Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

2 | Iklan KB

12.3K 997 61
By Ayyalfy

ALFY

"Hei!"

Aku mengerjap, beralih menatap Riki yang sudah memandangku dengan heran. Belum sempat aku membuka mulut, dia sudah melanjutkan.

"Hei, Alfy. Hei, Alfy. Dia si cewek ramah. Mengupil, menggosip, Alfy selalu senang!"

Demi apapun, Riki baru saja bernyanyi dengan suara falsnya. Meski kesal karena keabsurdannya itu, aku tetap tersenyum menahan tawa. Lengan laki-laki itu kupukul, membuat dia meringis.

"Ish, aku salah apa sih, Al?" protesnya sambil mengusap-usap bekas pukulanku.

"Salah banyak!" Aku menyahut cepat. "Dengan lo lahir ke dunia aja itu udah salah!"

"Aku-kamu, Al sayang. Kan kita pacaran," ralatnya dengan wajah sok manisnya itu. Agak gemas, sih. Tapi tetap saja aku selalu mual melihatnya.

"Berangkat, yuk! Nanti telat," alihku sambil membenarkan tali tas di bahu. Hari ini Riki menjemputku untuk pergi sekolah bersama. Cowok aneh itu melarangku untuk membawa motor. Alasannya dia tidak mau melihatku yang selalu digodain Pak Enjun saat diparkiran. Padahal, itu hanya ada dalam pikirannya saja. Pak Enjun hanya tersenyum padaku sudah dianggap ganjen oleh laki-laki itu. Riki memang selalu menjadi pacar posesif sejauh yang aku tahu. Meski hubungan kami sempat buruk dan putus, tapi akhirnya kami balikan. Dan bahkan kami sudah bertunangan, hal yang malas sekali untuk kuakui.

Riki menaiki motornya, menyarungkan helm ke kepala.

"Rik, terbalik," tegurku saat dia memakai helm dengan posisi kacanya di belakang kepala.

Dia terkekeh dan kemudian membalikkan posisi helmnya. "Pantes gelap, Al."

Aku naik ke boncengan Riki, membenahi rok abu-abuku agar menutupi sebagian kaki meski sebenarnya aku memakai celana panjang. "Yuk!"

Riki menghidupkan mesin motornya. Sebelum benar-benar meninggalkan rumahku, dia membunyikan klakson dan menganggukkan kepala kepada ayahku yang sedang memberi makan ayam kesayangannya di perkarangan rumah. Ayahku balas mengangguk dan tersenyum. Pemandangan indah yang akhirnya bisa menghiasi setiap pagiku.

"Jangan pergi lagi ya, Al?" ucap Riki tiba-tiba saat kami masih di perjalanan menuju sekolah.

Aku merasakan tanganku yang berada di samping jaketnya digenggam hangat oleh laki-laki itu. Riki menatapku lewat spion motor. "Kamu selalu dideketin guru Bahasa Indonesia. Aku trauma banget, Al."

Kalimat serius Riki membuatku terhenyak. Aku tahu alasan kami putus waktu itu ada hubungannya dengan guru Bahasa Indonesia. Lebih tepatnya adalah dia, Pak Rafli. Laki-laki yang dulu mengalihkan perasaanku dari Riki tapi berujung menyakiti. Bahkan hanya dengan mengingat namanya saja dadaku sesak. Lalu sekarang adik dari laki-laki itulah yang menggantikannya, Pak Rafka. Aku tidak mengerti kenapa dunia jadi sesempit ini. Gara-gara hal ini aku jadi benci mempelajari bahasa negaraku sendiri.

"Kalau guru baru itu godain kamu, tunjukin aja cincin tunangan kita, Al. Biar dia sadar kalau kamu itu udah ada yang PUNYA." Riki menekankan kata terakhirnya sebagai bentuk kekesalan yang ia rasakan. "Aku jadi benci kenapa ada pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah."

Aku terkekeh. Jemariku balas menggenggam tangannya. Adegan yang kami lakukan sekarang ini memang sangat sinetron. Riki mengendarai motornya dengan satu tangan karena tangan lainnya sudah hangat dalam genggamanku. Tinggal nunggu aja nyungsep ke selokan berdua.

"Kamu mah emang nggak suka semua pelajaran. Alesan aja."

Giliran dia yang terkekeh. "Pokoknya jangan mau dideketin dia lagi! Cukup kemarin aku melihat kalian di kantin. Panas aku rasanya. Pengen banget maju buat bogem dia tapi si Via nahanin."

Ternyata Riki tahu apa yang terjadi kemarin.

"Dan jangan makan siomay lagi!"

Dahiku mengerut. "Kenapa?"

"Gara-gara bumbu siomay, guru itu jadi punya kesempatan nyentuh wajah kamu! Al, kamu tahu nggak sih aku cemburu banget lihatnya?" Riki sekarang merengek.

Aku tidak menyangka kalau soal itu ia melihatnya juga. Aku saja kaget saat Pak Rafka tiba-tiba mengusap ujung bibirku yang belepotan bumbu siomay. "Ya tapi jangan larang makan siomay juga kali," ujarku kesal.

"Kalau gini caranya abis wisuda langsung nikah aja," gumam laki-laki itu yang masih bisa kudengar jelas.

"NIKAH?!" pekikku di samping telinganya. "AKU NGGAK MAU NIKAH MUDA, YA!" protesku kemudian.

Masih banyak cita-citaku yang belum terwujudkan. Kuliah, menjadi penulis buku best seller, punya kontrakan lima puluh pintu dan bertemu Naruto. Meski yang terakhir itu rasa-rasanya agak mustahil. Tapi untuk nikah, aku belum bisa membayangkannya. Mandi sore saja masih sering absen lalu bagaimana memandikan anakku nantinya? Masa anakku ikut nggak mandi sore juga?

"Ayolah, Al. Nikah itu enak, kok," rayu Riki dengan nada manis dibuat-buat. "Kita bisa bikin anak banyak-banyak."

"Mau punya anak berapa emang?" balasku menanggapi kekonyolan ucapannya itu.

"Sepuluh."

Aku membulatkan mata. "KAWIN SANA SAMA KUCING! DIKATA LAHIRIN ANAK SEMUDAH NGOREK UPIL APA?!"

Riki menyengir lebar. Dia mau punya anak atau membuat tim sepak bola?

"Al, kamu lupa sama jargonnya iklan KB?" tanyanya tiba-tiba. "Dua anak itu cukup. Tiga anak berarti cukup baik. Empat anak itu baik. Lima anak itu baik sekali. Enam anak sangat baik sekali. Kalau sepuluh anak berarti luar bisa banget, Al, baiknya."

Masih aku lihatin. Belum aku sleding. Tunggu aja.

***

RAFKA

Dasar ABG!

Maksudnya apa datang ke sekolah dengan boncengan menempel seperti itu? Tangan ceweknya masuk ke jaket si cowok, mereka sesekali tertawa sambil masuk ke parkiran, wajah ceweknya bersemu karena ocehan si cowok, lalu dengan manjanya si cowok minta dibukakan helm setelah si cewek turun dari motornya. Pagi-pagi mata gue sudah tercemar dengan pemandangan seperti itu.

Tolong, dong. Gue ini jomlo!

"Couple tercetar, tuh! Makin nempel aja. Jodoh kali, ya?"

Gue mendengar bisikan seorang siswi yang juga melihat pemandangan yang gue komentari tadi. Apa tadi yang dia bilang? Jodoh? Kok gue nggak terima?!

Tatapan gue kembali lagi jatuh pada mereka. Ada yang bergemuruh di balik dada, entah apa. Alfy dengan cowok berseragam SMA yang gue nggak tahu siapa namanya itu baru saja merusak mood pagi gue. Sepertinya gue nggak tahu tentang satu info, kalau Alfy sedang berpacaran dengan orang lain.

Menyebalkan.

Gue melipir ke arah siswi yang sedang bergosip tadi. Melihat gue mendekat, mereka langsung memasang wajah cerah dan mulut yang hampir mengeluarkan liur. Susah memang kalau jadi orang ganteng dari embrio.

"Kalian tahu siapa cowok yang di sana?" tanya gue pada mereka sambil menunjuk cowok yang bersama Alfy dengan gerakan mata.

Mereka berebut menjawab pertanyaan gue. Saling tabok menabok kepala. Gue meringis melihat tingkah mereka. Lama berebut, akhirnya ada satu yang menjadi pemenang. Siswi yang rambutnya berponi seperti Dora.

"Namanya Riki, Pak, pacarnya Alfy. Mereka sempat putus dulu, tapi akhirnya balikan lagi."

Keren. Meminta satu informasi malah bonus informasi lain. Gue menyunggingkan senyum beserta lubang di sampingnya tak ketinggalan juga mengedipkan sebelah mata pada mereka. "Makasih, ya. Dan saya lebih suka kalau kalian panggil saya 'Kakak'."

Gue langsung bergegas pergi dari sana setelah mendengar mereka berteriak kencang. Alfy yang juga mendengar teriakan itu pun langsung menoleh ke arah gue dengan tatapan seperti mengajak bertarung. Mungkin dia langsung dapat menebak kalau gue lah penyebab teriakan histeris siswi-siswi itu.

See, gue memang berbeda dengan kakak gue. Kalau kakak gue terkenal dengan ketenangannya dalam bersikap, maka gue sebaliknya. Gue suka menjadi alasan cewek-cewek bertingkah anarkis karena pesona gue.

Seneng aja gitu diteriak-teriakin. Kan gue jadi merasa kayak Oppa-Oppa Korea.

***

ALFY

"Main tebak-tebakan nama hewan, yuk!" ajakku pada yang lain.

"Kayak bocah aja, deh, Al!" sahut Roy malas. Tapi anehnya, dia yang tempat duduknya berada di depanku itu langsung mendudukkan diri dengan tegak. Wajahnya tiba-tiba saja berubah semangat. "Gue yang pertama kasih tebakan, ya?"

Aku hanya memandangnya dengan datar. Kelas kami sekarang sedang jam kosong dan jangan tanya seperti apa rusuhnya kelas saat ini.

"Dengerin, ya, dan tebak nama hewannya." Aku dan anggota TKF yang lain mendengarkan dengan seksama apa yang akan Roy persembahkan. "Hewan apa yang bunyinya ... Kalau aku chat kamu ada yang marah nggak?"

Semua tergelak.

"Buaya darat, anjir." Aku menyahut keras di tengah tawa yang belum reda.

Roy terkekeh. "Kan kebanyakan buaya darat awalnya gitu dulu. Ya nggak?"

"Astaghfirullah, Ukhti-Ukhti," Via menimbrung. "Lupain buaya darat, sekarang giliran gue yang kasih tebak-tebakan."

"Dengerin, gaes. Kudanil mau ngomong," kataku yang langsung dihadiahi jitakan keras dari Via.

"Hewan-hewan apa yang penting untuk tubuh?"

Aku berpikir keras, begitu pun dengan yang lain. Sepertinya tebak-tebakan Via sangat serius, tidak seaneh pertanyaan Roy tadi.

"Apa, ya?" Syifa terlihat paling berusaha memikirkan jawabannya. "Cacing pita?"

Sejak kapan cacing pita penting untuk tubuh?

"Salah!" Via menyahut mantap.

"Bekicot?"

Masih Syifa yang menjawab.

"Salah!"

"Eh, bekicot kan bisa jadi obat!" sanggah Syifa.

"Tapi bukan itu jawabannya. Kok lo maksa?" Viola mendengus.

Aku dan Roy yang menjadi pengamat mereka berdua hanya cekikikan. Sepertinya sampai gajah bisa terbang pun perdebatan mereka tidak akan selesai.

"Kelelawar?"

"Salah, Syif."

"Tawon?"

"Salah!"

"Daging kelinci?"

"Salah."

Kegigihan Syifa untuk menjawab membuatku risi. "Nggak sekalian aja daging tokek!" cetusku setengah kesal.

Sebelum Syifa menjawab lagi, Roy sudah mendahului. "Udah, sih, biar si Via aja yang jawab. Kita nyerah, Vi. Jawabannya apaan?"

Syifa memuramkan wajahnya dan menyerah untuk menjawab lagi.

"Jawabannya adalah ..." Via sengaja menjeda kalimatnya. Membuat kami penasaran.

" ... ulat nadi."

Ada yang punya wajan bekas? Serius, buat nampol Via pakai wajan bekas kayaknya enak.

***

Bel pulang sudah berbunyi. Para murid merayap meninggalkan sekolah. Aku sedang berdiri di depan pintu kelas Riki, menunggu laki-laki itu menyelesaikan tugas piketnya.

Saat sibuk mengamati murid-murid berlalu lalang, aku justru menangkap bayangan milik seseorang yang familiar. Orang itu berjalan dengan langkahnya yang panjang dan tergesa. Wajahnya yang biasa terlihat menyebalkan kini hanya menunjukkan aura datar dan dingin. Saat sosoknya mendekat, dia sempat menatap ke arahku. Tapi tak lama, karena dia langsung membuang pandangan ke arah lain dan melewati tubuhku yang kaku begitu saja.

Aku merasa ada sesuatu yang janggal dan sebuah perasaan asing.

Pak Rafka melewatiku begitu saja tanpa melakukan hal yang biasanya selalu memancing emosiku.

Bagus, sih. Tapi aneh saja rasanya.

Kebingunganku sedikit terjawab saat melihat sosok Pak Rafka berjalan ke arah seorang wanita yang tak kukenal. Melihat dari ekpresi datarnya, aku menyimpulkan bahwa kehadiran wanita itu tidak diinginkan oleh Pak Rafka.

Jadi, kurasa bukan karena aku Pak Rafka berubah sedatar itu. Kemungkinan besarnya adalah ada pada wanita itu. Entah apa yang terjadi di sana, aku hanya mengamati dari jauh dan tak bisa mendengar percakapan mereka.

Aku berusaha untuk tidak peduli dan mengabaikan dua orang itu. Namun, saat aku melihat wajah Pak Rafka mengeras dan mengeluarkan bentakan yang sampai terdengar ke telingaku, aku langsung bergegas mendekat ke arah mereka. Dan menahan tangan Pak Rafka yang sudah terangkat ingin menampar wanita itu.

Sekarang aku berhadapan dengan laki-laki itu, dia terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Napasku memburu karena habis berlari. Kutatap laki-laki itu dengan tajam.

"Cowok yang berani main tangan sama cewek perlu dipertanyakan identitasnya," ucapku dengan tegas dan sarat emosi.

Setiap melihat laki-laki yang mengasari wanita, aku selalu teringat dengan diriku sendiri. Dulu, ayah selalu kelepasan ingin menamparku. Aku tahu seperti apa sakit dan kecewanya hati saat itu. Karena itu aku tidak ingin orang lain berada di posisiku.

Dengan kasar aku menghempaskan tangan Pak Rafka. Laki-laki itu sekarang hanya menatapku dalam diam. Entah kenapa, aku merasakan kecewa yang dalam terhadapnya.

***

RAFLI

Hari ini jadwal sangat padat. Setelah mengajar di sekolah yang menjadi tempat mengajar saya sekarang, teman-teman dalam perkumpulan bakti sosial mengajak berkumpul untuk membicarakan acara sosial yang terbaru. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat saya sampai di rumah. Ratna pasti sudah tidur.

Dua bulan berlalu, hubungan pernikahan kami baik-baik saja. Mungkin terkesan datar bagi saya, karena selama ini Ratna sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Sekarang, ketika Ratna berubah status menjadi seorang istri untuk saya, sikap kaku dan canggung saya muncul. Dalam semua bayangan dan rencana hidup saya, menikah dengan Ratna tidak pernah ada dalam benak dan pikiran saya. Semuanya terlalu tiba-tiba.

Ratna adalah wanita yang punya tekad hidup yang kuat. Dia tekun dan sungguh-sungguh dalam mencapai mimpi dan keinginannya. Ratna memiliki pribadi yang mandiri tapi sikap cerobohnya kadang tak terkendali. Saat kepulangannya dari Surabaya contohnya, dia meninggalkan tas ranselnya di stasiun yang mengharuskan saya kembali ke stasiun untuk mengambilnya. Beruntungnya tas itu masih ada di tempat semula. Kalau tidak, Ratna harus kehilangan berkas-berkas penting tentang kuliahnya.

Saya membuka pintu kamar dengan pelan. Suasana kamar sudah gelap, hanya tersisa satu lampu tidur yang menyala. Di keremangan kamar, saya melihat Ratna sedang terduduk di pinggiran ranjang. Punggungnya membelakangi saya.

Sambil melonggarkan ikatan dasi, saya berjalan menghampirinya.

"Ratna?"

Mendengar suara saya dia terperanjat. Entah apa yang sedang dia lakukan, saya hanya bisa melihat dia menyembunyikan sesuatu di bawah bantal yang berada di dekatnya. Wajahnya terlihat tegang namun ia berusaha menampilkan senyum lebarnya.

"Mas udah pulang?" Ratna langsung berdiri dan mengambil alih tas yang saya bawa dan meletakkan benda itu di meja yang berada di sudut kamar.

Saya membuka kancing lengan kemeja satu per satu. "Udah. Maaf agak larut. Tadi ada kumpul dulu sama anak baksos. Kamu kok belum tidur?"

Ratna menggeleng dan sepertinya ia tersenyum. "Mas mau dibikinin teh?" tanyanya.

Saya menggeleng. "Mau bersih-bersih badan dulu. Kamu tidur saja, nanti Mas bisa bikin sendiri." Kepala Ratna saya usap dengan lembut, membuat senyumnya makin melebar.

Lima belas menit setelahnya saya habiskan untuk membersihkan badan. Setelah merasa lebih segar dan berganti pakaian dengan setelan santai, saya berniat untuk mengambil air putih ke dapur namun saya menyempatkan untuk menyelimuti Ratna yang sudah tertidur pulas.

Dari dekat saya melihat wajah polosnya terlelap dengan damai bersama dengan jejak basah di bawah matanya.

Jantung saya mencelos.

Kenapa bisa ada foto Alfy di dekat bantal Ratna?

***

TBC!!!

Maaf lama update hohoho



Continue Reading

You'll Also Like

Dua Sejoli By ika

Teen Fiction

113K 11.7K 9
Squel Of Dosen Kampus cover by : canva
5.3M 186K 51
Bagi Kalila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya adalah hal yang paling menyebalkan. Di keluarganya, karir lebih penting dibandi...
1M 81.2K 49
Sebuah perjodohan yang membuat Alvian dan Adiva harus terikat hubungan pernikahan tidak berjalan mulus. Faktanya, Alvian sama sekali tidak menyetujui...
13.1M 849K 69
Cerita ringan untuk menemani karantina kalian. Start: 7 Mei 2020 End: 22 Juni 2020 [Masih suka update meskipun udah tamat] ❄❄❄ "Emang kalau saya mau...