Axella [PROSES REVISI]

By blbyla

540K 8.3K 2.6K

Cerita Axel - Laurel✓ [15+] ❝ He's p e r f e c t. Perfect as he wants. Not by my will ❞ Wajahnya, suaranya... More

blurb
bag.1
bag.2
bag.3
bag.4
bag.5
bag.6
bag.7
bag.8
bag.9
bag.11
bag.12
bag.13
bag.14
bag.15

bag.10

7.9K 353 54
By blbyla

"Kita mau lakukan apa di sini?”  tanya Avista. Sekarang mereka sudah ada di salah satu mall ternama di Jakarta. Avista turun dari motor Axel lalu melepaskan helmnya dan memberikannya pada Axel yang baru turun dari motornya juga.

"Belanja,” jawab Axel sambil mengamit tangan Avista agar digandeng menuju masuk pusat pembelanjaan.

"Untuk apa?" tanya Avista lagi.

"Untukmu, Laurel. Suka tidak?"

"Eum, suka! Tapi kenapa kau tak bilang padaku,” keluh Avista, kembali cemberut. Ia mengencangkan tangannya yang sudah digenggam Axel.

"Memangnya harus izin? Ini mal milikmu?" tanya Axel, matanya melihat ke sekeliling. Cukup ramai pagi ini, mungkin karena kebetulan hari Minggu.

Avista menyandarkan kepala bagian sampingnya ke lengan Axel. “Bukan begitu, aku tidak bawa kartu ATM yang saldonya banyak,” jujur Avista, entah sekalian merendah untuk meninggal atau benar-benar merendah.

Axel menerbitkan senyumnya, ia mengacak rambut Avista yang ada di dekat lengannya. “Aku tak menerima penolakan, kauingat?”

*

"Bajunya terlalu ketat!"

"Tidak cocok dengan warna kulitmu!”

"Warnanya terlalu norak.”

"Kau tenggelam dalam baju itu!"

"Tangannya terlalu panjang!"

"Bajunya terlalu murah!"

"Yang ini?" tanya Avista menyodorkan baju yang berwarna hitam kali ini, mungkin karena Axel pria sejati sehingga dia tidak mengiyakan satu pun bajunya yang colourful sejak tadi.

"Bajunya terlalu pendek, kau mau berbagi pusar?”

"Bagaimana dengan yang ini?” Avista melengkungkan bibirnya ke bawah, hampir semua baju yang direkomendasikan dirinya ditolak Axel.

"Terlalu ramai motifnya, ganti.”

"Ini?"

"Ganti!"

"Ganti!"

"Ini Xel bagaimana? Kalau tidak cocok dan kausuruh ganti lagi lebih baik aku pakai karung beras saja!" kesal Avista karena semua pilihan bajunya tak ada yang cocok menurut Axel.

Axel mengalihkan pandangannya dari ponsel. Menatap ke arah Avista dan membangunkan singa yang sedari tadi mengantuk. Matanya tak berkedip sekalipun. Ini sangat cocok! Bajunya tidak terlalu pas dan tidak ketat, tidak mengekspos lekuk tubuhnya dan lengannya juga panjang, tapi tak terlalu panjang.

"Pilihan yang bagus, ayo kita bayar sekarang. Kuyakin kau akan semakin cantik ketika mengenakannya,” goda Axel sambil mencubit gemas pipi Avista.

"Axel! Jangan seperti itu, kita dilihat banyak orang tahu!” keluh Avista. Ia memukuli dada bidang Axel tak terlalu kencang.

“Hanya mencubiti pipimu, tidak mencium pipimu, santai saja," tenang Axel.

Pegawai mal tersebut terkekeh melihat pasangan di depannya ini. "Jadi?" tanya pegawai mal tersebut yang menghentikan aktivitas Axel yang sedang mencubit pipi Avista.

"Jadi, tolong disiapkan," titah Axel dengan nada dingin pada salah satu pegawai mall.

***

Axel berjalan menyusuri mall bersama Avista. Tangan Avista yang kecil ternyata mempunyai tenaga yang cukup besar juga sampai bisa menarik pergelangan tangan Axel dan hampir saja membuat Axel terjungkal karena tarikan tangan Avista yang tiba-tiba dan langsung menuju ke salah satu stand yang ditebak Axel di sinilah surga bagi perempuan. Ada banyak benda berwarna pink membuat Axel bergidik ngeri melihatnya.

"Ya ampun Axel!" teriak Avista heboh saat melihat sebuah cincin yang berwarna pink mengilat dengan motif ralat, tidak ada motifnya—hanya polos saja.

"Kenapa?" jawab Axel biasa saja. Karena menurutnya itu hanya barang murah yang bahkan lebih murah daripada deodorant miliknya.

"Lihat ini! Astaga kenapa elegan sekali!" heboh Avista lalu berlari ke arah kasir. Tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh tangan kekar Axel membuat Avista tidak bisa berlari karena genggaman tangan Axel sangat kuat.

"Taruh di tempat semula,” ucap Axel penuh penekanan seperti biasanya ketika Axel menuntut.

"Tapi aku ingin membelinya!” rengek Avista yang sudah mirip sekali seperti anak kecil.

"Bahkan aku bisa membelikanmu cincin emas Laurel! Bukan cincin imitasi murahan ini!"

"Apa!? Tapi aku mau beli! Aku tidak peduli Xel."

"Taruh Laurel!"

"Ta-tapi ini sangat cantik."

"Aku akan membelikanmu cincin emas nanti, aku tak berbohong."

"Ahhhh ini tidak ada urusannya dengan cincin emas!"

"LAUREL, KU. BILANG. TARUH!"

"Ti-tidak Axel," lirih Avista, kini dia menundukkan wajahnya. Beberapa detik sesudahnya Avista kembali menatap wajah Axel dengan mata yang berkaca-kaca dan menyiratkan pada Axel bahwa dia sangat menginginkan benda lingkaran kecil berwarna pink itu.

Axel yang melihat muka melas dari Avista sedikit tersentuh. Namun, ia tetap mengatakan, "Taruh dan pergi dari sini."

"Tapi ini sangat cantik, Xel. Ini cincin limited edition!” omel Avista, seketika tenaganya menjadi beberapa kali lipat karena Avista mendorong bahu Axel hingga Axel tersungkur ke belakang beberapa langkah.

"Kalau begitu ambil dan bayar."

"Benarkah? Kau serius dengan ucapanmu?” antusias Avista, yang diam-diam menerbitkan senyumnya.

"Cepat Laurel! Sebelum aku berubah pikiran."

Avista langsung ingin berlari ke kasir dan ingin cepat-cepat membayarnya. Namun, tangan Axel masih saja menggenggamnya lengannya, jari-jari mereka senantiasa terpaut. Membuat Avista tidak bisa berlari cepat.

"Kenapa masih di sini?" ujar Axel yang berusaha sabar menghadapi sifat membangkang Avista.

"Axel, tapi—“

"Ambil dan bayar Laurel."

"Tunggu dulu Ax—“

"Apa lagi?!!" geram Axel.

"Tanganmu menggenggam tanganku. Bagaimana bisa aku berlari dan membayarnya?"

Axel terkekeh pelan. Tepatnya menertawai dirinya sendiri. Dia malu sendiri yang sudah sangat memerintah Avista tetapi dirinya sendiri yang membuat Avista untuk tidak mengikuti perintah.

"Oh, astaga memalukan—ahaha!!" tawa Axel meledak. Diikuti dengan Avista yang sama gelinya tertawa. Bahkan tubuh mereka berdua terlihat membungkuk, perut Avista sudah sakit karena tawanya yang tak bisa terkontrol untuk berhenti.

Sayangnya, mereka ada di posisi yang salah. Stand ini tidak diizinkan untuk bicara keras, oh sebentar lagi mereka pasti akan dapat teguran tak sedap. Dan ya, benar! Sepersekian detik berjalan salah satu pegawai dengan kostum merah muda juga datang pada mereka.

Mereka (Axel dan Avista) saling tatap lalu tawa mereka seketika terhenti saat seorang pegawai mendatangi mereka dan ....

Menegur mereka.

"Permisi, maaf tolong jaga suara kalian berdua. Apa ada yang bisa saya bantu? Apa kalian mengidap autisme sampai cincin tidak bersalah itu kalian tertawai?" Sialan, kenapa kata-katanya sangat menusuk? Avista malah memasukkan itu ke dalam kategori yang tidak sopan.

"Maaf sebelumnya. Aku ingin beli ini, dan saya sehat. Tidak mengalami autisme apalagi epilepsi," ucap Avista menyodorkan cincin yang berada di tangan kanannya. Lalu pegawai stand itu pergi ke kasir dengan tatapan datarnya.

"Akan kubeli mulutnya! Beraninya mengataiku autis?" geram Axel yang mencengkram tangan kiri Avista yang masih digenggam oleh Axel.

"Axel. Tanganku."

Axel tersentak lalu melepaskan tangan Avista dan menggantinya dengan sentuhan lembut dipunggung tangan Avista. Mengelus kulit lembut Avista. "Tidak akan patah, Laurel."

Avista terkekeh lalu menepuk pundak pria itu. "Sudah, tidak apa. Aku mau bayar dulu." gumam Avista lalu langsung pergi ke kasir meninggalkan Axel di belakangnya.

"Berapa mbak?" tanya Avista saat Avista sudah sampai di depan meja kasir.

"Sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus (99.900)."

Axel yang menyadarinya segera mengerling ke arah kasir dan memelototi sang kakak –kakak tukang kasir. "Apa?! Bagaimana bisa cincin murahan seperti ini mempunyai harga yang melampaui standarnya?!!" heran Axel saat dirinya sudah ada di sebelah Avista.

"Sudah Axel. Kalau murahan jangan dipermasalahkan."

"Tidak bisa begitu!" elak Axel.

"Bisa Axel. Kalau murah tinggal ambil dan bayar."

"Err, whatever."

Avista mengedikkan bahunya tak peduli dengan Axel yang tak terima dengan harga cincin imitasi miliknya.

"Ini.” Avista menyerahkan selembar uang berwarna merah pada kasir.

"Tidak Laurel." Axel mencekal pergelangan tangan Avista saat Avista ingin menyerahkan uang itu pada kasir.

"Apa? Tinggal ambil dan bayar kan?" goda Avista.

"Aku yang bayar."

"Tidak perlu Axel. Aku bisa membelinya sendiri."

"Hey? Pacar macam apa aku ini? Membiarkan wanitanya membeli barang dengan uangnya sendiri? Tidak Laurel."

"Kau berlebihan Axel. Sudahlah tidak apa. Kau tetap pacarku walaupun aku membeli cincin ini dengan uangku sendiri," ucap Avista yang berusaha melepaskan genggaman tangan Axel.

"Tidak Laurel."

"Hey, please speed up," tegur kasir yang jengah melihat sepasang kekasih yang membuat antrian kasir menjadi panjang hanya karena berebut ingin membayar sebuah cincin.

*
Axel bilang dia ingin melakukan kejar-kejaran dengan Avista. Sedikit terdengar gila memang. Namun, tak ada salahnya untuk mencoba kan? Setelah beberapa menit mereka berlarian ke sana ke mari, cukup terasa asyiknya. Sensasi menabrak dan ditabrak orang jadi suatu hal biasa ketika kalian berlarian ke mal.

Selang beberapa waktu, Avista merasa kelelahan. Ia membungkukkan tubuhnya seperti posisi seseorang yang tengah rujuk saat solat. Napasnya pun terengah-engah, mengejar Axel lama-kelamaan seperti sedang mengejar motor Valentino Rossi. Punggungnya bahkan sudah tak terlihat saat ini.

“Hey, kau tak apa?” Avista tahu itu bukan Axel, suaranya jelas beda. Namun, ia memberanikan diri untuk mendongak, karena rasa penasaran memuncak. Wajahnya dia perlihatkan pada wajah pria tersebut. Avista menatap pria itu dengan tatapan bingung. Entahlah, Avista tidak mengenal pria ini.

"Siapa?" tanya Avista.

"Ah, kenalin gue Aland." Prianya menjulurkan tangan berharap akan disambut baik oleh Avista.

"Aland?"

"Ya. Kau kehausan?" tanya Aland, karena tak dapat uluran balik dari Avista, Aland mengulurkan tangannya untuk mengusap pelipis Avista, menghapus keringat Avista tepatnya.

Namun, siapa sangka Avista menjauhkan tangan Aland yang semakin dekat dengan wajahnya. Tangan Avista menggapai tangan Aland lalu menaruh tangan Aland di samping tubuh pria itu.

"Jangan menyentuh—“ Ah ada yang menyela ucapan Avista.

"Siapa kau?" Pertanyaan dengan nada dingin itu seketika menusuk indra pendengaran Avista. Mengapa Axel datang pada saat seperti ini?

Axel kini sudah berada di belakang Aland. Napasnya memburu dan wajahnya telah menggelap, auranya benar-benar menakutkan. Aland membalikkan tubuhnya untuk melihat jelas siapa orang yang ada di belakangnya.

"Aland," jawab Aland sambil mengulurkan tangannya.

Axel tidak menerima uluran tangan itu, Axel berjalan melewati Aland lalu berdiri di samping Avista dan menggenggam tangan Avista.

"Ada perlu apa  dengan gadisku?" Axel tersenyum sinis ke arah Aland. Tatapan matanya masih tajam pada Aland. Rahangnya mengeras, darahnya mendidih. Axel menghela napas memburu.

"Oh. Sorry, dia pacarmu? Kulihat ia sepertinya kelelahan tadi, maka dari itu aku ingin memberikannya sebotol air ini," jelas Aland sambil cengengesan dan menunjukkan botol air mineralnya.

Axel berdecih meremehkan, “Cih, modusmu murahan sekali bedebah!” maki Axel pada Aland. Tidak peduli betapa banyak pasang mata menatap ke arahnya.

"Santai, kau hanya salah paham," tenang Aland.

"Kau bisa tak selamat jika ini bukan di mal!” bentak Axel.

"Hey, bukan salahku. Kau yang meninggalkan pacarmu begitu saja.”

"This's not your business!”

"Dan bukan salahku juga, kau sendiri padahal—"

"Diam! Cepat pergi atau kaupulang ke rumah tanpa kepala yang utuh!” Mata coklat Axel menyipit berkilat penuh amarah.

"Um, ... kau benar-benar salah paham, dengarkan aku dulu. Kau bahkan belum menyapa uluran tanganku—“

"Tidak berguna uluran tangan dari orang rendahan sepertimu."

"Hei, sudahlah kita menjadi pusat perhatian kau tahu ti—"

"Dan itu semua karenamu.”

"Err, jangan potong ucapanku terus, dude!" sahut Aland sambil bergidik ngeri ke arah Axel karena Axel sudah seperti macan yang ingin memakan mangsanya.

Axel melangkahkan kaki jenjangnya, mendekat ke arah Aland lalu menarik tangan Aland tanpa pikir panjang. Menyeret tangan Aland sampai keluar mal menuju ke parking area.

BUGH!

BUGH!!

Axel melayangkan dua pukulan pada Aland tanpa ampun, pria di depannya ini sudah banyak membangkang dari ucapannya. Sudah banyak melawan perkataannya, mungkin dia bukan manusia. Karena berani macam-macam dengan kepemilikannya, Avista.

"AXEL! STOP IT!" teriak Avista yang baru sampai di parkiran dan sudah disuguhkan pemandangan mengenaskan. Sudut bibir Aland mengeluarkan darah segar berwarna merah pekat yang membuat Avista juga meringis melihatnya.

Tak ada respons, kini Axel menarik kerah baju Aland. Dan Avista kembali memekik, “Axel kauingin membunuhnya, hah?!"

"Kau selalu tahu isi pikiranku, sayang."

"Di mana hatimu! Sudah ini hanya masalah sepele!” teriak Avista. Benar-benar jengah dengan sifat kekasihnya ini, sangat berlebihan

"Seluruh hatiku ada padamu—"

"Diam Axel! Bukan waktu untuk itu!!!" bentak Avista lalu pergi begitu saja. Avista tak kuasa melihat betapa prihatinnya kondisi Aland saat itu.

"Pergi kau, keparat!" Rahangnya kembali tercetak jelas. Sorotan akan kebencian dia berikan semuanya pada Aland.

Axel menghampiri Avista yang berdiri membelakanginya. Avista terlihat menunduk sambil memainkan sepatunya.

"Hei? Kenapa?"

Avista membalikkan badannya, menatap lurus ke retina mata kekasihnya itu. Avista mencebikkan bibirnya, memajukan bibirnya beberapa centimeter menandakan wajah Avista sekarang cemberut. "Kau berlebihan Axel."

"Kau marah?" ucap Axel sambil menangkup kedua pipi Avista.

"Sudahlah lupakan. Kau tidak membunuhnya 'kan?"

"Pacarmu bukan seorang pembunuh, Laurelia."

"Baiklah lupakan Axel, aku lapar."

*

Axel melirik ke arah Avista, terlihat sangat asik memang. Sepertinya gadis itu benar-benar lapar hingga makanannya sendiri diajak berbicara. Friendly vibes dari Avista terasa sekali. "Laurel, aku ingin ke toilet." izin Axel sambil berdiri. Karena jujur makanannya sudah habis 3 menit yang lalu sedangkan Avista sepertinya sangat menghayati makanannya.

Lalu Axel pergi menjauh saja meja itu.

Beberapa menit kemudian Axel keluar dari toilet, berjalan ke arah cermin yang ada di toilet itu. Sedikit merapikan rambutnya yang basah. Lalu berjalan keluar untuk menemui Avista kembali. Axel melirik ke kanan dan ke kiri, ah seperti ingin menyeberang saja. Namun, saat pandangannya ke kiri, mata coklatnya tak lepas dari satu objek yang mencuri perhatiannya.

Matanya menyipit, menjelaskan penglihatannya apakah dia tidak salah lihat. Axel berlari ke sana. Seorang wanita dengan dress di atas lutut berwarna putih berjalan menghampiri Axel. Begitu pun Axel yang berjalan ke arah wanita itu, semakin memangkas jarak antara mereka berdua sampai ....

"Axel?"

Deg!

Tubuh Axel bergetar hebat mendengar suara lembut dari wanita tersebut. Tangannya terulur untuk memukul-mukul kepalanya, lalu menggelengkan kepalanya, Axel sangat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tidak, dia tidak mungkin kembali!

Axel menundukkan kepalanya, memicingkan matanya lalu kembali menatap wanita itu, memperhatikan dari bawah sampai atas, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tangannya meremas kaus oranye-nya dengan sangat erat.

"Raisa?"

"Ini aku, Raisa."

Tidak Raisa, kau datang pada waktu yang tidak tepat!!

Continue Reading

You'll Also Like

347 82 35
The End { Season 2 Last Year } HALLO SEMUAAAA... Yang kemarin takut last year tamat, gak kok. Belum selesai, yang selesai ceritanya. Kisahnya belum...
8K 2.3K 9
TAHAP REVISI! RE-PUBLISH LENGKAP DI UP SE SIAPNYA [FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA KAWAN] [HAK CIPTA DI LINDUNGI ALLAH SUBHANHU WATA'ALA YANG JIPLAK BER...
6.7M 698K 59
Sudah di terbitkan oleh penerbit Bukune (FOLLOW SEBELUM BACA!) untuk saat ini kamu bisa membeli bukunya di toko buku online (FOLLOW SEBELUM BACA!) Mi...
2.1M 17.7K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...