Ryeon: Someone Named Love

By x1nightshadow

38.7K 5.9K 4.3K

AU Seungzz Ryeonseung / Han Seungwoo x Cho Seungyoun / Multichapter Di akademi milik Swing Entertainment, tid... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16 (END)

Chapter 5

2.2K 383 246
By x1nightshadow

Ketika di luar langit sudah gelap, digantikan terangnya lampu-lampu jalan setapak di depan mini-kafe StarShip, Seungyoun duduk manis dengan semangkuk sup miso tahu di mejanya. Ia menikmati makan malamnya sendirian. Kafe mulai ramai begitu masuk jam makan malam. Beberapa muda-mudi datang, ada pula pekerja-pekerja yang pulang. Dalam sekejap, tempat itu menjadi padat. Beruntung Seungyoun duduk di meja yang terletak di ujung ruangan. Sesekali ia melarikan pandangannya ke luar jendela kaca, memadangi lalu lalang orang yang sesekali lewat.

"Bagaimana rasanya?"

Seungyoun menoleh dan mendapati Minhee tersenyum padanya.

"Mau tambah?"

"Cukup kok cukup! Dan enak sekali."

"Menu andalan di sini. Ada sup ayam juga kalau mau?"

"Mungkin lain kali," jawab Seungyoun senang.

Minhee tersenyum lebar. "Kau akan ke sini lagi kapan-kapan?"

Seungyoun mengangguk.

"Janji, Hyung?!" Minhee mengambil duduk di hadapan Seungyoun. "Aku tidak tahu kalau kau trainee favorit Swing seperti kata noona-ku, tapi barusan aku langsung browsing dan ternyata Hyewon-noona tidak bohong." Mata Minhee berbinar. Sesekali, senyum pemuda itu terlihat kikuk.

"Bagaimana kuemu?" tanya Seungyoun santai.

"Aah, terpaksa kubagi dua."

Raut muka Minhee membuat Seungyoun tertawa.

"Ajari aku beberapa talent yang diperlukan untuk ujian masuk."

"Tentu. Kau suka apa? Menyanyi? Menari?"

"Aku suka semuanya, aku benar-benar ingin jadi idol."

"Impian yang bagus."

"Seungwoo-hyung bilang, suaraku bagus."

"Kalau begitu kau harus menyanyi di depanku dulu," goda Seungyoun.

"Ehh?" Wajah Minhee panik. "Menyanyi apa ya?"

Seungyoun menyeruput kuah sup di sendoknya, menikmati raut wajah Minhee yang polos ketika panik.

"I'm so sorry but I love you nalkaroun mal. Hwatgime nado moreuge neol tteonabonaetjiman. I'm so sorry but I love you da geojitmal ... I'm so sorry."

Mata Seungyoun melebar, senyumnya mengembang mendengar Minhee menyanyi sepotong lagu—mengikuti music yang disetel kafe. "Wah, lagu senior!" Seungyoun bertepuk tangan—membuat Minhee menutupi wajahnya karena malu. Siapa sangka anak muda di hadapannya itu mengenal lagu Bigbang yang rilis satu dekade yang lalu itu?

"Tapi aku tidak bisa menyanyikan bagian rap-nya."

"Tidak apa," ujar Seungyoun tenang. "Kau bisa fokus di vocal, lagi pula visualmu itu..." Seungyoun mengacungkan jempolnya, membuat Minhee semakin malu. "Kau tahu lagu-lagu Bigbang sunbaenim?"

"Aah, tidak semuanya tapi aku suka. Lebih tepatnya suka karena sering diputar di kafe ini. Seungwoo-hyung yang mengatur playlist lagu di sini." Minhee mencondongkan tubuhnya mendekat ke Seungyoun dan berbisik, "selera musik Seungwoo-hyung sangat bagus. Nanti semakin malam menjelang tutup, lagunya berubah menjadi ballad."

Seungyoun mengingat lagu-lagu di dalam iPod Seungwoo dan ia harus mengakui bahwa selera Han Seungwoo memang bagus.

Sebuah tangan menepuk kepala Minhee.

Seungyoun ikut mendongak dan mendapati Seungwoo sudah berdiri di samping mejanya, membawa sebuah tas kecil bening yang berisi pakaian Seungyoun. "Kalian membicarakan apa kok serius sekali?"

"Eh, Hyung!" Minhee tertawa kikuk. "Tidak bicara apa-apa! Membahas ... sup tahu. Ya, ya, sup miso tahunya enak kata Seungyoun-hyung."

"Tentu saja."

Minhee bangkit berdiri. "Sebaiknya aku ke counter untuk membantu yang lain."

"Ya, sebelum Hyewon mencarimu."

Seungyoun tertawa pelan melihat Minhee yang langsung cemberut. Pemuda itu lalu menoleh pada Seungwoo yang masih berdiri. "Kau tidak makan?" Seungyoun mengingat cerita Minhee sebelumnya, bahwa dulu Seungwoo bahkan hanya memakan satu ramyeon sehari. Kehidupan macam apa yang dijalani Seungwoo?

"Nanti saja."

"Makanlah dulu, kutunggu."

"Menungguku?" Seungwoo tersenyum tipis. Entah kenapa, ia merasa satu kata itu membuat dadanya menghangat.

"Kenapa senyum-senyum begitu? It's not like we're on date or anything."

Seungwoo mendecak. Ia menyerahkan tas di tangannya dan melemparkannya ke pangkuan Seungyoun. "Sana cepat habiskan makanmu dan pulang."

.

.

.

.

.

.

...

Seungwoo mengatakan bahwa ia akan mengantar Seungyoun sampai halte bis, mengingat ia yakin Seungyoun tak tahu jalanan sekitar area tempat tinggalnya. Pemuda itu menyejajarkan langkahnya dengan Seungyoun, sementara Seungyoun sibuk melihat sekitar. Pandangan matanya berlarian ke arah jalanan, pertokoan kecil, dan di ujung jalan ada stan street food—sate-sate odeng dalam panci berkuahnya.

Mengabaikan Seungwoo, Seungyoun berbelok.

"Hei!" Seungwoo berhenti melangkah ketika menyadari Seungyoun berbelok tanpa aba-aba.

"Jajan dulu."

Seungwoo menatapnya tak percaya.

"Ayo." Seungyoun mengucapkan beberapa salam pada paman penjual dan mulai memilih sate ikan yang ingin ia makan. Ia melirik Seungwoo yang akhirnya ikut-ikutan. Kalau begini kan Seungwoo pasti mengisi perutnya. Sementara ia ... jadwal dietnya jadi terganggu.

Seungwoo membuka mulutnya dan mendongak. Sate yang ia lahap masih panas. Kepulan asap tipis keluar dari mulutnya. "Haaah~~"

"Bodoh sekali." Seungyoun tertawa. Setengah sate yang masih di tangan Seungwoo, mengambang di udara, Seungyoun mencondongkan tubuhnya.

Pemuda itu meniupnya beberapa kali, memastikan tak lagi panas.

Seungwoo menunduk. Dilihatnya Seungyoun meniup sate di tangannya, sebelum akhirnya kembali sibuk dengan satenya sendiri. Seungwoo memandangi Seungyoun sembari mengunyah. "Mau?"

"Kau makan lah. Sudah dingin itu."

Seungwoo tersenyum tanpa ia sadari. Merasa ada yang memperhatikannya, Seungwoo mengangkat wajahnya dan melihat ahjussi penjual sate tersenyum memandanginya—bergantian dengan memandangi Seungyoun juga. Seungwoo buru-buru menggigit bibirnya, meredam senyumnya sendiri. Ia lalu memakan satenya lagi.

"Seungwoo-yaaa!"

Panggilan itu membuat Seungyoun ikut menoleh. Alisnya berkerut dan kunyahannya melambat. Di samping kanannya, di pundak Seungwoo, ada satu tangan melingkar di sana. Seungyoun memundurkan sedikit posisinya. Ada seorang laki-laki di samping Seungwoo, memakai kemeja dan celana jeans hitam. Rambutnya sedikit keabu-abuan, matanya bulat, bibirnya tidak bisa dibilang tipis. Lelaki asing itu tertawa-tawa.

"Sudah mau berangkat?" tanya Seungwoo.

Lelaki itu mengangguk. "Harus datang lebih awal karena kau off hari ini. Kukira kau tidur. Ternyata kelayapan. Tumben." Ia melihat sate di tangan Seungwoo. Ia membuka mulutnya, minta disuapi.

Mata Seungyoun memicing.

Seungwoo menjauhkan sate di tangannya dan membuat lawan bicaranya merengut. Seungwoo tertawa sebentar sebelum memakan satenya sendiri. "Sebaiknya kau segera berangkat."

Pemuda asing itu lalu memiringkan kepalanya, menyadari ada seseorang di samping Seungwoo, yang dari tadi melihatinya. Tentu saja siapa lagi kalau bukan Cho Seungyoun. Mata pemilik nama itu menyipit. "Sepertinya kau tidak sendirian?"

"Aah!" Seungwoo langsung menoleh pada Seungyoun. "Kenalkan, ini teman sekolahku. Namanya Cho Seungyoun. Seungyoun, ini Kookheon, teman mmm, teman—"

Mata Seungyoun semakin menyipit.

"Teman kerjanya." Kookheon mengulurkan tangannya, menjabat tangan Seungyoun dengan penuh semangat. "Bro, susah sekali bilang aku teman kerjamu."

Seungwoo menjitak kepala Kookheon. "Memangnya kau kira aku memberitahu semua teman sekolahku kalau aku punya pekerjaan part-time?"

"Ooh," Seungyoun mengangguk-angguk. "Tidak usah sok misterius, tidak akan kusebar ke sekolah. Pede sekali." Seungyoun mengerucutkan bibirnya.

Kookheon tertawa melihat Seungyoun. "Nah!"

Seungwoo mendecak. "Sudah sana pergi."

"Sampai ketemu lagi, Seungyoun-ssi! Maaf mengganggu date kalian!"

Seungyoun melotot.

"YA! Sembarangan bicara!" Seungwoo mengoceh pada Kookheon sementara Kookheon berlalu menjauh sembari tertawa. Bisa-bisanya temannya itu muncul di saat seperti ini. Padahal ia cukup jarang bertemu Kookheon kecuali di tempat ia kerja part-time di malam hari. Keduanya saling mengenal dua setengah tahun lalu, sama-sama orang perantauan di Seoul. Kookheon yang menawarinya pekerjaan part-time, karena dua-duanya sama-sama memalsukan usia mereka untuk mencari pekerjaan. Kookheon memiliki pembawaan yang ceria—hampir seperti Seungyoun.

Seungwoo teringat Seungyoun.

Ia menoleh dan melihat Seungyoun sudah menghilang.

"Lho?"

Ahjussi penjual sate menunjuk ujung jalan, terlihat sosok Seungyoun sudah berjalan pergi tanpa ia sadari. "Belum dibayar, ya..."

"Ne. Baik," Seungwoo mengangguk dan menyoodorkan beberapa lembar uang kertas sebelum akhirnya berlari ke arah Seungyoun. Bocah itu berjalan seperti dikejar setan. Seungwoo melirik kesal. Beruntung ia memiliki kaki yang panjang. "Hei."

"Apa?"

"Pergi begitu saja tanpa membayar."

"Kan ada kau."

Seungwoo memicingkan matanya. Kini keduanya berjalan di trotoar jalan raya besar. Halte bus sudah terlihat di ujung sana.

"Sibuk melamun Kookheon sampai aku pergi pun tidak sadar."

"Hah?"

Seungyoun tetap berjalan lurus bak memakai kacamata kuda.

"Ngomong apa?"

"Ya pokoknya karena kau sudah membuatku hampir mati, hari ini kau membayar semuanya." Seungyoun memeluk tas pakaiannya sembari berjalan tenang. "Dan ini bukan kencan!" Seungyoun tiba-tiba berhenti dan menoleh tajam pada Seungwoo. Bibir pemuda itu manyun.

Seungwoo mendecak, menahan tawanya sendiri. "Ya memangnya siapa yang bilang ini kencan? Aku hanya merasa bersalah karena membuatmu hampir mati."

"Ya, ya, aku tahu." Seungyoun melengos, melangkah lagi—kali ini lebih cepat, mencoba meninggalkan Seungwoo di belakang. Sebenarnya ia bisa saja dengan mudah mengusir Seungwoo, toh haltenya sudah kelihatan. Tidak perlu juga diantar sampai halte. Tapi ada sesuatu jauh di dalam pikirannya, ia merasa tak apa diantar. Ditemani tidak ada salahnya.

Han Seungwoo tak paham, kenapa ia yang dulu tidak nyaman dengan Seungyoun, mendadak merasa ingin melihat pemuda itu lebih lama. Mungkin ia terhipnotis oleh kalimat-kalimatnya dulu—yang memuji suaranya. Dan lagi, harus Seungwoo akui, Seungyoun terlihat baik, lepas dari blackmail-nya tentang isi iPod-nya.

Ah, iya.

Seungwoo masih kesal perkara itu.

"Berapa jauh perjalanan bus nanti?" tanya Seungwoo membuka pembicaraan.

"Kalau jalan kaki setengah jam. Kalau naik bus sama saja karena berputar-putar." Seungyoun mengecek penanda waktu di pergelangan tangannya. "Sebentar lagi busku pasti tiba."

Seungwoo hanya mengangguk. Tak terasa keduanya sudah berdiri di halte.

Tiba-tiba ponsel Seungyoun berdering. Seungyoun mencari sumber suara, lupa meletakkannya di sebelah mana.

Seungwoo meraih tas pakaian Seungyoun, membawakannya.

"Eh?"

"Coba cek di saku sweater. Pakaianku sepertinya agak kedodoran di badanmu."

Seungyoun menurut dan menemukan ponselnya.

Seungwoo melirik layarnya dan menemukan sebuah nama tertera di sana. Lee Hangyul.

"Oi?"

Pemuda Han itu hanya melirik Seungyoun yang tersenyum.

"Oh tadi kau ketiduran? Iya tadi sore aku meneleponmu waktu keluar dari sekolah. Tidak apa, aku pulang naik bus, iya di halte biasanya," jelas Seungyoun. "Eh, kau di dekat sini? Tapi busku sudah kelihatan."

Seungwoo menatap pintu bus di hadapannya.

Pintu kaca itu terbuka.

"Atau aku tunggu kau di sin—"

Seungwoo meraih satu pergelangan tangan Seungyoun yang bebas, menarik pemuda di sampingnya itu untuk naik ke bus.

Cho Seungyoun melongo.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

"Silakan duduk!"

Han Seungwoo menempelkan kartu uang elektroniknya dan menyeret Seungyoun, mencari tempat duduk. Melihat ada dua kursi kosong, Seungwoo meraih bahu Seungyoun dan mendorong pelan Seungyoun, menyuruh Seungyoun duduk di dekat jendela.

"Halo? Halo, Seungyounie!"

"A-ah! Tidak jadi, Hangyul! Aku sudah naik bus. Kutelepon lagi nanti!"

Seungwoo menjatuhkan tubuhnya, duduk di samping Seungyoun. Ia meletakkan tas pakaian Seungyoun di pangkuan pemuda itu lalu menatap lurus.

Seungyoun mendecak. "Kau ini benar-benar—" Mulut Seungyoun menggumamkan celoteh tak jelas.

Seungwoo hanya tersenyum.

"Padahal aku bisa keluar main dengan Hangyul dulu."

Pemuda beriris mata obsidian itu menoleh pada Seungyoun. "Matamu sudah merah kena air kolam begitu, masih ingin main?"

"Kau protes seperti nenekku."

"Ck."

Seungyoun menarik napas panjang. Sejujurnya ia memang mengantuk. Matanya sudah pedas. Belum lagi setelah makan miso tahu di kafenya Minhee tadi. Ia merindukan ranjang empuknya di rumah. Sejenak, ia menoleh pada sosok di sampingnya. Ia tak menyangka Seungwoo seperhatian itu, sampai menggiringnya naik bus.

"Kenapa melihatiku begitu?" Seungwoo buru-buru berdeham. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.

"Tunggu."

"Apa?"

"Kenapa kau jadi ikutan naik bus?"

Seungwoo menoleh. Ia membeku.

BENAR JUGA!

Sedetik setelahnya, Seungyoun tertawa. "Kau ini ... benar-benar aneh."

Wajah Seungwoo tiba-tiba memanas. "Ya! Aku ... aku lupa!"

Seungyoun belum berhenti tertawa. "Kau benar-benar aneh!"

"Sudahlah, aku terlanjur naik."

"Bodoh sekali, sumpah, kau benar-benar bodoh!"

Seungwoo tidak menemukan kalimat apa pun untuk membalas Seungyoun.

Pemuda di sampingnya itu tertawa sampai menepuk-nepuk lututnya. Cho Seungyoun terlihat sangat puas menertawakan Seungwoo. "Kau ... mau turun di halte berikutnya?"

"Kupikirkan sendiri nanti." Seungwoo berusaha untuk tetap tenang.

Beruntung pencahayaan dalam bus cukup remang—Seungyoun tak menyadari rona merah merambati leher hingga telinga Seungwoo. "Kau benar-benar di luar dugaan, Han Seungwoo-ssi. Bodohmu natural sekali."

"Ssh."

Perlahan, Seungyoun berhenti tertawa. Bibirnya melengkungkan senyuman manis. "Tapi terima kasih."

"Untuk?"

"Menemaniku pulang."

"Hmm."

"Jangan-jangan kau melakukan ini karena ingin bernegosiasi denganku soal wawancara?"

"Haaah, membahas itu lagi. Moodku sedang baik, jangan kau rusak."

Seungyoun mengulum bibirnya, masih berusaha meredamkan senyumnya. "Tapi tadi kan kau gagal memasukkan bola."

"Tapi bolanya masuk gawang."

"Tapi karena kena kakiku!"

"Itu namanya gol bunuh diri, tetap saja skornya untukku."

"Tidak, tidak, tidak ada kesepakatan seperti itu di awal!"

Seungwoo mendengus, tertawa kecil. "Terserah lah. Kalah tetap saja kalah."

Cho Seungyoun memukul sisi lengan Seungwoo.

"Argh! Apa sih?"

"Pertandingan tadi tidak sah, anggap saja tidak ada!"

"Enak saja."

"Ya, Han Seungwoo!" Seungyoun mengerucutkan bibirnya. "Ah, masa bodoh. Aku tetap akan mewawancaraimu!" Seungyoun merebahkan punggungnya lagi di sandaran kursi. Ia memalingkan mukanya ke jendela, gondok.

Seungwoo meliriknya dan tersenyum.

Yang tidak disadari Seungwoo, Seungyoun dapat melihat pantulan wajah Seungwoo di kaca jendela—tersenyum manis.

.

.

.

.

.

.

.

.

...

Seungwoo merogoh ponsel di sakunya. Ia ingat Seungyoun bilang bahwa jarak halte ke rumahnya ditempuh kisaran tiga puluh menit jika naik bus karena berputar-putar. Rasanya Seungyoun sudah ketiduran kisaran dua puluh menit sejak pemuda itu memejamkan matanya. Seungwoo melirik Seungyoun. Kepala pemuda bermarga Cho itu bersandar pada kaca jendela bus. Matanya tertutup sempurna.

Bibirnya sedikit terbuka.

Jejak air liur tipis mengalir di ujung bibirnya.

Seungwoo tak bisa menahan senyumnya. Ia tak tahu apakah normal baginya mengatakan bahwa cara tidur pemuda di sebelahnya ini sangat imut? Tidak, tidak. Seungwoo mengulum bibirnya. Tidurnya jelek sekali.

Ya, pasti begitu.

Bus melaju lagi.

Seungwoo kembali melihat luar jendela. Ia bingung. Haruskah ia membangunkan Seungyoun yang kelihatannya nyenyak sekali ini? Tapi ia tak tahu di halte mana Seungyoun harusnya turun. Seungwoo mengangkat telunjuknya, menyentuh ujung hidung Seungyoun.

Mata Seungyoun yang terkatup, bergerak.

Tapi tetap tak bangun.

Seungwoo memandangi bulu mata pemuda itu. Ketika terkatup begini, bulu matanya yang lurus tampak panjang. Ia mengerjap beberapa saat. Satu tangannya yang memegang ponsel terangkat. Iseng, ia membuka fitur kamera ponselnya.

Setelah beberapa ketukan di layar ponselnya—membekukan momen Seungyoun yang dengan polosnya tidur—Seungwoo memencet hidung Seungyoun. "Hei, bangun."

"Aahhnnn..." Mulut Seungyoun terbuka makin lebar, mencari oksigen. "HAAAH!!" Ia terbangun mendadak, langsung terduduk tegak.

Seungwoo menarik tangannya dan tertawa kecil.

Seungyoun memegangi hidungnya sendiri. Napasnya naik turun. "Kau—"

"Sampai rumah nanti, tidurlah lagi."

"Cih."

Seungwoo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu di mana halte tempatmu turun. Apa halte depan itu?"

Cho Seungyoun memicingkan matanya. Ia lalu melihat keluar. Beberapa bangunan yang seperti ia kenal, terlihat di luar. Pemuda itu mengerucutkan bibirnya dan alisnya berkerut. Tunggu. TUNGGU. Mata Seungyoun membulat dan ia langsung berdiri.

Seungwoo mendongak dengan tatapan bingung. "Ada apa?"

"HALTEKU KELEWATAN!"

.

.

.

.

.

.

.

...

Cho Seungyoun tak tahu ia harus uring-uringan atau berterima kasih karena Seungwoo membangunkannya dengan cara menyebalkan begitu—karena kalau sampai Seungwoo tak membangunkannya, ia pasti kelewatan lebih jauh lagi. Beruntung ia hanya melewatkan satu halte saja, jadi tak terlampau jauh dari rumahnya. Jadilah keduanya kini berjalan kaki, rasanya seperti berolahraga lagi. Seungyoun memasukkan kedua tangannya di saku celana, sesekali melirik Seungwoo di sampingnya.

Seungwoo banyak tersenyum malam ini.

"Kau semakin jauh dari rumah," ucap Seungyoun tiba-tiba.

"Hm?" Seungwoo menoleh. "Tak apa."

"Dasar aneh."

Seungwoo tersenyum tipis dan mengembuskan napas panjang. Pemuda itu mendongak, melihat langit gelap di antara gedung-gedung tinggi. Bulan menyembul dalam bentuk sabit. Di sekitarnya ada beberapa butir bintang berpendar. "Sudah lama aku tidak menikmati jalan-jalan malam."

Seungyoun menoleh.

"Aku punya pekerjaan part-time. Kalau sedang off, aku memilih untuk tidur."

"Apa tidak bosan?"

Yang ditanya menggeleng. "Tidak juga. Aku menikmatinya."

"..."

"Tapi ternyata jalan-jalan pun tak buruk."

Seungyoun mendengus dan tersenyum diam-diam.

"Kalau liburan pagi-pagi, biasanya aku mengajak Mini dan Hyewon keluar. Makan di luar, atau menemani mereka membeli baju."

"Kudengar Minhee ingin pindah ke sekolah kita?"

"Ah, iya!" Seungwoo menepuk kedua tangannya. "Suara Mini enak."

"Iya, aku tadi mendengar dia menyanyi. Suaranya bagus."

Seungwoo tersenyum setuju.

"Dan Minhee punya modal visual."

"Kau benar. Dia dan Hyewon punya visual yang menjual," Seungwoo mengelus dagunya sendiri. "Kadang pulang sekolah, ada siswi-siswi dari sekolah lain, datang ke kafe karena ingin bertemu Mini."

"Wah, jadi idol sebelum trainee."

Seungwoo tertawa mendengarnya. "Aku mendukungnya pindah ke sekolah kita. Mungkin bulan depan paman akan mengurus berkas-berkas kepindahannya."

"Aku akan membantunya kalau perlu."

"Sepertinya Mini cocok denganmu," Seungwoo mengulum bibirnya, "ah tapi Mini memang mudah bergaul dengan orang yang baru dikenalnya meski dia sebenarnya agak kaku dan cukup pendiam. Tapi jika dia sudah mengagumi seseorang, Mini akan mengekori orang itu karena merasa nyaman."

"Dia lucu dengan sikap kikuknya."

"Dia sudah seperti adikku sendiri," Seungwoo menghela napas panjang. Diam-diam ia mengingat seseorang—merindukannya juga.

Seungyoun memiringkan kepalanya. Satu persatu kotak misteri bermunculan. Bolehkah Seungyoun membukanya?

"Ah, tadi aku sempat memperhatikan Mini ketika denganmu. Dia punya tatapan yang," Seungwoo menunjuk matanya sendiri, "berbinar-binar. Kurasa kau punya daya tarik yang seperti itu, Seungyoun-ssi. Bermagnet." Ia mengingat bagaimana rekan-rekan Seungyoun menatap pemuda itu ketika berkumpul. Kagum, nyaman, dan selalu tertawa senang.

Seungyoun berhenti melangkah. Ditatapnya Seungwoo yang ikut berhenti melangkah.

"Ada apa?"

"Mencari bintang."

"Hah?"

"Mencari bintang di matamu."

Seungwoo membeku.

"Katamu barusan, orang yang melihatku, akan menatapku dengan berbinar-binar."

"Y-ya!! Itu hanya kiasan!" kilah Seungwoo cepat. Pemuda itu mendadak merasa kulit wajahnya memanas. Bagaimana bisa Seungyoun membicarakan bintang dan matanya dalam satu kalimat?

Seungyoun tertawa.

"Ayo jalan lagi."

"Tidak perlu."

Seungwoo mengerutkan alisnya.

Seungyoun menunjuk sebuah pagar dengan bentuk kayu di sampingnya. Ada banyak tanaman merambat hias di dinding sampingnya, menggantung kontras dengan warna kayu basah yang menjadi pagarnya. Bangunan rumah itu cukup besar, terlihat ada dua tingkat. Beberapa lampunya padam namun Seungwoo bisa melihat lampu taman dan lampu di lantai dasar rumah itu menyala. "Kita sudah sampai."

"Oh." Seungwoo mengangguk. "Kau ... tinggal dengan ibumu saja?"

"Ada juga nenek, paman, dan aku punya seorang adik laki-laki."

"Ooh."

Seungyoun menggigit bibirnya sedetik. "Mau mampir? Ibuku bisa membuatkanmu makan malam."

Han Seungwoo langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku akan pulang sekarang. Kau tidurlah."

"Kau tau jalan ke halte, kan?"

"Kalau aku tersesat, aku akan kembali ke sini dan membangunkanmu seperti tadi."

Seungyoun mendecak, sebelum akhirnya tertawa kecil. "Aku mulai berpikir bahwa kau memang punya niatan untuk membunuhku."

Tawa itu menular pada Seungwoo.

"Terima kasih sudah menyelamatkanku di kolam tadi."

"Apa aku punya pilihan?" canda Seungwoo. "Aku belum jadi solois, aku tidak mau masuk penjara."

Seungyoun mendecak kesal. "Menyebalkan memang keahlianmu."

Wajah cemberut Seungyoun membuat Seungwoo tersenyum lebar. Matanya memicing, seperti marah pada Seungwoo tapi ekspresinya justru terlihat imut. Seungwoo mengangkat tangan kanannya. Jemarinya bergerak mendekat ke dagu Seungyoun. Pemuda itu menggosok ujung bibir Seungyoun dengan ibu jarinya, pada jejak liur Seungyoun yang mengering—akibat ketiduran di bus tadi. "Cuci mukamu."

Seungyoun membatu. Matanya mengerjap.

Seungwoo menarik tangannya dan berbalik. "Aku pulang."

Apa itu tadi?

Cho Seungyoun. Meraba sudut bibirnya—sementara bayangan Seungwoo mulai menghilang di ujung jalan.

.

.

.

.

.

.

...

Seungwoo melangkah santai, melewati jalan setapak sebelum ia bertemu jalan raya lagi. Ia membeli kopi di sebuah kafe dan membawanya pulang. Pemuda itu meminum kopinya dengan cepat sembari melihat sekitar—pada orang-orang yang sibuk lalu lalang di trotoar jalan. Lampu jalanan berpendar. Ia mengedarkan pandangannya, pada etalase-etalase toko pakaian, berpikir sepertinya sudah lama ia tak belanja untuk dirinya sendiri. Jalan-jalan ternyata ide bagus.

Apalagi jika ditemani seseorang.

Bayangan wajah Cho Seungyoun lewat dalam sekelebat mata.

Han Seungwoo memandangi cup kopi di tangannya, tepat ketika ia berhenti di tepi zebra-cross, menunggu giliran menyeberang jalan.

Jantungnya berdetak tak teratur.

"Pasti karena kopi," gumamnya sendiri.

'TETT TET TETT'

Lampu penanda boleh menyeberang menyala hijau. Di antara lalu lalang orang-orang, Seungwoo melangkah maju. Halte yang menjadi tempat tujuannya sudah terlihat tak jauh dari seberang. Ia melangkahkan kaki jenjangnya dengan santai. Satu tangannya bersemayam di saku celana sementara tangan lainnya masih memegang gelas kopinya.

"Han Seungwoo?"

Masih di tengah zebra-cross, Seungwoo mendengar seseorang menyebut namanya. Menoleh ke kanan, wajahnya disinari sorot lampu kendaraan. Mata Seungwoo menyipit—sedetik setelahnya, lampu itu meredup. Seungwoo membuka matanya lebih lebar, menatap balik orang yang mengucap namanya.

Sebuah motor sport.

Seseorang yang mengendarainya, ia kenal.

"Lee Hangyul?"

Keduanya berpandangan, sama-sama mempertanyakan dalam hati, mengapa mereka bertemu di sini meski area ini bukan pemukiman tinggal mereka. Atau lebih tepatnya—ini daerah tempat tinggal Cho Seungyoun.

Tatapan mata keduanya bertemu di udara.

.

.

.

.

.

.

.

.

..

To be continue.

Notes:

Sudah cukup manis kah? Semanis moment ryeonseung? Next kita naikkan level kedekatan mereka. Gila naik kapal ryeonseung ini beneran kayak roller coaster. Kencengnya gak bisa diprediksi. But I'm not complaining tho, hahahaha! I love them. I love them too much, sampai jariku mau mengetik cerita lagi setelah bertahun-tahun tidak menelurkan cerita. Banyak ide berputar-putar di kepala.

They're just unbearably cute. Lirik-lirikannya itu lho.

Day 2 Thailand benar-benar gila banget UGI nya. Kuserahkan pada SeiHeicho untuk bikin cerita :)

Oke daripada kepanjangan, jangan lupa vote dan tinggalkan komentar! I love reading your comments, my fellow shipper! Thank you for viewing this story so it reached 1k. I'm flying. Belum sebulan join wattpad, sudah disayang pembaca.

Soal Hangyul, ditunggu aja yaa! Aku ini labil, bingung antara yocat, gyulcat, eh akhir-akhir ini diserang sama kedekatan yohangyul. KAN GILA. See you on next chapter.

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 26.7K 28
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
5.3K 531 18
Katsuki Bakugou tak pernah menyangka bahwa orang yang paling ia benci menjelma menjadi orang yang paling ia sayangi. Perjuangannya menyatakan cinta t...
28.5K 5K 13
➭ "Trus, kalau lo bunuh kita sekarang, siapa yang mau jagain lo?" ⚠️Contains curses and harsh words. ⚠️Only fantasy and prohibited from carrying it i...
499 58 3
"Hao, ayo pacaran denganku" "Sung Hanbin sialan, lo masih waras?" Zhang Hao sudah lama menetapkan Sung Hanbin sebagai musuh bebuyutannya dalam memper...