Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

3 | Dasi

10.2K 962 43
By Ayyalfy

ALFY

Berulang kali aku menatap jam yang menempel di dinding kelas. Berulang kali juga aku menghela napas kasar.

Kapan istirahatnya dah?

Sebelum berangkat sekolah aku lupa sarapan. Hal biasa, sih. Jangan kan untuk sarapan, untuk baca doa sebelum makan saja sering khilafnya. Hal yang menjadi alasan mengapa aku makannya banyak tapi badanku tetap kurus kerontang yang kalau tertiup angin langsung terbang.

Apapun yang ada di papan tulis dan ocehan guru sejarah hanya menumpang lewat dari telinga kanan lalu ke telinga kiri dan mengabur. Tanganku menumpu wajah, menatap malas guru mata pelajaran sejarah.

Kasihan guru sejarah, susah buat lupain masa lalu.

"Al?"

Kudengar Via memanggilku. Tanpa repot-repot menoleh, aku hanya bergumam menjawab panggilannya itu.

"Gue lapar banget," keluhnya dengan berbisik.

"Sama kali."

Percakapan terputus sampai di situ karena Pak Dodi-guru pelajaran masa lalu-meminta murid sekelas untuk menulis apa-apa yang telah dia jabarkan di papan tulis. Suasana kelas hening banget. Bodohnya, perut kurang ajarku mengaum panjang.

Kruk kruk

Bagus sekali. Seisi kelas sekarang tertawa dan mencari pemilik dari suara perut lapar yang kedengaran nyaring tadi.

Pak Dodi ternyata turut mendengar amukan cacing di perutku, dia tersenyum lebar setengah terkekeh pelan. "Sepertinya cukup sampai di sini pertemuan kita hari ini. Saya merasa kasihan dengan pemilik suara perut yang keroncongan tadi."

Aku hanya tertawa garing mendengarnya.

Tidak lama setelah itu keberadaan Pak Dodi menghilang dari kelas, disusul ledakan anak sekelasku yang berlomba-lomba sampai duluan ke kantin atau toilet. Begitu pun juga dengan aku, yang langsung melesat meninggalkan tempat duduk. Baru sampai pintu kelas, aku malah tertimpa tragedi menyebalkan.

Harus banget ya Author bikin aku ketabrakan sama orang?

Sekarang tubuhku sudah sempurna mendarat di lantai dalam posisi terduduk. Aku meringis, sibuk mengusap bokongku yang lumayan nyeri. Selang beberapa detik, sebuah tangan terulur di depanku. Spontan aku langsung mendongak, menatap pemiliknya.

Pak Rafka?

Astaga, dari sekian banyaknya cogan, kenapa harus dia sih yang kutabrak?!

"Maaf," ucapnya dengan mata yang menyorot ke arahku sepenuhnya.

Aku hampir takjub dengan laki-laki di depanku. Dia meminta maaf untuk kesalahan yang tidak dia perbuat. Tapi, mengingat sikapnya kemarin, hampir menampar seorang perempuan, ketakjubanku menguap tak bersisa. Aku langsung bangkit, menolak uluran tangannya dengan telak.

Peduli setan dengan sopan santun, aku langsung meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Seperti biasa aku dan Riki pulang sekolah bersama. Kami berjalan beriringan menuju parkiran. Tidak lupa pula lengan Riki yang durhaka itu menyekik leherku sambil menggesek-gesekkan ketiaknya. Aku mencoba memberontak. Dia itu hobi sekali pamer wangi ketiak.

"Bau, Rik!" omelku sambil berusaha mengenyahkan lengannya dari leherku.

"Bau apanya? Wangi gini." Riki malah semakin gencar menyodorkan lipatan ketiaknya ke wajahku. Astaga, aku bahkan bisa merasakan ada sesuatu yang basah dari sana.

"Minggir, nggak?!" ancamku.

Riki memasang wajah tengil. "Nggak mau!"

Aku semakin menekuk wajah. "Sadar diri kenapa! Ketiak kamu basah gitu!" Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. "Abis main basket kan tadi? Aish, jorok banget!"

Laki-laki itu menyengir lebar. "Jorok-jorok gini juga kamu sayang, kan?"

"Nggak tuh!" jawabku cepat.

"Bohong."

"Nggak!"

"Masih bohong."

"Nggak, ih!"

"Bohong banget."

Pada akhirnya aku mengaku kalah saat Riki sudah menatapku dengan lekat. Senyum di wajahku akhirnya terbit juga. "Iya-iya, sayang."

Seperti kebiasaanya, Riki mengacak puncak kepalaku yang tertutup jilbab dengan penuh lembut dan perhatian. "Nah, gitu dong."

Belitan lengannya di leherku akhirnya terlepas, berganti menggenggam jariku dengan erat. Sengatan hangat dan nyaman langsung menyergapku. Astatang, aku masih se-alay ini ternyata.

"Tapi, aku sama makanan yang jatuh belum lima menit juga sayang kok. Bukan sama kamu doang. Jadi jangan ge-er!"

Riki terkekeh. Lagi, dia mengacak-acak puncak kepalaku. "Nggak pa-pa, yang penting disayang sama kamu."

Sinetron banget. Tapi aku suka sikap Riki yang seperti itu.

Lagian, siapa sih yang nggak suka sama cowok ganteng yang punya sikap romantis sekaligus humoris? Kalau bukan karena nggak normal, itu pasti karena yang jawab 'nggak' adalah seorang cowok juga.

"Nanti malam kan malam jum'at, Al," ucap Riki tiba-tiba.

"Terus?" Aku menatapnya sekilas dengan heran.

"Ada agenda ngepet-mengepet nggak malam ini? Ingat, Al, biaya nikah itu mahal. Kita harus usaha dari sekarang."

Aku berdecak. "Kamu dong yang usaha. Kamu keliling sana, aku jaga lilin sambil nunggu setoran."

"Yaudah, jaga lilin yang bener. Awas kalau aku sampai ketangkep, aku kutuk kamu jadi perkedel."

"Aku kutuk kamu balik, biar jadi babi panggang saus lada hitam."

Sumpah demi apapun, perbincangan kami berdua membuat kami ditatap aneh oleh murid-murid lain yang mendengarnya.

"Aku kutuk balik. Kan suatu doa akan kembali kepada yang mendoakan." Riki masih tidak mau kalah.

"Jadi babi juga dong aku? Haram dong?"

Kepala laki-laki itu mengangguk. "Iya, makanya mau aku halalin ke KUA."

Bisa-bisanya dia meluncurkan gombalan. "Bisa ae lu, Bambang!" Aku menoyor kepalanya.

"Sakit, Malih!" Riki mengusap kepalanya lalu berganti menoyor kepalaku.

Toyoran Riki hampir saja membuatku terjerembat ke lantai. Beruntungnya seseorang memegangi lenganku agar tidak terjatuh. Saat aku mendongak, aku mendapati sosok wanita yang tidak asing berdiri di hadapanku.

"Kamu nggak pa-apa?" tanyanya lembut.

Aku sempat tersihir dengan suaranya yang mengalun itu. Jika dibandingkan denganku, tentu aku hanyalah sebuah kerupuk pasir yang sudah alot.

"Oh, nggak papa, kok. Maaf ya, Mbak. Pacar saya emang agak KDRT kalau bercanda." Aku menatap Riki dari ujung mata. Laki-laki itu sedang menggaruk kepalanya yang kujamin tidak kutuan apalagi ketombean.

Wanita itu hanya tersenyum ramah menanggapi ucapanku.

Aku teringat, dia adalah wanita yang aku tolong tempo hari itu. Dia adalah wanita yang sama dengan wanita yang hampir ditampar oleh Pak Rafka. Muncul sebersit pertanyaan di benakku. Untuk apa wanita itu kembali datang ke sekolahku?

"Mbak ini mbak yang kemarin itu kan, ya?" tanyaku memastikan.

Wanita yang kuyakini masih berumur dua puluh tahunan itu mengangguk. "Terima kasih untuk kemarin, ya. Maaf, kita nggak sempat bertukar nama. Saya Wulan, mbaknya siapa?"

"Malih, Mbak."

Bukan aku yang menyahut, itu suara Riki yang menyela dengan tiba-tiba.

Dari samping aku menyikut perut Riki dengan kencang, membuatnya langsung mengaduh. Melihat tingkah kami berdua, wanita bernama Wulan itu terlihat bingung. Tapi dia mencoba menutupinya dengan tersenyum canggung.

"Saya Alfy, Mbak. Salah satu murid di sini." Aku dan Mbak Wulan berjabat tangan. Sekilas aku melirik Riki. "Kalau ini anggap aja makhluk astral ya, Mbak."

Riki langsung mencibir dan menatapku datar.

Mbak Wulan sepertinya hobi tersenyum, entah yang ke berapa kalinya dia menarik ujung bibirnya itu. Mengingat hobi tersenyum, aku justru teringat pada satu nama.

You know what I mean.

"Kamu ada waktu sebentar setelah ini? Boleh saya bicara suatu hal sama kamu?" tanya wanita itu kemudian.

Aku dan Riki langsung bertatapan. Sepertinya kami harus menggagalkan pulang bersama untuk hari ini. Ada rasa penasaran yang menyelubungiku tentang wanita itu. "Oh, boleh kok, Mbak. Kebetulan juga saya nggak ada urusan setelah ini."

Keputusan sepihakku membuat Riki susah payah menutupi wajah tertekuknya. Dengan samar-samar, aku mendorong tubuh Riki menjauh agar dia segera pergi dari saana.

Sempat merajuk dengan ekpresi wajahnya, Riki akhirnya melangkahkan kaki dengan sangat tidak rela. "Yaudah, aku tunggu di parkiran," pamitnya pada akhirnya lalu menatapku dan Mbak Wulan bergantian. "Mbak Wulan, saya permisi."

Setelah kepergian sosok Riki, aku dibawa oleh suasana agak canggung. Mbak Wulan terus menatapku. "Mau bicara di sini atau butuh tempat privasi, Mbak?" tanyaku sopan.

"Sepertinya lebih enak kalau kita mencari tempat lain. Kamu nggak keberatan, kan?"

Kepalaku menggeleng. Aku rasa kami akan mendatangi suatu café atau tempat makan yang ada di sekitaran sini. Aku akan mengabarkan pada Riki untuk menyuruh laki-laki itu agar pulang lebih dulu. Tanganku yang hendak mencari ponsel di dalam tas tiba-tiba saja ditarik seseorang dengan keras. Karena tak sempat mengantisipasi, badanku hampir saja limbung ke samping.

Sempat ingin memprotes, mulutku justru terkatup saat melihat lenganku sudah dicekal erat oleh seseorang. Punggung orang itu menutupi penglihatan di depanku, sesaat setelahnya aku bisa mendengar suara bariton yang dingin dan datar terlontar menusuk telinga.

"Belum cukup bagi kamu untuk mengganggu hidup saya?"

Aku dan Mbak Wulan kompak membisu. Sedikit terhalang dengan sosok Pak Rafka yang berdiri di depanku, aku masih dapat melihat wajah Mbak Wulan yang menegang seketika. Aku takut kejadian beberapa waktu lalu kembali terulang. Namun apa daya, tenagaku tak cukup kuat untuk memberontak dari cengkraman Pak Rafka di tanganku.

"Saya mohon dengan sangat, jangan ganggu kehidupan saya. Jangan melibatkan orang yang ada di sekitar saya untuk kamu ganggu sesukanya. Saya mohon."

Kalimat sarat permohonan yang Pak Rafka lontarkan membuatku semakin ditenggelamkan banyak tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka?

Tanpa sedikit pun memberikan Mbak Wulan kesempatan untuk berbicara, tubuhku sudah ditarik tanpa izin oleh laki-laki itu. Lalu kami pergi, meninggalkan jejak basah dan wajah sendu yang tertinggal di wajah wanita cantik itu.

**

RAFKA

Gue mengulurkan satu botol air mineral padanya. Gue tahu, jalan-jalan kelilingi taman kota yang cukup luas ini mengeluarkan banyak tenaga. Ditambah dengan dongeng yang gue bawakan. Dia pasti sangat haus.

"Makasih," ucapnya begitu pelan.

Lalu selanjutnya, pemandangan dia yang sedang meminum air itu menjadi hal yang luar biasa bagi gue yang melihatnya. Lagi minum aja cantiknya nggak kurang. Heran.

Setelah menutup kembali botol air mineral di tangannya itu, dia kembali menatap gue. Kami yang sekarang sedang duduk di bangku taman yang hanya cukup untuk ditempati dua orang ini membuat gue dengan begitu mudah melihat wajahnya dari dekat. Asli, dia memang cantik banget. Kulit cerah wajahnya begitu mulus tanpa cela. Seakan wajahnya itu baru kelar diamplas. Halus banget. Lalat mungkin bisa terpeleset kalau nemplok di sana.

"Jadi, wanita itu sebenarnya siapa?"

Oke, karena terlalu fokus mengagumi dia, gue sampai lupa hal utama yang kami bicarakan sekarang.

"Saya juga nggak tahu," Gue mengambil napas sebentar sebelum memulai kembali cerita gue yang sempat tertunda. "Akhir-akhir ini dia sering muncul di depan saya. Yang kamu lihat tempo hari itu, emosi saya benar-benar terpancing. Saya nggak bermaksud kasar, tapi melihat dia muncul selalu sukses bikin saya kesal. Karena seperti sebelum-sebelumnya, dia bukan hanya ingin bertemu dengan saya, tapi juga mengucapkan hal bodoh yang saya benci."

Alfy, makhluk yang tadi gue puji-puji itu, menatap gue penasaran.

"Dia selalu mengaku kalau dia adalah adik saya." Entah ini keputusan yang benar atau salah, gue merasa dengan menceritakan ini kepada Alfy bisa membuat gue dalam posisi aman. Gue nggak mau dicap buruk di mata dia karena wanita itu. Karena gue punya alasan di balik kebencian gue terhadap wanita yang bahkan nggak gue tahu siapa namanya.

"Dan seperti yang kamu tahu, saya hanya punya satu saudara. Kamu tahu siapa orangnya," lanjut gue membuatnya manggut-manggut paham.

Iya, gue cuma punya satu saudara dan itu si Rafli. Dia doang. Jadi wajar kan kalau gue kesal dengan pengakuan wanita sinting itu?

"Tapi Mbak Wulan kelihatannya wanita baik-baik kok. Kalau dia ngelakuin itu, dia pasti punya alasan, kan?"

Kenapa Alfy kelihatan ngebela banget wanita itu? Gue nggak ngerti.

"Alasan apaan?" Gue mendengus. "Alasan pengen punya kakak yang ganteng kayak saya? Ngarep banget dia."

Lengan gue dipukul gadis itu. Saat gue melihat ke arahnya, wajahnya sudah sempurna tertekuk.

"Bisa nggak sih, Pak, buang dulu pedenya jauh-jauh?" ujarnya kesal.

"Kalau jauh-jauh nanti kangen pedenya. Saya kan ngangenin."

Alfy langsung memberikan respons muntah-muntah yang membuat gue terkikik geli. Ini kenapa gue bahagia banget ya hari ini? Dia bukan sih yang jadi alasannya?

"Ngangenin dari Hongkong," gerutunya kemudian.

"Jangan gitu, nanti kalau kangen saya kamu bisa repot sendiri."

"Monas pindah ke Arab kalau saya kangen Bapak."

Gue cuma bisa doain kalau monas bisa pindah beneran ke Arab. "Cuma kamu lho yang panggil saya 'Bapak'. Nggak bisa diubah, ya?" tanya gue.

"Nggak," jawabnya cepat dan mantap.

"Kenapa?"

"Nggak ada alasan apa-apa."

"Atau karena biar jadi doa buat kamu?"

Alfy menatap gue dengan heran. Senyum gue terbit. "Jadi doa biar saya jadi bapak dari anak-anak kamu nanti. Iya, kan?"

Kedua matanya langsung membelalak. Dengan sangat berlebihan dia langsung mengetuk-ngetukkan tangannya ke kursi taman bergantian dengan kepalanya berulang-ulang.

Gue langsung tertawa. Bahkan gue sampai terbatuk-batuk saking semangatnya tertawa.

"Tuh kan, kualat," tegurnya.

Kualat dari mananya, deh?

Gue masih terbatuk-batuk sambil berusaha mengendurkan ikatan dasi yang terasa mencekik. Begonya, bukannya melonggar, ikatannya malah menguat. Sepertinya gue salah menarik sisi dasi yang seharusnya.

Tapi tiba-tiba saja tangan Alfy menahan tangan gue. Dia membantu gue melonggarkan ikatan dasi yang dilakukan dengan mudah olehnya. Dari radius dua senti gue dengan jelas bisa melihat senyum meledeknya terpampang di sana.

"Gini aja nggak bisa. Payah!" ejeknya kemudian.

Batuk gue berhenti. Bahkan napas dan detak jantung juga.

**
TBC

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA

Continue Reading

You'll Also Like

465K 14.3K 30
[C O M P L E T E D] [pindah ke dreame] The Twins Series: Apa yang akan kamu lakukan jika kamu menjadi pengantin pengganti dari saudara kembarmu sendi...
68.6K 9.4K 44
Elvan Adhyastha, mahasiswa Psikologi tingkat 3 yang memiliki trauma untuk berhubungan dengan lawan jenisnya. Dia belum pernah memiliki pengalaman ber...
18.9M 1.1M 57
PROSES REVISIAN YA! 23/03/20 cover by : canva
812K 11.4K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+