PETRICHOR [Lengkap]

By Brilliantradhea

30.2K 3.6K 71

Di bumi manusia itu aneh. Menginginkan hujan, tapi takut kehujanan. Menyukai panas, tapi tidak mau kepanasan... More

untuk kita semua
01; bicara berdua
02; hanya lelucon
03; Seorang itu Arjuna
04; ikan cupang
05; mengenang waktu
07; kenapa sulit merelakan?
08; kecewa
09; patah lagi
10; sakit
11 lelah
12; pamit
13; perpisahan
14; memperjuangkan
15; hujan
16; surat peremuk dada
17; mengakhiri yang pantas berakhir
18; gerbong penghubung luka
19; mengharap temu di kota Jogja
20; malam menemukan
21; Jogja, selamat tinggal
22; maaf baru menyadari
23; kembali mencintaimu Bandung
24; terlambat mengucap
25; jembatan layang dengan kenang
26; memahami dengan baik
27; kenyataan kelabu
28; keliling Bandung
29; Ruang jawaban
30; semakin takut kehilangan
31; selamat jalan Awan
32; Petrichor
penutup
next projek

06; musibah

878 120 0
By Brilliantradhea




Rain

Kita perlu bicara Wan

Pesan satu jam yang lalu dari Rain. Pesan yang hanya Awan baca tanpa ada minat membalasnya. Hari ini perasaannya sedang kacau. Entah karena Luna atau kedekatan Rain dengan Arjuna. Awan sendiri juga bingung dengan kemauan hatinya. Seakan tak rela jika Rain dekat dengan lelaki lain. Namun iya sadar, sampai kapanpun akan ada dinding pemisah yang sulit Awan runtuhkaan.

"Agggg!!"

"Shit!!!"

"Fuck!!!"

"Brengsek!"

"Bajingann!!" Semua umpatan rasanya belum bisa membenahi perasaannya yang sedang kacau. Awan ingin tenang.

Dret...dret...dret...

"Wan, masih hidup?"

Tanpa berbicara lagi Awan memutuskan telpon secara sepihak. Awan tidak peduli kalau itu bisa membuat Rain marah. Tidak tahu kenapa malam ini Awan ingin bertemu Rain. Dengan cepat Awan menyambar kontak motor di atas meja. Mengenakan jaket dan sepatu kesayangannya.

Jalanan yang sepi membuat Awan cepat sampai di rumah Rain. Namun, dari jarak jauh Awan menghentikan motornya. Tatapannya mengarah tepat di halaman depan rumah Rain. Motor vespa biru, siapa lagi pemiliknya kalau bukan Arjuna.

Arjuna dan Rain sedang duduk di teras rumah Rain. Awan masih diam di tempat mengamati keduanya. Sesekali Rain tertawa dan bercerita yang membuat Arjuna ikut tertawa.

Kedua tangan Awan mengepal dengan kuat. Sudah siap melayangkan tinju. Awan mengambil handphone di saku jaketnya. Ia mencoba menghubungi nomor Rain. Tapi, percuma tiga kali panggilan dan tidak ada satu pun yang Rain angkat.

"Selamat ya Rain udah dapetin Arjuna," ujar Awan sebelum pergi.

===

"Tapi jangan ngejekin ya," ujar Rain yang masih tersenyum. Arjuna menunggu Rain kembali bercerita tentang masa kecilnya.

"Dulu aku pernah nanya sama Mama. Mama, Arjuna itu gantengnya kayak apa sih? Eh, ada orang lewat sambil makan kacang berhenti di depan aku. Terus dia natap aku sama Mama sambil bilang gini 'kayak.."

"Kayak saya," ujar Arjuna memotong ucapan Rain.

Bibir Rain mengerucut. Karena tebakan Arjuna benar, "Ih enggak asyik kamu udah tahu endingnya."

"Saya kan cuma menebak. Lagi pula tahu ending cerita itu menyenangkan."

"Menyenangkan? Apanya yang menyenangkan?"

Arjuna tersenyum melihat Rain yang mulai terbiasa dengan hadirnya, "Kita jadi penasaran awal mula kejadiannya. Saya baca novel kamu juga lihat akhir ceritanya dulu."

"Kamu baca novel aku?"

"Kalau saya enggak baca novel kamu, enggak mungkin saya bisa suka sama kamu."

"...."

Rain menunduk, bingung mencari kata-kata apa yang tepat untuk menjawab ucapan Arjuna. Lelaki itu menggenggam kedua tangan Rain. Mengusap kedua tangan itu dengan lembut, "Rain, mulai sekarang kamu harus terbiasa ya. Terbiasa dengan keberadaan saya."

"Arjuna.."

"Dari pada kamu menunggu Awan yang enggak balas perasaan kamu. Saya siap kok tanggung jawab sama hatimu," ujar Arjuna.

"Kalaupun rasa bisa ditukar, aku bakal ngelakuin itu sekarang Jun," ujar Rain.

Di saat ia ingin mengerti apa artinya dicintai, kenapa Tuhan mengirim orang lain untuknya? Harusnya Rain sadar tidak selamanya Tuhan sepaham dengan pendapatnya.

"Mungkin saya beda sama Awan..."

"Dari mana kamu tahu? Tahu semuanya?"

Arjuna melepas genggaman tangannya. Ia berdiri, mengamati langit malam yang sedang cerah-cerahnya, "Bulan aja tahu kalau rasamu untuk Awan. Dari cara kamu bicara, dari cara kamu memandang, dan dari cerita yang kamu buat. Semuanya kamu tunjukkan buat Awan kan Rain?"

"...."

"Saya sudah baca kedua novel kamu. Semuanya berakhir sama, perpisahan dan merelakan. Tentang Aleta yang menunggu Dirga kembali, atau Viola yang ternyata menyukai sahabatnya sendiri. Cerita-ceritamu itu kilasan hidupmu kan?"

"Bukannya aku udah pernah bilang ke kamu. Cerita itu fiksi, jadi semua orang sah-sah saja berimaji. Termasuk aku. Aleta, Dirga, dan Viola. Mereka bagian dari fiksi, tokoh pemuas untuk sebuah kisah yang aku rancang."

Kali ini Rain tidak suka mendengar ucapan Arjuna. Ia tidak pernah suka kehidupan pribadinya diungkit orang lain. Baginya menulis adalah dunianya, tempat nya berpulang saat penat dengan kehidupan. Meski sebagian ucapan Arjuna adalah benar. Rain tetap tidak mau jujur dengan orang lain. Cukup hatinya masih kuat untuk memendam sendiri.

"Rain, saya minta maaf." Arjuna merasa tidak enak melihat perubahan wajah Rain yang murung, "Sekali lagi maaf sudah mengusik kehidupan kamu."

"Saya mengusik kehidupan kamu karena saya peduli sama kamu. Saya enggak mau kamu terus-terusan menunggu hal yang semu," lanjut Arjuna.

Tatapan Rain mengarah ke pupil mata Arjuna, "Jangan terlalu mencampuri urusan yang harusnya kamu acuhkan. Aku sama Awan itu teman, enggak lebih sampai kapan pun."

Rain menatap ponsel miliknya yang tadi ia matikan. Ada tiga panggilan tidak terjawab dari Awan. Kenapa sekarang Rain jadi sering lupa.

Jam menunjukkan pukul sepuluh. Sudah terlambat mengajak Awan bertemu lagi. Rain hendak mematikan ponsel sebelum satu pesan membuat tubuhnya melemas.

Awan

Ini aku Luna, ke rumah sakit sekarang Awan kecelakaan.

"Arjun, anterin aku ke rumah sakit sekarang!"

Tanpa bertanya Arjuna mengiyakan ucapan Rain. Segera mereka pergi. Menerobos angin malam yang membuat Rain memeluk tubuhnya sendiri. Mencoba menghangatkan dengan meniup-niup tangannya. Rain mencoba menahan tangisnya. Kali ini semoga Tuhan tidak membiarkannya kehilangan lagi.

Rain semakin tidak bisa tenang. Awan terus menerus ada di pikirannya. Bagaimana keadaan laki-laki itu? Apa yang membuat Awan celaka?

"Rain, di rumah sakit yang ini?" tanya Arjuna setelah mereka sampai di rumah sakit.

Kepala Rain menggeleng. Ia juga tidak tahu di rumah sakit mana Awan sekarang, "Biar aku tanya dulu. Kamu di sini aja."

Beberapa menit kemudian Rain kembali menghampiri Arjuna. Awan tidak ada di sana. Apa Awan hanya mengerjainya?

"Coba di rumah sakit daerah," ujar Rain.

===

Malam ini keadaan rumah sakit begitu sepi. Tidak banyak orang yang berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka tidur beralaskan koran. Rain menatap dengan iba. Sudah menjaga orang sakit, masih saja diberi kesulitan. Dunia kejam untuk mereka sebagian.

"Itu Luna," ucap Rain membuat Luna berdiri langsung memeluk Rain.

Tubuh Rain sedikit tersentak ke belakang. Ia mengusap punggung Luna, "Awan gimana?"

"Kata dokter dia kritis Rain. Kita cuma bisa doakan dia," ujar Luna pelan.

Arjuna memilih diam. Selain tidak tahu harus berbuat apa, dia juga tidak mau menambah masalah.

Luna mengajak Rain dan Arjuna untuk duduk, "Malam ini aku enggak bisa jagain Awan. Aku udah hubungi orang tua Awan, mereka lagi ada di luar negri. Mungkin enggak bisa jagain Awan."

"Kita tunggu kondisi Awan saja dulu. Masalah orang tuanya nanti biar aku yang mengurus Awan di sini," jawab Rain.

Rain menatap ruangan yang berdominan warna putih ini. Ada beberapa alat medis yang melilit tubuh Awan. Perempuan itu mendekat, mengusap punggung tangan Awan yang bebas tanpa infus.

Awan memejamkan mata. Dapat Rain lihat kepala dan tangan Awan yang diperban. Juga, kaki kanan dengan sisa luka. Kali ini Rain mengalah, ia menangis sejadi-jadinya. Rain memeluk Awan. Menenggelamkan mukanya di dada lelaki itu.

"Wan, jangan tinggalin aku!"

"Kamu harus sembuh Wan!"

"Awan aku butuh kamu."

Luna dan Arjuna diam di ambang pintu. Keduanya mengamati Rain. Luna menyeka tangisnya yang keluar lagi.

"Rain, Awan baik-baik saja," ujar Luna menenangkan Rain.

"Aku balik dulu ya," Luna mengusap punggung Rain dan pergi.

Arjuna berjalan ke arah Rain. Melihat raut sedih yang terpancar dari wajah Rain. Rain menjadi rapuh.

"Jadi sebesar ini rasa cintamu ke Awan?"

Rain mengusap tangisnya. Menatap Arjuna yang berada di sampingnya, "Arjuna, malam ini aku mau jaga Awan. Kamu pulang aja ya?"

"Bukan mau pamrih, tapi sepertinya hadirku cuma untuk kata tolong ya Rain."

"Jadi kamu enggak ikhlas nolongin aku? Maaf Jun kalau aku cuma ngrepotin kamu. Harusnya tadi kamu nolak aja."

"Rain..."

"Pergi Jun, biarin aku di sini."

Arjuna tidak membalas ucapan Rain. Ia melangkah pergi dengan sisa kecewa di hati. Maksudnya bukan meminta imbalan. Arjuna hanya ingin Rain melihat hadirnya juga. Bukan melulu perihal Awan yang baik, Awan yang suka mengantarnya.

Cemburu saya nyatanya belum bisa kamu terima. Enggak papa, besok saya coba lagi, batin Arjuna.

"Enggak papa Wan kalau kamu bukan jodoh aku. Tapi, setidaknya jangan biarin aku di dunia sendiri. Aku takut Wan," ujar Rain mengusap rambut Awan.

Continue Reading

You'll Also Like

609K 18.4K 9
Pemenang Wattys 2017 Kategori "The Breakthroughs" Sebut saja Bintang, gadis mungil yang mempunyai banyak mimpi. Rasa cintanya pada musik telah mendar...
34.5K 3K 25
Bersama Semesta adalah kesalahan fatal. Semua yang mulai membaik, langsung berbalik dua kali lipat dalam sedetik. Kehancuran semakin terlihat jelas. ...
720K 57K 34
[Cerita ini akan tersedia gratis pada 22 Agustus 2022] [WattysID 2020 Winner: Young Adult] Di hari pertama PKL-nya, Miki tidak menduga akan diputuska...
740K 53.4K 33
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...