Jodoh Gak Kemana [Re-publish]

By kyurara

2.5M 77.8K 4.2K

Dilamar oleh lelaki yang ingin kau nikahi itu biasa. Apalagi jika sudah mengenal sejak lama dengan perasaan y... More

Sinopsis
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3a
Bab 3b
Bab 4
Bab 5
Bab 7
Bab 8
Special Edition --- (Rayuan Gombal)
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12-1
Bab 12-2
Bab 13
Bab 14
Bab 15 a
Bab 15 b
Bab 15 c
Cek Mulmed ya ^^
Akun sosmed Ata
Diskusi Versi Cetak
Bab 16 A

Bab 6

57.8K 3.4K 100
By kyurara

"Gimana honeymoon-nya?" tanya Ella penuh semangat.

Saat ini aku, Ella, Rara dan Dino sedang berkumpul di rumahnya Ella. Kumpul-kumpul sekaligus membagikan oleh-oleh untuk mereka. Dino sengaja ingin ikut bergabung bersama kami karena dia bilang tidak sabar lagi ingin menerima bagiannya. Padahal aku tahu sekali apa yang dia inginkan sebenarnya. Pengin bertemu dengan Rara, sang pujaan hati sejak SMA.

"Pasti service-nya bagus," tukas Dino yang langsung dihadiahi lemparan kulit jeruk oleh Rara.

"Emangnya badminton," sungut Rara sebal.

Well, suasana ruang duduk yang hangat ini terasa semakin panas saja berkat kehadiran dua anak manusia ini. Terkadang aku heran dengan mereka berdua, pernah sempat terjalin kisah asmara, putus, dan kini kerjaannya berantem melulu.

"Lha, memang begitu toh. Ya kan, Fa?" Dino menoleh padaku dengan cengiran jailnya. "Kalau nggak, mana mungkin Althaf mau bermalam di London setelah mereka selesai dengan segala urusannya di Oxford. Apa coba alasan yang paling tepat kalau bukan karena mereka mau menikmati lagi malam panas yang...."

Pukk!!!

Sebuah bantalan sofa menghantam wajah Dino. Tapi kali ini berasal dari Ella.

"Ada anak kecil di sini, mulut lo," tegurnya dan Dino langsung refleks membekap sendiri mulutnya.

"Tapi kan baby Kai masih kecil. Dia pasti belum ngerti sama apa yang kita bahas," bisik Dino pelan sambil mengamati Kai kecil yang sedang mencoba mengunyah buah-buahan yang diberikan Rara untuknya.

"Memang, tapi alam bawah sadarnya mendengar. Gue nggak mau ya anak gue nanti gedenya mesum kayak lo," balas Ella lalu mengunyah jeruk yang tadi ada di tangannya.

Dino mendengus pelan lalu mengalihkan pandangan ke arahku serius. "Jadi gimana, Fa? Althaf maennya kasar atau penuh dengan kelembutan?"

Pertanyaan Dino benar-benar bikin mukaku terasa panas.

"Lo kalau penasaran kawin sana," tukas Rara sambil meraih tisu yang ada di atas meja di hadapannya.

Ini tadi perasaan suasana masih adem-adem saja, kenapa sejak Dino muncul Rara malah jadi semakin jutek?

"Belum ketemu sama yang pas, Beb," jawab Dino sambil mengedipkan mata.

Rara bergidik geli menatap Dino yang duduk di hadapannya, kemudian kembali bersandar pada punggung sofa.

"Ini kalau dilihat Ares bisa babak belur si Dino," bisik Ella padaku yang langsung kuamini dengan anggukan setuju.

"Beb, bebek maksudnya? Wah nggak sopan kamu, Ay." Rara menatap Dino dengan senyum sinis. Tapi pria itu malah menyambutnya dengan senyum lebar di bibir karena mendengar panggilan 'Ay' untuknya.

"Babe, bukan bebek, Nyonya. Mana mungkin aku bisa tega manggil kamu bebek."

Rara mencibir jijik mendengar penjelasan mantan pacarnya itu.

"Lagipula kan kamu masih panggil aku Ay," goda Dino.

"Lo jangan senang dulu, Din, Ay itu kan singkatan dari Ayam. Lo lupa sama nama lain lo itu?" ujarku yang langsung membuat senyum di wajah Dino memudar tapi berhasil membuat Rara terkekeh puas.

"Rambut gue kan nggak kayak pial ayam lagi sekarang, kenapa masih dipanggil begitu sih? Kan udah nggak jaman lagi rambut dipakein gel terus diberdiriin ala Mohawk," ujarnya dengan wajah ditekuk lucu.

Muka cemberut Dino membuat kami bertiga tertawa senang. Rasanya baru kemarin melihat Dino yang berjalan masuk melewati pintu kelas dengan rambut yang ditata sedemikian rupa dan mengeras kaku, tapi kini dia sudah berubah menjadi dokter yang tampan.

"Omong-omong, jangan ngalihin pembicaraan dulu. Gue serius nih, gimana malam-malam yang terlewat saat di negeri penjajah itu? Apakah segalanya sukses?" tanya Dino tanpa menyerah padaku.

Ini anak kenapa jadi kepo banget sih? Atau jangan-jangan dia yang ngasih pelajaran buat Ata soal 'itu.' Jadi dia sengaja nanya karena pengin tahu apakah anak didiknya itu sukses melaksanakan pelajaran yang diberikannya atau tidak.

Argh... Aku nggak mau mengingatnya sekarang. Kejadian malam itu saat di London... Malam romantis dengan pemandangan indah dari jendela hotel. Hyaaa... Maluuu... Bisa-bisa aku berakhir dengan memasang wajah mesum di hadapan mereka semua sekarang.

"Nggak usah lo tanya, dari wajahnya saja sudah bisa dilihat kok, Din," seru Ella sambil menatapku geli. "Lihat tuh mukanya memerah."

Sialan. Sebelum bisa menyimpannya rapat-rapat mukaku ternyata telah lebih dulu berkhianat.

"Aha! Ya... ya... ya... Bisa gue lihat," seru Dino sambil menganggukkan kepalanya setuju. "Ah... Althaf, pelanan sedikit dong. Iya kayak begitu, tapi jangan terlalu cepat ya. Iya... iya... begitu... ah... uh... ah—"

Puuk! Kali ini sebuah jeruk menghantam jidatnya.

"Jijik tau nggak!" Sungut Rara dengan tatapan membunuh. "Kayak ada yang lagi muter blue film di sini."

Dino mengusap dahinya sekilas lalu membungkuk untuk memungut jeruk yang tadi terjatuh dari kepalanya. "Kan becanda, Beb," ucapnya dengan cengiran lebar lalu mengupas jeruk yang ada di tangannya.

Kai yang sedang duduk di dekat Rara melongo melihat adegan lempar buah yang terjadi barusan. Dengan lucunya kemudian dia mengambil irisan apel dari dalam piring yang disediakan untuknya lalu melempar buah tersebut ke arah Dino juga. Tapi karena keterbatasan tenaga, buah itu jatuh sebelum mengenai sasaran.

"O... o... o... anakku sayang. Bagus ya kalian. Terus saja memberi contoh yang nggak bener untuk bocah ini. Bagus." Ella mengomel lalu mendekati Kai dan menasehatinya agar tidak boleh membuang makanan sembarangan.

Tapi meskipun mendapat teguran serius dari mamanya, baby Kai malah tertawa senang. Memperlihatkan tiga buah gigi bawah dan dua gigi atasnya yang baru tumbuh.

Aaah... dia belum mengerti apa-apa memang.

"Ganteng, apa yang dilakukan tante cantik tadi jangan ditiru ya. Tante cantik itu hormonnya lagi nggak stabil, makanya dia marah-marah kayak manusia purba," ujar Dino pada si kecil Kai sambil mengangkat jari telunjuknya memberi peringatan.

Mendengar itu, Rara menjadi semakin emosi dan meraih satu buah jeruk lagi dari atas meja lalu bersiap kembali melemparnya ke arah Dino. Tapi beruntung hal itu tertahan oleh tatapan membunuh Ella.

"Kai, dengerin oom ya." Dino membungkuk dari sofa yang ia duduki agar bisa sejajar dengan Kai yang duduk berseberangan dengannya. Si kecil itu menatap Dino ingin tahu. "Itu di dalam perutnya tante cantik kan ada dedek bayi, nah sekarang angkat tangan dan mari kita berdoa semoga nanti kalau lahir dedeknya nggak galak kayak mamanya. Terus kalau nanti perempuan harus tumbuh dengan cantik supaya bisa nikah sama oom Dino, amin."

"Lo bilang apa? Nikah sama anak gue? Enak saja." Rara memajukan duduknya dan seketika meraih kepala Dino yang membungkuk di atas meja. Dijambaknya rambut pria itu hingga Dino mengaduh sakit.

"Aaakk... Sakit! Sakit, Bu dokter. Aduuh... serius ini rasanya kulit kepalaku ikutan lepas." Dino merintih saat Rara melepaskan cengkeramannya. "Gimana kalau aku jadi botak? Entar nggak ada yang mau lagi sama aku, Beb."

Baby Kai dan aku tertawa bersamaan melihat tingkah keduanya, sementara Ella hanya menggeleng pasrah.

"Serius ini kalian berdua, kalau nanti Kai besarnya jadi sedikit barbar gue tahu harus menuntut pada siapa," geram Ella. "Dan kamu Ra, ibu hamil nggak baik marah-marah begitu."

Rara menatap Dino sebal lalu kembali bersandar di tempat duduknya. Sementara Dino hanya cengar cengir tidak jelas sambil mengusap kepalanya.

"Kembali ke pertanyaan gue tadi..." Dino tiba-tiba saja kembali menoleh kepadaku.

Sial!

Bukannya kepala dia masih sakit? Kirain sudah lupa. Kalau tahu begini sih lebih baik tadi dibenturin ke meja saja sama Rara, biar amnesia sekalian.

"Jadi gimana rasanya, Bu guru? 'Oh Althaf, cintaku sejak SMA. Jangan berhenti please...' gitu ya?" tanyanya sambil membuat gerakan ala drama abad ke-sembilan belas.

Tunggu, dia bilang apa barusan? Cintaku sejak SMA?

Tau dari mana dia?

Aku tak bisa lagi menahan keinginan untuk tidak mencekiknya saat ini. Karena Dino duduk di dekatku, dengan mudah kerah kemejanya berhasil kuraih.

Sepertinya bukan aku saja yang terkejut mendengar kalimat tersebut. Ella dengan muka syok-nya menatap Dino seperti ketika seorang saksi bertemu dengan tersangka yang masih buron—mulut setengah terbuka dan seperti akan bilang 'Nah, itu dia orangnya!'—dan Rara melihati kami dengan dahi terlipat penasaran.

Keinginanku untuk mencekiknya sebagai makhluk pencuci otak Ata yang membuat suamiku itu kini berubah menjadi mesum semakin bertambah berkali-kali lipat sekarang. Kenapa? Karena dia-lah tersangka penyebar informasi berharga mengenai sejak kapan aku telah menyukai suamiku itu.

Rupanya Ata mendapat informasi itu dari si Ayam ini. Tapi sekarang pertanyaannya adalah sejak kapan Dino tahu mengenai hal itu?

"Apa maksud lo soal 'cintaku sejak SMA' itu?" tanyaku dengan menggenggam erat kerah kemejanya.

Dino beringsut mundur sehingga lepas dari cengkeramanku. "Loh, bukannya sejak SMA lo memang sudah suka sama dia?" tanyanya dengan wajah tak berdosa.

Ella terkesiap pelan tapi buru-buru menyembunyikannya dengan dehaman pelan. "Emang lo tahu dari mana, Din?" tanya Ella penasaran.

"Lah, lupa lo kalau kelas tiga dulu gue duduknya di belakang kalian? Waktu itu sih nggak sengaja aja denger kalian cerita," tuturnya dengan santai. Tidak tahu kalau saat ini aku semakin ingin mencekik lehernya karena telah membocorkan rahasia terbesarku. Ternyata telinga Dino ini lumayan panjang juga sampai-sampai dia nyaris tahu segala hal.

Saat aku sedikit berdiri dari duduk untuk meraih tubuh Dino, suara Rara menyela hingga membuatku kembali duduk dan merasa bersalah.

"Jadi selama ini ada yang nggak aku ketahui ya?" sindirnya padaku dan Ella. Matanya menatap sinis kami berdua. "Ooo... Jadi begitu ya. Hmmm...."

"Eee... maaf, Darling. Itu dulu sebenarnya..." Kulirik Dino sekilas dan ia tersenyum geli padaku.

Sialan, masih bisa ketawa juga nih orang.

Ella juga tampak ingin mengatakan sesuatu untuk meluruskan hal ini tapi sepertinya kehabisan kata-kata.

"Aku... Sebenarnya gini, Ra, emmm..." Aku bingung memulai dari mana. Ditambah lagi dengan keberadaan si anak ayam ini, semuanya jadi terasa sulit untuk dikeluarkan.

"La, toilet dimana? Mendadak pingin buang air nih." Suara Dino menyela.

"Dapur, belok kanan," jawab Ella sambil mengarahkan telunjuknya.

"Oke." Dino segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur.

Entah karena memang pingin pipis atau karena ingin memberi kita privasi, tapi terimakasih, Din.

"Aku nggak berani jujur sama kamu soalnya kan kamu temen sekelasnya Althaf," ujarku saat Dino telah menghilang dari pandangan. "Lagian juga takut diledekin karena seleraku yang nggak bagus. Putus dari pacar yang termasuk geng cowok populer, akhirnya malah suka sama cowok paling aneh di sekolah." Kutatap Rara dengan raut wajah penuh penyesalan. Dia pasti marah karena merasa aku tidak memberikan kepercayaan padanya.

Rara masih belum memperlihatkan emosi apa pun di wajahnya. Masih tatapan dingin seperti tadi yang membuatku semakin tak enak hati. "Maaf ya, aku nggak bermaksud—"

"Hahaha..." Tiba-tiba saja wajahnya berubah lucu dan ia tertawa terbahak-bahak. "Udah ah, serius amat. Aku udah tau sejak dulu kok."

"Hah?" ujarku dan Ella bersamaan.

"Apa aku sukanya keliatan banget ya, sampai-sampai kamu dan Dino bisa tahu gitu?" tanyaku putus asa. Sia-sia saja aku menyimpannya rapat-rapat hanya bersama Ella, ternyata sangat mudah terbaca oleh orang lain.

"Nggak kok. Aku tahu aja, soalnya setiap kali si Althaf muncul di dekat kita, sekedar lewat atau berpapasan di kantin, kamu kan selalu bilang benci, pengen lempar sepatu, dan segala macam mengenai ketidaksukaanmu. Tapi itu semua diucapkan dengan pipi yang bersemu merah. Juga cara kamu memandangnya itu sedikit berbeda. Bukan benci yang kulihat, tapi apa ya istilahnya. Hmm... malu-malu. Hahaha... Apa itu nggak suka namanya?" goda Rara dengan mengedipkan sebelah mata.

"A-aku gitu ya dulu?" tanyaku tak percaya.

"Hehehe... Kamu nggak usah khawatir. Cuma aku sebagai sahabat baikmu ini yang bisa melihatnya. Orang yang nggak kenal kamu dengan baik nggak akan bisa melihatnya kok, Sayang." Rara mencoba menenangkanku. "Jangan khawatir."

Syukurlah. Aku takut sekali kalau ternyata satu sekolah tahu. Aku trauma menjadi bahan olokan orang lain. Cukup kejadian saat masih kelas satu itu saja yang membuatku benar-benar tersiksa.

"Wah... wah rame ya." Tiba-tiba sebuah suara muncul dari arah depan. Terlihat sosok mas Revan, Kai versi dewasa, suami Ella yang baru pulang kerja. Kai yang sedari tadi tenang di tempat duduknya kini langsung bergerak-gerak menghentak-hentakkan pantatnya naik turun minta digendong sambil mengulurkan tangan pada kembarannya itu.

"Eh jagoan Papa." Mas Revan menatap Kai penuh sayang, lalu berjalan ke arah Ella lebih dulu. Mengecup pipinya sekilas tanpa menghiraukan keberadaan kami kemudian meraih Kai ke dalam gendongannya.

Enaknya, Ella. Kira-kira Ata bakal gitu juga nggak ya? Mau juga dong dapat ciuman setiap kali dia pulang kerja.

"Woah... Gue juga mau dicium dong," seru Dino yang ternyata telah kembali dari toilet.

"Sana cari istri," balas mas Revan lalu duduk di sebelah Ella dan mulai mengobrol bersama Kai.

"Cariin dong, Bang," ujar Dino saat dia menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Lo kayak nggak laku aja," seru mas Revan tanpa menoleh pada Dino dan masih asyik bersama putranya.

"Soalnya kalau pilihan abang kayaknya bakalan bagus deh," kata Dino lagi. "Biasanya kan yang lebih tua itu lebih bijaksana. Ya nggak—"

"Sore semua." Lagi-lagi dari arah depan muncul suara lain yang menyela kami. Semua mata menoleh pada asal sumber suara dan mendapati Ares dan Ata yang muncul berbarengan untuk menjemput para istri.

"Kalian barengan?" tanya Rara.

"Nggak kok, kebetulan aja ketemu di depan," jawab Ares lalu menghampiri istrinya dan mengusap perut Rara yang telah membuncit dengan pelan.

Ella memintaku bergeser memberi ruang untuk Ata duduk, dan segera mengambil peran sebagai tuan rumah. "Pada mau minum apa ini, calon bapak?" tanyanya seraya berdiri dari tempat duduknya.

"Nggak usah repot-repot," jawab Ata dan Ares bersamaan.

"Kompak banget," seru Ella kagum.

Ata hanya tersenyum tipis menanggapi komentar Ella lalu duduk di sebelahku.

"Kita cuma sebentar kok, La. Nggak usah repot-repot," ujar Ares.

"Nggak haus kalian?" tanya Ella lagi.

"Kalau haus tinggal minum minumannya si perut buncit ini juga nggak masalah kok," tunjuk Ares ke gelas minuman Rara yang ada di atas meja dan masih terlihat penuh. "Tapi nggak tahu juga tuh kalau si Althaf."

"Gue juga nggak haus kok, La. Seperti yang Ares bilang tadi kita juga cuma sebentar," kata Ata lalu menoleh padaku.

"Ini kenapa pada buru-buru mau pulang sih? Hooo... kalau si Althaf kayaknya mau lanjutin yang kemarin ya. Olahraga sambil bikin anak," seru Dino yang sejak kemunculan Ares tadi diam membisu.

Aku sudah mengepalkan tangan siap untuk mengeplak kepala Dino, tapi Ata malah adem-adem saja. Mukanya tak memperlihatkan ekspresi apa pun.

"Ini si Udin dari tadi omongannya mengarah kesitu melulu ya." Ella menggeleng-gelengkan kepalanya lalu kembali duduk.

"Lo kebanyakan nonton blue film ya, Din, makanya itu melulu yang disebut-sebut." Mas Revan berkata sambil memperbaiki posisi Kai yang duduk di pangkuannya.

"Kok tau sih, Bang? Nah, abang juga doyan nih kayaknya. Pasti sering nonton di tempat kerja."

"Ngapain nonton yang kayak begituan, kan sudah bisa bikin film sendiri," sahut Ares yang membuat Dino langsung menoleh padanya.

"Yah siapa tahu kan mau belajar metode yang baru," ucap Dino sambil terkekeh.

"Nggak perlu nonton yang kayak begitu, Din. Baca buku tentang risalah hukum jima' juga sudah lengkap banget itu," tukas Ata ikut-ikutan.

Eh ini beneran Ata kan yang ngomong?

Dengan bingung aku menoleh dan menadapati ternyata memang suamiku itu yang barusan bicara.

"Nah, kelihatannya ada yang sudah khatam nih baca bukunya," seru mas Revan sambil tertawa. "Udah hafal juga, Thaf?"

"Udah, Bang," sahut Ata sambil tersenyum.

"Wah, Fifa pasti senang banget tuh. Pantes wajahnya berseri-seri terus," goda mas Revan yang disusul tawa Ella dan Rara berbarengan. "Kalau lo gimana, Res?"

"Belum pernah baca, Rev. Nanti gue beli deh bukunya, kayanya bagus banget. Pak dosen aja sampai hafal isinya," kekeh Ares pelan.

"Gue juga beli deh ntar," sambung Dino tak mau kalah. "Penasaran, sehebat apa isinya."

"Yang jomblo dilarang baca," tukas mas Revan dengan tatapan mengejek.

"Lha kenapa?"

"Karena lo nggak punya tempat buat praktekinnya," sahut Ata yang seketika langsung disambut oleh tawa mas Revan dan Ares. "Kalau lo mendadak butuh pelampiasan kan jadinya repot, beda sama yang sudah punya istri."

Mendengar hal itu, suara tawa di ruangan ini muncul semakin kencang. "Nah iya bener tuh. Gue juga kalau baca itu dan mendadak pengin praktek, langsung deh seret istri buat nyobain. Lah kalau elo, Din, mau seret siapa coba?" tanya mas Revan masih dengan tawanya.

"Bully aja terossss," sungut Dino sebal. "Nasib... Nasib..."

"Makanya cari istri!" Kompak suara mas Revan dan Ares menyembur Dino yang usianya lebih muda dari mereka itu.

"Cariin dong kalau gitu," teriaknya frustasi.

***

Setelah aksi pembully-an Dino yang menyedihkan itu, kami semua akhirnya berpamitan. Sesaat sebelum memasuki mobil tadi, sempat kulihat Dino melirik pada Rara yang menggandeng Ares memasuki mobil mereka dengan sorot mata sendu.

Tapi itu hanya sebentar. Sepersekian detik sebelum akhirnya Dino memakai helm lalu langsung memanjat naik motor sport kesayangannya dan berlalu lebih dulu.

Puk puk anak ayam. Semoga kamu segera bertemu pengganti sang pujaan hati ya.

Dan sekarang, aku dan Ata sedang berada dalam perjalanan pulang. Masih tidak menyangka ternyata Ata bisa juga ikut-ikutan berbicara mesum seperti tadi. Kupikir mesumnya hanya padaku seorang.

Sejak mobil kami berjalan, aku sibuk menikmati wajahnya yang sedang berkonsentrasi menyetir. Biasanya kalau dilihatin terus seperti ini di rumah, aku akan langsung bersemu merah dan malu. Kira-kira Ata juga bakalan malu nggak ya?

"Kamu kenapa dari tadi lihatin aku melulu?" Tanya Ata yang menoleh padaku sekilas. "Baru sadar kalau aku cakep banget ya?"

"Bukan lihatin kamu kok." Aku berusaha mengelak.

"Masa? Muka kamu itu kayak orang yang lagi 'pengen' tau nggak?"

Hah?

"Pengen apaan, kebetulan aja tadi mukaku menghadapnya ke arah kamu." Segera kupalingkan muka ke jendela di sebelahku. "Pede banget sih."

Ini kenapa keadaan jadi berbalik gini? Tadi kan rencananya aku yang mau bikin dia grogi dan malu. Kenapa malah aku yang dibuat jadi salah tingkah. Ataaa... Huh!

"Kalau lagi pengen juga nggak apa-apa, masih ada waktu kok sebelum magrib. Masih sempat mandi juga nanti," godanya sambil tersenyum tapi terus menatap pada jalanan.

"Nggak ah. Ata apaan sih, pasti gara-gara obrolan tadi deh makanya jadi gini omongannya."

"Bukan gara-gara obrolan tadi kok. Kan kemarin kita di rumah ayah dan ibu sampai malam, jadi pulangnya sudah pada capek. Kali aja kamu pingin dapetin gantinya hari ini."

"Kenapa harus sebelum magrib? Nanti malam juga bisa kan?" tanyaku dan kembali menoleh padanya.

Eh?! Aku ngomong apa barusan. Huaaaaa...

"Oh, ya sudah nanti malam saja. Tapi kalau mau pembuka sebelum magrib juga nggak masalah kok."

"Tapi aku kan mesti masak buat makan malam kita, Ta."

"Nggak usah masak. Malam ini kita beli aja. Mau?"

"Hmmm..." Aku pura-pura berpikir lama. "Boleh deh. Hehe...," kataku berikutnya seolah baru saja mengambil keputusan.

Ata pun menginjak gas lebih dalam untuk mempercepat laju kami. Matanya menatap lurus ke depan, tapi bibirnya menyunggingkan sebuah senyum tertahan.

***

Huahahaha.... Bab 6 akhirnya selesai juga. Udah enam part dan isinya masih begini. Wkwkwkwk

Part depan atau satu part berikutnya berisi flashback aja kali ya. Dan buat yang nungguin cerita lainnya, mohon maaf. Entah kenapa saya lagi semangat-semangatnya nulis cerita ini. Tolong maafkan saya ya :'D

Terimakasih sudah mau membaca cerita gaje saya ini. Jika ada yang baik, maka ambillah. Jika buruk tinggalkan saja. Love y'all, muah muah :* :* xoxo



Continue Reading

You'll Also Like

Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 58.4K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
80.1K 4.1K 23
Dilihat dari segi manapun cewek itu cuma menang cantik doang, paling otak nya kosong kalaupun ada isi kepala nya hanya seputar make up dan followers...
39.1K 3.2K 31
Ian adalah lelaki tampan yang menjalani hobi melukis di tengah ketidakberdayaannya untuk melihat. Tak banyak orang yang menghargai karyanya yang terk...
93.5K 6.6K 11
Tahun ini usia Katrina genap 26 tahun. Dan dalam jangka waktu setahun kemarin, sudah ada dua pria yang berani datang ke rumahnya. Bermaksud melamarny...