PETRICHOR [Lengkap]

By Brilliantradhea

30.2K 3.6K 71

Di bumi manusia itu aneh. Menginginkan hujan, tapi takut kehujanan. Menyukai panas, tapi tidak mau kepanasan... More

untuk kita semua
01; bicara berdua
02; hanya lelucon
03; Seorang itu Arjuna
04; ikan cupang
05; mengenang waktu
06; musibah
07; kenapa sulit merelakan?
08; kecewa
09; patah lagi
10; sakit
11 lelah
13; perpisahan
14; memperjuangkan
15; hujan
16; surat peremuk dada
17; mengakhiri yang pantas berakhir
18; gerbong penghubung luka
19; mengharap temu di kota Jogja
20; malam menemukan
21; Jogja, selamat tinggal
22; maaf baru menyadari
23; kembali mencintaimu Bandung
24; terlambat mengucap
25; jembatan layang dengan kenang
26; memahami dengan baik
27; kenyataan kelabu
28; keliling Bandung
29; Ruang jawaban
30; semakin takut kehilangan
31; selamat jalan Awan
32; Petrichor
penutup
next projek

12; pamit

646 90 1
By Brilliantradhea

Rain melepaskan pelukan hangat dari Arjuna. Ia tersenyum, mencoba menguatkan pilihannya barusan. Iya. Ia melepas Awan. Bukan sebagai sahabat tapi sebagai sosok terpenting yang mendiami hatinya.

"Ayo masuk," ajak Arjuna mengandeng tangan Rain.

Tepat saat Arjuna dan Rain masuk ke dalam kedai Awan dan juga Luna berjalan keluar. Awan menatap genggaman tangan Rain yang erat. Begitu juga dengan Rain yang menatap pelukan Awan dengan Luna. Rasanya masih tersisa sakit di dalam hati Rain. Apalagi Awan yang tidak menyapanya. Kenapa sekarang menjadi seperti ini?

Arjuna menarik tangan Rain. Menjauhkan perempuan itu dari tatapan Awan. Rain hanya diam. Mengikuti saja apa yang Arjuna lakukan. Benar kata Awan. Mereka berdua akan terpisah. Awan dengan pilihannya dan Rain dengan pilihannya.

Kenapa melupakan tidak semudah jatuh cinta? Padahal orangnya masih sama. Kamu, batin Rain.

"Kamu mau mengejar Awan dulu?" tanya Arjuna mengikuti pandangan Rain yang masih terpaku menatap Awan dan Luna.

"Aku masih butuh istirahat."

"Rain, boleh saya masuk ke duniamu lebih lama?" Arjuna

Suasana yang ramai tidak membuat Rain berkesan seperti tadi. Jauh di dalam pikirannya masih ada Awan. Tentang Awan yang bersikap dingin dengannya, "Bukannya kamu sudah masuk sekarang?"

"Nama Awan masih menjadi prioritas kamu kan?"

"Katamu kamu bisa memahamiku. Kenapa sekarang menuntutku untuk melupakan Awan?" ujar Rain.

Salah jika Arjuna menuntut lebih? Arjuna juga sama seperti lelaki pada umumnya. Ia punya cemburu. Seperti melihat Rain yang belum bisa melepas bayang-bayang Awan dari hidupnya.

Hening. Tidak ada obrolan panjang seperti sebelumnya, "Rain, bukan cuma saya yang harus paham sama kamu. Kamu juga perlu paham sama saya. Itu gunanya sebuah hubungan."

"Jujur Jun, aku masih bingung sama perasaanku yang ambigu. Aku belum bisa melepas Awan dan aku juga belum bisa nerima kamu sepenuhnya." Rain menghela nafas. Menatap sekitar sebelum tatapannya kembali jatuh kepada Arjuna,"Jun..."

"Rain, percaya sama saya. Rasa itu akan berubah seiring waktu berjalan."

"Kalau pikiranmu itu salah?"

Arjuna berdiri, meraih kontak motor dan pergi. Rain tidak mengejarnya. Mereka butuh waktu sendiri-sendiri. Kalau Rain saja masih bimbang dengan perasaannya, kenapa menerima Arjuna tadi? Jujur Arjuna kecewa dengan Rain. Tapi untuk marah ia tidak mampu.

Rain menundukkan kepala. Mencari titik tenang dipikirannya. Dulu Rain tidak percaya kalau jatuh cinta serumit ini. Tapi sekarang ia paham maksud dari kata-kata itu.

"Rain..."

Merasa terpanggil dengan malas Rain menatap orang itu, "Eh Aurel, ada apa?"

"Rain gue rasa kedai kopi lo harus dirubah. Gini biar gue jelasin dulu," ujar Aurel menarik kursi di hadapan Rain, "Seminggu ini kedai lo ngalamin penurunan pengunjung. Mungkin mereka udah bosan dengan konsep kedai lo. Sebagai barista gue lebih sering berada di sini dari pada lo."

Masalah apa lagi ini. Rain menghela nafas frustari. Ia memijit pelipis kepalanya. Hanya kedai ini yang ia punya. Bagaimanapun juga Rain harus mempertahankan tempat ini.

"Oke, nanti kita ubah konsep kedai kopi ini. Thanks ya."

"Kalau gitu gue kerja lagi."

Rain menganggukkan kepala. Mempersilahkan Aurel pergi. Tidak lama kemudian sosok Awan kembali. Menghampiri Rain dengan raut wajah bahagia.

"Rain, ada masalah?" tanya Awan berterus terang.

"Kayaknya kedai kopi ini nggak bakal bertahan lama Wan. Aku terlalu sibuk, sampai lupa kalau punya kedai."

Awan mengerti perasaan Rain. Ia tahu bagaiaman perjuangan perempuan itu untuk bisa mendapat kedai ini. Awan tidak akan tinggal diam. Ia akan membantu Rain, "Aku bakalan bantu kamu. Tenang kedaimu nggak akan bangkrut. Percaya sama aku."

"Percaya sama kamu? Gimana bisa percaya kalau kamu aja udah gak peduli sama aku," jawab Rain.

"Nggak peduli sama kamu gimana? Buktinya sekarang aku ada di sini sama kamu."

Rain hanya diam. Awan tetap menjadi Awan. Tidak peka, "Capek ya ngomong sama kamu."

"Luna? Kamu cemburu lihat aku sama luna pelukan tadi? Kamu kira aku nggak cemburu lihat kamu sama Arjuna pelukan juga," ujar Arjuna membuat Rain menahan nafasnya. Benar kalau Awan cemburu? Cemburu pada Arjuna?

"Kamu cemburu sama aku?"

Bukan lekas menjawab Awan justru tertawa keras. Tawa yang membuat beberapa orang melihat ke arah mereka berdua, "Iya nggak lah Rain. Selamat ya, akhirnya temen aku udah gak jomblo lagi. Ciee...."

Kukira kamu cemburu, ternyata aku hanya percaya diri saja, batin Rain.

"Enggak ada yang lucu Wan. Semua menyangkut hati itu nggak lucu. Kamu juga selamat ya balikan sama Luna."

"Aku nggak balikan sama Luna. Luna dapat beasiswa ke Belanda. Tadi dia ke sini buat minta maaf dan pamit besok dia berangkat ke Belanda."

Ada perasaan lega mendengar Awan tidak balikan dengan Luna. Lalu tiba-tiba saja Arjuna kembali terbayang. Kalau Arjuna menghilang apa mungkin Rain dan Awan akan kembali bersama?

"Oh iya, tadi Luna nitip surat buat kamu," Awan menyerahkan surat yang langsung Rain baca.

Aku janji Lun, Awan tetap punyamu, batin Luna setelah selesai membaca surat.

Awan menyeruput kopi yang baru dua menit tadi ia pesan. Masih sama kopi expreso yang menjadi favoritenya. Di depannya Rain tampak diam. Seperti mengulangi pesan dari Luna. Rain tidak mau ada satu kata yang ia lupakan. Tapi, nyatanya isi surat Luna masih sama. Tentang ia yang jatuh cinta dengan Awan dan menyuruh Rain untuk menjaga Awan agar nanti kalau Luna pulang Awan bisa kembali menjadi miliknya. Egois. Andai Rain punya keberanian memerankan ego. Ia akan menyuruh Awan menerimanya. Entah Awan suka atau tidak Rain tidak peduli.

"Wan, kamu cinta sama Luna?"

Kedua bahu Awan terangkat, seolah ia acuh dengan pertanyaan Rain barusan, "Kamu sama Arjuna gimana? Jadian kok nggak bilang-bilang."

"Awan! Jangan mengalihkan pembicaraan."

"Rain kamu masih suka sama aku?" Rain membisu.

"Kalau kamu tahu jawabannya kenapa harus tanya?"

"Semisal aku bilang aku suka sama Luna dan bakalan nunggu dia sampai kembali. Kamu masih mau suka sama aku?"

Rain menggeleng,"Aku sadar diri kok Wan. Kita cuma teman kan? Lagipula aku udah punya Arjuna."

"Dari awal aku sudah peringatkan sama kamu."

"Ya mana aku tahu Wan kalau jadinya aku jatuh cinta sama kamu?" Jawab Rain segera memotong ucapan Awan.

Sekalipun jatuh cinta Rain juga tidak akan tahu kepada siapa ia akan suka. Kalaupun bisa ia juga akan menolak rasanya untuk Awan.

"Yang terbaik buat kamu sama aku sekarang adalah menjauh. Besok setelah dari bandara aku mau pergi ke jogja," ujar Awan yang membuat pupil mata Rain membesar. "Di sana ada pagelaran fotografi, siapa tahu ada yang minat dengan hasil karyaku."

"Sampai kapan kamu di sana?" tanya Rain.

Awan mengeleng dengan cepat, "Nggak tahu juga. Acaranya sih cuma satu minggu. Tapi, kalau aku nyaman sama kota itu kemungkinan aku di sana lama."

Harus seperti ini biar Rain melupakan Awan? Ingin rasanya Rain menahan Awan untuk tidak meninggalkan kota. Tapi Rain itu siapa? Sebatas teman yang kadang masih Awan acuhkan.

Awan menepuk pundak Rain. Tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi, "Aku yakin Arjuna akan jaga kamu."

"Hemm..."

"Rain, ayolah. Memang cuma kamu yang boleh bermimpi? Aku juga mau jadi fotografer terkenal."

Dekat denganmu dengan rasa yang diacuhkan saja sudah cukup membuatku kehilangan. Sekarang malah pamit pergi. Bisa sekarat hidupku nanti, ucap Rain dalam hati.

"Terserah, lagipula aku enggak berhak nahan kamu." Awan memundurkan kursinya. Menarik tangan Rain untuk berdiri sejajar di depannya. Awan memluk Rain dengan erat. Mengusap rambut Rain dengan lembut. Satu kecupan mendarat di kening Rain.

Continue Reading

You'll Also Like

ASTEROID By Fhateiliya

Science Fiction

65.2K 10.4K 23
COMPLETED #SequelBintang #UpdateKamis Setelah Bintang menemukan Senjanya menghadirkan Asteroid yang menawan. Kehidupan tercipta dari Sebuah komposisi...
273K 15.5K 50
[SEQUEL OF SAHABAT GUNUNG] ------------------------------------- Ini bukan impian gue dalam pacaran. Dulu gue selalu mimpiin kalau kisah pacaran...
43.8K 3.3K 57
[BOOK 2] Nadia baru putus dari Hansel, si cowok paling berengsek yang pernah Nadia kenal. Di saat patah hati inilah Dimas hadir. Sosok asing yang bel...
728K 53.3K 33
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...