Romantic Rhapsody

By beestinson

1.7M 121K 15.3K

Genre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji... More

(1) Intro
(2) (Prolog) : Pengiring Pengantin (lagi)
(3) Masalah itu bernama Gyandra
(4) Takdir sih!
(5) Kencan Pertama (anggap aja gitu!)
(6) Witing Tresno Jalaran Soko Kulino
(7) Selamatkan masa depanmu, Kangmas!
(8) Langkah Pertama
(9) Sst! Kita Jadian.
(10) Pengikatan Jaminan Kredit (21-)
(11) Saya masih punya hati
(12) Galau
(14) Kasta Kamar Mandi
(15) Manak (21+)
(16) Manis Asam
(17) Sulitnya Minta Maaf (21+)
(18) Candy
(19) Sex Education
(20) Bukan Sekedar Ramalan
(21) Kisah Cinta (21+)
(22) Skripsex
(23) "Maka izinkanlah aku mencintaimu" (21+)
(24) Tempat Selingkuh
(25) Pergilah Kasih 1 (21-)
(26) Pergilah Kasih 2
(27) Danuarta (21+)
(28) Skandal
(29) Tujuh
(30) 'April'
(31) Lamaran
(32) Resepsi
(35) R.A Kartika Danuardara (bonus)
EXTRAS

(13) Predator

36K 3.4K 390
By beestinson

Step by step deketin gebetan dengan cara elegan!

Adalah...

Dengan menjadi diri sendiri.

Airin jatuh cinta pada Pandji yang acuh tak acuh, berwibawa, tetap tenang walau godaan iblis terkutuk berwujud Radiantaka alias Kaka melintas di depan wajahnya setiap hari. Ia akui, perbedaan dirinya dan Kaka hanya berada pada nominal aktiva dan pasiva.

Pendapatan bulanan Pandji berkali - kali lipat dibanding Kaka, tapi jumlah cicilan dan segala macam kewajiban pun berkali - kali lipat dibanding konsumsi bulanan karyawannya itu.

Selebihnya, mereka selalu bersaing secara adil. Jam terbang yang bersaing membuat pendekatan yang mereka lakukan pun hampir sama. Belum lagi ketampanan khas yang hampir serupa. Serta pembentukan kotak - kotak di perut yang jumlahnya sama persis. Persaingan ini bisa dibilang cukup adil.

Perbedaannya, Kaka yang empat tahun lebih muda darinya terkadang bebas bermanuver menjadi anak kuliahan, sedangkan Pandji... tidak bisa. Dia boleh bermanuver menjadi dosen. Itu sudah mentok.

Tapi Airin suka yang dewasa, kan? Entah kenapa rasa percaya diri Pandji berkurang.

Di suatu lunch meeting tanpa Airin, ketika mereka sedang sibuk menikmati shabu - shabu, tidak biasanya Kaka memotret panci mengepul yang sudah penuh dengan aneka macam bahan makanan. Mengabaikan lirikan heran anak - anak yang lain di meja. Ia kembali bersandar sembari tersenyum kala mengetikkan sesuatu.

"Kaka mulai aneh," komentar Roro blak - blakan.

"Maklumin aja, pendekatannya ke anak magang nggak main - main tuh kayanya," timpal Wanda sambil menyesap kuah di sendoknya.

Kaka membalik layar ponselnya ke arah Wanda, "lihat deh-"

Tatapan Pandji fokus pada mangkuk di hadapannya, gerakan mengunyahnya pun mantap, tapi telinganya tertuju pada kelompok kecil di sebelah kirinya.

"...kan gue bilang, 'saya sedang makan ini, kapan - kapan mau nggak makan ini?' gue kirim foto nih panci ke dia kan. Terus dia balas gini..." Kaka membiarkan Roro membaca keras - keras sementara ia tersenyum lebar.

"'Mau dibuatin sendiri aja, nggak?', ciye..." sela Roro heboh, "'aku tahu tempat beli bahannya yang enak', wah, gila, Ka. Kalo ada cewek yang mau masak khusus buat kamu, itu levelnya udah di atas tidur bareng-"

"Rosaline!" tegur Djenaka pelan namun tegas, ia melirik ke arah Pandji sekilas, mengingatkan mereka untuk senantiasa menjaga ucapan di hadapan bos. Yah... sekalipun kosakata bosnya juga jarang ada yang benar sih.

Roro tersenyum kering ke arah Pandji yang tak acuh lalu kembali duduk di tempatnya.

Sementara itu Wanda dengan enteng menyarankan, "iyain aja, Ka."

Sialan, Si Wanda!

"Apartemen gue nggak ada alat masaknya, masa gue main ke kosan dia?"

"Rumahku aja," usul Wanda suportif.

Ini Wanda kenapa sih?

"Nggak ah. Nggak bisa macem - macem kalo ada lo."

"Kan aku bisa-"

"Gue gabung dong kalo masak - masak bareng, ntar gue sumbang apalah." Sela Pandji tiba - tiba.

Sontak mereka semua terdiam gugup dan saling melirik. Mau bilang iya, tapi ini kencannya Kaka, mau bilang nggak Si Bos udah terlanjur denger. Lagian Si Bos nggak peka banget jadi orang, begitu kira - kira yang mereka pikirkan saat ini.

Makan siang hampir usai, para perempuan sibuk memesan untuk dibawa pulang sementara para pria duduk minum sake.

"Kalau dilihat - lihat," Djenaka memulai, "Kaka udah nggak pernah lupa pakai pomade sama cukur kumis ya, Pak."

Pandji memindai Kaka lalu mengangguk setuju, "emang lo beneran serius?" tanya Pandji yang berusaha terdengar tak acuh.

Kaka meringis malu, "kayanya gitu sih, Pak."

"Sejauh mana? Satu jengkal di bawah pusar?" ejek Pandji vulgar.

Gurauan itu disambut senyum malu - malu Kaka, "Ya gimana, Pak, anaknya perhatian kaya gini masa mau dibuat main - main?" ia menunjukkan isi obrolannya dengan Airin, lalu berpaling pada yang lain, "kayanya gue bakal tobat duluan deh daripada kalian."

Djenaka tergelak, "bullshit, Ka!"

Pandji menenggak habis sake dalam gelas lalu meletakkannya dengan agak kasar, "iya, Ka. Kasihan anak orang kalau di-PHP, mending dari awal lo jelasin mau lo, kaya biasanya. Gue lihat dia polos banget."

Kaka terdiam memandangi layar ponselnya yang sudah gelap di atas meja, pria itu tampak sama sekali serius, tidak ada garis slengekan di wajahnya.

Ia berpaling pada Pandji dan menjawab, "saya serius, Pak."

Mereka semua diam, bahkan Djenaka pun tidak menimpali dengan bahasa ketusnya yang biasa.

"Gue tahu," ujar Pandji datar, "lo ingin mencoba serius, tapi lo bingung harus mulai darimana. Karena selama ini lo nggak pernah begitu menginginkan perempuan sampai kaya gini, iya kan?"

Kita sama.


Airin melirik jam besar yang tergantung di dinding, waktu menunjukkan pukul enam sore. Hari ini ia terpaksa lembur dan untungnya dibayar. Ia menyampirkan tas ke pundak dan berpikir ulang untuk berpamitan pada Pandji atau tidak.

Setelah menghela napas, ia memutuskan untuk berpamitan seperti biasa, atau mungkin ada motivasi lain ia melakukannya, hanya Airin yang tahu.

Mengetuk pintu dan diijinkan masuk, Airin hanya berdiri di pintu lalu berpamitan. Tapi Pandji memintanya duduk. Airin memandang ke arah meja yang memisahkan mereka, map berisi berkas memenuhi mejanya, dua layar monitor menyala di saat bersamaan, dan secangkir kopi yang masih berasap diletakkan di pinggirnya. Pandji berniat lembur lebih malam lagi, pikir Airin.

Pria itu mencari sesuatu dari dalam lemari pendingin kecil di pinggir ruangan, sebuah kantong plastik hitam dengan logo sebuah restoran disablon pada kedua sisinya. "Buat kamu."

Airin menerima dengan ragu lalu menggumam terimakasih sembari memberi senyum formalnya. Dan Pandji kecewa. Ia mengharapkan lebih dari itu, seperti: 'apa ini, Mas?' atau mungkin yang lebih ekstrim tapi ia rindukan adalah 'ngapain beli ginian sih, Mas? Boros.' Dahulu Airin memenuhi telinganya dengan omelan khas ibu - ibu, seperti mereka sudah berumah tangga bertahun - tahun lamanya. Apakah sekarang ia boleh meminta agar Airin mengomel untuknya?

Karena Pandji hanya diam, Airin berbalik menuju pintu lalu mengucapkan basa basi selamat tinggal. Tapi kemudian Pandji yang masih berdiri di depan mejanya berkata, "saya mau kamu pulang."

"Ini saya mau pulang, Pak," jawab Airin bingung.

Oke... Pandji menghela napas perlahan, sabar, Ji!

"Pulang ke rumah saya, Rin."

Setelah mengatakan itu dilihatnya perubahan mimik wajah Airin dari yang terlihat baik - baik saja menjadi mengerut, bulu matanya bergetar, dan bibirnya melengkung turun. Akhirnya Pandji tahu bahwa masih ada Airin yang sama di balik Airin yang sekarang mengenakan topeng 'biasa saja', gadis itu rapuh dan kecewa.

Tidak menjawab, Airin keluar dan menutup pintu. Pandji tidak mencoba menghentikannya tapi setidaknya ia lega mendapati reaksi Airin. Masih ada kesempatan, masih ada harapan, karena Airin belum sepenuhnya meninggalkan hubungan yang telah ia rusak. Bisa jadi Airin masih tetap berada di sana, di tempat Pandji meninggalkannya. Semoga.

***

"Na," Airin mendatangi Isyana lalu duduk di sisinya yang sedang sibuk membuat laporan usaha minuman kecil - kecilan. Ketika usaha Airin dan Gyandra bangkrut, program kewirausahaan Isyana justru berkembang, seringkali ia merasa iri.

"Eh, baru pulang. Kok suntuk?" tanya Isyana sekilas lalu kembali pada layar monitornya. Ketika Airin hanya diam dan tertunduk lesu, terpaksa Isyana menyingkirkan laptop dari pangkuan, ia melirik bungkusan hitam di atas meja, "apa nih?"

"Shabu - shabu," jawab Airin lirih.

Isyana merapatkan bibir lalu menyentuh pundak Airin, "dari dia?"

Ketika Airin mengangkat wajah dan memandang temannya, satu butir air mata yang sudah ia tahan jatuh, ia pun mengangguk.

"Jangan!" kata Isyana tegas tapi percuma, "jangan menangis untuk dia. Sejak kamu datang, hampir tiap hari mata kamu sembab, Mas Tria juga tahu. Sekarang, sejak magang kamu malah gampang banget nangis. Nggak capek?"

"Aku aja yang cengeng," Airin menyeka wajahnya yang basah.

Isyana mengusap pundak Airin lagi, "kamu belum buka hati ya?"

"Udah kok. Aku nanggepin Mas Kaka, cuma kalau Manusia Itu (Pandji) kasih perhatian ke aku sedikit aja, hatiku ambyar, Na. Aku marah sama dia-"

"Tapi kangen juga?" tebak Isyana paham dan Airin merasa kalah telak.

Mau kamu apa sih, Mas? Putusin aku, pamer pacar baru, terus sekarang suruh aku pulang ke kamu. Hobi banget bikin cewek patah hati. Aku tuh mau ngelupain kamu tahu!

***

"Anak magang mana?"

Telinga Airin berdiri mendengar Pandji mencarinya walau tidak langsung menyebutkan nama. Kepalanya muncul dari balik kubikel saat ia berdiri dengan ragu - ragu, "saya, Pak?"

"Bisa bantu saya sebentar?"

Saat itu Airin yakin melihat senyum iseng di matanya, ia tahu bantuannya tidak benar - benar dibutuhkan, jadi... apalagi sekarang?

"Jangan mau dikancingin Bos di ruangannya lama - lama," bisik Roro usil, "keluar dari sana bisa sambil gendong bayi ntar."

Airin tersenyum enggan ketika melewati kubikel Roro dan mendengar Djenaka menyahut, "kamu mau gendong bayi, Ro?"

"Nggak, Mas!" jawabnya cepat, yakin, dan mantap.

Gendong bayi? Bayinya Mas Pandji? Dih, mimpi! gumam Airin dalam hati saat menutup pintu dari dalam.

Airin sudah berada di dalam ruangan Pandji hingga pukul sebelas demi hal tidak berguna. Pria itu memintanya duduk dan mempelajari proposal di sofa sementara ia bekerja.

"Setelah ini ikut saya visit ya," Pandji berdiri sembari melepas kancing kemeja nomor dua, "ada debiturnya Wanda yang agak - agak resek."

Airin ikut berdiri dengan gugup, lehernya bergerak menelan saliva saat Pandji menggulung lengan bajunya. Teringat ketika lengan berotot itu pernah merengkuhnya dan ia merasa begitu nyaman.

"Kenapa nggak sama Mba Wanda saja, Pak?" tanya Airin yang masih memperhatikan lengan Pandji, "maksud saya, Mba Wanda yang lebih butuh untuk ke sana."

Pandji berjalan mengitari meja dan mengambil kunci mobil serta ponselnya, "masalahnya kemarin Wanda diusir. Wanda emang agak jutek sih, jadi sekarang saya mau cari tahu apa masalahnya."

"Terus saya ngapain, Pak?"

"Oh, kamu nggak mau? Saya atasan kamu lho."

Airin semakin kesal karena di sana tidak seperti yang ia bayangkan. Tadinya ia berpikir akan terjadi perdebatan di antara kedua pria dewasa itu, nyatanya mereka tertawa santai sambil menikmati bir selepas makan siang di sebuah kedai mie dekat kantor Vardy Johan.

"Enak?" tanya Pandji saat Vardy meninggalkan meja untuk sebuah panggilan telepon.

Airin hanya mengangguk sebagai jawaban. Sejak tiba di sana tak sekalipun Airin dilibatkan dalam obrolan yang sifatnya bisnis, dan dari cara Vardy menatapnya pun seakan pria itu sudah menebak apa posisi Airin saat ini, salah satu wanitanya Pandji.

Pandji mencondongkan tubuh lebih dekat dan berbicara dengan nada yang lebih intim, "suka, nggak?"

Airin semakin ciut karena konfrontasi Pandji, ia mengangguk dan mencicit, "iya, Mas-, Pak!"

"Saya kangen dimasakin kamu," aku Pandji tiba - tiba.

Gadis itu menahan napas sembari melirik punggung tangannya yang dibelai oleh jari telunjuk Pandji dengan sangat ringan.

Pria itu begitu manis saat menatap mata Airin dengan tatapan ala anak anjingnya sambil menggigit bibir, "saya kangen lihat kamu di rumah,"

Seakan terhipnotis, Airin hanya memandang seluruh wajahnya, menikmati kedekatan yang membuatnya terlihat bodoh.

"Saya kangen kamu," suara Pandji menjadi serak saat mengatakan itu, dan dengan mudahnya Airin percaya.

Pipinya menjadi merah, perutnya bergolak, pahanya merapat. Ia merasakan hangat di antara kedua kakinya.

"Lo berdua kalo mau balik, silakan," interupsi Vardy, "gapapa. Mumpung masih jam istirahat, kan? Cukuplah..."

Airin langsung membuang muka, betapa malunya ia. Sementara itu ia mendengar Pandji terkekeh gugup di belakangnya.

Godaan Pandji belum berhenti sampai di situ. Airin terkejut saat masuk ke dalam mobil, Pandji menyodorkan plastik berlogo kepadanya.

"Apa ini, Mas?" reflek membuatnya lupa pada dinding formalitas yang ia bangun.

Pandji mengedikan dagunya ke pangkuan Airin, "buka aja."

Ia mendapat es krim resep rumahan rasa coklat yang dijual kedai tersebut. Dahi Airin berkerut bingung, "buat apa?"

"Buat kamu,"

Gadis itu tergelak canggung sambil menyelipkan rambut ke balik telinga, "iya, tapi kenapa?"

"Saya kepingin lihat kamu makan itu-"

Entah kenapa kalimat sederhana itu membuat perut Airin mencelus, pahanya mulai bergerak tidak nyaman di atas jok mobil.

"Kalau mau, harusnya Mas Pandji makan ini sendiri."

Pandji mencebik, "saya nggak mau makan sendiri. Saya mau nikmatinya bareng kamu," Pandji menyalakan mesin mobilnya, lalu memutar kemudi, "tapi nggak sekarang. Kapan - kapan kita beli lagi."

'Kapan - kapan kita beli lagi' terdengar seperti sebuah janji bahwa sesuatu yang nakal tapi manis akan terjadi di masa depan dengan melibatkan es krim coklat. Airin memejamkan mata ketika merasakan sensasi es krim lumer di dalam mulutnya. Bagaimana caranya menikmati ini berdua, sudah pasti bukan sekedar suap - suapan, kan? Jangan, Rin! Kamu cuma dijadikan hiburan buat dia. Jangan tergoda!

Begitu sampai di depan kantor, ia biarkan Airin turun, membiarkan Kaka menghampiri gadis itu. Ia sudahi rayuannya untuk hari ini, semakin agresif hanya akan membuat Airin lari ketakutan. Ia tetap menjaga batas tarik ulur agar Airin kembali penasaran padanya tapi tidak membuat wibawanya jatuh.

"Kamu darimana?" tanya Kaka biasa tapi sorot matanya mengandung cemas setelah melihat Airin turun dari mobil Pandji, "kirain kamu nggak masuk."

Airin berjalan masuk bersama pria itu untuk menyimpan beberapa berkas, "visit, Mas."

"Sama Pandji doang?" tanya Kaka dan Airin mengangguk, "kamu yakin?"

Airin menatap pria itu sejenak sebelum mengangguk, "iya." Kaka nggak perlu tahu kalau ternyata Mas Pandji yang sedang 'visit' ke hatiku.

"Ya udah," pria itu berusaha tidak menekannya, "jadi anterin saya potong rambut, kan?"

Gadis itu menahan diri agar tidak mengernyit bingung saat memandang Kaka, dalam hati ia ngedumel, ini kenapa... lagi?

"Kamu udah janji kemarin," Kaka mengingatkan, "jalan sama Pincab nggak bikin kamu jadi malu jalan sama saya, kan?"

"Hampir lupa aja, Mas."

Kaka mengulas senyum miring menggodanya, "es krimnya cair tuh, buang aja. Nanti kita ke kedai es krim, saya traktir yang paling direkomendasikan."

Airin memandangi mangkuk es krim di tangannya dengan bimbang.

***

Hanya Djenaka yang berani mengajak pimpinannya untuk nongkrong bareng selepas kerja karena ia mampu mengeluarkan uang untuk membayar semua pesanan mereka. Dan ketika Djenaka sudah berinisiatif, itu artinya dia sedang bertengkar dengan Roro.

"Suntuk," ejek Kaka, "pasti gara - gara kerjaan Roro nggak bener nih."

Wajah Djenaka agak memerah pertanda alkohol sedikit mempengaruhinya, "mending nggak bener. Dia nggak mau kerja."

Kepala Kaka tersentak ke belakang dan ia tertawa keras, "udah berapa lama nggak dikerjain Roro."

"Sepuluh hari," jawab Djenaka ketus, ia mengacungkan jari tengah saat Kaka kembali tergelak.

"Roro itu lagi sensi aja, dikiranya si Djeje suka sama anak magang," timpal Riang dengan gaya rempongnya, "soalnya dia kalo ngomong sama Airin sabar banget, giliran sama Roro judes kaya Pak GM Singa."

"Biasanya gimana?" jawab Djenaka malas.

Kemudian Riang menggiring percakapan membahas pendekatan Kaka, ia mengumumkan bahwa Kaka mengalami tanda - tanda revolusi budak cinta.

"Pak, anak buahnya mau tobat nih," sindir Kaka halus, "mohon didukung ya, Pak."

"Tenang aja, Pak Pandji bakal comblangin lo. Ya kan, Pak?" Riang sepertinya berada di pihak Kaka.

Pandji tidak menanggapi, dengan tenang ia membakar ujung rokoknya, "usaha sendirilah. Cowok kan?"

Senyum lebar di bibir Riang kendur menjadi kering. Rahang Kaka menegang saat menatap lurus botol bir berwarna hijau di depannya. Pandji tetap tidak terbaca, mengisap rokok dengan gayanya yang cuek tapi tangannya yang lain terkepal erat. Djenaka memindai ke sekeliling meja dan memperhatikan reaksi mereka satu per satu, menganalisis ketegangan, sekaligus mencari upaya menghindari bentrok. Ini sudah tidak sehat.

Continue Reading

You'll Also Like

163K 7K 20
Promance Series. Sekuel of Selingkuh dan Cinta Tanpa Rencana. ************ Helga Zahrafani, wanita berumur dua puluh sembilan tahun yang sedang depre...
2.8M 39.7K 29
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
516K 23.2K 37
Ini untuk [21+] hanya kisah biasa tentang lelaki di puncak dan orang-orang sekitarnya.
213K 24K 31
Setiap manusia lahir dengan kelenjar susu, tapi kenapa Theo harus lahir sebagai pria yang bisa mengeluarkan susu, ini faktor genetik yang tak pernah...