Ryeon: Someone Named Love

By x1nightshadow

38.8K 5.9K 4.4K

AU Seungzz Ryeonseung / Han Seungwoo x Cho Seungyoun / Multichapter Di akademi milik Swing Entertainment, tid... More

Chapter 1
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16 (END)

Chapter 2

2.7K 400 192
By x1nightshadow

Wooseok ada kelas sastra favoritnya sementara Hangyul ada kelas dance. Siang ini, Yohan ada kelas lain dengan Seungyoun. Ia sangat bersemangat mengingat hari ini ia akan melanjutkan latihan beatboxing—yang susahnya minta ampun itu. Namun beberapa kali Seungyoun sudah mengajarinya, jadi ia yakin tes nanti di kelas, ia akan dapat melaluinya dengan baik. Ngomong-ngomong soal Seungyoun, sudah dua menit sejak suara bel masuk kelas berbunyi, tidak ada tanda-tanda rekannya itu akan kembali ke studio radio. Yohan melangkah keluar, mengunci pintunya dan bergegas menuju kelas—mungkin Seungyoun akan langsung ke kelas setelah selesai menemui Han Seungwoo.

Ketika ia berjalan menuju kelas, beberapa langkah dari pintu masuk, ia melihat sosok Seungyoun berjalan ke arahnya. Polos, Yohan melambai-lambaikan tangannya dengan penuh semangat. "Ayo, sudah banyak yang masuk kelas!" Di lorong, hanya tersisa beberapa murid yang juga bersiap masuk ke kelas. Sebagian besar siswa sudah duduk manis di dalam kelas untuk bersiap menerima pelajaran.

Yang tidak Yohan sadari adalah raut muka Seungyoun yang ditekuk-tekuk.

Mood-nya memburuk.

Melihat ada Yohan di pintu masuk kelas, Seungyoun mempercepat langkahnya. Wajah pemuda itu merah padam.

Alis Yohan berkerut ketika menyadarinya. "E-eh, Seungyouni—"

Tepat di depannya, Cho Seungyoun mengangkat kepalan tangannya.

BRAKKK!

Seungyoun meninju pintu kayu yang diam bergeming—balok kayu itu sampai bergetar dan kaitan penguncinya di lantai terlepas. "BRENGSEEEEKKK!"

Suara kencang Seungyoun membuat Kim Yohan melotot. Ia melongo. Sosok di depannya bernapas dengan tak beraturan—derunya naik turun. Beberapa murid keluar dari pintu kelas dan beberapa melongok keluar jendela, melihat apa yang terjadi. Yohan memegangi pintu kelas yang masih berguncang dengan buru-buru. "S-Seungyounie?"

"ARRGGH! Aku benar-benar kesal!"

"Pa-padaku?" Kim Yohan mengerjap beberapa kali.

"Sekali ini aku bertemu dengan orang yang sombongnya lebih tinggi dari langit! Whoa! Whoa, aku benar-benar tak percay—"

Melihat mata Seungyoun yang membara, berapi-api, seolah mulut Seungyoun ingin menyemburkan api naga, Yohan segera memegangi satu tangan Seungyoun. Ia melihat ke sekitar dan membungkuk-bungkuk meminta maaf pada yang lain.

"Kau tahu, Yohana! Aku benar-benar ingin memukul wajahny—"

"Ssshhh!" Yohan menyeret Seungyoun menjauh. Ia masih membungkuk-bungkuk pada siswa-siswa yang penasaran dengan keributan yang ditimbulkan seorang Cho Seungyoun yang selama ini terkenal ramah, mudah bergaul, juga memiliki attitude paling menyenangkan di antara anggota X101. "Joesonghamnida, joesonghamnida! Abaikan saja, silakan kembali ke kelas. Maaf membuat keributan."

Seungyoun menurut saja diseret oleh Kim Yohan ke halaman belakang gedung sekolah. Mulutnya masih mendumel, cerocosannya tak berhenti.

Sampai di halaman belakang, Yohan membawa Seungyoun ke bawah pohon rindang, berharap semilir angin bisa meredakan emosi Seungyoun meski sedikit. "Ini soal Han Seungwoo, ya?"

"He is a shit, man. Totally shit!" Seungyoun menarik napas panjang. "Seumur hidupku di sekolah ini, aku tidak pernah ketemu murid sesial ini! Kautahu, aku baru mengajaknya ngobrol sedikit saja, dia sudah melihatku seperti lalat terbang. Coba tebak dia bilang apa?? Dia tidak ingin ngobrol denganku! Memangnya dia siapa? Anak presiden??"

Yohan mengulum bibirnya, menahan tawa. Sahabatnya itu marah hingga urat nadi di lehernya terlihat jelas. Wajah hingga lehernya merona merah.

"Aku bahkan belum banyak bicara! Baru tanya kabar dan dia melihatku sebelah mata! Ah, tidak! Matanya tidak kelihatan gara-gara poninya itu! Aku benar-benar menahan diri untuk tidak menjambaknya!"

Yohan tersedak—menahan tawa. Menjambak? Seungyoun bertingkah seperti anak gadis saja.

"Yohana!"

Yang dibentak justru tertawa. Ponselnya sampai jatuh ke atas tanah.

"Kau ini! Bukannya mendengarkanku baik-baik, kau malah menertawakanku!" Seungyoun memicingkan matanya. "Apa menurutmu aku sedang bercanda?"

Yohan melambaikan tangannya. "Tidak, tidak. Hanya saja, aku tidak pernah melihatmu marah begini. Tentu saja di depan kelas tadi aku agak ngeri melihatmu marah begitu. Tapi setelah lebih dari sepuluh menit kau mengoceh, aku merasa kau lucu."

Seungyoun mendecak. "Aku belum selesai—"

"Oi."

Seungyoun menoleh dan sebuah botol air mineral melayang ke arahnya. Dengan sigap ia menangkapnya—setelahnya, ia melihat Wooseok berjalan ke arahnya, dengan kedua tangan bersemayam di saku celananya. Cool seperti biasa. "Kekacauan seperti apa yang kau buat, Seungyounie?"

"Bagaimana kau bisa ke sini?"

"Yohan mengirim chat. Terpaksa aku izin keluar kelas."

Seungyoun mendecak. "Aku baru tahu kalau kau sangat menurut pada Yohan."

Yohan tertawa.

Wooseok berbalik, "Aku kembali ke kelas saja."

Untuk pertama kalinya sejak bertemu Seungwoo, Seungyoun tersenyum. "Kau ada kelas apa?"

"Sastra," jawab Yohan cepat. "Sepertinya kepala Seungyounie sudah dingin."

"Jjinja, hanya dengan kedatanganku?" Wooseok mengelus dagunya sendiri. "Aku bisa jadi obat untukmu kalau begitu." Pemuda itu mengerling.

The only medicine is you.

Lirik itu berdengung di kepala Seungyoun.

Ciptaan Han Seungwoo.

Wajah Seungyoun kembali cemberut.

"Kalau begitu, aku kembali ke kelas ya? Sayang sekali kalau melewatkan kelas Pak Dong Wook."

Yohan mengangguk. "Terima kasih minumannya."

Wooseok berbalik. Baru melangkah beberapa jejak, pemuda itu menoleh lagi. "Oh! Di kelasku ada Han Seungwoo. Kau sudah berhasil ketemu dengannya tadi?"

Mata Yohan membulat. "Wooseokkie, tunggu kau membangunkan macan—"

"WOOSEOK-AAH, KAU TAHU SI BRENGSEK ITU—"

Yohan menepuk jidatnya sendiri. Ia tak bisa melakukan apa-apa ketika Seungyoun kembali mengomel panjang lebar—entah akan makan waktu berapa jam ini nanti.

.

.

.

.

.

.

...

Telapak tangan Seungwoo yang lebar memangku dagunya. Ia melirik ke bawah melalui jendela kelasnya di lantai tiga gedung akademi Swing—yang menghadap ke halaman belakang sekolah. Di bawah, tampak tiga orang sedang mengobrol, berdiri di bawah pohon. Dua di antaranya pasti membolos dari kelas, sementara satu di antaranya adalah murid kelas yang sama dengan Seungwoo saat ini.

Ya, itu Kim Wooseok, yang sekitar sepuluh menit yang lalu izin keluar kelas karena ada keperluan mendadak. Sesuatu yang jarang dilakukan Wooseok selama Seungwoo sekelas dengan pemuda berambut kecokelatan itu.

Han Seungwoo mengenal Wooseok sebagai anggota geng X101 yang memiliki pembawaan paling tenang dibanding yang lainnya. Anggota yang lain sangat berisik. Sejak tahun awal masuk sekolah, Wooseok dinobatkan sebagai visual terbaik yang dimiliki akademi Swing. Pada beberapa angle, Wooseok terlihat seperti actor muda berbakat Park Bo Gum. Untung saja Wooseok mengubah warna rambutnya. Tapi jika dilihat-lihat lebih teliti, Wooseok memiliki raut muka yang galak dan kurang ramah. Hanya di sekitar rekan-rekan segengnya, Wooseok bisa tertawa lepas.

Terutama Kim Yohan. Seungwoo mengenalnya lebih baik ketimbang Kim Wooseok. Yohan adalah tipikal pemuda yang ceria dan mudah bergaul. Yohan pernah masuk kelas vocal yang sama dengan Seungwoo. Suaranya cukup enak dan pemuda itu sangat polos. Wajah polosnya bisa berubah ketika ia melihat Yohan melakukan pemotretan—wajah Yohan pernah menghiasi majalah Dazed Korea—atau tampil dengan konsep manly. Seungwoo paling menyukai penampilan Yohan pada festival tahun lalu, ketika mengcover lagu dan dance Boss milik NCT.

Sementara di bawah pohon sana, satu orang paling hiperaktif—tangannya beberapa kali terangkat dan ia juga terlihat menggoncang-goncang bahu Yohan, sepertinya sedang kesal—terlihat terus mengoceh sementara Yohan dan Wooseok menjadi pendengar setia. Beberapa kali, ia terlihat mengacak rambutnya karena frustrasi.

"Fluffy," gumam Seungwoo pelan.

"Apa yang fluffy?"

Seungwoo tersentak dari lamunannya dan buru-buru mendongak dan melihat Dong Wook berdiri di samping mejanya. Lelaki itu ikut melongok ke luar. "Ah, maaf, Pak!" Seungwoo mengangguk-angguk meminta maaf karena tidak menyadari kehadirannya.

"Siapa yang sedang kaulihat?"

Seungwoo menggaruk lehernya yang tak gatal. "Melihat burung-burung di pohon, err, untuk inspirasi menulis puisi?" jawab Seungwoo sekenanya.

"Burung?" Dong Wook menahan senyumnya. "Burung fluffy yang berisik sekali di bawah itu?"

Wajah Seungwoo merona. "Joesonghamnida."

Dong Wook kali ini tertawa kecil. Lelaki itu tersenyum teduh dan menepuk bahu Seungwoo. "Aku paling tahu kalau kau sangat buruk dalam berbohong," bisiknya pelan. "Kau tidak ingin berteman dengan mereka?"

"Tidak, tidak, terlalu berisik." Seungwoo menggelengkan kepalanya sembari menjawab lirih—berusaha agar obrolannya tidak didengar murid lain yang sibuk mengarang puisi sebagai tugas dari Dong Wook.

"Ah, begitu rupanya. Padahal bakatmu sangat besar, Seungwoo. Bersama dengan mereka akan mempercepat debutmu."

"Tapi aku lebih berminat menjadi solois."

Dong Wook mengangguk paham.

"Sementara mereka cocok dengan konsep grup yang bersina—" ucapan Seungwoo terpotong ketika ia melihat di bawah hanya ada dua orang. Benar, belum sempat ia menebak, pintu kelas diketuk. Ada Kim Wooseok yang kembali ke kelas. Pemuda dengan rambut agar berombak itu meminta maaf pada Dong Wook karena terlambat kembali ke kelas dan buru-buru duduk di kursinya di barisan depan.

Ketika Dong Wook berjalan ke depan lagi untuk meneruskan mengajar, Wooseok menoleh ke belakang, pada Seungwoo.

Pandangan mata keduanya bertemu.

Namun Wooseok tidak berkata apa-apa, hanya alisnya saja yang sempat berkerut.

Berpikir sebentar, Seungwoo tersenyum tipis. Mungkin gara-gara Cho Seungyoun. Dasar anak manja. Seungwoo ketus sedikit langsung melapor ke teman-temannya. Pasti Seungyoun bercerita soal pertemuan Seungwoo dengan Seungyoun di atap tadi. Percakapan yang singkat. Sejujurnya, Seungwoo kaget Cho Seungyoun mendatanginya.

Han Seungwoo tidak menyukai keramaian.

Atap adalah markas pelariannya. Jarang ada orang yang mau repot-repot naik ke atas. Namun Seungwoo senang memandangi awan di angkasa yang cerah. Pemuda itu terpesona dengan suara angin dan keheningan. Ia bisa merangkai kalimat-kalimat indah untuk lirik buatannya ketika sedang berada di atap sekolah. Ia merasa bebas.

'Han Seungwoo-ssi.'

Pemuda itu mengingat suara Cho Seungyoun ketika menyapanya. Suara yang ... ringan seperti kapas. Manis. Wajahnya polos dan senyum pemuda itu sangat menyenangkan. Kulitnya putih, hampir sepucat kulit Seungwoo sendiri. Ketika Seungwoo pertama kali menatap Seungyoun baik-baik di atap tadi, ia melihat mata jernih Seungyoun bergerak-gerak—sepertinya gugup saat menyapa Seungwoo. Helai-helai rambut hitamnya yang tebal—membuat rambut Seungyoun terkesan fluffy—bergerak-gerak terkena angin semilir di atap gedung. Sedikit sinar matahari yang hangat menghujani satu sisi pipi Seungyoun.

Cho Seungyoun sangat manis.

Dan itu membuat Seungwoo tak menyukainya.

Orang-orang yang terlihat ceria dan hangat. Seungwoo adalah bongkahan batu yang dingin. Seungyoun pasti mengira Seungwoo sangat angkuh.

"Kau tidak apa-apa?"

Seungwoo menoleh pada meja di sampingnya. Ada Byungchan. "Ada apa?"

"Sebentar lagi giliranmu membaca," bisik rekan sekelasnya itu. "Kulihat kau melamun. Kau terlihat aneh—tadi senyum-senyum sendiri lalu tiba-tiba kau memasang aura dingin." Byungchan memasang gestur menggigil.

Seungwoo hanya tersenyum tipis. "Aku tidak apa-apa."

.

.

.

.

.

.

...

"Kudengar kemarin kau membuat pintu kelas hampir rusak?"

Seungyoun tertawa kikuk. Hangyul dan Wooseok melempar pandangan bergantian pada Seungyoun dan Yohan—saksi mata kemarahan Seungyoun kemarin. Beruntung pagi ini, setelah memakan sup iga buatan ibunya, Seungyoun merasa tenang. Jadi ia tidak perlu mengomel lagi, mengulangi cerocosannya soal Han Seungwoo pada Hangyul. Yohan yang paling banyak mencengar celotehannya kemarin.

"Sepertinya murid bernama Han Seungwoo itu perlu diberi pelajaran," ucap Hangyul. "Apa perlu aku saja yang menemuinya dan menyeretnya ke studio?" Hangyul menaikkan lengan bajunya, memasang pose tinju.

Wooseok memukul lengan atas Hangyul. "Ya! Kau kira sekolah kita ini area tinju? Tidak semua konflik harus diselesaikan dengan otot, tau." Wooseok berkacak pinggang melihat Hangyul.

Yohan dan Seungyoun saling berpandangan dan tertawa sembari sibuk mengganti sepatu mereka di ruang loker siswa. Seungyoun membisiki Yohan, bertanya apakah Yohan berniat melerai kucing dan anjing yang masih saling melotot di dekat mereka—namun Yohan mengibaskan tangannya. Hiburan pagi-pagi katanya.

"Ada kalanya baku hantam itu diperlukan," jawab Hangyul santai. "Aku suka baku hantam."

Wooseok menjitak kepala Hangyul. "Kau sudah gila, ya!"

"Coba pikir, apa jadinya kalau semua pertikaian diselesaikan dengan senyuman. Memangnya kau mau berangkat ke Korea Utara sambil senyum-senyum dan selfie di sana?"

"Selfie kepalamu! Memangnya sekolah kita arena perang?!"

Hangyul berjinjit-jinjit. Ia menoleh ke Seungyoun dan Yohan. "Sepertinya ada yang ngomong ya? di mana orangnya?"

Wooseok menendang tulang kering betis Hangyul.

"AARRGH!" Hangyul langsung memegangi betisnya dan melempar sumpah serapah.

Wooseok menggosok telinganya dan berjalan santai ke lokernya. "Be thankful because I didn't kick your balls."

Seungyoun dan Yohan buru-buru menutupi asset di antara kedua paha mereka masing-masing. Wooseok dalam ondisi annoyed bisa sangat mengerikan.

Hangyul masih meringis dan melangkah dengan sedikit pincang. "Kalau kau menendang asetku, kau sendiri yang menyesal."

"Kenapa aku harus menyesal?" Wooseok memutar bola matanya.

Lee Hangyul membelai dagu Wooseok. "Kau yakin?"

Yang digoda mendengus keras. "Bahkan kalau di dunia hanya ada X101, pilihanku hanya Yohan atau Seungyounie."

Seungyoun tertawa kencang. "Tunggu, di mana Hangyul?"

"Siapa itu Hangyul?" Wooseok memasang raut muka datar dan memasang sepatunya.

Hangyul melingkarkan lengannya di bahu Wooseok yang memang lebih pendek ketimbang semua member X101. "Kalau manusia di bumi ini musnah, pilihanku hanya Seungyounie karena ... hei, ada yang lihat Wooseok di mana?" Hangyul menyipitkan matanya, berjinjit dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Aku tidak melihat Kim Wooseok. Dia terlalu pendek untuk terlihat! HAHAHAHAHA!"

Wooseok menyikut perut Hangyul dengan keras. "Teruskan, teruskan, jangan harap aku meminjamimu catatan buku pelajaran sejarahku." Ia lalu melengos pergi.

Hangyul tertawa-tawa dan mengikutinya.

Yohan menggeleng-gelengkan kepalanya. Seungyoun melangkah berjejeran dengannya. "Aku ada kelas olahraga dengan Hangyul sebentar lagi."

Seungyoun mengangguk-angguk. "Aku ada kelas rap tapi kudengar kalau Cheetah-ssi akan datang terlambat ke kelas. Lagi pula ini masih terlalu pagi."

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Yohan santai. "Oh, soal Han Seungwoo, kalau kita perlu mewawancarainya dan kau kesulitan mengajaknya, bagaimana kalau minta tolong Wooseok saja?"

Seungyoun mengernyitkan dahinya. "Wooseok?"

"Maksudku, biar Wooseokkie yang bilang ke Pak Dong Wook. Kudengar, Han Seungwoo sangat dekat dengan guru sastra itu. Dan juga, Wooseok termasuk murid kesayangannya juga."

"Hmm," Seungyoun mengerucutkan bibirnya.

"In case you are giving up, Bro." Yohan mencoba menyembunyikan senyumnya.

"Aku?? Menyerah?" Seungyoun menunjuk dirinya sendiri dan menatap Yohan tak percaya.

Kali ini Yohan tertawa.

"Tidak, tidak. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak ajakanku. Lihat saja nanti."

.

.

.

.

.

.

...

Apa nanti siang ia harus ke atap?

Han Seungwoo berpikir keras—di sela ia memandangi referensi vokabulari yang tebal di tangannya. Mengingat kejadian kemarin, ia merasa kalau ia ke atap nanti siang, Cho Seungyoun akan mendatanginya lagi. Meski ia merasa kata-katanya kemarin sudah pedas, sepertinya Cho Seungyoun tidak akan melepas Seungwoo begitu saja. Kalau dipikir-pikir, salah satu bocah terpopuler di sekolah pastilah punya harga diri tinggi kan?

Tapi memangnya Seungwoo harus menghindarinya?

"Selamat pagi, Mr. Han."

Seungwoo mengernyitkan alisnya. Suara sapaan ceria yang ringan mengudara menyambangi telinganya. Selama beberapa detik, Seungwoo tidak segera mendongak. Matanya masih memandang buku di hadapannya.

Ini perpustakaan.

Bagaimana bisa?

"Han Seungwoo-ssi."

Kali ini Seungwoo mendongak. Senyum lebar Seungyoun menyambutnya. Wajah pemuda itu tampak segar—berbeda dengan ekspektasi Seungwoo yang mengira bahwa jika ia melihat Seungyoun lagi, wajah Seungyoun akan ditekuk-tekuk. Tentu saja kemarin siang ia masih mendengar teriakan Seungyoun di atap ketika ia meninggalkan Seungyoun. Tapi lihat sekarang, wajahnya segar, senyumnya lebar. "Kau..."

"Cho Seungyoun. Namaku tidak sulit diucapkan, kan?"

Seungwoo tertegun sejenak. Ia lalu menunduk, memandangi bukunya lagi. "Kenapa kau bisa kemari? Aku tidak pernah melihatmu di sini sebelumnya."

Seungyoun mengulum bibirnya. Ia memang berotak encer tanpa harus ke perpustakaan. Jenius dari lahir meski agak pemalas. "Tadi saat baru datang, aku melihatmu berjalan ke sini. Jadi aku ke sini juga."

"Harusnya kau datang ke perpustakaan karena memiliki keperluan dengan buku-buku di sini."

"Aku ada keperluan dengan orang yang sedang membaca buku di sini."

Seungwoo terdiam.

"Kau." Seungyoun mengambil duduk di hadapan Seungwoo dengan santainya. "Kemarin aku belum selesai mengobrol denganmu."

"Aku tidak ingin mengobrol." Seungwoo menutup bukunya. "Tidak kemarin, tidak sekarang, tidak besok," ujarnya dingin.

Seungyoun memasang gestur menggigil. "Tapi aku akan terus mengikutimu sampai kau mau kuajak bicara. Kemarin, sekarang, atau besok-besok."

Lelaki dengan tatapan mata datar itu bangkit berdiri, meninggalkan Seungyoun. Ia berjalan menuju rak-rak buku, mencari buku lain. Ia menyadari Seungyoun juga berdiri dari kursinya, mengekorinya. Setelah beberapa saat, Seungwoo berbalik dan menatap Seungyoun baik-baik. "Ini perpustakaan bukan kafe untuk mengobrol."

"Ah, aku tahu ada kafe yang memiliki perpustakaan kecil di luar. Mau keluar denganku sepulang sekolah?"

Seungwoo memicingkan matanya.

"Bagaimana?"

"Tidak."

Seungyoun mengulum bibirnya—antara gemas dan kesal.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

Pemuda itu menarik napas panjang dan memaksakan diri tersenyum pada sosok dengan raut wajah bak patung di hadapannya. Sepertinya bicara to the point adalah satu-satunya cara cepat. "Aku ingin kau datang ke studio radio untuk diwawancarai."

Seungwoo mengernyitkan alisnya.

"Maksudku, kau pemenang lomba besar dan namamu akan dipasang sebagai songwriter di lagu debut artis SM. Mungkin kau bisa ... memberi semangat atau petuah pada murid-murid lain di sini? Itu salah satu pencapaian besar untuk seorang murid yang bahkan belum menjadi trainee resmi di Swing."

"Hm," Seungwoo mengembalikan buku di tangannya di antara buku-buku tebal lainnya. Ia lalu menoleh pada Seungyoun. "Petuah?"

Seungyoun mengangguk.

"Tidak ada petuah."

"Hah—"

"Aku tidak melakukan apa-apa di lomba itu."

Mata Seungyoun memicing. Apa maksudnya? "Tapi kau menang lomb—"

"Bagaimana kalau kau mewawancarai Dong Wook seonsaengnim?"

"Apa maksudmu?"

"Kau mau bicara soal lomba, kan?" Seungwoo tersenyum tipis—lebih terlihat seperti melempar seringai mengejek. "Aku menulis lirik itu untuk pelajaran sastra. Seonsaengnim yang memaksaku untuk menyanyikan dengan aransemen. Kalau kau membutuhkan kisah yang menginspirasi atau tetek bengeknya, cerita dari seonsaengnim akan lebih lengkap. Aku yakin dia tidak mungkin keberatan diwawancara Cho Seungyoun daaan, Lee Hangyul?"

Dalam sekejap mata, Seungyoun merasa darahnya mendidih. "Han Seungwoo, apa kau sarapan ular pagi ini? Aku tidak percaya kau punya mulut yang berbisa setiap kali ada kalimat yang keluar dari mulutmu."

Han Seungwoo melangkah melewati Seungyoun begitu saja. Ia lalu memasang headset di telinganya, mengabaikan Seungyoun.

"Ya, Han Seungwoo!"

"Sssstt." Terdengar suara bisik-bisik murid lain di perpustakaan.

Tersadar bahwa ia masih di perpustakaan, Seungwoo berbalik dan menghampiri Seungyoun lagi. Keduanya lalu berhadap-hadapan. Ia menemukan mata Seungyoun yang tajam dan seolah berapi-api, sementara Seungwoo masih memasang wajah dingin bak bongkahan es. Pemuda itu menggulung kabel headset pada iPodnya. "Aku tidak ingin diwawancarai. Apa jawaban ini tidak cukup? Aku benci menjadi pusat perhatian."

"Apakah ini salahku kalau lirikmu yang menang dan membuatku harus mengemis mengajakmu datang ke radio sekolah?" Napas Seungyoun naik turun—menahan emosi.

Han Seungwoo menghela napas rendah. Ia mengangkat jemarinya dan merapikan helai di sisi rambut Seungyoun yang mencuat tak rapi. "Buatlah lebih simple saja, Cho Seungyoun-ssi. Aku tidak yakin orang-orang membutuhkan petuah dariku, kecuali kau yang sangat penasaran karena harus kalah dari murid tidak popular sepertiku."

Seungyoun membeku.

"Bukankah kau juga juara dua? Kenapa kau tidak mewawancarai dirimu sendiri saja?"

.

.

.

.

.

.

...

Seungyoun mengangkat kedua tangannya. Ia meraih kerah seragam Seungwoo dalam satu sentakan kasar.

Sangat kasar.

"KAU BRENGSE—"

Hingga satu kancing Seungwoo terlepas.

"STOPPP!" Suara penjaga perpustakaan memekik kencang, tepat ketika Seungyoun sudah mengangkat tinjunya tepat di depan wajah Seungwoo.

Han Seungwoo kaget namun ia tak melawan. Ia diam saja kerahnya dicengkeram Seungyoun. Ia berharap ucapannya ini cukup untuk membuat Seungyoun berhenti mengekorinya. Sebuah pukulan akan ia terima, namun ia tetap bersyukur ketika beberapa murid di perpustakaan bergegas mendatanginya dan Seungyoun.

Sebelum dilerai, Seungyoun mendorong bahu Seungwoo duluan. Pemuda di hadapannya jatuh terduduk. Seunyoun mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, menahan emosinya. Dalam sekejap detik, beberapa murid lain yang tidak terlalu ia kenal—tentu saja tipe nerd sekolah yang pagi-pagi ke perpustakaan—memeganginya dan Seungwoo. Dilihatnya Seungwoo hanya menunduk meminta maaf pada penjaga perpustakaan, mengatakan bahwa ada sedikit kesalahpahaman dan pamit pergi dengan cepat.

Seungyoun menarik dan membuang napasnya berulang kali—mencoba menenangkan diri.

Ketika pemuda itu menunduk, ia menemukan kancing seragam berdiam di dekat kakinya.

Beserta iPod.

Milik Han Seungwoo—yang terjatuh.

.

.

.

.

.

.

...

"Dari kemarin kau membuat skandal di sekolah ini," sapa Wooseok ketika ia masuk ke studio bersama Yohan. Di ruangan siaran radio itu, hanya ada Hangyul duduk di depan komputer, sibuk memilih track lagu yang akan diputar sampai sore nanti. Di tangannya, ada beberapa lembar kertas pengumuman-pengumuman kecil dari pihak sekolah untuk disiarkan. Sementara Seungyoun duduk di pojokan, satu telinganya tersumbat headset.

"Dan uniknya, semua itu karena Han Seungwoo," imbuh Yohan sembari tertawa kecil.

Hangyul menoleh pada Seungyoun. "Jadi desas-desus itu betulan?"

Seungyoun tak menjawab, malah memasang penuh headset di kedua telinganya.

"Inilah kenapa ideku untuk menghajar Han Seungwoo itu brilliant."

Wooseok menjulurkan lidahnya.

"Dia kenapa?" Yohan melirik Seungyoun lalu bertanya pada Hangyul.

Yang ditanya mengendikkan bahunya. "Dari tadi begitu. Bad mood sepertinya. Kudengar dia hampir memukul Seungwoo di perpustakaan." Hangyul kembali sibuk dengan komputernya. "Ya! Kalau kau butuh aku yang menyeretnya, tinggal bilang saja."

"Kau ini," Wooseok mendesis, "berhenti bertingkah seperti algojo."

"Apa aku harus mengajak Han Seungwoo dengan rayuan?" Hangyul melempar ciuman ke udara—pada Wooseok, sebelum pemuda itu memasang gestur muntah.

"Apa kau masih sangat ingin mengundang Seungwoo ke sini?" tanya Wooseok. "Aku akan minta tolong guru."

Seungyoun langsung menoleh. "Tidak, tidak, jangan dulu."

Yohan menghela napas lega. "Kau benar-benar pantang menyerah."

"Tapi aku memang ingin sekali memukul wajahnya," jawab Seungyoun, "tadi."

"Jangan melakukan hal-hal tidak berguna seperti itu," Wooseok menambahkan sembari melirik Hangyul yang mengedipkan satu matanya, "kau dikenal karena talentamu, bukan karena ototmu."

Seungyoun melepas kedua headsetnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya. "Yaah, tapi sejujurnya, dia memang punya bakat untuk membuat orang lain naik darah. Aku tidak pernah ketemu dengan murid seperti ini." Seungyoun menghela napas panjang.

"Jadi, kau akan menemuinya lagi?" tanya Yohan.

Seungyoun menggeleng pendek. "Mungkin tidak dulu. Masih malas. Sebaiknya untuk besok, kita wawacara Yuvin saja. Yohan, kau bisa mengundang Yuvin kan?" pertanyaan Seungyoun dijawab Yohan dengan acungan jempol.

.

.

.

.

.

.

...

"Kalau tatomu kelihatan, citra siswa baik-baikmu jadi luntur," ujar Byunchan sembari tertawa enteng.

Seungwoo yang tadinya sibuk menata buku-bukunya buru-buru menaikkan kerah seragamnya. Gara-gara satu kancingnya lepas, beberapa kali lehernya jadi terekspos lebih luas—hampir menampakkan tato tanggal lahirnya di bagian leher. "Hmmm." Seungwoo mengulum bibirnya.

"Benar rumor itu?"

"Yang mana?"

"Memangnya kau punya banyak rumor?" Byungchan tertawa lagi. "Ini pertama kalinya aku mendengar rumor soal kau membuat keributan di perpustakaan. Seorang Han Seungwoo? Apa mereka tidak salah orang?"

"Bukan aku yang membuat keributan, tapi si flower-boy itu."

Byungchan meringis. "Kau tahu, aku jadi kasihan karena rumornya terdengar tidak enak."

Seungwoo urung menata bukunya. Ia menoleh pada rekan yang sering sekelas dengannya itu. "Memangnya rumor apa yang beredar soal aku dan Cho Seungyoun?"

"Katanya sih, dia segitunya tidak terima karena harus jadi juara dua."

Kalimat Byungchan membuat Seungwoo menghela napas panjang. Sepertinya Seungyoun bukan tipe orang yang tidak mau menerima kekalahan. Yang ia temukan dari tatapan Seungyoun setiap kali pemuda itu menemuinya adalah rasa penasaran. Mungkin memang sebagai seseorang yang menerima banyak kepercayaan sebagai murid serba bisa, dikalahkan sekali dalam kompetisi menulis lirik lagu adalah sebuah beban. Tapi rasanya bukan karena 'tidak terima'. "Benarkah rumornya jadi seperti itu?"

"Kasihan kan?"

Seungwoo tidak merespons.

"Istirahat mau ke atap lagi?"

Yang ditanya hanya mengangguk.

"Tidak mau ke kantin?"

Han Seungwoo tidak suka keramaian, apalagi dengan murid-murid lain yang tidak ia kenal baik. Hanya Byungchan yang sedikit cocok dengannya. "Aku sudah ada bekal." Pemuda itu mengangkat tasnya dan merogoh sakunya. Ia terdiam sesaat.

"Ada apa?"

Seungwoo masih merogoh saku-saku pakaiannya.

"Ada yang hilang?"

"Aku tidak bisa menemukan iPodku."

"Kapan terakhir kali kau melihatnya?" Byungchan mengecek di bawah-bawah meja, membantu barangkali benda yang dicari rekannya itu terjatuh.

"Di ... perpus?" Mata Seungwoo membulat. "Aku harus segera ke sana."

.

.

.

.

.

.

...

Tidak ada yang ingat apakah ada iPod tertinggal di perpustakaan. Itu membuat Han Seungwoo resah. Pemuda itu sampai mengingat-ingat siapa saja yang ada di ruang perpustakaan pagi tadi, ia berniat menanyainya satu-satu murid itu jika perlu—kecuali Cho Seungyoun tentunya. Apa mungkin Cho Seungyoun yang menemukannya?

'Aku tidak tahu itu milikmu atau bukan, tapi Seungyoun-ssi tadi keluar dari sini membawa headset dan benda kecil di tangannya.'

Jawaban dari salah satu murid yang ia temui membuat Seungwoo mengacak rambutnya. Satu-satunya harapan yang tidak ingin ia lakukan sekarang adalah menemui Cho Seungyoun. Apa jadinya, ia yang selama ini mengusir Seungyoun jika mendekat, sekarang justru malah ia berdiri di depan pintu ruang siaran sekolah?

Setelah bermenit-menit lamanya, ia akhirnya mengetuk pintunya.

Seungwoo berharap, pintu itu tidak pernah terbuka.

Sempat ia terpikir, sebaiknya ia mencari tahu nomor Seungyoun untuk mengiriminya pesan—jadi ia tidak perlu bertatap muka, cukup bertanya lewat teks apakah Seungyoun melihat iPod-nya. Tapi jika seperti itu, artinya ia harus memberi tahu nomornya ke orang lain.

Pilihan pertama, coret.

Jadi pilihan kedua yang tidak ia sukai, harus ia lakuka—

"Han Seungwoo-ssi?"

Wooseok berdiri di hadapannya, membuka pintu entah sejak kapan. "Annyeonghaseo." Seungwoo membungkuk memberi salam, yang juga dibalas Wooseok dengan santun.

"Apa yang membawamu ke sini?"

"Aku ada perlu dengan Seungyoun-ssi."

Wooseok mengangguk-angguk. "Sudah kuduga. Seungyounie!" teriak Wooseok dari pintu. "Ada yang mencarimu."

"Siapa?" Seungwoo mengenali suara sahutan itu sebagai suara Kim Yohan.

Wooseok menoleh pada Seungwoo lagi. "Kau mau masuk saja?"

Yang ditawari menggeleng. "Aku tidak akan lama. Di sini saja cukup."

"Oke," Wooseok melongok lagi ke dalam. "Ya! Seungyounie, berhenti menyumbat telingamu! Ada Han Seungwoo mencarimu."

"Nde?"

Han Seungwoo diam-diam menarik napas dalam-dalam. Iya, ia yakin Seungyoun membawa iPodnya. Tak berapa lama, akhirnya Seungyoun muncul di pintu. Tatapan matanya terlihat malas bertemu dengan Seungwoo.

"Ada apa?"

"Aku perlu bicara denganmu, Seungyoun-ssi."

"Masuk." Seungyoun berbalik.

"Tidak perlu. Di sini saja." Seungwoo melirik Wooseok. Ada Yohan juga yang mengintipnya dari dalam ruangan. Pemuda Han itu menggaruk lehernya. "Bisa keluar sebentar saja?"

"Kenapa aku harus menurutimu?"

Seungwoo terdiam. Sepertinya Seungyoun sedang membalasnya. Pemuda itu menarik napas berulang kali dan pandangan matanya jadi tidak terarah. "Apa ... apa mungkin kau menemukan sesuatu milikku di perpustakaan tadi?"

Pertanyaan itu ... antara Seungyoun duga dan tidak. Seungyoun melirik Wooseok yang memasang wajah penasaran. Ia lalu melangkah mendekat pada Seungwoo. "Kita bicara di luar saja."

Wooseok mengerucutkan bibirnya. "Tidak asik."

Seungyoun hampir menjulurkan lidahnya pada sahabatnya itu, tapi urung karena ada Seungwoo. Ia harus memasang wajah stoic dan dingin. Memangnya hanya Han Seungwoo yang bisa. Payback is a bi*ch. Seungyoun keluar ruangan dan diikuti Seungwoo di belakangnya. Sampai di lorong, keduanya berhenti.

Seungwoo merasakan beberapa murid lain yang lalu lalang mencuri pandang ke arah keduanya. "Jadi, apa kau melihat barangku?"

"Barang apa?"

"Sebuah iPod." Seungwoo mengulum bibirnya. "Ada headsetnya. Warna biru gelap."

Seungyoun mencebik.

"Kau melihatnya?" tanya Seungwoo lagi. "Mungkin kau menemukannya dan membawanya?"

"Kenapa aku?"

"Aku sudah bertanya ke guru perpustakaan dan semua murid yang tadi pagi ke perpus—"

"Sudah? Aku belum tuh."

"Makanya sekarang aku bertanya padamu," ujar Seungwoo, "karena semua bilang tidak tahu."

"Maka aku juga tidak tahu."

"Seungyoun-ssi—"

Seungyoun menahan senyumnya. "Baru kali ini kau menyebut namaku tanpa nada dingin seperti biasanya."

Ucapan pemuda itu membuat Seungwoo berdeham.

"Kurasa sebenarnya kau tidak selalu berlidah ular. Sebenarnya kau bisa ngomong dengan bahasa normal."

Kali ini, Seungwoo tidak emosi sama sekali meski Seungyoun berceloteh kalimat yang terdengar tidak menyenangkan. Meski terkesan mengejeknya, tapi Seungyoun banyak tersenyum—atau lebih tepatnya, menyembunyikan senyumnya. "Aku ... minta maaf kalau ucapanku selama ini tidak menyenangkan."

"Apa?"

Seungwoo mengerjap. "Apanya?"

"Kau barusan bilang apa?"

"Aku minta maaf."

"Bisa ulangi lagi?"

"Cho Seungyoun-ssi!"

Kali ini, untuk pertama kalinya, ia melihat pemuda itu tertawa. Suaranya terdengar renyah. Apa memang semua penyanyi suara tawanya semenyenangkan ini? Tidak, tidak, suara tawanya malah melengking seperti lumba-lumba. Kenapa Seungwoo berpikir suaranya enak?

Dilihatnya Seungyoun memiringkan kepalanya.

"Saat panik, kau sebenarnya menyenangkan."

"Hah?"

"Aku tidak lihat iPodmu."

"Apa?"

"Aku bilang aku tidak lihat." Seungyoun mengulum bibirnya. "Nanti kalau aku melihatnya, aku akan memberikannya padamu."

Jawaban itu membuat Seungwoo lemas. "Baiklah."

"Mana tanganmu?"

"Apa?"

"Tanganmu. Ulurkan tanganmu."

Tak tahu apa yang merasukinya, Han Seungwoo mengulurkan satu tangannya, menengadahkan telapak tangannya yang lebar.

Seungyoun memandanginya sebentar lalu meletakkan sesuatu yang kecil di sana.

Kancing baju.

"Maaf membuat kancingmu lepas."

Seungwoo memandangi kancing di tangannya. Ah, iya. Seungwoo menerimanya, namun wajah Seungwoo masih kusut memikirkan iPodnya ada di mana. Pemuda itu mengangkat wajahnya lagi, namun Seungyoun sudah menghilang dari hadapannya. Ia melihat punggung Seungyoun menjauh. "Seungyoun-ssi?"

"Aku harus siaran siang."

Seungwoo hanya mengangguk dengan bodohnya.

Bagaimana nasib iPodnya?

.

.

.

.

.

.

.

...

Seungyoun memasuki ruang studio siaran dengan menarik napas panjang, berusaha menghilangkan gurat senyum di bibirnya. Ketika ia masuk, ada Yohan melambai-lambaikan tangan padanya di samping Hangyul. Pemuda itu memberi tanda pada Seungyoun untuk segera mengambil alih kursinya.

"Jadi barang apa yang dimaksud Seungwoo tadi?"

"Astaga! Kau mengagetkanku, Wooseok-aah!"

"Jawab."

"Bukan apa-apa." Seungyoun menggembungkan pipinya. "Dia sedang panik mencari sesuatu. Biarkan saja."

"Cepat sekali kalian bicara. Kukira kau masih merayunya untuk diwawancara," kata Wooseok penasaran.

Kali ini Seungyoun tersenyum dan mengerling. "Aku ada ide."

.

.

.

.

.

.

.

.

...

To be continue.

Note:

Terima kasih untuk semua yang setia menunggu cerita ryeonseung. Cerita Ryeon ini tidak akan sesimpel AADC yaa. Han Seungwoo akan kuberikan background yang lebih panjang dan hubungan Seungwoo dan Seungyoun juga akan kubuat lebih manis nanti dibanding Rangga dan Cinta.

Thank you untuk @SpearOne yang setia mengejar update-an dan @0805dnwm yang memberi ide ryeonseung untuk bisa dipakai nanti-nanti 😊

Jangan lupa vote dan tinggalkan review. I would like to read them. Selamat ber-malam minggu...

Continue Reading

You'll Also Like

21.4K 2K 12
[COMPLETE] "Kenapa kau suka menggangguku??" "Entahlah hanya saja melihatmu membuatku selalu ingin menjahilimu" ➬ Highest Rank: ❂ #1 - soonwoo ❂ #2...
1.3M 65.4K 51
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
4.3K 972 23
[ CHANGLIX AREA !! ] dom changbin; sub felix . . ga pinter bikin desc, intinya buku ini tentang felix yang suka sama changbin, cowo bergengsi tinggi...
5.4K 186 5
Harry adalah bocah berumur 15 tahun draco berumur 19 iya adalah musuh tetapi malam bermain 🌚