LAILA

De NayrbevIggna

197K 6.9K 491

Menikah muda, Mungkin sebagian orang pasti sangat menyenangkan. Terlebih lagi jika sudah dengan persiapan yan... Mai multe

PROLOG
Cast
Laila - 2
LAILA - 3
LAILA - 4
Laila - 5
Laila - 6
LAILA - 7
LAILA - 8
LAILA - 9
LAILA-10
LAILA - 11
LAILA - 12
LAILA - 13
BUKAN UPDATE
LAILA-14
LAILA - 15
LAILA - 16
LAILA - 17
LAILA - 18
LAILA - 19
LAILA - 20
LAILA - last (18+)
EXTRA PART (I)
EXTRA PART (II)
EXTRA PART (III) - The End
Next Journey

LAILA - 1

13.1K 379 12
De NayrbevIggna

Sore ini kota tidak terlalu padat. Walaupun masih di dominasi oleh pengguna kendaraan bermotor, tetapi masih terlihat satu-dua orang memilih berjalan kaki, entah itu menuju halte bus, menunggu kopaja di pinggir jalan, atau menunggu ojek online menjemput.

Tapi, itu semua beeubah saat bel pulang di sekolah - sekolah berbunyi dengan serentak . Sudah setengah jam setelah bel sekolah berbunyi, membuat keadaan jalanan yang awalnya tak terlalu padat berubah menjadi ramai karena anak sekolah yang berhamburan. Menuju halte terdekat, berjalan kaki, atau memutar gas kendaraannya dengan kencang, membuat deru motor terdengar sangat memekakkan.

Biasalah, khas remaja yang ingin jual-beli deru motor di jalanan. Menganggap dirinya sang pemilik jalanan dan orang lain hanya menumpang.

Tapi, berbeda lagi dengan mereka yang memiliki kekasih. Alih-alih langsung menuju rumah, satu-dua memilih singgah entah itu untuk makan atau sekedar bercengkrama.

Sama halnya dengan Laila. Gadis remaja bersurai coklat gelap itu tersenyum manis kala sang kekasih menghampirinya dengan nampan berisi king burger ditangannya. Sementara Rafka yang melihat pacarnya tersenyum, turut bahagia karenanya.

Memang, sebelum pulang tadi, Laila sudah menagih janji Rafka untuk mengajak gadis itu ke McD karena jam istirahatnya tadi terpakai sebab Rafka minta diajari perihal matematika. Iya, matematika, musuh segala umat.

"Yey! Makasih, sayang!" Seru Laila tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

Sudah satu tahun hubungan mereka berlangsung, dan tak ada satupun dari mereka yang merasa bosan akan satu sama lain. Laila yang menggemaskan dan Rafka yang kerennya bukan main. Bahkan kabar burung berkata kalau Rafka dan Laila adalah calon King&Queen sekolah mereka tahun ini.

Hidup Laila, terasa sangat sempurna. Dengan orang tua yang selalu ada untuknya, dan juga Rafka yang siaga kapanpun dimintai tolong, ah dan juga Nina, sahabat Laila sejak mereka SD.

Nina sedang apa ya? Harusnya nanti malam Nina mengunjungi Laila kerumah untuk belajar bersama, rutinitas yang selalu mereka lakukan bersama kalau ada pr disekolah.

Laila mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi Nina untuk memastikan janji mereka lagi.

"Lala, makan dulu. Jangan sambil main hp" Ujar Rafka lembut sembari menahan tangan Laila.

Laila tersenyum, merasa tersentuh dengan setiap perlakuan Rafka. Terutama panggilan 'Lala' yang Rafka beri khusus untuk Laila.

"Bentar aja, Ka. Mau mastiin nanti malam jadi atau nggak belajarnya" Balas Laila.

Rafka tersenyum lembut, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Nanti juga bisa. Katanya lapar, ayo dimakan dulu"

Laila mencebikkan bibirnya, kalau sudah begini ia sudah tak bisa melawan. Laila mengalah, menyimpan kembali ponselnya dan memakan burger nya. Tidak bisa dipungkiri sebenarnya karena memang perutnya sudah keroncongan sedari tadi.

Selesai makan, Rafka langsung mengantar Laila pulang. Ada rasa kecewa dihati Laila karena ia masih ingin berlama-lama dengan Rafka. Karena sungguh, berada disekitar Rafka benar-benar sangat nyaman.

Rafka tersenyum lembut, membantu Laila untuk melepas helmnya saat Laila sudah turun. Selalu seperti itu, rutinitas Rafka jika mengantar atau menjemput Laila. Gadis itu pasti langsung mencondongkan wajahnya kedepan, entah itu minta dilepaskan helm atau di pakaikan.

Rafka melirik sekilas, ada mobil yang tak Rafka kenali di halaman rumah Laila.

"Mobil siapa, La?" Tanya Rafka.

Laila mengikuti arah mata Rafka. Lalu menyerngit karena tak mengenali mobil itu.

"Nggak tau, tamu ayah mungkin" Jawab Laila.

"Yaudah, aku masuk dulu ya, mau pamit sama ayah dan ibu kamu" Ujar Rafka sembari turun dari motornya. Tapi pergerakannya langsung ditahan oleh Laila.

"Nggak apa-apa, nanti biar aku aja yang pamitin"

Rafka hanya membalasnya tersenyum, lantas mengusap kepala Laila singkat dan pamit.

Tanpa mereka sadari, sedari dari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka secara intens.

"Ayah!! Ibu!!! Laila pulang!!!" Kebiasaan Laila tak pernah hilang. Selalu berteriak saat ia pulang.

"Yuhu!!!" Lanjut Laila lagi saat tak mendapat jawaban seperti biasanya.

Laila berhenti diambang ruang tamu, tampak berpikir kemungkinan kenapa tak ada yang menyahut teriakannya. Apa ayahnya belum pulang? Tapikan ini sudah jam setengah 6. Biasanya juga ayahnya pulang jam 4. Tapi kalau ibunya kan tak mungkin tak menyahut, wong ibunya itu ibu rumah tangga, to. Selalu dirumah 24 jam. Keluarnya juga paling nggak jauh-jauh sama ayahnya. Apa mereka pergi berdua? Tapi kenapa pintu nggak di kunci?

"Ibu!!! Lail--" Teriakan Laila terhenti, saat diruang tengah tak sengaja ujung matanya menangkap keberadaan seseorang.

Pikiran Laila sudah berkelana kemana-mana, seperti bayangan Tina yang kini memandang putrinya dengan kesal, isyarat matanya seakan mengatakan 'Jangan malu-maluin!'. Sementara Haidar, menatap putrinya juga dengan tatapan mengintimitasi, tak jauh-jauh dengan istrinya, matanya pun memperlihatkan sorot peringatan.

Kalau benar begitu, Laila tak perlu khawatir karena mendapat tatapan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya, biasanya ia hanya tinggal nyengir dan orangtuanya akan tertawa.

Tapi, hari ini berbeda, tak ada lagi tatapan seperti itu. Orangtuanya kompak menunduk kebawah, dengan seseorang yang Laila kenal duduk didepan kedua orangtuanya.

"Ka-Kak Adnan?" Sapa Laila ragu-ragu.

Wajah kak Adnan masih datar seperti biasanya, tapi entah mengapa kali ini sedikit ada yang berbeda dari tatapannya, yang entah itu apa.

Adnan hanya mengangguk menjawab Laila, lalu beralih kembali pada Haidar dan Tina, "Saya tau apa yang harus ibu dan bapak lakukan untuk membalas jasa saya, nikahi saya dengan Laila"

Deg.

Apa-apaan ini?

Nikah?

Dirinya?

#######

Sudah dua jam sejak pernyataan Adnan yang tiba-tiba. Laki-laki itu juga belum beranjak dari rumah keluarga Haidar. Pun penyebabnya adalah Laila yang masih mengurung diri di kamar.

Laila tidak sedih, sama sekali tidak. Bahkan menangis pun tidak berlaku bagi Laila. Tapi dia marah, kesal, dan kecewa. Semuanya campur aduk seperti gado-gado. Membuat Laila ingin sekali rasanya menghancurkan seisi rumah, tapi apa boleh buat, saat yang bisa di lakukannya hanya berdiam diri didalam kamar sementara orang-orang yang diluar sedari tadi tak berhenti mengetuk pintu kamarnya.

Laila muak, mengambil headphone nya dan memasang benda itu kasar. Membuka ponsel dan langsung memainkan lagu Fire Truck - NCT 127 yang kata Nina sangat berisik. Tapi Laila tidak peduli, ia menekan tombol volume dan menaikkan hingga full, membuat indra pendengarannya penuh hingga tak mampu mendengar apa-apa.

Pikiran Laila senantiasa melayang kemana-mana. Bagaimana mungkin ia akan menikah? Bagaimana mungkin orangtuanya tega menjualnya? Apa yang ada dipikiran Adnan sampai mau menikahi anak kecil sepertinya? Apa Adnan sudah gila? Lalu bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan cita-citanya menjadi seorang designer? Bagaimana dengan les-les yang sudah diambilnya? Bagaimana dengan teman-temannya? Dan yang paling mengganggu pikirannya, adalah Rafka. Bagaimana caranya ia harus menjelaskan situasi ini pada Rafka? Apa harus ia menelfon Rafka sekarang dan mengajaknya kabur? Bagaimana mungkin ia meninggalkan Rafka dan menikah dengan laki-laki lain?

Sibuk dengan pikirannya, hingga tanpa sadar, pintu kamarnya sudah dibuka dari luar.

Tina masuk kedalam kamar putrinya, melihat Laila yang meringkuk disudut kasur. Tak ada air mata, seperti yang Tina kira, karena memang begitu tabiat Laila, dia jarang sekali menangis, bahkan mungkin tidak pernah lagi sejak usianya menginjak 5 tahun.

Tina melepaskan headphone Laila. Membuat anak gadisnya terlonjak kaget.

Laila melirik sang ibu, lantas mendelik dan merebut lagi headphone nya. Memasangnya lagi, dan menghiraukan kehadiran sang ibu.

"Nak, ibu mohon. Dengarkan ibu dulu" Ujar Tina lembut sembari mendekap putrinya.

Laila bergeming, "Apa yang mau di dengarkan?"

Ini yang membuat Tina bersyukur punya anak seperti Laila. Laila bukan manusia yang egois dan selalu memenangkan opininya. Laila selalu mau mendengarkan, menanggapi pendapat orang lain dan menggabungkannya dengan pendapatnya sendiri sehingga semuanya adil.

"Ibu minta maaf sayang.. Ibu minta maaf--"

Tina memberi jeda di kalimatnya, ia mengambil nafas sejenak untuk menetralkan detak jantungnya.

"Perusahaan ayah, diambang kebangkrutan sayang" Lanjut Tina lirih.

"Ko-kok bisa?" Tanya Laila ragu. Terbesit rasa bersalah di hatinya. Karena selama ini yang Laila tau, perusahaan ayahnya baik-baik saja, tak ada masalah, dan berjalan seperti biasanya. Bagaimana mungkin Laila yang anaknya tak peka mengenai hal seperti ini?.

" Ibu pun bingung harus menjelaskannya bagaimana. Tapi kamu tidak perlu tau bagaimana persisnya, karena itu bukan masalah kamu. Biarkan ibu dan ayah yang menyelesaikannya"

"Apa hubungannya dengan Adnan?"

Tina menghela nafas sesaat, menatap manik mata Laila seperti meyakinkan.

"Adnan bersedia membantu kita, Laila. Asal kamu mau menikah dengannya"

Laila membulatkan matanya, "Berani sekali laki-laki itu mengatakannya?! Dia kan sudah dewasa! Harusnya ia juga tau kalau pernikahan bukan suatu hal yang main-main. Kenapa dia malah mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini? Lihat aja, Laila mau ngasih dia pelajaran!" Laila tak bisa menyembunyikan emosinya. Laila beranjak dari duduknya, lantas berdiri ingin menemui Adnan.

Siapa sangka, dia yang Laila cari malah sudah berkacak pinggang diambang pintu dengan wajah datarnya yang kini terlihat sangat arogan.

" Saya tidak main-main, Laila. Saya ingin menikahimu" Ujar Adnan tanpa disuruh.

Laila melengos, malas menatap wajah Adnan yang penuh kesombongan.

"Kamu tau? Dulu aku selalu kagum sama semua hal yang sudah kamu capai. Tapi malam ini, semua berubah! Kamu nggak lebih dari laki-laki pengecut yang tidak berperasaan! Kalau kamu memang berniat membantu, kenapa imbalannya harus saya?!" Teriak Laila lalu menatap Adnan dengan mata berapi-api.

"Saya tak memaksa, semua pilihan ada ditanganmu. Kalau kamu tidak mau, maka saya tak akan memberikan bantuan" Balas Adnan dengan tenang. Adnan sadar diri, ia bukan remaja yang membicarakan semua hal dengan emosi. Ia harus lebih tenang untuk menghadapi manusia semacam Laila.

"Ya sudah! Tak usah bantu kami! Kami tak butuh bantuan dari pengecut sepertimu!" Balas Laila sambil melipat tangannya didepan dada.

Tina melebarkan matanya, lantas mendekati Laila dan memegang tangan putrinya seraya memohon.

"Ayahmu dituntut, nak. Banyak karyawan yang menuntutnya karna gaji mereka tak kunjung dibayar, kalau dalam bulan ini ayahmu tak mengabulkan keinginan karyawan, ayahmu bisa dipenjara, nak" Tadinya Tina tak ingin membicarakan ini. Tapi sepertinya ia perlu membicarakan karena Laila yang sudah berkeras hati.

Tina terisak, tak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya. "Ibu mohon, nak.. Kami tidak pernah menuntutmu macam-macam. Tapi tolong, selamatkan ayahmu kali ini, nak"

Laila mengepalkan tangannya, lalu melirik Adnan tajam. Laila benci melihat wajah datar Adnan yang seakan menertawakan kekalahannya.

Laila memutar lagi semua hal yang sudah dilakukan ayahnya. Ibu benar, ayah tak pernah menuntut apapun dari Laila. Semua yang Laila inginkan akan ayah berikan jika itu hal yang positif. Ayah tak pernah menuntut Laila untuk menjadi juara satu, ayah tak pernah memaksa Laila untuk belajar, ayah tak pernah memaksa Laila untuk melakukan semua hal yang Laila tak suka. Sebaliknya, ayah sangat mendukung apa yang Laila gemari, ayah lebih suka membelikan Laila pensil warna dan sketchbook dibandingkan membelikan buku rumus atau bank soal ujian nasional. Ayah selalu memuji gambar-gambar Laila, walaupun Laila sadar bahwa gambarnya tidak sebagus itu untuk mendapatkan pujian.

Ayah, selalu membuat Laila menjadi dirinya sendirinya. Membuat Laila belajar dengan caranya sendiri. Ayah selalu bilang, 'Ayah tak ingin anak yang kaya, ayah cuma mau anak yang berguna untuk orang lain dan hidup bahagia karena melakukan hal yang disenanginya'

Laila menarik nafasnya, lagi-lagi teringat bahwa selama ini ia belum membalas apapun yang ayah berikan. Pun dengan prestasi atau dengan sikapnya. Tapi ayah selalu bangga menyebut Laila sebagai anaknya.

"Ibu keluar sebentar" Ujar Laila dingin. Tina menghentikan tangisnya, terseok-seok meninggalkan kamar Laila. Adnan yang melihat itu dengan sigap ingin membantu Tina.

Sementara itu, Laila tersenyum meremehkan. Bagaimana mungkin Adnan bisa sangat tebal muka untuk membantu ibunya setelah apa yang dilakukannya?

"Masuk!" Titah Laila yang membuat pergerakan Adnan membantu Tina terhenti. Adnan membalikkan tubuhnya lantas menaikkan sebelah alisnya tapi tetap masuk ke kamar Laila.

Laila menyuruh Adnan duduk di kursi belajarnya, lalu menutup pintu dan duduk di kasur berhadapan dengan Adnan.

"Kenapa harus aku?" Tanya Laila to the point.

Adnan menaikkan alisnya, tak mengerti dengan pertanyaan gadis didepannya.

"Kenapa harus aku yang kamu nikahi?" Tanya Laila sekali lagi memperjelas.

"Karena keluarga mu yang lagi membutuhkan bantuan" Jawab Adnan dengan santai, sementara matanya sibuk mengamati kamar Laila. Kamar yang di dominasi dengan warna pink itu terlihat sangat girly.

Laila menatap Adnan terperangah, tak percaya dengan jawaban Adnan. "Jadi maksud kamu kalau orang lain yang butuh bantuan, kamu bakal nikahin dia juga? Kalau besok kamu ketemu cewek lain dan dia butuh bantuan bakal kamu nikahi lagi? Iya?"

Adnan terkekeh geli, " Cemburu, eh? "

Pupil Laila sontak membesar, tak percaya dengan jawaban Adnan yang Laila anggap sangat bodoh.

" Aku serius, Adnan! " Seru Laila kesal.

Adnan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Saya lebih tua dari kamu, nggak sopan cuma manggil nama saya"

Laila tak marah, malah mengangguk setuju, "Nah itu kamu tau kalau kamu jaaauhhh lebih tua dari aku. Kenapa harus aku? Anak yang bahkan belum tamat SMA. Kamu gila?! Pedofil ya?!"

"Hei, kamu itu udah 17 tahun! Udah legal untuk menikah. Ktp udah punya kan?"

"You're jerk"

"Yes, i am"

Laila mendengus, 5 menit mereka sama-sama diam. Laila yang malas melanjutkan karena Adnan yang tak serius, sementara Adnan yang tersenyum geli melihat gadis kecil didepannya.

"Bagaimana dengan sekolahku?" Tanya Laila tiba-tiba kepikiran.

"Saya tak menyuruhmu berhenti sekolah. Kamu tetap bisa melanjutkan sekolahmu seperti layaknya anak SMA, lanjut kuliah dan punya cita-cita. Saya tidak akan mengekang kamu" Kali ini Adnan terlihat serius, terlihat bagaimana Adnan menekan kalimat terakhirnya.

"Tapi pernikahan kita pasti diketahui semua orang, aku pasti dikeluarkan dari sekolah kalau aku sudah menikah"

"Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini sampai kamu tamat"

"Nah apa salahnya kalau kamu menunggu sebentar lagi sampai aku tamat?"

Adnan melirik Laila sekilas, lalu mendorong kursi yang didudukinya dengan kaki, membuat jaraknya dan Laila menipis. Kini wajah mereka sangat dekat, hingga bisa merasakan deru nafas masing-masing.

"Dan membiarkanmu kabur dengan pacar ingusan mu itu? In your dream, girl" Adnan mendorong jidat Laila dengan jari telunjuknya. Membuat Laila lagi-lagi merengut kesal.

"Apa sih yang membuatmu berpikiran untuk menikahiku? Apa kamu nggak mau menikah dengan orang yang kamu cintai dan mencintai kamu kembali? Bukan menikah dengan keadaan seperti ini!" Seru Laila tak percaya dengan jalan pikiran laki-laki didepannya.

Adnan terpaku sejenak, berusaha menetralkan lagi air mukanya.

" Karna saya menginginkan Kamu"Jawab Adnan singkat, tapi penuh keambiguan.

Laila menarik nafas dalam, "Lalu bagaimana dengan Rafka?"

"Putuskan!"

"Kamu gila, Adnan?! Aku sayang dia!"

"Tapi kamu akan menjadi istriku!"

"Aku bahkan belum menyetujuinya"

Adnan lagi-lagi menyerngit, "Yakin belum setuju?"

"Belum setelah kamu menjawab pertanyaanku dengan serius" Laila tak mau kalah, ia tak mau membuat Adnan merasa bahwa ia adalah perempuan yang mudah.

"How.. How about sex?" Tanya Laila ragu-ragu. Sebenarnya ini yang paling mengganggu pikiran Laila sedari tadi. Ia tak mau hamil di usia muda.

"Saya tak akan memaksakannya jika kamu belum siap"

########

Continuă lectura

O să-ți placă și

Kurir My Love✔ De sfy

Ficțiune adolescenți

8.8K 744 28
(COMPLETED) [ALKANA SERIES] Jika setiap orang sangat menanti datangnya kurir paket, maka berbeda halnya dengan Ciara. Ciara benci kurir, apalagi kur...
5.8K 171 38
Jatuh cinta diam-diam memang menyakitkan, tapi lebih menyakitkan ketika kita tidak pernah di anggap ada oleh orang yang kita cintai selama ini. Seora...
How Could That Be? De ☁🐳

Ficțiune generală

687 189 13
Zefanya adalah seorang karyawan di salah satu start up unicorn, dia sangat menyukai uang dan kekuasaan. Menurutnya di dunia ini yang tidak akan mengk...
4.9K 636 31
Seorang arwah bernama Ji Sung kembali ke bumi untuk menebus rasa penyesalannya pada Yu Na, wanita yang bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah ya...