Aim for Aimee

Por nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... Más

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - ❤
16 - 💔
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

46 - Melihatnya Rapuh

178 19 12
Por nellieneiyra

Setelah sebulan lebih sehari hiatus, akhirnya terbit juga part ini. Monmaap ya. Hape eror jadi ga seberapa tenang ngetiknya. Ampe sekarang juga masih sih. Untung inspirasi dateng.

Part ini ngga sebanyak kemaren. Tapi porsi deg degannya lebih banyak. Enjoy!


***

Kalau ini mimpi, Gasta pasti tidak akan merasakan lidahnya sekelu ini. Tentu ini nyata. Aimee berdiri di pintu kamarnya yang terbuka lebar. Senyum tipis terpasang di bibirnya.

Gasta tidak tau harus apa. Mulanya Gasta ingin marah. Pikirannya melesat pada Feliz, dengan mengira bahwa ini adalah rencana bawah tanahnya.
Tapi Feliz tahu apa soal dia dan Aimee? Setau Gasta, Feliz taunya mereka baik-baik saja setelah insiden pemfitnahan itu. Selebihnya, tidak ada yang Gasta ceritakan, terutama tentang Danes.

Gasta hanya mematung sambil menatap Aimee.

"Hei. Bengong. Boleh masuk?"

Gasta terpaksa mengangguk.

Aimee mendekati Gasta. Dia duduk di tepi ranjang, sama seperti beberapa bulan yang lalu saat pertama kali Aimee masuk ke kamarnya secara surprise tersebut. Dua kali Aimee mengejutkan Gasta dengan kehadirannya secara tiba-tiba di kamar ini.

Gasta menatap Aimee dengan tatapan yang 'dibiasa-biasakan'. Seakan Aimee 'bukanlah' Aimee. Seakan Aimee adalah seseorang yang 'biasa', seperti Rinka, Shaci, Nirma ataupun Stella. Ada senyum di bibir Aimee, namun tidak di bibir Gasta.

Gasta menunggu Aimee berbicara.

"Kamu masih sakit?" tanya Aimee setelah melihat jaket biru dongker dan selimut yang membungkus tubuh Gasta.

"Kamu" katanya? Aku-kamuan lagi?

Gasta mengangguk. Dia bertekad mengubah pertemuan ini menjadi sesi tanya jawab saja.

Aimee menyentuhkan tangannya ke dahi Gasta, dan tanpa disangka-sangka Gasta menepisnya.

"Gas? Kamu kenapa?" tanya Aimee heran dengan sikap Gasta. Sikap yang, tidak dingin, namun tidak menunjukkan kehangatan. Satu-satunya yang membuatnya hangat hanyalah raut Gasta yang memang tidak bisa jahat. Gasta menatap Aimee dalam-dalam, tanpa senyum, lalu menjawab "Nggak kenapa-kenapa."

"Kamu masih marah ama aku?"
Gasta menggeleng. Kali ini dia menatap arah lain.
"Ngga apa kan kalo aku jenguk kamu?"
"Ngga papa kok."
"Kebetulan aku ada perlu ama Miss Feliz... Biasa English Club. Terus, kata Miss Feliz kamu sakit, ditawarin buat nengok. Ya, aku tengok aja lah. Lagian... mumpung di sini ya kan." Aimee mengoceh sendiri. Gasta diam saja, membuat Aimee keki sendiri.

Keduanya diam sejenak.

"Kamu apa kabar?" Aimee melempar senyum lagi. Tangannya menyentuh punggung tangan Gasta.
Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas di depan matanya Gasta tergolek lemah tak berdaya. Aimee menepuk jidat dalam hati. Tak bisa dipungkiri hatinya kali itu acak adut tak karuan.

Gasta mulai melengkungkan senyum. Ada ada saja pertanyaan Aimee.
"Kamu sendiri apa kabar?" Gasta nanya balik. Oke, kali ini agak susah untuk menjadikan pertemuan ini seperti interview.

"Aku baik Gas. Baik banget." jawab Aimee. Lega dan terenyuh. Gasta is fine, batinnya.
"Kamu kapan masuk sekolah?" Aimee kembali bertanya.
"Ngga tau. Masih sakit gini."
"Sakit banget ya Gas?"
Gasta mengangguk.
"Banyak PR nih Gas. Duh. Aku belum ngerjakan lagi."
"Ya udah kerjain dulu sana."
"Males. Di sini dulu aja. Ngobrol, ama kamu."

Gasta terdiam. Mulai skeptis dengan perilaku Aimee. Perlahan, dia berusaha duduk.
"Eh, kamu tiduran aja. Jangan. Jangan duduk."
"Ngga papa, ngga papa." Gasta duduk bersandar namun sedikit berbaring.

Aimee menatap Gasta dalam-dalam. Perlahan, airmatanya mulai merebak.

"Mee? Kamu kenapa?" tanya Gasta. Terkejut dengan air muka Aimee yang berubah drastis, yang asalnya sumringah menjadi berduka.
Aimee menangkupkan kedua tangan ke wajahnya, lalu mulai menunduk dan terisak.
"Aimee? Kok? Kenapa sih? Hey!" Gasta mengguncang-guncang pundak Aimee. Tapi dia tidak menjawab. Hanya isaknya saja yang semakin keras.

Gasta memutuskan untuk membiarkan Aimee meluruhkan tangisnya. Yang Gasta tidak tahu, Aimee sedang tenggelam dalam rasa bersalah dan kecewa.

Dia teringat fitnahnya pada Gasta. Serta cerita Feliz soal Gasta yang dihukumnya. Kali ini, menyaksikan Gasta dalam kondisi sakitnya, dengan beberapa memar di leher yang tidak tercover jaket, membuat Aimee sesak.
Berikutnya tumbuh rasa kecewa. Rasa kecewa akibat teringat surat itu. Surat yang menurut Aimee, dirasa Gasta tidak penting. Padahal, Gasta sangat menyesal telah menuruti Danes dan terlambat membaca surat itu.

"Mee? Udah ya?" panggil Gasta lagi.
"Maafin aku." ujar Aimee tiba-tiba. "Aku udah jahat ama kamu, Gas."
"Udah, udah, hey." ucap Gasta, menyeka airmata Aimee dengan ujung lengan jaketnya. "Aku nggak papa. Udah ya. Jangan nangis."

Aimee mengusap airmatanya.
"Aku bener-bener minta maaf, Gas. Maaf banget. Aku udah nyakitin kamu."
"Udahlah. Udah. Udah lama juga kan. Nggak apa." sahut Gasta membesarkan hati Aimee. Sebenarnya sih, membesarkan hatinya juga.

Aimee sebenarnya terisak lebih karena gelisah. Rasa gelisah yang meliputi karena sikap Gasta yang berbeda tadi. Sikap yang menurut Aimee aneh. Menunjukkan bahwa dia tidaklah seperti dulu.

"Aku kesepian, Gas." ujar Aimee tiba-tiba. Dahi Gasta berkerut. Satu nama yang terlintas: Danes. Lantas apa peran dia di hidup Aimee?

"Kenapa?"
"Ngga ada temen cerita." jawab Aimee singkat. Dahi Gasta semakin mengeryit.

"Bukannya... Kamu lagi deket ama Danes?" ragu-ragu Gasta bertanya. Takut amarah Aimee meledak, karena hal itu adalah hal sensitif menurutnya.

"Ya, gimana ya. Bukan berarti aku bisa cerita banyak hal ke dia kan." kilah Aimee. Tentulah Gasta heran. Seantero kelas 8A sudah menganggap mereka jadian, dan ternyata sebatas cerita saja Aimee tidak? Sungguh wow.

"Kenapa gitu?" balas Gasta. Takdir berkata lain. Ujung-ujungnya dia yang jadi pewawancaranya. Aimee yang masih penuh misteri, yang Gasta tak bisa sedikitpun menahan rasa penasaran padanya.

Aimee tidak menatap Gasta. Matanya menerawang ke dinding di belakang Gasta.
"Ya, ngga tau. Ngga bisa, gitu aja. Ngga enak. Ngga pas. Ada yang aneh." jawab Aimee, terkesan asal. Tapi memang itu yang dia rasakan.

"Kamu udah baca?" tanya Aimee.
"Apaan?"
"Surat dari aku."
Gasta menelan ludah. Benda itu lagi.
"Kenapa emangnya?"
"Udah belum?"
Gasta diam beberapa detik.
"Udah."

Aimee menghela napas berat. Nggak peka-peka juga nih anak, batinnya lesu. Aimee menunggu kalimat lanjutan dari Gasta. Tapi, sepertinya Gasta juga melakukan hal yang sama.

"Jadi...."
Gasta tetap diam, sambil memandangi Aimee dengan tatapan menunggu.
"Menurut kamu gimana?"
"Apanya?"

Ya ampun Tuhaaaan! pekik Aimee dalam hati. Susah sekali memancing Gasta. Gasta sengaja bersikap menyebalkan. Dia tau sebenarnya maksud dan keinginan Aimee, namun dia sengaja bertindak seakan tidak peka agar Aimee tau, dia tidak ingin membahas hal itu.

"Duh, Gas." desisnya lirih.
"Aku nulis itu, bukan tanpa alasan. Aku..." ucapan Aimee terhenti. Gasta masih menatap Aimee.
"Aku kangen ama kamu, boleh?" tanya Aimee, kembali menyentuh punggung tangan Gasta.

What??

Gasta berterima kasih pada sirosisnya yang sedang kambuh dan berhasil membuatnya lemah terkulai di ranjang kali ini. Jika sedang sehat, dipastikan pipi Aimee sudah merah oleh tamparannya.

Gasta mengurai senyum. Senyum getir. Tidak mungkin juga kan dia menyentakkan tangannya lalu menyumpahi Aimee dengan kata-kata kotor.

Airmata Aimee kembali terurai. Dia menangis dengan tangan Gasta yang digenggamnya. Gasta membatin. Biar apa, hah? Biar drama? Tapi tetap saja dia diam dengan senyum getirnya.
Tak lama, diusapnya airmata Aimee.

"Cengeng ih." ujarnya. Tertawa lirih.
"Aku kangen kita yang dulu, Gas. Kita, yang bener-bener kita. Yang pulang naik angkot bareng. Yang kelompokan bareng. Yang semuanya bareng." Aimee berujar di tengah isaknya.

Gasta tetap tersenyum.

Tentulah hatinya juga rindu setengah mati. Tapi, semakin kesini semakin dia tidak paham dengan sikap Aimee. Semakin kesini, Aimee semakin penuh misteri yang mana Gasta tak bisa menebaknya. Sehingga rasa kesal juga tak dapat dipungkiri.

Tiba-tiba Gasta terngiang obrolan hatinya beberapa menit yang lalu.
Gas, mau mangkir lagi?

Si hati bersuara lagi.

Ini momen yang tepat, Gas. Go tell her.

"Aku boleh nanya sesuatu?" tanya Aimee tiba-tiba.
"Apa?"
"Kamu... Kamu beneran, udah ngga ada rasa lagi ama aku?" tanya Aimee, dengan suara yang masih serak.

Napas Gasta tercekat. Kenapa pertanyaan semacam itu yang terlontar dari mulut manisnya? Dan bagaimana bisa Aimee seberani itu membahas hal tersebut?

Nah loh Gas! hatinya memekik.

Senyum Gasta mendadak sirna, berganti tautan di alisnya yang mengkerut.
"Menurut kamu?" Gasta malah balik nanya.
"Menurut aku, mmm..." jeda Aimee, "yang kamu bilang ke aku itu, boong."

Apa gue bilang Gas? Bahkan tanpa lo beritaupun, dia udah tau. Masih mau mangkir lo?

Gasta ingin menutup kedua telinganya dengan ujung jari, tapi takut disangka gila oleh Aimee. Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam.

"Sepenting itu, ya, Mee?"
"Apanya?"
"Perasaanku ke kamu."
"Menurut kamu?" balas Aimee. Skak mat.

Dada Gasta sesak. Apa-apaan coba. Aimee dan misterinya seakan tiada henti-hentinya minta dikuak.

"Aimee." panggil Gasta. "Kamu tau kenapa aku ngga jawab pertanyaanmu gitu aja?"
Tanpa menunggu Aimee menjawab, Gasta melanjutkan.
"Karena aku nggak mau jadi tanda tanya terus buat kamu, Mee."

APA-APAAN LO GASTA! LO BEGO! LO PENGECUT! LO PEMBOHONG! LO NGAPAIN BILANG KAYA GITU! TARIK LAGI GA! TARIK!

"Hah?" Aimee tak mengerti.
"Iya. Aku... hash. Ga tau lah. Ga penting. Yang pasti Mee, aku ngga mau terus-terusan jadi tanda tanya buat kamu. Kamu ngga perlu bertanya-tanya soal aku. Aku udah ngga bisa selalu ada buat kamu, Mee. Sekarang yang penting, kamu udah ama Danes. Itu. Udah." cerocos Gasta panjang lebar. Wajahnya tapi seperti ketakutan, kebingungan. Aimee pun demikian. Dia menduga Gasta berbicara tidak hanya dengan dirinya.

Suara hati Gasta menyerang lagi.
LO UDAH JANJI, GOBLOK! TAI LO, GAS! KENAPA LO BOHONG LAGI SIH? MAU SAMPE KAPAN? BUKAN AIMEE DOANG YANG LO BOHONGIN GAS, TAPI ATI LO NDIRI! BANGSAT!

"Jadi kamu..." ucap Aimee terbata-bata.
"Gue gak bohong!" sahut Gasta nyaring.
"Gasta!" seru Aimee. "Kamu kenapa?" paniknya, memegangi kedua lengan Gasta yang tangannya kini menutup kedua telinganya.

"Gak! Gue gak bohong! Lo diem! Dieeem!" Gasta terus berteriak-teriak dengan kedua mata terpejam kuat dan masih, kedua tangan menutup telinga.

Aimee jelas panik. Gasta terus-menerus berteriak, seakan Aimee tidak ada di situ. Ditambah lagi kedua kakinya yang dihentak-hentakannya. Gasta seperti kesetanan.

"Miss Feliz! Miiiiiss!!!" teriak Aimee dari kamar. Gasta masih berteriak-teriak. Seperti kesakitan, tapi tanpa artikulasi yang jelas. Tak lama kemudian, dia menangkupkan kedua tangan di wajahnya. Kedua bahunya berguncang.

"Gas... Kamu..."
"Kamu keluar." ucap Gasta lirih dan serak.
"Aku..."
"Keluar!" Gasta mendorong kedua bahu Aimee. Aimee hampir terjengkang, di saat yang bersamaan dengan kedatangan Feliz di kamar itu dengan tergesa-gesa.

"Gasta!" Feliz meraih Gasta lalu merengkuhnya dalam pelukannya. Aimee menatap Gasta tak percaya. Aimee melihat dengan jelas, Gasta menangis dalam pelukan Feliz. Di dada Feliz. Sesenggukan. Untuk pertama kalinya dalam hidup Aimee.

"Udah, Gasta, udah. Ada Kakak. Udah ya, udah." Feliz menenangkan Gasta, mengusap-usap punggung adiknya yang tangisnya kian menguat namun tanpa suara itu.

Aimee tercengang setengah mati. Semua itu terjadi begitu cepat. Perubahan emosi Gasta.

"Aimee keluar." tiba-tiba Gasta bersuara. Sedikit tidak jelas, karena kepalanya ada dalam dekapan Feliz.
"Gas..."
"Keluar!!!"
Feliz merasa tidak enak. "Aimee tunggu di bawah ya, nanti Miss Feliz nyusul."
"Tapi..."
"Udah, Aimee nurut aja." pinta Feliz setengah berbisik. Sorot matanya tampak panik setengah mati, membuat Aimee tak berkutik lagi untuk melawan.

Aimee keluar kamar, menuju ruang tamu. Bersamaan dengan linangan airmata yang mengalir deras di pipinya.

***

"Ensefalopati hepatik."

Aimee dengan mata sembabnya mendongak ke arah Feliz. Tentu saja dengan tanda tanya besar di kepalanya.

"Kalo heparnya lagi parah, orang yang punya sirosis bisa ga stabil emosinya, Mee." Feliz mengusap-usap pundak Aimee. "Maafin Gasta, ya?"

Aimee mengangguk. Tapi masih tidak mengerti. Dia menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang tamu.

Aimee kira, penyakit fisik tidak bisa berdampak langsung pada psikis seseorang. Ternyata bisa. Tapi tetap saja Aimee tidak mengerti. Dia masih menganggap Gasta tadi sangat marah padanya, lalu mendorongnya.

"Nih." Feliz menyodorkan ponselnya. Di sana, terdapat artikel seputar ensefalopati hati. Ternyata, hati penderita sirosis mengeluarkan racun yang bisa menjalar ke otak dan menyebabkan penderita mengalami kebingungan, bahkan bisa sampai histeris jika sedang diiringi dengan stres.

"Maklumi aja ya Mee." ujar Feliz lagi.

Aimee masih syok. Gasta, dengan kasarnya, mendorongnya hingga hampir terjatuh. Iya, Gasta. Gasta yang dulu begitu lembut padanya. Yang tawanya selalu mengisi hari-harinya. Yang selalu membesarkan hatinya. Tapi kini, hati Gasta-lah yang besar. Bukan karena Aimee, tapi karena penyakit sirosis yang menyerangnya.

"Gasta pernah gini sebelumnya, Miss?" tanya Aimee. Feliz mengangguk.
"Tapi yang sampai teriak-teriak kaya tadi, baru kali ini." sahutnya, mengurai senyum. Aimee tau senyum itu direntangkan untuk menyemangati dirinya.

Tak lama kemudian, Aimee pamit. Pergi dengan airmata yang sudah ditahannya sedari tadi, yang ditumpahkannya begitu dia menghilang dari pandangan Feliz.

Seguir leyendo

También te gustarán

52.5K 938 25
156K 4.1K 37
it is (the continuation) of the Wattpad of Shadowmonarch325 because I really like the concept with now all the school of oreigaru QQ Cote ... as well...
22.4K 1.3K 33
Y/N is reincarnated in HI3rd as her/his favorite character, Houraiji Kyuushou. She finds herself in Nagazora, and starts to explore it, trying to fin...
268K 7.8K 133
"𝑻𝒉𝒆𝒓𝒆'𝒔 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒍𝒚 𝒏𝒐 𝒘𝒂𝒚 𝒐𝒇 𝒘𝒊𝒏𝒏𝒊𝒏𝒈 𝒊𝒇 𝒊𝒏 𝒕𝒉𝒆𝒊𝒓 𝒆𝒚𝒆𝒔 𝒚𝒐𝒖'𝒍𝒍 𝒂𝒍𝒘𝒂𝒚𝒔 𝒃𝒆 𝒂 𝒅𝒖𝒎𝒃 𝒃𝒍𝒐𝒏𝒅𝒆."