12. Everlast [END]

17K 773 61
                                    

Setelah malam dimana aku dan Krista dapat menyempurnakan cinta kami, gairah terpendamku bukannya mereda, melainkan semakin gila. Aku seperti anak kecil yang keranjingan mainan barunya. Saat bersama Krista, seluruh tubuhku selalu ingin menyentuh setiap bagian tubuhnya. Setiap melihat Krista terbangun, ingin rasanya aku menariknya ke dalam selimut. Melihat senyumnya saja pun selalu membuat otakku membayangkan dia merona dan berkeringat di bawahku.  

Katakanlah aku ini mesum atau apapun. Aku tak keberatan. Mungkin ini efek samping dari memendam hasrat terlalu lama. Membuat gairahku semakin meluap, menjadi-jadi dan selalu minta dipuaskan. Tak perduli seberapa lelahnya kami, aku selalu ingin kami terus menyentuh satu sama lain, hingga kami benar-benar tak sanggup bangkit dari tempat tidur dan tertidur karena kelelahan.  

Tapi aku yakin aku takkan seperti anak kecil yang hanya sementara memainkan mainannya. Aku pasti akan selalu terjebak dengan wanita yang masih tidur nyaman di dadaku ini. Aku akan selalu ingin mendekapnya, sampai kapanpun. 

Dan yang membuatku semakin bahagia adalah karena tak hanya aku yang menikmati permainan kami. Krista juga selalu bisa mengimbangiku. Selalu menatapku dengan penuh hasrat yang sama. Membalas setiap sentuhanku di kulitnya dengan menyentuhku pada bagian-bagian paling sensitif dari tubuhku, dan selalu membuat gairahku semakin menggila. 

"Masih pagi udah senyum-senyum aja sih, kak?" kudengar suara Krista yang membuatku menoleh padanya, yang ternyata tengah mengucek matanya. 

Aku nyengir. 

"Aku mikirin tentang kisah kita, sayang.." 

"Ohya? Apa yang kakak pikirkan?" dia bangkit, menarik selimut menutupi tubuh polosnya, dan duduk menghadapku.  

Aku ikut duduk, bersandar pada sandaran tempat tidur. "Tentang betapa aku mencintaimu.. Dan kini aku sudah bisa memilikimu seutuhnya.." kusentuh dagunya, dan kukecup keningnya. 

Krista tersenyum. 

"Dulu rasanya cinta yang terpendam dalam hatiku tak pernah memberi kebahagiaan, kak.." 

"Karena kita belum sampai pada saat yang tepat. Dan ketika saatnya tiba, tahukah kamu betapa bahagianya aku mengetahui bahwa kamu juga menyimpan rasa yang sama padaku?" 

"Kakak juga nggak akan pernah tau gimana bahagianya aku saat mendengar tentang perasaan kakak untukku.." jawabnya, lalu bergerak mengecup bibirku, membuatku menyeringai padanya sebelum kemudian menyentak tubuhnya dan membuatnya lagi-lagi terbaring di bawahku. 

"Kak!" protesnya. 

"Kamu yang membangkitkan yang di bawah.." ucapku. 

"Dih, kakak! Aku cuma cium dikit, ya.." ucapnya, membuatku tertawa, dan hanya menariknya dalam pelukku, mengambil posisi nyaman di atas ranjang. 

"Ta, sampai kapan kamu akan terus memanggilku kakak?" 

"Emangnya kenapa, kak?" 

"Kamu membuatku masih merasa bahwa hubungan kita ini seperti incest." 

Krista hanya terkekeh. 

"Atau setidaknya kamu bisa memanggilku 'sayang' atau apapun." 

"Aku lebih suka memanggilmu 'kakak', kak.." 

"Kenapa?" 

Krista tersenyum padaku. 

"Kalau kakak nggak menjadi kakakku, mungkin aku nggak akan pernah jatuh cinta sama kakak. Aku nggak keberatan bahkan walaupun ini memang incest sekalipun. Aku mencintai kakak, dan aku bahagia karena itu.." 

Jawaban itu sukses membuatku tersenyum dan mengeratkan pelukanku di tubuhnya. 

"Kalau begitu, silahkan selalu memanggilku kakak, Ta.." ucapku, mengecup keningnya. 

Jejak CintaWhere stories live. Discover now