Romantic Rhapsody

By beestinson

1.7M 121K 15.3K

Genre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji... More

(1) Intro
(2) (Prolog) : Pengiring Pengantin (lagi)
(3) Masalah itu bernama Gyandra
(4) Takdir sih!
(5) Kencan Pertama (anggap aja gitu!)
(6) Witing Tresno Jalaran Soko Kulino
(7) Selamatkan masa depanmu, Kangmas!
(8) Langkah Pertama
(9) Sst! Kita Jadian.
(10) Pengikatan Jaminan Kredit (21-)
(11) Saya masih punya hati
(12) Galau
(13) Predator
(14) Kasta Kamar Mandi
(16) Manis Asam
(17) Sulitnya Minta Maaf (21+)
(18) Candy
(19) Sex Education
(20) Bukan Sekedar Ramalan
(21) Kisah Cinta (21+)
(22) Skripsex
(23) "Maka izinkanlah aku mencintaimu" (21+)
(24) Tempat Selingkuh
(25) Pergilah Kasih 1 (21-)
(26) Pergilah Kasih 2
(27) Danuarta (21+)
(28) Skandal
(29) Tujuh
(30) 'April'
(31) Lamaran
(32) Resepsi
(35) R.A Kartika Danuardara (bonus)
EXTRAS

(15) Manak (21+)

101K 4.2K 621
By beestinson

"Airin-"

Gadis itu berjalan tergesa - gesa ke arah pintu, tetes air jatuh melalui ujung rambut panjangnya yang basah. Ia memutar kenop namun pintu jati berat berukuran dua kali tubuhnya itu bergeming. Ia memutar anak kunci tapi tidak ada hasil.

"Mas, pintunya macet ya?"

"Dengerin Mas-"

Airin menyela gugup sambil tetap mengutak - atik pintu, "Ini pintunya nggak bisa dibuka, Mas. Padahal nggak dikunci."

"Pintunya nggak akan terbuka sebelum kamu dengerin saya,"

Airin menoleh ke belakang, ke arah pria besar berbahaya yang diturunkan neraka untuknya, "aku dengerin Mas Pandji, tapi aku mau pakai baju dulu, Mas. Nggak gini."

Pandji memalingkan wajah dari tubuh Airin, "ya sudah."

Menyerah berusaha, gadis itu membalik badan yang hanya dibalut kain bermotif batik mulai dari dada hingga betis mulusnya. Ia bersandar di permukaan pintu agar tetap berada sejauh mungkin dari Pandji yang masih duduk di tepi ranjang luasnya.

Ia melirik dengan kesal pria yang masih diam seribu bahasa, berusaha terlihat tidak sabar menanti bicara. "Ayo ngomong!"

Ketika Pandji masih diam, Airin memalingkan wajah ke arah sebaliknya, menarik napas pelan dan dalam, memejamkan matanya rapat - rapat, berharap pemandangan menakjubkan itu lenyap dari memorinya.

Aku sedang rindu tapi justru diuji dengan situasi ini... aduh! Aku nggak kuat.

"Kamu terima cincin dari Kaka, Rin?" nadanya tenang tapi mengintimidasi.

Pertanyaan itu menyentak kepala Airin kembali menatapnya. Kini pria itu balas menyorot wajahnya dengan tajam, "kamu jadian sama dia?"

Airin menelan sakit hatinya, "memangnya kenapa, Mas? Toh, Mas Pandji juga bebas dengan Elsa - Elsa itu."

"Ini giliran saya bertanya, Rin. Nanti waktumu."

"..." gadis itu membuang muka. Sekarang alih - alih malu berdiri separuh telanjang di hadapan pria itu, ia diliputi kemarahan yang terakumulasi sejak Pandji memutuskan hubungan mereka.

"Diapain aja sama dia?" tuntut Pandji tapi belum meninggikan suaranya.

Gadis itu balas menatap Pandji yang kini berdiri di hadapannya dengan berani, ia membalas pria itu dengan pertanyaan yang sama, "udah ngapain aja sama Elsa?"

"Kan ini giliran saya-"

"Aku nggak peduli, Mas!" akhirnya gadis itu menjerit, "kamu pikir aku biasa aja gitu setelah kamu putusin?"

"Tria bilang kamu nangisin saya tiap malam-"

"Sial!" maki Airin tambah kesal, "waktu aku tangisi hubungan kita, kamu sedang di bioskop sama Elsa. Waktu aku tangisi kepergianmu, kamu jalan - jalan di pantai sama Elsa. Waktu aku tangisi kebodohanku sendiri karena mikirin kamu, rindukan kamu yang bahkan sudah lupa kalau pernah dekati aku, kamu sedang candle light dinner sama dia, kalian pesan king crab, minum wine, apalagi?"

"Itu lobster, bukan king crab-" koreksi Pandji serius.

Tapi Airin semakin menjadi - jadi, "aku nggak peduli, Mas. Kalian mau makan gurita, ubur - ubur, spongebob juga aku nggak peduli. Jadi kenapa kamu halangi Mas Kaka deketin aku? Apa aku nggak boleh seperti kamu yang bisa bahagia sama Elsa?"

"Kamu harus diam dan dengarkan saya dulu, kalau nggak-"

"Kalau nggak, kenapa?" tantang Airin sengit.

Pandji menatapnya tajam dan bergumam, "saya bisa perkosa kamu di sini."

Bantahan yang sudah Airin persiapkan menguap di ujung bibir karena ancaman itu. Tak dipungkiri, ia agak ketakutan sekarang. Airin hanya berani membuang muka sebagai perlawanannya.

Pandji menjelaskan, dimulai dari hari di mana Airin pergi, ia hampa. Airin tak ada kabar, ia sakit. Airin tak kembali, ia hancur. Ia mengatakan alasannya bersama Elsa tanpa ditutup - tutupi, tapi melompati fakta bahwa sebelum bersama Elsa, ada Raisa yang gagal menghibur patah hatinya. Ya, ia patah hati sebelum menyadari cinta itu ada. Bahkan sekarang pun ia masih belum yakin.

"Saya nggak tidur sama dia, ciuman pun nggak. Saya berusaha mencari sosok kamu di dia jadi saya benar - benar menjaga jarak supaya tidak terlalu intim. Tapi rasa yang saya cari tidak ada di dia. Ternyata saya cuma mau kamu-"

Airin memejamkan mata dan menutup telinganya, "aku udah nggak percaya omongan kamu, Mas. Kamu sudah pernah gunakan cara itu, yakinkan aku untuk serahkan diri ke kamu, dan ketika aku udah benar - benar yakin, kamu buat aku kecewa. Sekarang aku nggak percaya kamu lagi, Mas. Selesai!"

"Turunkan tangan kamu, Rin!" perintah Pandji tegas, "lihat, Mas!"

Airin mengernyit kesal sebelum mematuhinya dengan seperdelapan hati. Apa? Begitu kira - kira jika tatapan matanya yang tajam bisa bicara.

"Ya udah kalau memang ucapan saya tidak ada harganya lagi bagi kamu. Tapi ijinkan saya yakinkan kamu dengan cara lain."

Gadis itu menggigit bibir bawahnya tipis, sorot matanya tidak setajam tadi, tapi lebih kepada penasaran.

Pandji menutup jarak di antara mereka, ujung hidung Airin berada tepat di depan dagu pria itu.

"Biarkan saya cium bibir kamu satu kali saja untuk mengubah penilaian kamu tentang saya-"

Kedua mata Airin membulat, ia yang tadinya memperhatikan bibir Pandji kini beralih memandangi mata pria itu dengan teliti. Ini ujian yang berat, Rin!

"...tapi saya mohon, kali ini saja, rasakan dengan hati kamu yang paling murni. Jangan sekali - kali berpikir dengan logika. Saya akan berusaha, Rin."

Bulu mata Airin bergerak turun saat pandangannya kembali ke arah bibir Pandji yang kian dekat. Pria itu hanya menyentuh ringan ujung dagunya dengan dua jari ketika menyentuhkan bibirnya di bibir Airin.

Begitu saja? Airin hampir kecewa ketika beralih menatap mata Pandji.

Hembus napas Pandji yang panas menyapu wajahnya ketika pria itu menangkup wajah Airin dengan kedua tangan. Ketika Pandji memiringkan wajahnya lebih jauh, Airin memejamkan mata, pasrah manakala Pandji mengobrak - abrik hatinya saat ini.

"Rasakan dengan hati, Rin," bisiknya di bibir Airin, "ini Mas..."

Pandji memagut lembut bibir merah muda itu, napasnya gemetar menahan gairah yang terlampau tinggi. Pandji rindu, benar - benar rindu sejak mereka putus. Tapi sekarang kemurnian rindu itu dihiasi dengan nafsu.

Ia memagut lebih dalam ketika merasakan kedua lengan Airin bergelayut di lehernya, dan keduanya pun tersesat...

Mas Pandji melucuti pertahanan diriku dengan begitu manis. Pertama ia mencoba membual dengan kata - kata tapi kemudian ia merenggut hatiku dengan ciuman ini.

Gairah dalam tubuhku kian membara. Kurasakan putingku mengeras di balik kain. Dorongan hasrat untuk mendesakkan pinggulku ke arahnya kian tak tertahankan. Aku bergelayut padanya agar bisa meraup lebih banyak ciumannya. Kutekan dadaku ke dada bidangnya sebagai isyarat bahwa aku sudah tidak peduli dengan yang terjadi kemarin. Aku hanya ingin apa yang menjadi tujuan kita berdua sekarang.

Aku tahu Mas Pandji ingin mencicipi tubuhku, tubuh yang tadi kugosok hingga bersih saat mandi sembari memikirkannya. Aku sendiri semakin tidak tahan untuk membebaskan diriku bersamanya.

Ketika kurasakan tangan Mas Pandji berpindah mengurai lilitan kain jarik di dadaku, sengaja kugigit lembut bibirnya sembari mengerang puas sebagai tanda aku setuju dan justru mendukungnya.

Kurasakan tubuhku berputar saat aku tetap memejamkan mata, aku didesak mundur hingga pahaku menyentuh tepi keras ranjang raksasa Mas Pandji. Ranjang yang akan menjadi akhir masa beliaku.

Ia membaringkanku tanpa pernah melepaskan bibirnya dari tubuhku, entah menciumi leherku, atau bahkan mengulum payudaraku. Kurasakan Mas Pandji di sekujur tubuh, ia ada di mana - mana untukku.

Tubuhku bergidik saat tangannya yang dingin menyentuh bagian belakang lututku. Dengan penuh percaya diri ia melebarkan kedua kakiku lalu menempatkan tubuhnya yang besar di antaranya.

Sekarang aku tak bisa lagi merapatkan paha, ada dia di sana. Mas Pandji kembali menciumi wajahku: kening, mata, hidung, sebelum lidahnya membelai bibirku dan kami saling mengadu.

Kuisap manis lidahnya dan ia membalas hingga aku kewalahan. Aku terdiam saat kurasakan sesuatu mengetuk 'pintu' kewanitaanku, terasa sulit tapi 'ia' berusaha mendobrak masuk. Ketika tersadar, ternyata Mas Pandji sedang memperhatikan reaksiku. Ia terus menatap wajahku ketika pinggulnya bekerja keras 'bertamu' ke 'kediamanku'.

Mas Pandji masih menatap mataku saat wajahnya bergerak turun dengan amat perlahan. Fokusku berpaling saat kulihat lidahnya menjulur membelai putingku dan aku mendesah berat. Ia mengulumnya bergantian hingga aku lupa diri.

"Hm!" aku terkesiap karena sentakan Mas Pandji yang intens di pangkal pahaku.

Ia diam, tak bergerak dan hanya menatapku hingga aku bingung. Kuberanikan diri untuk bertanya, "udah ya, Mas?" kok nggak sakit? Pikirku.

"Udah dikit," jawab pria itu.

Aku menggeleng tak percaya, "nggak mungkin. Rasanya udah penuh banget, Mas."

Mas Pandji mengecup bibirku dengan lembut lalu meyakinkanku, "nggak, kamu bisa kok, masukin lagi ya..."

Bibirku terbuka dengan desahan 'ah!' setiap kali ia berusaha mengoyak statusku. Ketika rasanya semakin intens dan kuat, aku pun tidak tahan dengan rasa sakitnya. Kulepaskan peganganku di pundak Mas Pandji, aku ingin meremas seprai putih di bawah tubuhku tapi ia menjalin jemari kami, membuatku berpegangan padanya, dan kami saling menggenggam.

Aku menjerit. Aku yakin sekali, barusan aku menjerit dengan mata terpejam dan kepala tersentak ke arah kanan. Mas Pandji membenamkan wajahnya di leher kiriku, kudengar ia juga mengerang kasar. Perasaan aku yang terkoyak, kenapa dia ikutan jerit?

Ia mengangkat kepala, menjilati bibirnya yang kering, melepaskan pertautan jemari kami, lalu membelai wajahku dengan tangan yang gemetar, "maaf," katanya sambil menatap wajahku, "Airin, maafin Mas-"

Jangan minta maaf, Mas. Airin sadar kok...

Aku berhambur menarik lehernya turun, kujejalkan ciuman - ciuman untuk membungkam bibirnya. Aku kembali mendesah 'ah!' saat ia juga kembali mengayun tubuhku. Rasanya begitu penuh di bawah sana, ketika kuingat ukuran Mas Pandji dalam genggamanku, itu terasa masuk akal.

Aku terus berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaannya, ukurannya, juga ritmenya. Tiba - tiba saja tubuhku sedikit mengejang, aku seakan meremas gairah Mas Pandji di dalam diriku. Semakin ia mendesak masuk semakin kaku tubuhku. Jari kakiku menekuk ke dalam, jari tanganku menusuk kulit punggungnya. Mas Pandji mempercepat temponya hingga aku tak mampu menguasai diri dan menjerit dalam gelombang hasrat yang begitu nyata.

Belum pulih aku dari sensasi itu ketika kudengar gumaman kasarnya yang mengucap maaf sembari menghunjamku lebih dalam lagi, kurasakan tubuhku melesak lebih rendah dari permukaan kasur karena bobot tubuhnya, ia terasa begitu dalam, besar, memenuhiku sampai - sampai aku dapat merasakan jiwa Mas Pandji dengan hatiku. Aku tahu itu hanya luapan hormon, bukan kenyataan.

Kami sama - sama tak bergerak, hanya helaan napas yang terdengar bersahut - sahutan. Terjadi sudah, pikirku.

Perlahan sorot mata Mas Pandji kembali normal, badai gairah itu telah pergi setelah terpuaskan, tapi ia terus memperhatikanku seolah aku akan pecah jika disentuh sedikit saja.

Tiba - tiba saja aku merasa malu dengan luapan gairahku sendiri. Ini 'malam pertama'ku dan aku berhasil mencapai klimaks, sesuatu yang menurut internet jarang terjadi. Entahlah, jika bukan Mas Pandji yang hebat, mungkin aku yang kelewat 'gatal'.

Aku mendorong dada Mas Pandji dan pria itu tidak menolak. Ia menyingkir dari atas tubuhku walau tidak jauh. Aku menyilangkan satu tangan di depan dada dan meraba - raba kain jarikku dengan tangan yang lain untuk menutupi diri.

"Apa ini?" kudengar Pandji sepertinya tersinggung dengan sikapku, ia mendesak tubuhku kembali ke permukaan kasur. "Saya nggak mau kita berlagak seperti orang asing setelah apa yang kita bagi barusan."

Aku memang berusaha menjauh, membuat jarak darinya karena tiba - tiba saja aku ingin menangis. Aku meyakinkan diri bahwa ini bukan tangis penyesalan, hanya tetes air mata merelakan keperawananku yang sudah tidak ada. Bukan direnggut, tapi kuserahkan.

Ya ampun... aku cinta dia.

Aku berusaha menghindari tatapannya pada mataku yang berkaca - kaca, "air mata apa ini, Rin?"

Aku membuka mulut dan memikirkan jawaban, "nggak, bukan kamu. Aku cuma sedang mikir-" akhirnya kutatap matanya, "suami aku besok nggak bakal tanyain di mana selaput daraku kan, Mas?"

Kusaksikan kebingungan di wajah Mas Pandji berubah menjadi kemarahan, rahangnya yang tegang berkedut. "Kalau dia lakukan itu, dia nggak pantas buat kamu."

Aku mengangguk, dia membiarkanku berbalik membelakanginya tapi tetap merengkuh tubuhku dari belakang. Aku merasakan hawa posesif dari ria membingungkan ini saat ia mengecup tengkukku dan berjanji, "saya pastikan nggak ada satu orang pun yang akan bertanya seperti itu ke kamu. Jadi kamu nggak perlu mikirin jawabannya."

Kupejamkan mata sambil menggigit bibir keras - keras, bisakah kali ini kupercayai kata - katanya?

***

Airin dan Pandji bangun sekitar hampir satu jam tidur karena ketukan pelan di pintu. Deras hujan sudah berubah menjadi rintik, suara Mbok Marmi yang mengundang mereka untuk makan malam terdengar bagai teguran mulut netizen.

Airin terlonjak duduk, berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari pekatnya keringat dan aroma erotis penyatuan mereka. Gadis itu masih tidak terbiasa dengan 'status' barunya yakni 'milik Pandji'.

Pandji menyingkirkan selimut yang menutupi pinggul, terdiam saat melihat bukti nyata berupa bercak kemerahan di seprai putihnya. Ia tidak terkejut, ia sadar sudah memperawani seorang gadis, tapi masalahnya ia melakukan itu di rumah induk, di mana para pesuruh yang membersihkan kamar ini akan bergosip hingga ke telinga ibunya. Ia pasrah.

Airin terkejut saat keluar dari kamar tamu yang ia tempati dan mendapati Pandji berdiri tak jauh dari sana menunggunya. Untuk apa?

Pria itu bersikeras pergi ke ruang makan bersamanya seolah mengumumkan pada seluruh penghuni rumah ini bahwa mereka tak terpisahkan. Mas Pandji kenapa sih?

Airin merasakan perhatian Pandji yang berlebihan bahkan saat duduk bersama Den Ayu dan Gyandra. Ia menyadari ringisan kecil di bibir Airin yang merasa nyeri di sekitar perut bawahnya sisa persetubuhan siang tadi.

"Sakit, Yang?" tanya Pandji walau dengan suara lirih tapi buat Airin melotot seketika.

Heh! Ngomong apa kamu barusan? 'Yang'?!

Airin makin panik saat Pandji mencoba mengulurkan tangan ke arah perutnya untuk meredakan nyeri yang ia rasakan.

Ia menepis tangan pria itu dengan gugup lalu melirik dua orang lain di meja itu. Mas Pandji apa - apaan sih, bukannya reda, malah malu dilihat orang – orang.

Pandji berhasil menangkap dan menjaga tangan Airin tetap dalam genggaman saat Mbok Marmi datang dengan satu nampan berisi macam - macam minuman hangat. Di luar hujan masih turun, kadang deras kadang tidak, dan menikmati wedang ronde dirasa begitu pas.

Mbok Marmi menyajikan wedang ronde kepada Den Ayu, Gyandra, dan Pandji tanpa kata - kata, kemudian menghidangkan mangkuk hitam yang berukuran lebih kecil untuk Airin. Tidak ada wedang ronde di dalamnya. Airin mendongak pada Mbok Marmi dengan penuh tanya.

"Em, ini apa ya, Mbok?"

"Itu Sari Rapet, Nduk-" sahut Den Ayu penuh perhatian.

Kuah wedang ronde muncrat dari mulut Gyandra. Gadis itu menopang kepala di atas meja, terlalu malu untuk memandang teman di seberangnya.

Setelah terbatuk pelan, Gyandra bertanya, "kenapa dikasih begituan? Emang Airin habis ngapain?"

"Ini bagus untuk kamu, bisa cegah keputihan supaya tetap bersih," lanjut Ibu mengabaikan Gyandra, "sudah dicampur ramuan pegel linu ya, Mi?" Ibu memastikan pada Mbok Marmi yang lalu mengangguk, "supaya badannya ndak nyeri. Hujan - hujanan kan bikin nyeri badan, Nduk. Ayo dihabiskan!"

"Makasih, Bu. Tapi Airin boleh minta wedang ronde aja nggak, Mbok?"

"Boleh," sahut Den Ayu cepat, "tapi habiskan dulu jamunya."

"Harus habis?" tanya Airin resah.

"Harus!" jawab Den Ayu tegas. Senyum semringah Den Ayu beralih pada putra sulungnya, dengan penuh perhatian pula ia menawarkan, "Kangmas mau dibuatkan jamu madu telor? Ayam kampungnya bertelur setiap hari. Jadi selalu seger. Ya, Mi?"

Pandji menggeleng, ini sudah tidak beres, mereka semua terlalu terang - terangan untuk motif yang belum Pandji ketahui.

"Nggak perlu, Bu. Pandji masih kuat."

Masih kuat ngapain? Airin yang sedang berusaha menghabiskan jamu Sari Rapet tersedak hingga cairannya meleleh dari hidung.

"Ampun deh, Sayang..." gumam pria itu.

Ia melirik pasrah pada Den Ayu dan Gyandra yang pura – pura tak acuh saat Pandji berdiri dan menyeka bibir Airin dengan tisu.

Pandjiseolah mengumumkan bahwa Airin adalah kekasihnya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 79.6K 54
Warning 21+ Highest rank #1 in CEO (24 Dec'18), rank #1 in office (18 sept'19), rank #1 in work (2 oct'19), rank #2 in chicklit (12 feb'20), rank #1...
163K 7K 20
Promance Series. Sekuel of Selingkuh dan Cinta Tanpa Rencana. ************ Helga Zahrafani, wanita berumur dua puluh sembilan tahun yang sedang depre...
299K 15.3K 49
(COMPLETED)💓💓💓 Di kala kau tak punya cukup waktu untuk memenuhi hasrat mencintainya. Di kala cinta yang kau harap tulus tak pernah memberikan sed...
272K 13.3K 21
(17/21+) dipublish 31 Juli, 2018 - tamat 8 Januari, 2019 POV 3 [ Sandro & Nina ] Mereka sama-sama buta soal hati. Mereka hanya menerima segala manfa...