi Yohangyul bikin gemas, jadilah Book setelah ini isinya Yohangyul. Maybe one day I'll make them as slight pair again.

Maaf banget baru bisa update. Baru pulang ke kota tercinta setelah dinas cukup lama di Kalimantan. Jadi nggak ngetik apa-apa, malah aktif baca. Seungzz Ryeonseung di mana-mana sekarang. Apalah Ryeon yang cuman remah kerupuk upil ini. Semoga masih ada yang mau baca.

Ceritanya harusnya ku TBC kan di bagian terjadi sesuatu sama Hangyul, tapi gak kuat sama manisnya Seungwoo dan Seungyoun. Padahal masih ada adegan kamar mandi (?)

Eh, bukan 18+ lho ya. Hahahaha!

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar hahaha!

Continue Reading

You'll Also Like

39.2K 7.1K 26
"Oh emang kamu teh orang mana?" "Emang kamu teh orang mana~~" "Guanlin ih kamu mah nurutan wae!" "Ngomong apasi lu:(" Cover by @kiddos-jae♡ !pandeep ...
6.1M 316K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
230K 49K 32
Mana kala hati jatuh pada yang jauh dari norma, Hattala bisa apa? Paras Gentala selalu elok bagai delima, buat dia tak bisa pindahkan pandangannya. C...
857 96 21
Persiapan untuk melindungi hal paling penting untuk Atopia