MATAHARI API

By nadyasiaulia

57.6K 6.3K 2.7K

Hidup Gesna berubah. Dia yang biasanya petakilan dan tertawa membahana, mendadak galak dan jutek kalau ketemu... More

PROLOG
1. Diam-diam
2. Kepala Suku
3. Tragedi Bokser
4. Putri Salju
5. Perisai
6. Permainan
7. Ayam Bakar Madu
8. Bubur Ayam
9. Pyjamas Party
10. Manuver
11. Pelangi
12. Penasaran
13. Diapelin
14. Sebuah Misi
15. Kurcaci
16. Yang Mengawasi
17. Sisi Lain
18. Lebih Dekat
19. Dalam Gelap
20. Bukit Rahasia
21. Titik Awal
22. Sebuah Kebetulan
23. Sebelah Tangan
24. Keluarga
25. Guntur Menghilang
26. Mengaku Kalah
27. Di Belakangmu
28. Pura-pura Baik-baik
29. Ksatria Untuk Xena
30. Mrs. Aditya
31. Kantin Kelas Dua Belas
32. Percakapan Tangga
33. Ayo Bicara
34. Membesarkan Hati
35. Sial Amat
36. Janji Adalah Janji
37. Sok Ganteng Stadium Empat
38. Label Sahabat
39. Rasa Tak Terperinci
40. Timpang
41. Perubahan Berarti
42. Hanya Mimpi
43. Kepastian Yang Menyakitkan
44. Di Bawah Nol
46. Ingatan Paling Mengerikan
47. Gosip Hangat
48. Sahabat Itu Obat
49. Missing Something
50. Forgive Me
51. Sinyo
52. Konspirasi Hujan
53. Pagi Berikutnya
54. Juru Kunci
55. Mengenal Lebih
56. Kembali Ke Basecamp
57. Lagi Rindu
58. Matahari Terbit
59. Mau Kencan
60. A Man Called Papa
61. Titanium Girl
62. Waktu Malam Itu

45. Keinginan Terpendam

422 72 26
By nadyasiaulia

(OST. Larut - Dewa 19)

•••

Keinginan Terpendam

•••

Gesna melewati ruang tamu rumah Guntur dengan menyengir pelan. Dia tidak kenal teman-teman sekelas Guntur. Dari semua itu, hanya Joceline yang dikenalnya. Sebatas kenal saja, itu pun dikenalkan Guntur. Mengabaikan tatapan heran yang lain, Gesna melenggang ke dalam.

"Mamah, Gesna datang," serunya dengan kedua tangan terangkat ke arah dapur.

Di sana, ada Mamah dan Pelangi. Mamah yang bercelemek tampak sedang sibuk menyiapkan sesuatu dan Pelangi ikut membantu Mamah. "Wah, apa nih yang bisa Gesna bantu?"

Pelangi tertawa mengejek. "Kak Gesna nongolnya waktu kita udah mau selesai, Mah. Pasti sengaja."

"Kenapa buka rahasia sih, Ngi? Ah, jujur banget lo." Gesna tergelak sambil memperhatikan tangan Mamah yang cekatan mengisi tahu. "Bikin apa, nih, Mah?"

"Tahu isi," ujar Mamah. "Buat teman-temannya Abang yang lagi kerja kelompok. Kamu enggak ikutan itu kerja kelompok?"

"Beda, Mah. Abang kelas IPA, Kak Gesna itu IPS," sahut Pelangi yang mulai memasukkan tahu ke penggorengan.

"Siapa tahu pelajarannya sama?" Mamah menaikkan alisnya yang tipis. Tangannya masih mengisi tahu yang tersayat dengan adonan sayur. "IPS belajar matematika juga, kan?"

Gesna menaikkan telapak tangan untuk menolak ide baik dari Mamah. "Enggak usah, Mah. Lihat rumus-rumusnya aja, Gesna udah alergi."

Mamah tertawa kecil dan paham. "Sama. Mamah juga dulu, waktu masih muda, enggak suka hitung-hitungan. Lieur, mumet Mamah rasa." Ketika semua tahu yang ada sudah terisi, Mamah lantas menyuci tangan. Wanita itu dapat menebak tujuan Gesna datang ke rumah hanya dari pakaian yang Gesna kenakan. "Ada latihan basket, sore ini?"

"Iya, Mah." Gesna membantu menata tahu yang telah diangkat Pelangi di piring ceper, juga mencuci cabe rawit sebagai pelengkap. "Bulan depan ada turnamen. Gesna datang mau nebeng sama Guntur aja ke sekolah."

"Eh, tapi ... kamu kok kurusan?" Mamah membalik badan Gesna, tampak memperhatikan perubahan di tubuhnya. "Udah makan siang belum? Mau Mamah gorengin ayam?"

Ditanya seperti itu, Gesna hanya meringis. Dia sudah makan waktu istirahat kedua di sekolah. Makan sepiring siomai. Setelah sampai rumah, entah kenapa nafsu makannya lenyap tanpa sisa. "Ah, Mamah perhatian bener, jadi cinta..." seloroh Gesna sambil menaruh kepala di bahu Mamah dengan manja. Dia langsung tertawa saat Mamah mencubit pinggangnya.

"Mamah gorengin ayam, ya?"

"Enggak usah, Mah. Tahu goreng ini aja udah cukup. Ada buat Gesna, 'kan?" Gesna mengambil sebuah tahu yang sudah matang dan menggigit ujungnya.

"Enggak. Kakak enggak dapat bagian tahu, cuma dapat bagian cuci piring aja." Pelangi menjulurkan lidah dengan usil.

"Mah, lihat Pelangi, Mah. Jahat sama Gesna," seru Gesna sambil mulai mencungkil isi tahu, mengeluarkan pelan-pelan di piring kecil.

"Gesna, kenapa atuh dikeluarin lagi? Susah-susah lho Mamah masukkinnya." Mamah yang sudah melepas apron melirik sok galak ke arah Gesna.

Sadar kalau itu akan membuat Mamah kecewa, Gesna mulai sedikit merengek. "Bukan gitu. Kan ini sayur, Mah. Gesna enggak suka."

"Coba dulu." Mamah mengambil sayur yang sudah dikeluarkan Gesna pakai garpu dan menyuapkan ke bibir cewek itu. "Cicip dikit aja biar Gesna tahu rasanya. Dikit aja."

Mau tidak mau, Gesna menerima suapan Mamah. Berdecap untuk mengunyah barang asing yang masuk ke mulutnya. Terasa agak aneh, tapi enggak pahit dan lumayan gurih.

"Enak, 'kan?" tanya Mamah memastikan. Memperhatikan bagaimana perubahan ekspresi Gesna yang semringah dan mengangguk-angguk. "Mamah nggak mungkin meracun anak sendiri. Ayo, dimakan sayurnya. Biar sehat."

Tersenyum garing, Gesna berusaha untuk mencicil sayur yang tadi dia keluarkan. Benar juga kata Mamah, enak. "Ini kan karena Mamah yang masak, makanya enak."

"Kadang apa yang kita enggak suka, ternyata malah bagus buat kita. Apa yang kita suka, malah enggak bagus buat kita. Gitu, 'kan?" ujar Mama tersenyum. Kalimat yang membuat Gesna tertunduk merenung.

Wanita itu meminta Pelangi siapkan es sirup, sementara Gesna yang sudah menggantikan Pelangi untuk menggoreng sisa tahu hingga selesai, diminta membawa ke depan. "Gesna bawain tahunya ke depan, ya? Biar Pelangi yang bawa sirup."

Mendadak, Pelangi dan Gesna sama-sama menoleh. Wajah mereka berdua menunjukkan keberatan yang sama. Seolah mempertanyakan kenapa mereka yang diminta menghidangkan makanan. "Panggil Abang ajalah, Mah," usul Pelangi.

"Ah, udah, ah. Tinggal dibawa aja. Hayuk, bawain ini makanan ke depan."

Tahu protes mereka tidak berguna, Gesna dan Pelangi kemudian membawa sajian itu ke ruang tamu. Gesna menaruh nampan berisi dua piring tahu isi dan Pelangi menaruh nampan berisi seteko sirup juga gelas-gelas kecil.

"Dimakanin, ya. Ini tadi Gesna sama Pelangi yang masak," ujar Mamah seraya tersenyum kepada teman-teman Guntur.

"Mah," desis Gesna ke arah Mamah. Ternyata ini alasannya Mamah meminta dia mengantar makanan.

Guntur terkekeh melihat muka Gesna yang pasrah, sementara Pelangi memilih cepat menghindar dari ruang tamu. Sembari berjalan masuk kembali ke ruang keluarga, Gesna bersungut. "Mamah sengaja jailin Gesna, nih."

"Biar cowok-cowok itu tahu kalau kamu bisa masak. Gitu, lho." Mamah tertawa sambil masuk ke kamar. Sepertinya wanita itu memang benar-benar ingin mandi.

"Ini lagi, cepat amat lo hilang, Ngi."

Pelangi menyengir sambil bersandar di sofa, menghidupkan televisi. Gesna ikut duduk di samping Pelangi sambil menikmati tahu isi. Dia lalu berbisik, "Ngi, gimana rencana nanti malam? Aman?"

Pelangi mengedipkan sebelah mata, menjawab pertanyaan Gesna. "Kakak nginap di sini aja, ya."

"Tapi, entar ketahuan," gumam Gesna. Ya, Guntur pasti tahu. Karena tahun lalu, dia menginap di tempat Guntur untuk merayakan pergantian umur cowok itu. Tahun ini, Gesna bersama Pelangi ingin memberi kejutan lagi.

"Ya, jangan datang cepat. Datangnya waktu mau jam dua belas," tambah Pelangi dengan santai dengan lebih nada rendah dari suara televisi.

Gesna berdengkus sambil menarik sejumput rambut Pelangi. "Terus? Gue mesti begadang sampai jam segitu?"

"Apa, kek. Apa, kek, Kak. Jaga-jaga di pos satpam juga boleh." Tawa Pelangi kemudian pecah berderai.

"Jahara banget lo ngetawain gue, ya." Gesna menarik lagi rambut Pelangi yang sedang tergerai. "Gue kutuk jadi arca nanti lo."

"Berarti Kak Gesna ini Nenek Sihir?" tambah Pelangi.

"Ngiiii. Ah, udahlah. Kepret juga, nih," seru Gesna sambil membuka ketiaknya ke arah Pelangi. Cewek itu lantas lari menghindar dan Gesna mengejar.

Tawa kencang Pelangi dan Gesna terdengar hingga ke ruang tamu. Kelompok Guntur yang telah selesai belajar kelompok, sedang bersiap-siap untuk pulang. Tahu isi dan es sirup yang tersaji juga sudah tandas.

"Lo sama Gesna memang dekat, ya, Tur?" tanya seorang anggota kelompok sembari berjalan keluar rumah.

"Namanya juga tetangga," balas Guntur sambil tersenyum kecil. Dia lalu melambai ke teman-teman yang mulai berpulangan.

Guntur menoleh ke Joceline. "Kamu biar aku antar aja. Tunggu sebentar aku ambil helm." Guntur masuk kembali ke rumah dan kembali dengan sebuah helm.

Seruan Pelangi dan gelak Gesna masih terdengar hingga luar. Ketika Guntur hendak jalan, Gesna malah sempat berlari keluar dan berteriak ke cowok itu. "Gun, GPL, ya! Latihan jam empat!"

Guntur mengangguk dan mulai jalankan motor. Jarak perumahannya dan Joceline tidak jauh sehingga tidak memakan waktu lama.

"Gesna itu dekat banget ya sama Pelangi?" tanya Joceline di balik helm.

"Ya, gitu. Yang kakak-adik itu mereka, aku kayak anak pungut," jelas Guntur sambil tertawa. Apalagi ketika Joceline menepuk bahunya karena tidak terima. "Enggak percaya kamu? Belum lihat sih Mamah ke dia kayak gimana."

Guntur tentu tidak tahu kalau Joceline meringis, berusaha riang meskipun kenyataan sebaliknya.

"Percaya. Tadi, waktu aku ke toilet. Aku dengar Mama kamu tanyain Gesna udah makan atau belum."

Kepala Guntur mengangguk. Mamah memang sayang sekali dengan Gesna dan dia tahu itu. Mereka telah sampai di depan rumah Joceline. Cewek itu beranjak turun, menyerahkan helm ke Guntur.

"Makasih, ya, Tur."

Guntur mengangguk lagi. "Jangan capek-capek, banyakin istirahat."

Senyum di bibir Joceline terangkai. Cewek itu melambaikan tangan, menepis kerisauan di dalam hati. "Hati-hati di jalan."

***

Ada yang bilang, mantan itu semakin memukau setelah putus. Selepas hubungan berakhir dan di antara keduanya tidak ada ikatan apa-apa. Adit setuju istilah tersebut. Sebab, entah kenapa, Gesna makin terlihat bersinar saja.

Adit mengamati setiap pergerakan cewek itu. Setiap instruksi yang diminta pelatih. Setiap gerakan-gerakan yang Gesna lakukan, baik yang salah ataupun yang benar. Setiap seruan kemenangan dari bibir Gesna juga setiap gelak yang terlepas dan terdengar hingga tempat Adit berdiri.

"Gege, lebih tinggi lagi," pinta pelatih dari pinggir lapangan. Cewek yang sudah berkeringat itu lalu mengikuti arahan untuk melenting berkali-kali. Lapangan dibagi menjadi dua, barisan tim putri ada di sebelah kiri dan tim putra berada di sebelah kanan. Pelatihan kedua tim itu berbeda. Namun, acap kali sesi latihan berakhir, Adit sering melihat pertandingan antar dua tim. Kadang masing-masing tim sendiri itu dibagi dua, kadang juga antara tim putri dengan tim putra. 

Seperti kali ini, tim putri diminta untuk bertanding melawan tim putra. Bagaimana postur-postur tinggi dan besar mereka harus disiasati oleh tim putri. Adit melihat bagaimana Gesna mencari celah dengan cara meningkatkan ritme serangan, bermain bola-bola rendah dan meminimalisasi mengoper dari atas. Beberapa kali, cewek itu juga mengelabui Guntur dengan berpura-pura akan melompat. Ketika Guntur refleks melompat, Gesna menyelip atau mengoper kepada anggota lain yang ada di sekitar.

Ada beberapa anak kelas dua belas yang masih ikut berlatih. Adit melihat Adji dan Gita, mantan kapten basket di angkatannya. Mereka lebih memilih latihan di lapangan daripada les dalam kelas. Sama seperti dia, memilih duduk di tangga darurat daripada mendengar penjelasan yang tidak berhasil masuk ke otak.

Di lapangan, Gita dan Gesna terlihat akur juga kompak. Muka mereka terlihat serius, sesekali tertawa ketika berhasil memasukkan bola.

Adit mengulas senyum tipis. Untuk hal-hal yang Gesna sukai, Adit yakin tekad baja cewek itu. Tidak peduli matahari seterik apa, tidak peduli keringat sudah sebasah mandi, Gesna tetap saja bersemangat. Menawan dengan caranya sendiri.

Mata Adit masih mengawasi pertandingan. Bukan hanya pada hari-hari biasa, di lapangan pun Gesna selalu berhubungan dengan Guntur. Cowok itu sering menghalangi serangan Gesna atau Gesna yang berusaha mengawasi pergerakan Guntur. Sepertinya mereka memang cocok, saling mengerti dan memahami.

Adit menyandarkan punggung pada besi tangga yang berkarat. Dari celah-celah besi, dia masih memperhatikannya. Juga saat Guntur melonjak untuk mengadang lompatan Gesna. Seruan keras terdengar dari lapangan, Gesna terpelanting lalu terjatuh di sana.

"Lo sengaja nabrak gue, ya?!" pekik Gesna sembari meringkuk.

Guntur terkekeh lantas mengulurkan tangan, membantu Gesna untuk bangun. Cowok itu mengacak rambut Gesna sambil terlihat membela diri. Entah berbicara apa, Adit tidak bisa mendengar dari sisi lantai tiga ini.

Gesna yang telah menerima bantuan Guntur lalu dipapah ke bangku semen di pinggir lapangan. Posisi cewek itu kemudian digantikan yang lain. Adit mengamati Gesna, sepertinya cewek itu masih meringis. Tangannya memegangi lutut yang sudah diselonjorkan.

Apa lutut Gesna bengkak lagi?

Adit sudah ingin berbalik turun jika saja dia tidak ingat kalau apa pun yang dia bikin tetap akan ditolak Gesna. Mengacak rambut gusar, Adit sadar kalau tidak bisa berbuat apa-apa selain menjadi penonton pertunjukan. Serumit ini memang jika kepedulian hanya dianggap mainan. Mau berbuat baik saja sulit, takut dituduh macam-macam.

Kelas-kelas yang tadi mengikuti les tambahan mulai bubar. Gesna juga sudah tidak ada di pinggir lapangan. Semua berlalu dalam sekejap saat Adit sibuk dengan pikirannya sendiri

"Woy, cabut melulu lo." Bara menepuk bahu Adit yang masih bersandar di sudut tangga darurat lantai tiga. Ini sudut rahasia, hanya mereka saja yang tahu. Letak tempat itu jauh dari akses tangga biasa yang dipakai murid dan guru sehingga aman dari gangguan siapa pun.

"Lagi cari angin," kilah Adit sambil kembali menatap langit.

"Segala angin pakai dicari. Alasan lo." Cowok itu tertawa di samping Adit, ikut menyandarkan tubuh di dinding yang catnya mulai terkelupas. "Dia masih belum mau ngomong juga sama lo?"

Mengedik pelan, Adit menoleh. "Bagi rokok, Bar."

"Nggak bawa." Bara terlihat meneliti Adit. Cowok itu mesem-mesem. "Ternyata gini lo ya kalau jatuh cinta. Jatuhnya payah, move on-nya payah."

"Yang dulu nyuruh gue buat jujur siapa, ya? Bilang penyesalan di akhir, kalau di depan namanya preambule," balas Adit melirik tajam. Dia mulai berdiri dari posisi jongkok.

Tawa yang sudah tidak bisa Bara tahan kemudian lepas. "Menyesal?"

Adit mulai tersenyum. Menyesal? Rasanya tidak. Walaupun sebentar, kisah dia dan Gesna layak untuk tetap diingat. Meski tidak terlampau manis, tetap indah untuk dikenang. Terkadang, ada yang terasa hangat di dada, hanya karena mengenang bahwa cewek itu pernah tersenyum untuknya.

"Enggaklah. Yang terjadi, ya udah. Balik, yuk," ajak Adit sambil menerima tas yang disodorkan Bara.

"Relakan yang terjadi takkan kembali. Dia sudah miliknya bukan milik kita lagi." Bara kembali menyengir sambil menyanyikan secarik lagu Iwan Fals. Mereka melangkah kembali ke koridor lantai tiga, menuruni tangga yang mulai sepi.

"Tak perlu menangis tak perlu bersedih. Tak perlu tak perlu sedu sedan itu," timpal Adit ikut berlagu.

"Hadapi saja," tambah Bara, mengedip penuh kode dan langsung dibalas Adit dengan rangkulan.

"Cover itu, yuk?" ajak Adit masih terus melangkahi tangga lantai dua. 

"Boleh!" seru Bara senang. "Gaspol!"

Di ujung anak tangga lantai satu yang mengarah ke koridor, langkah mereka terhenti. Gesna yang jalan tertatih dibantu Guntur juga menoleh ke arah mereka. Bara buru-buru menunduk, sedangkan Adit, tatapannya beradu dengan pandangan Gesna. Cewek itu dengan cepat membuang muka ke arah depan.

Mata Adit lantas menyapu ke arah bawah. Benar, lutut Gesna bengkak lagi. Perhatian Adit tetap terpaku ke lantai sambil menunggu langkah kaki dua orang tersebut menjauh.

"Pelan-pelan, sih, Ge. Ngapain mesti buru-buru?!" protes Guntur yang tidak menyadari ada Adit dan Bara karena berada di sisi sebaliknya.

"Bawel," dengkus Gesna yang sedang mempercepat langkah meski terpincang-pincang.

"Nanti otak lo makin kejepit, Ge."

Tangan Gesna yang ada di bahu Guntur langsung mendorong kepala cowok itu. "Otak lo tuh yang skip waktu pembagian. Udah tahu setinggi galah, masih juga lompat buat ngehalangin gue. Lo berdiri diam aja udah bisa menghalangi seluruh umat manusia, Gun."

"Ini yang gue enggak suka sama anak IPS, ngelesnya juara satu," caci Guntur sebagai balasan. Gesna mulai tertawa berderai, terus berjalan menuju parkiran sepeda motor.

Semua itu tidak luput dari atensi Adit. Dia tentu tahu kalau Gesna dan Guntur pernah bertengkar, tetapi mereka berdua dapat berbaikan. Seandainya bisa, Adit ingin seperti itu juga. Dimaafkan dan berdamai. Terlalu mustahil kalau Gesna mau lagi jadi pacarnya. Adit hanya ingin bisa bercakap, kembali bercerita apa saja walau sebagai teman. Tanpa Gesna, ada yang terasa kosong dan hilang.

🌺🌺🌺

Aku kan cuma mau berkawan.

Bab selanjutnya gue enggak mau sedih-sedih lagi.

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 394K 55
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
6.7M 285K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.4M 306K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...