Jejak Cinta

By ikadelia

135K 7.1K 284

Ini kisah tentang aku, yang memendam cinta pada adik tiriku sendiri. Cinta yang terus tumbuh selama 11 tahun... More

1. Cinta Terlarang
2. Jealous
3. Move Out
4. Still?
5. Ayah
6. Di Ambang Batas
7. When You're Gone
8. Fakta yang Mengejutkan
9. Sad Happiness
10. Now I Know
11. Kita Satu

12. Everlast [END]

17K 773 61
By ikadelia

Setelah malam dimana aku dan Krista dapat menyempurnakan cinta kami, gairah terpendamku bukannya mereda, melainkan semakin gila. Aku seperti anak kecil yang keranjingan mainan barunya. Saat bersama Krista, seluruh tubuhku selalu ingin menyentuh setiap bagian tubuhnya. Setiap melihat Krista terbangun, ingin rasanya aku menariknya ke dalam selimut. Melihat senyumnya saja pun selalu membuat otakku membayangkan dia merona dan berkeringat di bawahku.  

Katakanlah aku ini mesum atau apapun. Aku tak keberatan. Mungkin ini efek samping dari memendam hasrat terlalu lama. Membuat gairahku semakin meluap, menjadi-jadi dan selalu minta dipuaskan. Tak perduli seberapa lelahnya kami, aku selalu ingin kami terus menyentuh satu sama lain, hingga kami benar-benar tak sanggup bangkit dari tempat tidur dan tertidur karena kelelahan.  

Tapi aku yakin aku takkan seperti anak kecil yang hanya sementara memainkan mainannya. Aku pasti akan selalu terjebak dengan wanita yang masih tidur nyaman di dadaku ini. Aku akan selalu ingin mendekapnya, sampai kapanpun. 

Dan yang membuatku semakin bahagia adalah karena tak hanya aku yang menikmati permainan kami. Krista juga selalu bisa mengimbangiku. Selalu menatapku dengan penuh hasrat yang sama. Membalas setiap sentuhanku di kulitnya dengan menyentuhku pada bagian-bagian paling sensitif dari tubuhku, dan selalu membuat gairahku semakin menggila. 

"Masih pagi udah senyum-senyum aja sih, kak?" kudengar suara Krista yang membuatku menoleh padanya, yang ternyata tengah mengucek matanya. 

Aku nyengir. 

"Aku mikirin tentang kisah kita, sayang.." 

"Ohya? Apa yang kakak pikirkan?" dia bangkit, menarik selimut menutupi tubuh polosnya, dan duduk menghadapku.  

Aku ikut duduk, bersandar pada sandaran tempat tidur. "Tentang betapa aku mencintaimu.. Dan kini aku sudah bisa memilikimu seutuhnya.." kusentuh dagunya, dan kukecup keningnya. 

Krista tersenyum. 

"Dulu rasanya cinta yang terpendam dalam hatiku tak pernah memberi kebahagiaan, kak.." 

"Karena kita belum sampai pada saat yang tepat. Dan ketika saatnya tiba, tahukah kamu betapa bahagianya aku mengetahui bahwa kamu juga menyimpan rasa yang sama padaku?" 

"Kakak juga nggak akan pernah tau gimana bahagianya aku saat mendengar tentang perasaan kakak untukku.." jawabnya, lalu bergerak mengecup bibirku, membuatku menyeringai padanya sebelum kemudian menyentak tubuhnya dan membuatnya lagi-lagi terbaring di bawahku. 

"Kak!" protesnya. 

"Kamu yang membangkitkan yang di bawah.." ucapku. 

"Dih, kakak! Aku cuma cium dikit, ya.." ucapnya, membuatku tertawa, dan hanya menariknya dalam pelukku, mengambil posisi nyaman di atas ranjang. 

"Ta, sampai kapan kamu akan terus memanggilku kakak?" 

"Emangnya kenapa, kak?" 

"Kamu membuatku masih merasa bahwa hubungan kita ini seperti incest." 

Krista hanya terkekeh. 

"Atau setidaknya kamu bisa memanggilku 'sayang' atau apapun." 

"Aku lebih suka memanggilmu 'kakak', kak.." 

"Kenapa?" 

Krista tersenyum padaku. 

"Kalau kakak nggak menjadi kakakku, mungkin aku nggak akan pernah jatuh cinta sama kakak. Aku nggak keberatan bahkan walaupun ini memang incest sekalipun. Aku mencintai kakak, dan aku bahagia karena itu.." 

Jawaban itu sukses membuatku tersenyum dan mengeratkan pelukanku di tubuhnya. 

"Kalau begitu, silahkan selalu memanggilku kakak, Ta.." ucapku, mengecup keningnya. 

"Kakak tau, kakak satu-satunya pria yang pernah mendapatkan cintaku.." 

"Kuharap akan selalu begitu.. Karena kamu juga adalah wanita pertama yang tinggal di hatiku, Ta. Dan kamu nggak pernah pergi dari dalam sana.."  

Dan aku mulai menyerangnya lagi, menyarangkan bibirku di lehernya, menghirup wangi tubuhnya. 

"Kak!" protesnya. 

"Apa, sayang?" tanyaku, masih dengan bibirku mengelana di lehernya. 

"Aku nggak boleh kecapean tau, kak! Nggak lihat perutku udah besar gini!?" 

Dan kalimat itu akhirnya membuatku menghentikan kegiatanku. Ya, benar. Tentu saja frekuensi kegiatan malam (dan siang) kami berakibat pada kehamilan Krista. Bahkan di usia 1 tahun pernikahan kami, kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh. Dan baiklah, demi jabang bayi yang ada dalam perut istriku ini, aku harus mengalah. 

"Ya, baiklah.. Kapan lagi bolehnya? Besok?" tanyaku. 

Krista menggeleng. 

Aku menautkan alisku. "Lusa?" 

Krista menggeleng lagi. 

"Taaa!" rengekku. 

Dan wanita itu menertawakanku. Dia menertawakan ketidakmampuanku untuk menahan diri dari menyentuhnya. Grr!! 

"Kak!" pekik Krista dari ruang tengah. 

"Ya, sayang?" aku balas berteriak kecil dari dapur. 

Saat ini aku sedang menyiapkan makanan untukku dan istriku yang sedang hamil besar, bahkan hanya tinggal menunggu hari untuk melahirkan. 

"Aw! Kakaaaak!" teriak Krista lagi, membuatku geregetan. 

"Apa, sayaaang?" pekikku lagi, masih sibuk mengaduk masakan di dalam wajan. 

"Aku kontraksi! Kayaknya udah mau lahiran ini! Sakit banget! Kakak! Cepet!" 

As-ta-ga!? Bagaimana aku lupa kalau dia bisa melahirkan kapan saja? 

Dengan cepat aku mematikan kompor, dan bergegas ke ruang tengah, menemukan Krista yang duduk bersandar di sofa dengan wajah meringis menahan sakit dan tangan memegang perutnya yang sangat besar. 

"Duh! Sakit, kak!" pekiknya lagi. 

Sontak membuatku semakin beringasan berlari ke sana kemari, mengganti celana pendekku dengan celana panjang, mengambil keperluan Krista dan calon bayi kami, juga kunci mobil. Lalu aku segera membopong Krista perlahan keluar dari apartemen menuju mobil, dan bergegas ke rumah sakit bersalin. 

"Huhh.. Huh.." Krista menghembus nafasnya perlahan, lalu semakin cepat, sesuai instruksi ibu bidan yang sejak tadi sudah mengambil posisi di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. 

"Ayo, bu, lagi.." perintahnya lagi. 

Aku hanya bisa melihat pemandangan itu dengan meringis, dan menggenggam tangan Krista erat, juga sesekali mengusap peluh yang membanjiri wajah istriku yang cantik itu. 

"Yak, bu, dikit lagi.." ucap bu bidan itu lagi. 

"Ayo, sayang, dikit lagi. Kamu pasti bisa," aku mencoba menyemangati Krista. 

"Di-Huh..huh..Dikit lagi apanya!? Huh-huh.. Abis ini masih ada satu lagi yang.. ngantri.. huh-huh.. Kakak lupa!?"  

Dan aku tersentak. Astaga. Bagaimana aku bisa lupa bahwa dokter kandungan sudah memastikan bahwa bayi dalam kandungan Krista adalah dua anak kembar!? 

"Biasalah, bu, bapak-bapak. Ayo sekali lagi, bu. Ini yang pertama udah mau keluar." 

"Huh-huh..huh-huh.. Arrgghhh!!!" pekik Krista dan terdengarlah suara bayi yang luar biasa itu, yang segera membuatku tersenyum sumringah, hampir bergegas menuju sosok bayi itu kalau tangan Krista tidak menggenggam tanganku semakin erat. 

"Satu-lagi-kakk!" pekiknya, membuatku berjengit dan kembali berdiri di sisinya. 

"Ayo sayang.. Kamu pasti bisa!" aku mencoba menyemangati. "Yang satu udah keluar. Sehat. Dan cantik kayak kamu, Ta!" ucapku, setelah salah satu perawat menunjukkan wajah bayiku yang masih merah itu. 

"Huh-Huh.. Aw!" 

"Ayo, bu, ini udah mau keluar lagi!" perintah si bidan. 

"Aaawww!!!" 

* *

"Devaa! Demaa!" teriakku saat membuka mata dan mendapati dua malaikat kecil yang usil berlari meninggalkanku sembari tertawa bahagia. 

Aaarrgggh!! 

Kenapa selalu aku yang jadi bahan mainan mereka? Bahkan mereka tak bisa melihatku istirahat barang sebentar di minggu pagi begini. Tak tahukah mereka setiap satu teriakanku menahan kesal pada mereka pasti menambah satu kerutan di wajahku? Dan kelakukan kembar nakal itu pasti benar-benar akan membuatku cepat tua. 

"Kakak malah!" 

"Ampun! Unda, kakak dah banun!" 

Itu adalah teriakan kembar nakal itu dengan bahasa cadelnya, yang diiringi suara langkah kaki mereka meninggalkan kamarku. 

Dan suara tawa kecil membuatku menoleh ke arah meja rias dan menemukan istriku sedang tertawa bahagia di sana. 

"Taaa!" tegurku. 

"Apa, sih, kak? Masih pagi udah marah-marah!" ucapnya di sela tawanya. 

Aku bangkit dari posisi tidurku dan duduk di atas ranjang. 

"Kamu nggak dengar mereka memanggilku apa? Itu salahmu, Ta! Selalu memanggilku 'kakak' bahkan di hadapan anak-anak kita," keluhku.  

Bayangkan saja, sejak bisa bicara, kedua bidadari mungil yang nakal itu lebih sering memanggilku 'kakak' daripada 'ayah'. Menyedihkan, bukan? 

"Dan mereka nggak pernah bisa membiarkanku tidur dengan tenang. Aku bisa cepat tua, Ta!" 

Suara kekehan kudengar lagi sebelum Krista duduk di sisiku dan merangkum wajahku dengan kedua tangannya dan senyuman manis di bibirnya. 

"Mana kerutnya? Katanya udah tua? Masih ganteng, kok. Percaya deh, sama aku, kak. Lagian dipanggil 'kakak' sama si kembar emang nggak bikin kakak berasa muda?" 

Selanjutnya Krista sudah menjawil hidungku. Kemudian bangkit dari tempat tidur menuju pintu kamar. 

"Lagian tadi aku yang suruh mereka gangguin ayahnya supaya bangun dan sarapan. Ini udah jam 9 tau, kak! Ntar siang kita mau ke rumah ibu, loh!" 

Dan aku menepuk jidatku sendiri. Ini ulang tahun ibuku, dan aku malah asyik-asyik tidur. Tapi itu kan efek kegiatan dini hari kami tadi, yang membuatku tertidur nyenyak setelah sholat subuh. 

"Ya ampun, malah pasang muka mesum?" Krista berkacak pinggang. 

Yah, aku ketahuan. Aku nyengir pada Krista. 

"Ckckck. Ayah, ayo sarapan. Cepetan, deh, ah! Kalo nggak gerak cepat, jangan harap dapat jatah lagi!" ancam Krista pelan sebelum berlalu ke ruang makan. 

"Ta! Jangan gitu, donk!" aku bangkit dan segera menyusul ke ruang makan. Menemukan Krista yang mulai menata piring, dengan kedua buah hati kami yang cantik jelita duduk rapi di kursinya. 

"Unda, kakak belum cuci muka..." Deva mengeluarkan suara nyaringnya. 

"Ih, kakak awuk.." Dan Dema mulai mengikuti. 

"Dema, Deva, panggil ayah, donk.." protes Krista, seraya tanannya mulai menyendokkan nasi goreng ke dalam mangkok kedua bocah tengil itu. 

Dan keduanya tertawa riang, turun dari kursi dan menghampiriku. Membuatku menggendong kedua putriku yang sudah berumur tiga setengah tahun itu di masing-masing tanganku. 

"Denger kata bunda tuh, panggil ayah, donk.." ucapku, dan dengan gemas menciumi mereka bergantian. 

"Unda, unda ndak mau icium ayah?" tanya Dema. 

"Nggak ah, ayah bau, bunda nggak mau. Bunda aja udah mandi," jawab Krista, duduk manis di kursi makan. 

"Iih, ayah awuu" pekik Deva, menyakitkan telingaku. 

Ya, kehebohan tak henti mewarnai rumah yang sudah kutempati dengan Krista sejak kelahiran kedua putri kecil kami. Sebuah rumah sederhana yang kubeli untuk keluarga kecil kami. Yang selalu ramai sejak kelahiran dua gadis kecil kembar yang tak bisa diam ini. 

Dan pemikiran itu sedikit membawaku kembali pada kenangan masa kelahiran mereka. Tentang bagaimana Krista berjuang keras membawa kedua makhluk mungil yang ajaib ini melihat dunia, dimana mereka bisa bertemu denganku. Menyempurnakan cinta kami dan kebahagiaan kami dengan kehadiran buah cinta kami yang bikin satu bonus satu. Proses sekali, hasilnya dua. 

"Ayah.. sarapannya dimakan, donk.. Udah dingin, tau.. Malah bengong," gerutu Krista, yang sudah duduk di sebelahku, memastikan kedua putri kecil kami yang duduk manis di kursi mereka makan dengan benar

Aku tersenyum. Sekarang, aku lebih suka dipanggil ayah. Karena sekarang aku adalah ayah dari dua bidadari mungilku yang cantik ini, Devalia Putri Finanda, dan Demarya Fitri Aninda. Dua kebahagiaan yang melengkapi hidupku dan Krista. 

"Assalamualaikum.." ucapku setelah kami berempat tiba di depan rumah ibu. 

"Waalaikumsalam.." terdengar sahutan ibu yang tampak tergopoh menyapa kami di depan pintu. 

"Kakak.. tulun.." rengek Dema yang masih dalam gendonganku, ketika melihat Deva sudah berlari menyongsong omanya. 

"Iya, baweell.." jawabku, mengecup pipinya gemas sebelum menurunkannya dan membiarkannya menyongsong sang oma. 

"Masih panggil kakak juga?" tanya ibu. 

Aku hanya mengangkat bahu, sementara Krista tertawa pelan sembari berjalan menuju ruang tengah. 

"Deva, Dema.. Itu ayah. Jangan panggil kakak. Panggil ayah. A-yah. Yaa?" ajar ibu pada kedua cucunya.

Percuma. Diajari pun hanya sekali atau dua kali mereka memanggilku ayah, kemudian kembali lagi memanggil kakak. Kenapa lagi kalau bukan karena mendengar bundanya yang masih selalu memanggilku kakak? 

"Ta, mulailah memanggilku ayah. Berhenti memanggilku kakak. Aku malu saat bertemu orang lain, apalagi sahabatku-sahabatku, dan mereka mendengar kedua putri kita memanggilku kakak.." ucapku pada Krista yang kini melangkah menuju kamar lamaku untuk meletakkan tas kecil berisi keperluan si kembar. 

Krista tak menjawab, dan hanya duduk di atas ranjang. 

"Sini, deh.." panggilnya.  

Aku duduk di sebelahnya. 

"Ayah.. Ayah.. Ayah.." ucapnya. 

Aku tersenyum. 

"Udah kan, kak?" 

Grr!! 

"Kumakan kamu, Ta!" ancamku, dan Krista tertawa, lalu mencuri ciuman di pipiku sebelum beranjak meninggalkanku. Kebiasaan yang tak pernah berubah sejak dulu. Sebuah ciuman kecil di pipi yang mampu membuat nafasku terhambat. 

Aku bangkit dan mengejar Krista sebelum dia bahkan keluar dari kamarku. Kutarik tangannya dan membuatnya berbalik menghadapku, dan kucium dia dalam-dalam, dengan perlahan menghimpitnya ke tembok. 

Dan seperti biasanya, Krista membalas ciumanku, dan memeluk leherku. Membawa kami larut bersama dalam ciuman itu. 

"Kan, oma bilang juga apa. Jangan ganggu dulu ayah dan bundanya.." 

Aish, suara itu membuatku terpaksa melepas ciuman kami dan menatap -penuh rasa malu- kepada ibu dan kedua putriku yang berdiri di pintu. 

"Kakak! Eva ugak mau cium.." Deva sudah berlari menghampiri dan menarik-narik celanaku.  

Dan tentu saja Dema juga takkan ketinggalan. 

"Ayah! Ema ugaak!" pekiknya. 

Aku tersenyum pada Krista yang juga tersenyum menatapku dengan pipinya yang memerah. 

"Yang panggil 'ayah', ayah cium.." ucapku dan berjongkok untuk mencium kedua pipi dan bibir Dema. 

"Undaaaa.." Deva mulai menangis. 

Lihatlah. Apa susahnya memanggil 'ayah'? Dia lebih memilih menangis? Membuatku geleng kepala sendiri, sementara Krista mulai membawa Deva dalam gendongannya. 

"Itu ayah, sayang.." ucapnya, menciumi Deva dengan gemas. 

"Ayah?" tanya Deva pada bundanya dengan mimik wajah lucu. 

Aku ikut mengangkat Dema dalam gendonganku, lalu bergerak mencium kedua pipi dan bibir Deva. 

Dan terakhir, mencuri ciuman di bibir sang bunda. 

"Ayah!" protes Krista. 

Aku hanya tertawa dan berjalan meninggalkan mereka, menuju ibu yang sedari tadi tersenyum melihat kami. 

"Ibu senang sekali melihat kalian. Manis sekali, De.." ucap ibu, berjalan bersamaku. "Ayah juga pasti bahagia sekali, melihat kebahagiaan kalian..."sambungnya.

Aku tersenyum pada ibu.

"Iya, bu. De juga nggak pernah berhenti mendoakan ayah. Semoga kita semua bertemu lagi nanti, di sana, di surga..." ucapku.

Ibu mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya, meskipun matanya tampak sedikit berkaca-kaca.

"Ayah bikin oma nangis, kan?" kudengar Dema berucap. "Oma mau Ema cium biar nggak cedih lagi?" tanyanya dengan polosnya. 

Aku dan ibu sontak terkekeh mendengar ucapan Dema. Dan hilang sudah airmata yang tadi kulihat di balik senyum ibu.

"Mauu, doonk..." jawab ibu.

Dan Dema segera menyorongkan pipinya untuk diciumi omanya. Dan langsung saja ibu mengecup kedua pipi Dema. 

"Eva ugaaa!!" pekik Deva yang tengah berada dalam gendongan Krista, yang sedang berjalan di belakangku.

Dasar si bungsu, selalu saja iri. Tapi berhasil membuat kami semua tertawa dalam suasana hangat itu.  

Seketika kami melupakan segala kepedihan yang pernah menghiasi kehidupan kami. Mempercayai bahwa setiap jejak yang tercipta adalah rencana Tuhan yang akhirnya membawa kami pada kebahagiaan yang akan bertahan selamanya. 

Sepahit apapun jejak cinta yang kita lalui, kita hanya perlu bertahan, terus berjuang dengan mempercayai bahwa akan ada akhir yang manis menyambut kita. Akhir bahagia yang rasanya cukup membayar semua kepedihan di masa yang lalu.  

Dan aku percaya, kebahagiaan yang kami miliki sekarang, akan selalu menjadi milik kami. Selamanya. 

*** 

END 

***

[7 November 2014 -> Repost April 2020]

okeey end beneran yaaa. dari awal ceritanya emang cuma segini, kok, hehe.

semoga sukaaa

salam hangat dari ika :*

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 206 11
Kumpulan cerita pendek, romance, religi, horor action.
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.3K 191 13
Apa jadinya kalau ibumu memberimu ultimatum untuk mendapatkan cowok sebelum ulang tahun mu yang ke- 30 ,yaitu bulan depan. Kalau tidak, maka mau n...
41.9K 3.9K 7
BLURB Cinta diam-diam yang dimiliki oleh Fatimah Azzahra terhadap Ali Bin Abu Thalib menjadi kisah inspiratif bagi diri Nur Aisyah Syalwalia. Gadis y...