Romantic Rhapsody

By beestinson

1.7M 121K 15.3K

Genre cerita ini romance 21+ dengan sentuhan kearifan lokal. Tentang seorang darah biru bernama Raden Pandji... More

(1) Intro
(2) (Prolog) : Pengiring Pengantin (lagi)
(3) Masalah itu bernama Gyandra
(5) Kencan Pertama (anggap aja gitu!)
(6) Witing Tresno Jalaran Soko Kulino
(7) Selamatkan masa depanmu, Kangmas!
(8) Langkah Pertama
(9) Sst! Kita Jadian.
(10) Pengikatan Jaminan Kredit (21-)
(11) Saya masih punya hati
(12) Galau
(13) Predator
(14) Kasta Kamar Mandi
(15) Manak (21+)
(16) Manis Asam
(17) Sulitnya Minta Maaf (21+)
(18) Candy
(19) Sex Education
(20) Bukan Sekedar Ramalan
(21) Kisah Cinta (21+)
(22) Skripsex
(23) "Maka izinkanlah aku mencintaimu" (21+)
(24) Tempat Selingkuh
(25) Pergilah Kasih 1 (21-)
(26) Pergilah Kasih 2
(27) Danuarta (21+)
(28) Skandal
(29) Tujuh
(30) 'April'
(31) Lamaran
(32) Resepsi
(35) R.A Kartika Danuardara (bonus)
EXTRAS

(4) Takdir sih!

43.8K 4.5K 476
By beestinson

Walau dengan perasaan super kesal, Airin tetap merapikan kasur gulung yang akan ia pakai malam nanti, ia melirik pada kasur gulung milik Gyandra yang masih tidak tersentuh dan berusaha untuk tidak peduli. Malam ini mereka akan mulai hidup dalam perjuangan yang sebenarnya. Gyandra harus belajar mandiri jika ingin bertahan.

Setelah itu ia mengambil bungkusan nasi goreng yang dibelinya di pinggir jalan. Ia harus tetap hidup jika ingin menyelesaikan urusan ini. Tujuan Airin tidak muluk, setelah balik modal ia akan segera angkat kaki dari bisnis malapetaka ini. Ia berjanji.

Sebaliknya, Gyandra yang super optimis kali ini seperti kehilangan arah, ia terus menggenggam ponselnya dan menanti bala bantuan yang tak kunjung datang.

Tapi kemudian ponsel itu berdering, Gyandra belum mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya diam mencermati setiap kata yang diucapkan si penelepon.

"Gue baru pulang kerja. Lo dateng ke rumah sekarang, buat gue percaya alasan lo butuh tempat tinggal, buat gue berubah pikiran dan mau bantuin lo, atau mending lo pulang ke rumah bareng Ibu, nggak usah kuliah sekalian!"

Gyandra melirik Airin yang sedang makan dengan lahap, "oke, gue bawa sesuatu yang bisa mengubah pikiran lo."

Gyandra dan Airin berjalan melewati pos penjagaan, setelah laporan mereka diijinkan masuk ke kawasan perumahan itu. Lumayan jauh dan melelahkan karena mereka menggunakan angkot, sepeser uang sangat berharga bagi Airin saat ini, ia menolak menggunakan taksi online.

Gyandra melirik temannya yang polos, Airin menggenggam kantong berisi nasi dan ayam bakar yang dijual di dekat kampus dengan harga mahasiswa. Ia membeli itu untuk kakak Gyandra. Si polos Airin berpikir, karena kakaknya baru pulang kerja tentu saja belum sempat makan. Padahal saat Airin mengusulkan ide membawakan ayam-dekat-kampus Gyandra memikirkan jenis 'ayam' yang berbeda. 'Ayam' yang tentu saja lebih disukai kakaknya.

"Jadi kakakku ini orangnya asyik banget. Biasanya sih kalau aku butuh pendapat soal sepatu, dia ahlinya." Gyandra memecah keheningan.

"Oh... seru ya, bisa gitu."

"Kamu nggak perlu sungkan, dia orangnya perhatian kok, cuma kaya nggak mau kelihatan perhatian aja. Gengsi gitulah."

"Udah nikah?"

"Belum," Gyandra bergidik teringat tunangan kakaknya, "padahal udah tua. Kayanya terlalu sibuk sama karir. Karirnya bagus sih."

Airin tersenyum paham, "persis seperti itu yang aku mau, Gy. Kalau karir bagus kita bisa bantu - bantu orang lain, seperti kakak kamu sekarang."

"Kamu nggak masalah telat nikah? Perempuan lho, Rin!" Gyandra mengingatkan.

"Nggak masalah," Airin menggeleng, "kalau memang jodoh kan pasti ketemu. Asal, kalau jodohnya udah datang, jangan ditolak. Bisa jadi perawan tua."

Gyandra menyeringai bodoh, "oh... bener, bener, bener!"

Airin menahan lidah saat akan menjilat bibirnya yang berlapis lipgloss rasa buah, ia mengernyit bingung, "Gy, kenapa tadi aku harus pakai lipgloss?"

Pandangan Gyandra turun sebentar ke bibir Airin yang berkilau, sejenak merasa bersalah, ia memalingkan wajah kembali ke depan. "Tadi bibir kamu kering banget. Agak terkelupas."

Airin merapatkan bibir lalu terkekeh pelan, "makasih ya, udah diingetin. Belakangan sering lupa."

Diam - diam Gyandra meringis dalam hati, yah... dia pakai bilang makasih lagi!

"Kakakmu udah tahu kalau aku juga mau datang?"

"Em... belum sih. Ini baru mau bilang."

Airin mengerutkan hidungnya mengingat kembali kondisi kamar darurat mereka yang bisa dibilang tidak layak. "Semoga aja kakakmu nggak keberatan ya, Gy. Aku bisa bantu - bantu dia masak, atau bersih - bersih rumah, atau cuci baju. Bilang aja, aku bersedia."

Mata Gyandra membulat, "seriusan, Rin?"

"Kan kita numpang tuh di rumah dia, masa aku diem - dieman aja kaya parasit."

"Kalau aku niatnya gitu sih, Rin," timpal Gyandra tanpa merasa bersalah, "aku mau fokus ke bisnis."

Airin berdecak pelan, capek juga bicara dengan orang tidak peka.

Mereka tiba di sebuah rumah modern minimalis yang cukup besar untuk ditempati satu orang. Tamannya terawat, seragam dengan rumah yang lainnya. Sebuah mobil Juke berwarna kuning diparkir di carport. Warna yang cukup trendi, pikir Airin, sudah pasti kakak Gyandra berjiwa muda.

Airin berdiri di belakang Gyandra saat gadis itu memencet bel. Dan ketika terdengar anak kunci diputar, Gyandra berkata, "Kum!"

Saat pintu dibuka, Airin muncul dari balik tubuh Gyandra dengan senyum sisterhood termanisnya dan mengucapkan salam versi lebih panjang, "Assalamualaikum, Mba-" tapi kemudian dahinya mengernyit ngeri, "Mas?"

Pandangan pria di balik Gyandra bergeser dari adiknya ke wajah Airin. Pria itu tidak benar - benar tersenyum, namun dari sorot matanya Airin tahu pria itu sedang menertawakannya.

Pilih sepatu bareng. Karir bagus. Telat nikah. Perhatian. Tadi Airin bilang, persis seperti itu yang ia mau karena ia berpikir kakak Gyandra adalah seorang wanita modern. Tapi ini, jangankan seorang wanita, jelas - jelas yang berdiri di pintu adalah pria. Dan bukan sembarangan pria. Bagaimana bisa Pandji yang berdiri di sana? Bagaimana bisa Pandji menjadi kakak Gyandra?

Airin resah, apakah Tuhan juga mendengar ocehannya soal jodoh saat di parkiran gedung resepsi? Juga ocehannya di jalan saat menuju kemari? Apakah Tuhan marah?

Gadis itu mengerjap pelan, Tuhan... soal jodoh itu... aku nggak serius. Mohon dimaafkan. Amin.

"Masuk!" pria itu mempersilakan mereka masuk lebih dulu.

Ketika melewati tubuh besarnya, Airin berusaha menahan napas agar tidak menghirup wangi maskulin Pandji. Masih dalam setelan kerja walau kemejanya sudah tidak disisipkan, rambut cepak yang ditata rapi dengan gel, dan campuran aroma keringat, cologne, dan tembakau entah mengapa menjadi perpaduan yang membuat Airin waspada. Pandji bahkan terlihat lebih menggiurkan dibanding dalam balutan beskap.

Ya Tuhan, kalau begini ceritanya mana bisa tahan, jerit Airin dalam hati. Hei, Tunangan Orang, kenapa kamu ganteng sekali sih?

"Lo udah makan belum?"

Airin mendengar Gyandra bertanya lalu pria itu menjawab, "kenapa emang?"

"Temen gue beliin lo makan. Gue bilang lo baru pulang kerja, jadi dia pikir lo belum makan." Jelas Gyandra, "eh, kenalin, ini teman sepermasalahan gue, namanya Airin." Gyandra menoleh pada Airin, "ini kakak aku namanya Pandji. Tahun ini dia tiga puluh dua-"

"Ya udah-" sela Pandji cepat walau masih tenang, "taruh aja di meja." Pandji menatap Airin sebelum mengucapkan, "makasih ya."

Pandji menahan pekik kemenangan saat mendapati pipi Airin memerah, lucu sekaligus cantik. "Sama - sama, Mas. Tapi itu porsinya nggak banyak, tadinya aku pikir kakaknya Gyandra... cewek."

Gyandra tercengang, "kok bisa, Rin?"

Pandji sangat menikmati pemandangan kala gadis itu meringis dan bergerak tidak nyaman di atas sofanya. Bibirnya yang berkilau berkata, "kita berdua cewek, terus kamu pengen kita numpang di sini, aku pikir kakak kamu cewek. Belum lagi tadi cerita tentang sepatu," Airin menangkup wajah dan jemari lentik itu terlihat oleh Pandji, sedikit mengusik gairahnya, "Udah ah! Malu."

Tanpa riasan ala pengiring pengantin yang tebal, Pandji menyadari betapa mudanya gadis itu. Mimik wajah alaminya menyiratkan kepolosan, tidak berpengalaman, tapi sekaligus menyimpan keingintahuan yang besar. Jika dia dan Gyandra seumuran, itu artinya ada jarak sepuluh tahun membentang di antara mereka. Apakah Airin akan cocok untuk sebuah hubungan kasual? Atau lebih gampangnya hubungan tanpa memikirkan masa depan alias jalani saja?

"Lo bikin masalah apa, Gy?" akhirnya Pandji menopang kedua siku di lutut dan mendadak serius.

Gyandra menarik napas dalam - dalam sementara Airin meremas - remas tangannya sendiri.

"Jadi gini..."

***

Selesai bercerita panjang lebar yang anehnya tidak ditutupi kebenarannya sedikitpun oleh Gyandra—hanya tidak mengucapkan beberapa fakta, Pandji mengalihkan perhatian pada Airin.

"Berapa uang kamu, Rin?"

Bingung, Airin berpaling pada Gyandra meminta petunjuk, tapi temannya mengunci mulut rapat. Ia pun kembali menatap Pandji.

"Kenapa ya, Mas?"

"Saya sudah buat keputusan. Ini solusinya: Airin bakal balik ke kampus lanjutin kuliahnya sampai lulus sesuai rencana awal. Dan lo-" telunjuk besar Pandji mengarah pada adiknya, "pulang ke rumah. Jagain ibu."

"Kuliah gue gimana, Ji?" tak butuh waktu lama untuk mengembalikan sikap kurang ajar Gyandra.

"Gue nggak tahu. Entah dilanjutin kalau gue ada duit lagi, atau kalau emang harus, kuliah lo sampai segini doang, Gy. Keperluan gue banyak."

Kedua alis Gyandra terangkat tinggi dan ia berdiri, "well, terserah kalau lo mau ganti rugi duit Airin. Tapi gue nggak bakal pulang ke rumah, gue punya urusan di sini yang bakal gue atasi sendiri. Lo nggak perlu tolong gue."

"Duduk!" perintah Pandji dengan nada tenang berwibawa dan Gyandra kembali duduk. "Airin, saya usahakan uangnya sudah ada besok, jadi sekarang kamu bisa pulang."

Nah, ini dia, Airin menatap pria itu, ini cara takdir mengejekku. Dia pertemukan aku dengan Pandji lagi hanya untuk melihat betapa gagahnya pria itu dan betapa aku masih menginginkannya, tapi kemudian dia memisahkan kami lagi.

"Pulang ke mana, Rin?" Gyandra bertanya pada Airin tapi sambil memandang kakaknya, "kalau lo suruh dia pulang malam ini artinya dia bakal tidur di gudang, di lantai dua ruko yang kita sewa, penuh dengan produk gue."

Apa yang bisa dilakukan sekarang? Pandji tidak punya uang yang bebas dibelanjakan setelah membayar tiket pesawat Kartika pulang-pergi ke Melbourne, juga membayar kewajiban kuliah Gyandra, ia sudah kehabisan limit.

Kalau semesta memang ingin mereka berada begitu dekat, apalah hak Pandji untuk menolak? Mungkin ini yang terbaik bagi mereka berdua.

Pandji mengeluarkan sekotak kondom dari saku celananya sebelum duduk. Pengaman itu ia beli dalam perjalanan pulang dari kantor. Malam ini Pandji akan tidur di hotel yang berada tak jauh dari bandara, besok Kartika sudah harus kembali.

Menimbang untung-rugi, menghabiskan malam bersama tunangannya selama tiga hari masih tidak sebanding dengan jumlah yang ia gelontorkan untuk tiket pesawat wanita itu. Malam ini, paling tidak ia harus menghabiskan sekotak kondom isi tiga lagi dengan Kartika.

'Gue ke sana sekitar jam sebelas. Lo tidur aja dulu.' -Pandji

"Mas, jadi makan?" Airin berdiri menghalangi televisi, jaket besarnya telah digantung di balik pintu kamar. Gadis itu makin menggemaskan dengan kaos pendek yang sudah pudar. Betapa ranumnya tubuh muda itu, pikiran Pandji berkelana ke sana dan ia kepanasan seketika.

Pandji masih menggenggam ponselnya, "jadi."

Pandji mengawasi gadis itu mengambil bungkusan di atas meja lalu pergi ke dapur. Lantas ia meraih kembali kondom dari atas meja kemudian disimpan ke dalam saku kemejanya. Airin sempat lihat nggak ya? Renung Pandji.

Kemudian Airin kembali dengan makanan sudah tersaji plus segelas penuh air minum. Pandji mencoba mengingat, kapan terakhir kali ia dilayani seperti ini? Tentu saja saat pulang ke rumah ibunya.

"Cuci tangan dulu, Mas."

Mengerjap, Pandji sadar telah memperhatikan Airin terlalu lama. "Kamu nggak makan juga?"

"Tadi sudah, makan nasi goreng." Airin duduk di sisinya lalu menatap ke layar kaca. Apakah gadis itu berniat menemaninya? Sudah seperti ibu saja, pikir Pandji.

"Kamu pasti kesel banget," kata Pandji saat ia tengah menikmati ayam bakar ala mahasiswa yang mengingatkannya saat menjadi mahasiswa dulu.

"Kesel kenapa?"

"Kesel ketemu saya lagi."

Pandji hampir mati gaya saat Airin hanya memperhatikan wajahnya dan kalau tidak salah berhenti di bibirnya agak lama. Tak lama bibir berkilauan itu tersenyum, membuat titik di antara alis Pandji pening. Bagaimana bisa ia pening hanya karena senyum manis seorang gadis. Sialan!

Airin bersandar pada sofa, rambut panjangnya mengalir seperti anak sungai mengikuti lekuk payudaranya, entahlah... pengamatan Pandji tidak pernah jauh dari itu.

"Aku nggak tahu ini namanya apa, Mas." Mata bening Airin bergerak menatap langit - langit membuat Pandji leluasa menikmati setiap lekuk wajah Airin tanpa ketahuan, "waktu kamu tanya gimana caranya hubungi aku tuh, aku berpikir, buat apa? Maksudnya pertemanan seperti apa yang mungkin terjadi di antara kita. Kamu bukan teman kampus aku, aku juga bukan teman kerja Mas Pandji. Kita juga nggak gabung di komunitas yang sama. Kita cuma ketemu di pesta terus udah," dengan manisnya Airin memiringkan wajah setengah mengantuk itu dan memandangi Pandji, "apalagi kamu sudah punya tunangan. Rasanya salah aja kalau aku punya nomor kamu atau sebaliknya."

"Bedanya dengan sekarang?" Pandji mengambil minum tanda ia menyudahi makan malamnya.

Airin mengulurkan tangan merapikan sisa makan pria itu sambil menjawab, "kalau sekarang aku punya banyak alasan untuk simpan nomor Mas Pandji. Pertama, kamu kakak teman sepermasalahan aku. Kedua, kamu yang punya rumah tempat aku numpang tinggal."

Ketika Airin pergi ke dapur untuk mencuci piring, Pandji memandangi gelas di tangannya dan merasa punya alasan untuk menyusul gadis itu ke dapur.

"Kalau saya nggak butuh alasan untuk simpan nomor handphone kamu." Ia mencuci tangan di keran yang sama dengan Airin, dan kini tubuh mereka nyaris bersentuhan, "Dan seharusnya kamu nggak perlu cari - cari alasan untuk melakukan apa yang kamu inginkan. Apalagi kamu masih muda. Alasan yang paling penting adalah karena kamu mau, bukan karena orang lain yang mau."

Walau sudah tidak ada urusan dengan keran air, keduanya masih belum beranjak dari sana, bahkan tidak bergeser barang sesenti pun. Mungkin mereka memang menikmati momen berbicara dari jarak sedekat ini.

"Kalau alasanku ternyata menyakiti orang lain," gadis itu memiringkan wajah ke atas, menatap Pandji yang lebih tinggi, "gimana, Mas?"

Pandji membuka mulut hendak menjawab tapi kemudian terpana pada bibir merah muda basah yang berada pada jarak sekali raup. Kapan kiranya ia bisa menikmati bibir itu? tanya Pandji penasaran. Airin sudah ada di sini dan frekuensi mereka terlalu sama, bukan sejajar tapi bahkan berada di satu titik yang sama, mereka akan saling memiliki cepat atau lambat. Dan mengingat kelihaian Pandji, sepertinya memang tidak lama lagi.

"Nggak ada alasan yang adil bagi semua orang. Yang penting tanggung jawab. Kamu sudah dewasa, harusnya sudah tidak takut untuk mengambil tanggung jawab atas segala tindakanmu."

Pandji menahan senyum melihat respon Airin, gadis polos itu jelas terkesima dengan jawabannya.

Tapi Airin memang terkesima. Begini rasanya berteman dengan pria dewasa. Manipulatif tapi logis. Mereka tahu apa yang mereka inginkan, juga tahu bagaimana cara mendapatkannya. Jujur saja... Airin semakin menyukai Pandji selain sikap misteriusnya yang bikin gemes itu.

"Mas Pandji tuh sama kaya Gygy. Berani, nekat. Bedanya, Mas Pandji bertanggung jawab dan selalu punya alasan logis."

Pria itu tersenyum miring, "makasih pujiannya."

Airin terkesiap karena merasa tidak memujinya, "masa?"

Pandji menjawab dengan senyum yang semakin membuat wajahnya sempurna ditambah dengan satu alis yang bergerak naik.

Sontak pipi gadis itu memerah dan ia tersenyum canggung saat menjauhinya. Ia harus pergi sebelum meleleh di kaki pria itu.

"Airin tidur dulu, Mas."

"Saya suka setiap kali pipi kamu jadi merah," cetus Pandji, semakin malam semakin berani, "lucu."

Senyum canggung di bibir Airin lenyap, pupil matanya melebar dan napasnya menjadi berat, ia menggigit bibir bawahnya spontan tanpa maksud apapun. Ia hanya sedang meredam sesuatu dalam dirinya.

Segera berbalik, Airin mengipasi diri sambil meracau sebelum masuk ke dalam kamar, "dapurnya panas ya."

Pandji yang masih bertahan di depan sink pun tidak lagi tersenyum, ia sangat memahami situasi ini walau sebenarnya agak takjub. Seharusnya saling menggoda secara verbal sudah tidak berdampak apa - apa pada dirinya, ia membutuhkan paling tidak sedikit sentuhan untuk membuatnya panas bergairah seperti ini.

"Bukan dapurnya yang panas, tapi kita."

Saat menapaki anak tangga ke lantai dua, ponselnya berdering.

"Ji, lo di mana sih? Udah jam sebelas lewat. Jadi dateng nggak?" omel Kartika dari kamar hotelnya.

Pandji memejamkan mata dan menarik napas, terasa kotak kemasan kondom di dadanya yang meregang. Dia teralihkan.

"Besok ketemuan di bandara aja, Ka. Gue nggak datang malam ini."

Dengus Kartika menandakan bahwa ia tersinggung, sebelum ini tak ada satupun alasan yang mampu menggeserkan kedudukannya yang penting bagi Pandji.

"Lo yakin?" tanya wanita itu ketus, "jadi ini yang lo lewatkan karena anggurin gue malam ini-"

Pandji melanjutkan langkah menuju kamar sambil memijat batang hidungnya.

"Blow job dan kesempatan klimaks di mulut gue, seks di depan cermin seperti yang lo suka, lo yakin rela lewatin semua ini...? lick my nipple, squeeze my boobs, suck my-"

"Oke!" Pandji menyela saat ia membuka pintu kamarnya, "lo tidur, Ka."

"Ji-" tegur Kartika serius, "gue nggak merasa aman dengan jalang yang lo bawa sekarang."

"Terserah." Pandji menutup panggilan sepihak lalu masuk ke dalam kamar.

Di kamar sebelah, Gyandra masih menempelkan telinga kanan di panel pintu dan handphone di telinga kiri.

"Terus sekarang gimana?"

"Biarin aja semua terjadi secara alami."

"Apa yang bakal terjadi?" tanya Gyandra bingung, "Airin dan kakak gue?"

"Ya lo lihat kan, mereka berdua udah lirik - lirikan kaya bocah dijodohin."

"Hubungannya sama gue apa, Ta?"

"Urutannya: kakak lo bahagia, lo bahagia, gue cabut dari hidup lo."

"Gimana ceritanya kakak gue bahagia sama Airin? Dia punya tunangan, woy!" Gyandra mengerjap ketika mendapati sunyi, "Yuta? Kok hilang? Sialan!"

Continue Reading

You'll Also Like

163K 7K 20
Promance Series. Sekuel of Selingkuh dan Cinta Tanpa Rencana. ************ Helga Zahrafani, wanita berumur dua puluh sembilan tahun yang sedang depre...
299K 15.3K 49
(COMPLETED)💓💓💓 Di kala kau tak punya cukup waktu untuk memenuhi hasrat mencintainya. Di kala cinta yang kau harap tulus tak pernah memberikan sed...
3.2M 270K 42
Mikha and Donny never imagine that one kiss can lead to another story. The thing is, they have their own secret eventhough they enjoy each other comp...
6.1M 167K 24
(Di hapus sebagian untuk kepentingan penerbitan) warning 18+ oktober 2020