Yes, Dating Only For 5 Months!

By shadow-ann

1.4K 104 1

Christian Budiman. Cowok yang mengisi masa SMA-ku dengan indahnya. Sejak pertama kali pertemuan kami yang sep... More

Chapter 1 : Florence Ardiana
Chapter 2 : Christian Budiman
Chapter 3 : Aku Panggil Kamu Christ, Ok?
Chapter 4 : Flo Apa? Ah, Bodo Amat!
Chapter 5 : Christ, Let's Dating!
Chapter 6 : Jangan Bercanda
Chapter 7 : Minggu Depan Ya
Chapter 8 : Whatever
Chapter 9 : Wanna Be Your Girlfriend
Chapter 10 : Up To You
Chapter 11 : Jangan Jatuh Cinta Dengan Yang Lain
Chapter 12 : Denganmu Saja Nggak, Apalagi Yang Lain
Chapter 13 : Ini Kan Kencan Pertama Kita
Chapter 14 : Bukan Itu Yang Aku Pikirkan
Chapter 15 : Apa Aku Mampu Untuk Melepasmu Nanti?
Chapter 16 : Sepertinya Aku Sulit Melepasmu Sekarang
Chapter 17 : Kamu Nggak Berminat Menjelaskan Soal Yang Terjadi Semalam?
Chapter 18 : Apa Yang Harus Kujelaskan? Memangnya Aku Dukun?
Chapter 20 : Kamu Bukan Parasit Lagi Untukku

Chapter 19 : Aku Nggak Ingin Jadi Beban Untukmu

26 1 0
By shadow-ann

Kami berdiri sesuai kelompok dan berdoa bersama. Salah satu pemuda sekretariat tadi sempat memberitahukan bahwa perjalanan kami akan memakan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Sepanjang jalan terdapat semak ilalang yang tidak terlalu tinggi dan pohon yang berdiri berjauh-jauhan.

Menuju pos kedua memakan waktu lebih lama dari entry point ke pos pertama. Jalurnya juga membutuhkan teknik scrambling alias bantuan tangan. Pos ketiga jaraknya lebih jauh lagi. Sedangkan menuju pos empat hanya setengah jam lebih.

Pos kelima merupakan daerah yang datar dan agak sedikit terbuka. Kami sempat beristirahat sekaligus makan malam sekitar lima puluh menit beralaskan matras, karena menuju pos enam butuh tenaga lebih. Benar saja, track-nya dihiasi ilalang dan pohon yang dipenuhi lumut.

Lalu ada tanjakan yang hampir mencapai empat puluh lima derajat. Tidak hanya kaki tetapi juga tangan untuk merayap dengan meraih akar dan batu di sepanjang jalur ini. Kemudian kami melewati jalanan berbatu besar dengan suhu yang makin terasa dingin.

Normalnya, butuh dua jam lebih untuk sampai disana. Tapi kami sampai sekitar jam sebelas lewat, hampir tengah malam. Kenapa begitu? Karena aku dan Christ tertinggal dari kelompok!

Ini karena setelah tanjakan yang disebut-sebut sebagai 'tanjakan helikopter' itu, rambutku tersangkut akar ketika mencoba meraih senter yang jatuh terguling-guling ke jurang dari tanganku yang licin. Ada ular yang mengagetkanku sebelumnya. Hewan melata itu bergerak mendekat sehingga membuatku panik. Ilmu pramuka sungguh sulit kuterapkan di kondisi ekstrem seperti ini. Kepala Christ muncul dari atas, berikut tangannya yang berusaha menarik lenganku.

"Rambutku, jepitannya nyangkut," desahku.

"Pegang lilin ini, ulur waktu supaya dia nggak mendekat."

Christ mencoba membantu melepas rambutku dari akar yang berlumut itu, tapi sulit. Dia mendesah beberapa kali, mencoba lagi namun gagal.

"Nggak ada waktu lagi. Lebih baik begini."

Dengan cepat, tanpa bisa kucegah, Christ memotong bagian yang tersangkut itu dengan pisau lipat dari sakunya. Melempar dengan asal apa yang telah dipotongnya tadi. Bunyi gemeresik menjauh ke arah jurang.

"Jepitanku..."

Tanpa bicara apapun, Christ menarikku keatas dan menggenggam tanganku dengan erat, berjalan dengan terburu-buru memecah kesunyian. Lilin yang kupegang tertiup angin dan kami berlari jauh dalam kegelapan yang disinari senter remang milik Christ.

Agak jauh dari tempat itu, kami terengah-engah dan Christ mengajak duduk sebentar, bersandar pada pohon pendek berlumut dengan ilalang tinggi disampingnya. Entah mungkin karena dorongan hormon mendekati datangnya tamu bulanan, ditambah rasa shock akibat kejadian tadi, dengan mudahnya aku menangis lagi di depan Christ.

"Itu jepitan yang sangat berharga untukku. Pasangannya hilang ketika aku masih kecil. Mungkin karena hujan deras aku sulit menemukannya. Itu hadiah dari mama karena PR matematikaku dapat seratus. Sesuatu yang jarang kudapatkan dan mama sangat bangga. Setiap melihat jepit itu, aku teringat akan senyumnya yang begitu bahagia karena memiliki aku sebagai anaknya."

"Setidaknya dia selalu ada untukmu. Jadi tanpa melihat jepit itu, kamu tetap akan puas memandanginya," komentar Christ.

"Aku punya kebiasaan menyimpan suatu barang dengan kenangan manis di dalamnya. Karena itu aku sangat menyesal jepitannya hilang."

Dia mengangguk, tak berniat membantah atau meledekku. Aku menatapnya, sejenak ragu. "Aku juga menyimpan plester luka dan boneka boks darimu."

Christ memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Tiba-tiba dia bergerak mencari sesuatu dari dalam tas ranselnya. Ternyata sekotak plester luka dan sebotol alkohol. Dia menarik kakiku ke arahnya, mengangkat celana leggingku -yang robek tak beraturan namun tidak banyak- hingga batas betis.

"Aku bawa juga kok. Kamu nggak perlu repot..."

"Sebenarnya aku juga mau menyuruhmu merawat lukamu sendiri, tapi aku ragu dalam kondisi sekarang, mungkin saja kamu akan membuat kesalahan dan kita berakhir lebih tragis lagi disini."

"Aku seniormu di pramuka, aku bisa sendiri kok."

"Senior atau junior nggak diperhitungkan disini. Tapi mentalmu."

Dia memahamiku lebih dari lelaki sebaya manapun. Itu salah satu poin yang kusuka darinya. Dia selalu dapat diandalkan. Tapi ....

"Aku nggak ingin jadi beban untukmu. Aku ingin membuktikan padamu, bahwa aku pantas menjadi pacarmu, Christ."

Dia menatapku sekilas kemudian membersihkan lukaku dengan alkohol dan menempelkan plester di atasnya.

"Jangan banyak bicara. Kita pergi sekarang. Waktu nggak akan menunggu kita."

Adegan yang kupikir akan romantis, malah berakhir dengan idealismenya akan waktu.

"Oke... oke... tuan waktu adalah uang."

Kakiku terasa sakit digerakkan ketika aku berdiri dan mulai berjalan. Tidak sadar aku meringis sehingga Christ menoleh dan memandangi kakiku.

"Masih bisa jalan?"

"Sedikit. Bisa, tapi pelan-pelan."

Dia menghela napas sambil berkacak pinggang. "Kalau begitu, naik di punggungku sekarang."

"Aku berat." Oke, aku bukan ingin menggombal seperti yang Dilan lakukan pada Milea, apalagi di saat seperti ini. Fakta bahwa bulan ini aku naik 2 kilo.

Christ tidak ingin mendengar alasan dengan gerakannya berjongkok di depanku sambil menghadap ke depan.

"Kamu yakin? Aku masih bisa jalan kok."

"Iya, masih bisa jalan, sampainya udah siang diatas. Kamu mau melewatkan sunrise?"

Aku menggeleng lemah, tapi sadar dia tidak dapat melihatnya, aku membalasnya, "Nggak."

"Ya sudah jangan bawel. Aku pegal begini terus."

Akhirnya aku menjulurkan tangan dan merangkul lehernya. Dengan sigap, Christ mengangkatku di punggungnya.

"Maaf ya, aku terlalu merepotkanmu."

"Kamu lebih berat kalau banyak bicara," keluhnya.

Malam itu diterangi sinar bulan, kami berjalan pelan-pelan. Kacamata yang dikenakan Christ jatuh ketika dia berusaha menghalau semak tinggi di depan kami. Dan dia menginjaknya.

"Oh ya ampun..." keluhnya samar. Dia memungut benda itu, yang kini tidak memiliki lensa lagi, dan meletakkannya dalam kantung celana.

"Masih bisa melihat? Disana ada pohon tinggi lagi. Ada jurang di dekat situ..."

Christ menyudahi kata-kataku yang menggantung.

"Aku tahu."

Ya, dia berjalan dengan lebih baik sekarang tidak seperti tadi.

"Kenapa jalanmu sekarang lebih cepat?" tanyaku heran.

"Tadi aku berkeringat dan kacamatanya jadi licin. Sedikit-sedikit aku harus menggerakkan kacamataku agar tetap di hidung."

"Bukan begitu. Matamu bukannya lebih kabur sekarang?"

Dia mendesah. "Justru tanpa itu aku bisa bergerak dengan lebih leluasa."

Aku diam dengan pikiran yang masih mengganjal.

"Mataku nggak rabun. Jadi kamu nggak perlu takut kita akan jatuh di jurang."

"Lalu kenapa kamu pakai kacamata?"

"Suka saja," serunya enteng.

Yah dengan itu, aku tidak bisa bertanya lebih lanjut lagi.

***

Di dekat kami ada aliran air. Christ mengikutinya. Aku sempat turun dari punggungnya karena jalan kembali menanjak. Ketika berjalan agak lama, aliran airnya semakin lebar dan tampak dua lelaki duduk berjongkok di dekat bambu panjang yang mengeluarkan air jernih di dekat situ.

"Febrian... Gerry!" Lega sekali aku melihat mereka berdua lagi. Mereka menatap kami berdua dengan ekspresi senang.

"Astaga, acak-acakan banget. Untung kita lagi nunggu kalian, takut kesasar. Mana kacamatamu bro ?" tanya Gerry sambil menepuk bahu Christ.

Samar-samar kudengar suara mereka. Aku duduk menjauh dari mereka sambil mengisi air dari bambu tadi, meminumnya dan merasakan kesegaran merasuki ragaku.

"Kelompok setelah kita belum muncul juga ya," ujar Febrian duduk di sebelahku.

"Tenang saja, ada pemuda sekretariat itu pasti mereka aman saja. Kamu cemas sama Diana ya... takut kecantol sama pemuda itu," seruku setengah menggodanya.

"Kecantol apaan. Orang sobatan sejak masih balita," ujarnya sambil tertawa. "Cuma penasaran sajalah. Eh, udah nggak jauh lagi kita sampai di pos enam. Kita bergegas sekarang. Supaya cepat sampai, cepat buat kopi dan ikut acara puncak yang dirahasiakan si Vinno itu."

Di pos enam sudah ada kelompoknya Vinno, dengan tenda yang sudah berdiri tegak dan mereka asyik meminum saraba, sejenis minuman jahe dicampur gula merah dengan sedikit telur mentah. Dekat mereka ada kayu-kayu yang telah dibakar dan masih ada aroma hangus memenuhi udara.

"Mari minum. Buat sendiri ya, silakan..." seru Vinno sambil berdiri menyambut kami, mengacung-acungkan gelas aluminiumnya dengan asap mengepul beraroma lezat.

Febrian memimpin kami untuk membangun dua tenda. Aku ikut mengikat simpul dan mengaitkan tali ke pancang kayu di tanah. Begini sudah diajarkan sebelumnya. Christ dan Gerry yang sudah dilatih sebelumnya juga tampak cakap dalam membangun tenda. Kemudian Febrian memakai kayu yang berserakan di tanah, mengaturnya dan mengeluarkan korek, membuat api yang cukup besar untuk kami gunakan. Waktunya menikmati susu cokelat hangat dengan pemandangan indah ini. Di seberang ada danau yang luas dan cantik diterangi rembulan dengan bintang-bintang berpijar disekelilingnya.

"Itu si Christ? Kelihatan beda kalau nggak pake kacamata," komentar Vinno sambil menunjuk Christ dan Gerry yang mendekati danau.

Aku mengangguk. Cewek-cewek yang sekelompok dengan Vinno juga mengiyakan. Bahkan kelompoknya Diana yang datang kemudian ikut mempertanyakan Christ yang tampak beda.

"Nah kita akan memasang api unggun. Ayo para lelaki bantu aku," seru Vinno berdiri dari depan tendanya sambil bertepuk tangan kecil. Mungkin juga sudah gerah dengan kekaguman para cewek terhadap Christ. Tapi ajakannya itu malah membuat yang lain makin gencar mengerumuni Christ.

"Sini aku bantu..."

"Aku bawa korek api..."

Aku yang duduk di depan tenda sudah siap-siap ingin berdiri, tapi Diana menahanku.

"Christ sempat menggendongmu sampai kacamatanya jatuh ya? Jadi kamu nggak perlu kesana. Disini saja temani aku, toh udah banyak yang bantu Vinno. Jangan cemburu pada mereka. Bakalan mundur juga mereka itu. Tuh, Christ saja cuek begitu."

"Bukan cemburu sih. Aku hanya merasa menjadi seseorang yang lemah dan nggak bisa diandalkan buat dia. Aku takut dia tergoda dengan cewek lain yang mungkin lebih baik." Apalagi kami pacaran setengah maksa.

"Sekali-kali nggak masalah. Cowok juga ingin pacarnya bisa mengandalkan dirinya. Lagipula si Christ kelihatannya nggak akan tergoda. Tuh lihat, dia menatap kemari. Tadi juga. Dia mungkin mau memastikan pacarnya baik-baik saja."

Christ menatap ke arahku, mungkin ke tenda-tenda di sekitarku. Entahlah.

Vinno menyuruh kami duduk berkumpul melingkari api unggun. "Karena ini sudah lewat tengah malam, jadi kita akan berbincang-bincang sedikit. Nanti akan ada waktu tidur walau cuma sebentar, supaya kita bisa mulai mendaki ke puncak jam empat lewat. Hampir setengah jam kita akan tiba disana, mengingat ada tiga puncak yang akan kita lewati."

Banyak yang berbisik-bisik, kemudian Vinno tertawa dengan penuh semangat. "Kita masuk dalam acara rahasia yang wajib diikuti oleh anggota baru. Ada lima peserta. Mari... mari maju, berdiri di samping sini."

Christ tampak cuek, bersedekap tanpa menghiraukan para cewek yang masih kagum menatapnya. "Tugas pertama adalah menunjuk siapapun anggota lama untuk berdiri di depan bersama dengan kalian. Satu orang saja. Orang itu mungkin saja bisa kalian bully, atau dimintai pertolongan. Atau mereka hanya menjadi penilai atau saksi dari apa yang akan kalian lakukan. Yang penting pilih saja kecuali aku, karena aku penilai utama. Oke, aku hanya memberikan waktu lima detik untuk berpikir. Satu... dua... tiga... empat... lima..."

Dari antara mereka langsung memilih, berjalan dari tempat mereka berdiri. Christ menatapku dengan datar, kemudian berjalan dengan santai dan menarik tanganku ke depan.

"Hei, kamu salah minum obat, Christ? Aku lagi terluka begini loh, kita tidak tahu apa yang akan dia suruh."

"Tenang saja. Nggak mungkin dia menyuruh hal yang membuat kita lebih lelah lagi. Pasti hanya sekadar hiburan."

Vinno masuk sebentar ke dalam tenda, kemudian keluar dengan speaker kecil dan plastik bening berisi balon. Astaga, goyang balon?

Kali ini reaksi Christ ingin membuatku tertawa. Dia mendesah sambil memutar bola matanya. "Dia benar-benar nggak kreatif," cibirnya kesal. "Dan aku terjebak denganmu lagi."

Suara Vinno yang nyaring membuatku tidak bisa membalas komentarnya.

"Tujuan permainan ini adalah untuk mendekatkan anggota lama dan baru. Jadi nggak boleh ada kecanggungan, karena kita bekerja bersama, mendaki bersama, saling bekerjasama. Nah, aturan mainnya mudah. Kalian saling berhadapan, balon menyentuh dahi masing-masing. Selama musik ada, kalian menari dengan gaya apapun tapi jangan sampai balonnya jatuh. Ketika musik nggak ada, kalian harus berhenti. Begitu seterusnya. Nah, silakan tiup balonnya sekarang."

Christ menjulurkan balon ke arahku. "Kamu yang tiup."

Aku menatapnya bingung.

"Anggap saja balas budimu karena aku telah menolongmu tadi."

Dia terlihat seperti menahan tawa saat aku mencoba perlahan-lahan meniup balon yang susah berkembang. Hasilnya tidak terlalu besar, apalagi kami hanya diberikan waktu sangat singkat.

"Kita mulai ya... satu, dua... tiga..."

Memalukan namun aku mencoba bersikap biasa. Tawa riuh bergaung di udara, alunan musik menemani membuatku bergerak mengikuti irama. Jangan sampai balonnya jatuh.

"Hei, fokus," ujar Christ sambil menyentuh lenganku.

"Kakiku terasa nyeri..."

"Pelan-pelan. Nanti jatuh... Kemari, goyang pelan saja..."

Arahan Christ sulit kudengar karena badanku terasa berat dan membuatku berkeringat. Dengan susah payah, Christ berusaha menyeimbangkan balon. Namun karena posisi kami agak miring, balonnya jatuh dan wajahnya mendarat di sisi kepalaku. Bibirnya kena pipiku!

"Aih, pasangan baru jadian yang teromantis di sesi mendaki ini. Awas Christ, jangan ambil kesempatan ya..." sorak Vinno dengan ledekan yang sangat kental.

Wajahku mungkin jadi merah seperti kepiting rebus, tapi aku tidak peduli. Berapa banyak kemungkinan hal seperti ini bisa terjadi? Hampir nihil. Terimakasih untukmu Vinno.

***

Stroberi, bunga edelweis, yaki pantat merah dan kuskus, serta beberapa burung warna-warni tampak menyertai sepanjang jalan kami. Kami sampai di puncak pada jam lima lewat. Begitu membahagiakan melihat piramida atau bayangan Gunung Klabat di sebelah barat yang begitu eksotis berhiaskan awan di sekelilingnya.

Aku melirik kearah Christ yang asyik memotret pemandangan. Aku sendiri terpaksa meminta bantuan Diana untuk mengambilkan gambarku. Karena kejadian semalam, Christ tampak menjaga jarak. Dia melepaskan pegangan tanganku di lengannya tadi.

Kami semua turun bersama-sama. Vinno ikut membantuku berjalan. Sesekali Christ membantu walaupun tidak kuminta, namun dia hanya berbicara seperlunya. Bus menurunkan kami di sekolah. Untung saja Christ berbaik hati untuk mengantarkanku pulang di rumah.

"Hei, apa kabar kalian? Tampak sangat senang ya ikut kegiatan bersama-sama."

Vincent berdiri dari tempat duduknya, menghampiri kami sambil tersenyum lebar.

"Apa boleh aku pinjam Flo untuk besok? Nggak lama kok, hanya pergi ke pesta sweet seventeen teman. Kebetulan aku lagi nggak punya partner."

"Kenapa nggak ngajak Tasya saja?" Wah, aku tidak menyangka Christ akan berkata seperti itu.

"Dia sibuk. So, hanya dua jam saja. Boleh Flo?"

Aku mengangguk dengan senyuman kecil. "Mana mungkin kutolak acara makan gratis."

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.7M 218K 58
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
372K 21.9K 71
⚠️ Update Setiap Hari ⚠️ [ Jangan lupa follow sebelum baca! ] --- Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari saha...
636K 53.9K 35
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
1.9M 61.5K 74
NOVEL BISA Di BELI DI SHOPPE FIRAZ MEDIA "Bisa nangis juga? Gue kira cuma bisa buat orang nangis!" Nolan Althaf. "Gue lagi malas debat, pergi lo!" Al...