Romantic Rhapsody

By beestinson

1.7M 121K 15.3K

Genre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji... More

(1) Intro
(2) (Prolog) : Pengiring Pengantin (lagi)
(3) Masalah itu bernama Gyandra
(4) Takdir sih!
(5) Kencan Pertama (anggap aja gitu!)
(6) Witing Tresno Jalaran Soko Kulino
(7) Selamatkan masa depanmu, Kangmas!
(8) Langkah Pertama
(9) Sst! Kita Jadian.
(10) Pengikatan Jaminan Kredit (21-)
(11) Saya masih punya hati
(12) Galau
(13) Predator
(14) Kasta Kamar Mandi
(15) Manak (21+)
(16) Manis Asam
(17) Sulitnya Minta Maaf (21+)
(18) Candy
(19) Sex Education
(20) Bukan Sekedar Ramalan
(21) Kisah Cinta (21+)
(22) Skripsex
(23) "Maka izinkanlah aku mencintaimu" (21+)
(24) Tempat Selingkuh
(25) Pergilah Kasih 1 (21-)
(26) Pergilah Kasih 2
(27) Danuarta (21+)
(29) Tujuh
(30) 'April'
(31) Lamaran
(32) Resepsi
(35) R.A Kartika Danuardara (bonus)
EXTRAS

(28) Skandal

34.6K 3.3K 785
By beestinson

Tiga lembar alat tes kehamilan menunjukan hasil positif. Mutlak, di dalam rahimnya mulai bersemi benih milik Pandji. Seorang anak yang diinginkan pria itu. Airin membayangkan reaksi Pandji jika nantinya ia sampaikan kabar itu. Pria itu akan senang tentu saja, Pandji suka dengan anak - anak, terlebih ini anaknya sendiri.

Lantas bagaimana dengan Airin yang tidak ingin berada di posisi simpanan? Bisa jadi pria itu tidak peduli dan hanya menginginkan anak mereka tanpa Airin. Lagi pula Airin masih belum menemukan titik terang kenapa Den Ayu sangat membutuhkan bayi dalam perutnya?

Bagaimana pun Mas Pandji harus tahu, dia ayahnya. Seharusnya ini dapat membuat Mas Pandji berpikir ulang untuk menikahi Kartika, pikir Airin mantap.

"Yah, lowbat." Airin mendesah pelan memandangi baterai ponselnya, ia melirik charger di atas meja Danuarta dan memutuskan untuk mengisi ulang daya ponselnya di meja pria itu. Kamu sudah cium aku kemarin, masa pinjam charger saja nggak boleh, ujar Airin ketus dalam hati.

Hari ini Airin datang ke ruang dosen, berniat menolak tawaran Danuarta yang murah hati untuk membantu Airin menggugurkan bayinya, ia mengambil risiko kehilangan kesempatan meraih gelar master yang juga ditawarkan pria itu. Airin merasa ini adalah jalan untuk kembali pada Pandji, seperti yang Kartika bilang: Definisi Kalau Jodoh Tak Kemana mungkin juga berlaku pada hubungannya dengan Pandji. Kita lihat saja siapa yang pada akhirnya akan berjodoh dengan pria itu, pikir Airin optimis.

Tapi Danuarta tak kunjung hadir di kubikelnya, pesannya tak dibalas, teleponnya tak dijawab, pria itu pasti sangat sibuk. Melirik jam di meja Danuarta, Airin merasa peduli untuk memberi janinnya asupan nutrisi, sambil menunggu daya ponselnya terisi penuh ia pergi ke kantin.

Kurang dari dua puluh menit Airin sudah kembali ke kubikel Danuarta tapi pria itu masih tak ada di sana, tak ada tanda - tanda Danuarta sempat kembali sebab semua benda di atas meja terletak persis pada tempatnya. Kecuali ponsel Airin... raib.

Menunda panik, Airin mencoba mencari di seluruh bagian kubikel Danuarta yang sempit, seharusnya tidak sulit. Tapi benda itu tak ada di sana. Ponselnya resmi hilang.

"Kamu ngapain di sini?" Danuarta baru saja datang dengan ponsel menempel di telinga, "kan saya sudah balas pesan kamu, temui saya di kafetaria Fakultas Hukum. Saya nunggu kamu hampir dua puluh menit di sana kaya jomblo."

"Hape saya hilang, Pak," Airin mengadu.

Kernyit kesal Danuarta berganti dengan heran, "kok bisa?"

"Tadi saya numpang ngecas hape di meja Bapak, terus saya tinggal makan siang. Sewaktu kembali hape saya sudah nggak ada."

Alis Danuarta terangkat tinggi, "kamu tinggalkan hape kamu di sini? Rin, kamu tahu ini tempat umum, mahasiswa saya—bisa siapa saja—bebas kemari untuk ambil dan taruh tugas sekalipun saya sedang cuti. Apa yang ada di pikiran kamu dengan tinggalkan benda penting di meja saya?"

Airin menggeleng pasrah, "saya pikir yang namanya ruang dosen itu aman."

"Ternyata kamu salah, kan?"

Gadis itu mengangguk, tapi kemudian ia meyakinkan Danuarta bahwa ia sudah mengikhlaskan ponselnya. Danuarta berniat membawanya ke tempat yang lebih pribadi untuk berbicara tapi Airin menolak, mereka pun berbicara di mobil yang terparkir di area parkir dosen.

Danuarta terlihat berusaha menyembunyikan kekecewaannya saat mendengar penuturan Airin yang masih dibutakan oleh cinta. Gadis itu menolak dengan halus tawarannya karena ingin mencoba menghubungi ayah biologis bayinya yang menurut Danuarta adalah kesia - siaan belaka.

"Bagaimana jika ayah bayi itu menolak?"

"..." Airin belum memikirkan reaksi penolakan Pandji karena itu hampir tidak mungkin. Pandji mencintainya, Pandji juga menginginkan anak mereka, jadi tidak ada kesempatan untuk ragu.

"Asal kamu tahu saja, tawaran untuk masa depan kamu yang lebih baik masih terbuka andai pria itu menolak kamu."

Kegigihan Danuarta membuat Airin heran, "kenapa Bapak bernafsu sekali ingin melenyapkan janin saya, Pak?"

Jakun Danuarta bergerak, ia menatap ke depan beberapa saat sebelum memalingkan wajah pada gadis itu, "karena kamu tidak harus menanggung beban yang ditinggalkan pria tidak bertanggung jawab itu. Seharusnya dia tidak putuskan kamu ketika kalian nekat berhubungan tanpa pengaman. Atau seharusnya dia tidak menghamili kamu jika memang dia tahu pada akhirnya kalian harus berpisah. Sekali lagi, ayah bayi kamu adalah pria paling tidak bertanggung jawab, egois, dan payah."

Tentu saja Airin kesal karena pendapat Danuarta cukup logis, dan bagi orang yang masih dibutakan oleh cinta, kenyataan logis terasa bagai rintangan yang tidak perlu dipikirkan, jadi ia mengabaikan pendapat Danuarta dan turun dari mobil.

***

Airin sedang mengatur ulang ponsel barunya di salah satu meja di kafe Arlan. Melihat Gyandra yang sibuk, ingin rasanya ia membagi kabar bahagia pada gadis itu bahwa sebentar lagi ia akan mempunyai seorang keponakan.

"Rin-" Gyandra membawa segelas besar es kopi dan duduk di seberang Airin, "nanti malam aku pulang naik kereta. Kondisi Ibu lumayan membaik walau masih rentan. Tapi paling nggak operasinya kemarin berjalan lancar."

"Alhamdulillah..." sahut Airin lega dan tulus.

"Tapi sialnya, dengan kondisi ini Ibu ingin pernikahan Pandji dipercepat,"

Jantung Airin seakan enggan berdetak.

"walau aku nggak setuju," Gyandra melanjutkan, "tapi aku nggak bisa mengabaikan Ibu. Kejadian entah apa kemarin sudah buat Ibu koma lumayan lama, aku hanya cemas kalau kali ini ambisinya menjodohkan Pandji gagal... dia bisa 'lewat', Rin. Aku takut, aku nggak siap kehilangan Ibu."

Tubuh Airin lemas, ia menahan fakta dalam perutnya dan memberanikan diri bertanya, "Mas Pandji sendiri bagaimana? Apa dia bersedia?"

Gyandra menghela napas pasrah, "aku kenal banget watak Pandji, Rin. Dia bakal lakuin apapun demi Ibu."

Tamat sudah, pikir Airin nelangsa. Sekarang apa yang harus ia lakukan pada makhluk hidup dalam rahimnya?

"Eh, tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Gyandra sembari menyedot es kopinya.

Airin memandang wajah sahabatnya sejenak, menimbang apakah akan membeberkan kebenaran atau bungkam selamanya.

"Hapeku hilang, aku ganti hape dan nomor baru. Cepet banget, nomorku udah dipakai orang lain."

"Gila, bisa gitu?"

Airin mengangguk dengan senyum tipis. Ia merasa miris karena memilih bungkam pada akhirnya.

"Rin," Gyandra menyentuh lengannya, gadis itu terlihat berusaha bersimpati karena mendapati wajah Airin yang murung, "move on, ya... kamu harus kuat. Aku janji akan selalu ada untuk kamu."

Dukungan semangat itu sama seperti anjuran Gyandra yang meminta Airin untuk melupakan kakaknya.

***

Air mata Airin mulai mengering di atas pipinya saat ia berbaring sembari mengusap lembut perutnya yang rata. Ia menghabiskan hari demi hari dengan berpikir dan meratapi nasibnya hingga ia mendapatkan keberanian. Ia tetap harus menghubungi Pandji, menyampaikan bahwa persetubuhan mereka membuahkan hasil, biarkan saja Pandji yang berpikir keras dan membuat keputusan karena Airin sudah lelah. Airin yakin pria itu akan melakukan sesuatu karena Pandji tidak akan tega melukai anak - anak, terlebih anaknya sendiri.

Airin mengambil ponselnya dari atas meja, berniat menghubungi nomor Pandji yang ia hafal di luar kepala akan tetapi serbuan notifikasi sosial media mendistraksi dan menarik perhatiannya.

'Rin, katanya ini kamu...'

Ia membaca pesan singkat yang diikuti sebuah tautan. Airin mengernyit lantas menelusuri tautan tersebut, betapa terkejutnya ia mendapati potongan video berdurasi singkat yang menampilkan hubungan intimnya dengan Pandji. Video beresolusi tinggi itu tersebar di dunia maya membuat Airin takut memeriksa kolom komentar.

Bukannya sudah dikunci dengan password ya? Pikir Airin cemas.

Airin memang meminta hasil rekaman sesaat setelah mereka bercinta waktu itu, alasannya dia juga berhak memiliki itu, bukan hanya Pandji. Setelah mentransfer videonya, Pandji mengatur sistem keamanan dan mengajari Airin cara mengaksesnya. Ia kemudian melupakan keberadaan video itu karena kesibukannya beberapa waktu belakangan ini, hingga ponselnya hilang, dan videonya tersebar.

Astaga! Kenapa ujian tidak bisa menanti Airin menyelesaikan masalah lama sebelum datang lagi masalah yang baru? Kenapa harus bertubi - tubi seperti ini?

'anak kampus gue tuh. Aslinya cakep abis.'
'maksud lo, A*rin? Mirip sih. Cowoknya siapa ya?'
'Bagi link lengkap oi!'
'Njir, yang laki kaya pernah lihat.'
'Yang biasanya akustikan di kafe, bukan?'
'Lakinya eksekutif bank apa gitu.'
'Bagi link lengkap oi!'
'menit 01:48 ngomong apa ya? Bahasa Thailand?'
'mana gue tau, njing!'

Airin menguji nyali dengan membaca kolom komentar, benar saja mereka semua sigap mengenali wajahnya, bahkan berusaha mencari tahu identitas pasangan prianya. Hingga ia terhenti pada sebuah komentar yang menarik perhatiannya.

'Itu bahasa Jawa jadul. Kurang lebih si fakboi bilang: Bapak titipkan 'kamu' ke Ibu, nanti Bapak jemput. Sekarang jaga Ibu untuk Bapak.'
'Oh, doi udah nikah?'
'Ih... romantis ga sih!'
'Mana kutau, itu aja dapet nanya sama guru muatan lokal.'
'Bagi link lengkap oi!'
'Njir, niat banget lo.'
'Iya, guruku minta link juga soalnya.'
'Yang dari tadi nanyain link lengkap mulu adalah asu!'

Kemarahan ibarat api yang membakar habis tubuh Airin. Air mata yang menitik kali ini bukan karena sedih melainkan karena murka. Tidak ia duga Pandji yang kemarin melepaskan genggaman tega membebani Airin dengan menitipkan benihnya secara sengaja. Pria itu sama saja dengan Den Ayu, mereka egois, hanya mementingkan diri sendiri, yang mereka inginkan hanya bayi ini tak peduli pada perasaan orang lain.

Airin menyeka wajahnya dengan kasar, Mas, lihat apa yang sanggup aku lakukan, kamu dan Ibumu nggak akan dapatkan apa yang kalian mau.

Alih - alih menghubungi nomor Pandji seperti niatnya semula, ia menghubungi nomor pria lain, Danuarta.

"Bapak benar, mantan saya memang cowok brengsek dan nggak bertanggung jawab."

***

"Apa ini karena video mesum kamu?" tanya Danuarta blak - blakan di hari berikutnya saat mereka sepakat untuk bertemu di apartemen pria itu.

Kedua bola mata Airin seakan berusaha melompat keluar, apakah Danuarta tidak bisa menggunakan kalimat yang lebih tersirat atau pura - pura tidak tahu saja sekalian? Kenapa dia harus frontal begini?

"Bapak lihat?"

Pria itu mengedikan bahu tak acuh, "ada tautan heboh, saya klik, saya lihat. Oh, kamu... udah gitu doang."

Sekali lagi Airin takjub dengan sikap tak acuh Danuarta, "saya siap dengar ceramah Pak Danu."

Pria itu menautkan alisnya, "saya harus bilang apa? Itu hak kamu kok."

"Bapak nggak berpikir ada yang salah dengan saya? Bukannya seharusnya Bapak menasihati saya?"

"Nggak ada yang salah dengan seks, semua orang melakukan."

"Pastinya cara Pak Danu memandang saya sekarang jadi berbeda, kan?"

"Kamu tidak salah, Airin. Cuma sedang apes aja."

"Gimana penilaian Pak Danu terhadap saya secara pribadi? Apalagi kemarin Bapak sempat cium bibir saya."

"Saya bukan pria kolot, Rin. Saya bersyukur dibesarkan dengan perbedaan ras yang membuat pikiran saya lebih terbuka," jawab Danuarta, "jadi saya tidak peduli masa lalu kamu. Saya fokus dengan yang ada sekarang. Pria itu sudah merusak kamu, yang harus kamu lakukan adalah memperbaiki. Khusus untuk kasus ini, akan lebih mudah memperbaikinya sekarang."

***

Ketika berpapasan dengan Kumala di sebuah rumah sakit bersama Danuarta membuat Airin spontan ingin putar balik. Tapi sepertinya tidak mungkin karena wanita itu tengah memekikan namanya, "Arin!"

Airin sangat ingin meremas wajah Kumala saat mereka duduk berdua saja di taman rumah sakit. Ibu satu anak itu memandangnya dengan ekspresi seakan - akan Airin adalah janda perang yang perlu dikasihani. Ia memang berada pada masa sulit tapi bisakah Kumala bersikap biasa saja? Tentu saja tidak, kebiasaan Kumala adalah terlalu peduli pada urusan orang lain.

Setelah menanyakan kabar, Kumala masih belum menyinggung tujuan Airin mendatangi rumah sakit ibu dan anak ini. Wanita itu kemudian menceritakan bahwa mantan atasannya, Pandji, mendapat teguran serius dari suaminya karena skandal video yang tersebar, meminta Pandji menyangkal segala tuduhan demi mempertahankan karirnya, menunda promosi jabatan Pandji sampai skandal video mesum 'mirip Pandji' hilang dengan sendirinya.

"Tapi aku nggak peduli sih, Pak Pandji terlalu kuat untuk skandal itu. Yang aku pikirin, kamu gimana?"

Gadis muda itu diam memandangi tangannya yang bertaut di pangkuan. Ia lelah harus merangkai kebohongan atau penyangkalan, semua orang tahu wanita di video itu identik dengan wajahnya, kualitas kamera ponsel Pandji cukup bagus mendefinisikan gambar mereka. Lagi pula Kumala sudah tahu rekam jejak hubungannya dengan Pandji, Airin pernah keguguran dan bukan mustahil jika kedatangannya kali ini ke rumah sakit ibu dan anak adalah buah dari skandal video mesum itu.

"Mau Airin gugurin, Mba. Airin nggak bisa bayangin hidup seperti apa yang akan aku tanggung."

"Pak Pandji perlu tahu, kan?"

Gadis itu menggeleng cepat, lantas ia menceritakan rencana manis yang sudah ia susun bersama Pandji, juga penyebab rencana hebat itu terpaksa gagal.

"Cukup beralasan sih kalau kamu memilih untuk tidak mempertahankan bayi ini," Kumala mengangguk, "keluarga Pak Pandji memang agak kolot. Dari dulu aku sudah tahu, kalau bukan darah biru bakal susah sama Pak Pandji. Jadi ketika aku tahu hubungan kamu dengan dia, aku agak resah juga."

"..."

"Arin," dengan lembut dan hati - hati Kumala menyentuh tangan Airin yang dingin, "aku merasa nggak pantas menasihati kamu, hanya saja aku ingin mengungkapkan isi hatiku. Janin kamu tidak bersalah, dia ada di sana karena dia diberi kesempatan untuk hidup, kita sebagai orang dewasa rasanya nggak berhak merebut kesempatan itu, dia cuma bayi kecil." Kumala meremas lembut tangan Airin dan menatap matanya dengan penuh rasa simpati, "tanpa ingin menyinggung perasaan kamu dan andai kamu setuju, boleh nggak kalau kamu lahirkan saja bayinya? Nanti aku dan Mas Ega yang akan merawat seperti anak kami sendiri, toh kami kenal orang tuanya."

Tawaran Kumala membuat Airin meragukan keputusannya untuk melakukan aborsi. Tapi bagaimana dengan Danuarta? Bukan tentang pria itu, tapi mengenai masa depan yang ditawarkannya, kesempatan melanjutkan gelar master dan pekerjaan sebagai asisten dosen.

"Kesempatan tidak bisa menunggu kamu siap atau tidak, Rin," ujar Danuarta saat mereka dalam perjalanan lambat kembali ke rumah usai membuat jadwal tindakan dengan salah satu oknum, "kesempatan datangnya tidak lama - lama, harus langsung diambil sebelum kesempatan itu pergi menghampiri orang lain. Dan kesempatan juga tidak datang dua kali, dalam kasus kamu kesempatan sudah datang dua kali, jadi sangat mustahil akan ada yang ke tiga."

"Seenggaknya saya bisa melahirkan bayi ini dulu, mungkin tahun depan saya bisa apply beasiswa lagi."

Bibir Danuarta menyungging senyum sinis, "itu rencana yang sempurna dan minim risiko, hanya saja saya tidak bisa menunggu, Rin. Sekarang atau tidak sama sekali."

Danuarta sengaja menggunakan keahliannya untuk memengaruhi psikologis Airin, menuntut Airin membuat keputusan cepat dan tidak memberinya waktu untuk ragu bahkan berpikir. Ia cukup tahu kondisi gadis yang sedang terpuruk ini dan yakin tawarannya akan sulit ditolak.

Ketika Airin terdiam cukup lama untuk berpikir, Danuarta yakin sudah memenangkan gadis itu. Ia membiarkan benak Airin berkelana membayangkan kehidupan yang berat selama sembilan bulan ke depan menjalani kehamilan tanpa suami. Melewatkan kesempatan beasiswa tahun ini, menunda mewujudkan cita - cita sebagai wanita mandiri yang sukses, yang diinginkannya selama ini.

Mobil Danuarta berhenti di depan ruko, ia menatap gadis yang masih sibuk membuat keputusan di sisinya. "Jadi, bisa saya jemput kamu sesuai jadwal yang sudah disepakati tadi?" pertanyaan itu jelas mendesak Airin agar segera memutuskan. Sekarang juga.

Airin memandangi rukonya yang ramai, bagian depan penuh dengan motor pelanggan yang terparkir. Lalu pandangannya bergeser ke wajah blasteran Danuarta, sedikit heran karena dosen ketus itu memilih mahasiswi merepotkan yang sama sekali tidak cerdas seperti dirinya. Kenapa Bapak tertarik pada saya? Ia sangat ingin menanyakan hal itu sekarang.

Tapi yang terucap justru, "terimakasih karena Bapak sudah memberi kesempatan itu pada saya. Tapi sepertinya saya sadar, itu bukan rejeki saya, Pak."

Setelah mengucapkan itu, Airin turun dari mobilnya. Bisa jadi itu adalah pertemuan terakhirnya dengan si gadis yang telah membuat keputusan untuk melewatkan kesempatan emas yang ia berikan. Danuarta menghormati keputusan Airin walau dalam hati ia berharap gadis itu akan menyesal karena tidak memilih dirinya.

Sementara itu Airin berjalan masuk ke dalam toko yang ramai dengan perasaan baru, kemudian sigap membantu stafnya yang kewalahan karena banjir customer.

Akhirnya ia telah berdamai dengan kenyataan usaha kecil yang menjadi takdirnya, merelakan kesempatan bekerja dengan setelan dan blazer, bahkan mungkin ia juga harus memesan seragam bertuliskan produk ciptaannya sendiri sebagai pakaian kerja agar terlihat sama seperti stafnya yang lain.

Tapi yang terpenting adalah ia sudah berdamai dengan janin kecil di dalam perutnya, yang akan ia rawat dengan baik, ia lahirkan, dan ia serahkan pada keluarga utuh serba berkecukupan seperti Kumala dan Erlangga. Bayi itu pantas mendapatkan keluarga sempurna yang penuh kasih sayang, bukan seorang perempuan yang berantakan seperti dirinya.

Mungkin memang sudah menjadi garis hidup si bayi dan ia akan memberikan kesempatan itu. Lantas Airin akan melanjutkan hidup sebagaimana yang sudah digariskan, termasuk mencoret Pandji dari daftar rencana masa depannya.

"Kita berjuang bersama ya, Anak Kecil," ujar Airin optimis sambil menepuk pelan perut datarnya.

Continue Reading

You'll Also Like

299K 15.3K 49
(COMPLETED)💓💓💓 Di kala kau tak punya cukup waktu untuk memenuhi hasrat mencintainya. Di kala cinta yang kau harap tulus tak pernah memberikan sed...
272K 13.3K 21
(17/21+) dipublish 31 Juli, 2018 - tamat 8 Januari, 2019 POV 3 [ Sandro & Nina ] Mereka sama-sama buta soal hati. Mereka hanya menerima segala manfa...
3M 148K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
214K 24.1K 31
Setiap manusia lahir dengan kelenjar susu, tapi kenapa Theo harus lahir sebagai pria yang bisa mengeluarkan susu, ini faktor genetik yang tak pernah...