[✓] Kakak + Day6

By fnza19

275K 28.1K 5.3K

Menjadi satu-satunya perempuan dalam keluarga Aksara tak lantas membuat Jinara diperlakukan bagai ratu oleh k... More

Revisi
Aksara bersaudara!
Dongeng Masa Kecil
Para Abang bersatu
Rencana terselebung
Jalan-jalan
Kebenaran?
Sendiri
Ingatan yang hilang?
Perlahan
Calon ibu
Pangeran Dani?
Hilang!
Mencari Jinara
Diculik
Kehilangan Jinara
Penculikan Aksara Bersaudara
Sebuah fakta
Memori
Seperti dulu
Drama
JEPANG, KAMI DATANG!!!
Bukan Bunda!
Bertamu
Bertemu
Jalan malam
Reuni bersama bunda
Kencan (+8 stalker)
Kencan (+8 stalker) part 2
Salam perpisahan kita
Khawatir
Selamat datang kembali, Ayah.
Mantan
Jayandra vs. Jinara
Gibah dan Nostalgia
Wisuda
A few years later
We will go home together, with you
Lamaran
Mantan Dava?
SAH
Day6 series

Wilnan dan Dava

4.7K 680 124
By fnza19

Wilnan meneguk minuman yang dibelinya tadi dalam diam. Keringat sudah mengalir dari dahinya dan matanya terlihat sendu. Semilir angin membawa rambutnya perlahan dan memberikan rasa sejuk. Pria berusia 18 tahun itu menghela nafas dan mendudukkan dirinya pada sebuah bangku.

Wilnan mengusap wajahnya frustasi dan mengacak rambutnya dengan helaan nafas berat terdengar. "Jinara, sebenarnya kamu di mana?" Gumamnya pelan.

Dua jam ia berkeliling kota namun belum jua menemukan titik terang. Matahari masih belum menampakkan dirinya dan membuat cuaca semakin mendung. Memberi kesan duka pada semua orang yang tinggal. Awalnya tadi Wilnan dibantu Hanas dan Waldi dalam berkeliling mencari Jinara, namun mereka berdua sekarang entah pergi kemana karena mereka terpisah saat berada di lampu merah.

"Sudah puas berkeliling?" Tanya seseorang membuat Wilnan menoleh. Kedua matanya menyipit sinis ketika tau siapa yang baru saja datang.

"Dava.." desis Wilnan sembari meremas botol minuman yang ada di genggamannya untuk menyalurkan perasaan yang ia rasakan. Perasaan marah, kesal juga sedih akibat kehilangan Jinara dan juga karena sikap menyebalkan Dava.

Dava berjalan santai dengan kedua tangan berada dalam sakunya. Ia menyeringai saat Wilnan menatapnya sinis, seolah ia menanggap remeh tatapan Wilnan.

"Apa kau menemukan Jinara? Berkeliling kota nampaknya menjadi sebuah hal yang sia-sia sekarang." Ucap Dava dengan nada meremehkan membuat emosi Wilnan terpancing.

Wilnan berdiri dan menarik kerah baju sang adik dengan kencang. Jarak wajah keduanya hanya beberapa senti, sangat dekat, sampai-sampai Dava bisa merasakan nafas Wilnan yang memburu karena amarah. Si bungsu kedua Aksara itu mencoba bersikap tenang dan memandang datar Wilnan, seolah-olah jika ia sudah menduga reaksi yang akan Wilnan timbulkan.

"Kenapa? Apa ucapanku ada yang menyinggung?" Tantang Dava yang membuat kepalan tangan Wilnan semakin mengeras.

"Terima kenyataan saja Wilnandra. Jinara.sudah.mati." ucapnya sembari menekan kata terakhir diiringi sebuah seringai kecil. "Kau mau berkeliling dunia, pun, akan menjadi hal yang sia-sia, karena Jinara memang sudah mati, kecuali jika kau berkeliling di akhirat."

"Aku tau jika kamu berada di belakang semua ini, Dav." Ucap Wilnan lirih.

Seringai Dava semakin terlihat dan Wilnan bersumpah jika ia melihat Dava seperti melihat tokoh antagonis dalam film. Sangat misterius namun kejam.

"Oh iya?" Tanya Dava lalu melepaskan cengkraman tangan Wilnan dan berjalan mengelilingi kakaknya itu.

Wilnan memperhatikan gerak-gerik Dava dengan memincingkan matanya curiga. Sejak awal, ia sudah curiga pada adiknya ini. Beberapa bukti yang ada, bukti yang Wilnan kumpulkan diam-diam membawanya pada satu bukti. Jika Dava ada sangkut pautnya dengan semua kejadian yang telah terjadi. Semenjak Jinara hilang, Dava selalu bertingkah aneh dan terus saja terlihat menyeringai senang, membuat Wilnan dirundung pemikiran buruk. Dan saat Jinara ditemukan tewas, hanya Dava lah satu-satunya orang yang Wilnan lihat hanya terdiam lalu sedikit tersenyum sebelum akhirnya menangis, yang entah itu menangis tulus atau hanya akting belaka.

Mungkin, bisa saja Wilnan salah melihat, namun bukti percakapan yang tanpa sengaja ia lihat saat berita kematian Jinara tersebar di ponsel Dava, membuat Wilnan yakin jika Dava adalah dalang di balik semua ini dan Jinara masih hidup, karena ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sebuah foto di ponsel Dava yang menunjukkan jika Jinara sedang tertidur.

"Sekarang katakan, di mana kau sembunyikan Jinara?!" Seru Wilnan.

Alis Dava terangkat, "Entahlah. Lantas, mengapa kau bertanya jika sudah tahu jawabannya? Jinara ada di rumah duka, kau masih butuh jawaban?"

Nafas Wilnan semakin memburu marah. "Aku tanya sekali lagi, Sadewa, di mana adikku?"

"Di akhirat?" Balas Dava santai lengkap dengan senyum menyebalkan miliknya.

"KENAPA KAU LAKUKAN INI DAVARA SADEWA?! JINARA ITU ADIKMU JUGA!!"

Wilnan mendorong Dava sehingga adiknya itu terjungkal ke belakang. Dengan segera Wilnan menahan pergerakan Dava dengan menaiki perut Dava dan menahan kerah bajunya. "Katakan Davara, aku tidak akan segan-segan menghajar mu saat ini jika kau tidak memberitahu keberadaan Jinara. DI MANA ADIKKU?! DI MANA KAU SEMBUNYIKAN DIA?!"

"APA YANG KAU LAKUKAN, WILNANDRA?! TURUN DARI TUBUHKU!!" Nada bicara Dava meninggi dan ia berusaha mendorong tubuh Wilnan dari atas tubuhnya.

"Malam itu.. KAU KAN YANG MERENCANAKAN PENCULIKAN PADA JINARA. TAPI GAGAL KARENA BANG JAY TIDAK TIDUR?!"

Dava terdiam sejenak lalu ia terkekeh pelan dan memandang Wilnan takjub. "Aku salut pada tingkat kepekaan mu itu, Wil. Sudah kuduga jika kau memang akan mengetahui semua ini cepat atau lambat. Kemampuan cenayangmu sepertinya sudah meningkat pesat."

Ucapan tersebut membuat Wilnan semakin berang. Sudah ia duga sebelumnya, Dava memang ada dibalik semua ini, Dava adalah dalang di balik hilangnya Jinara.

"JADI BENAR JIKA KAU YANG MEMBUAT SEOLAH-OLAH JINARA HILANG PADAHAL KAU SENDIRI YANG MENYEMBUNYIKAN JINARA? APLIKASI PELACAK ITU PALSU! KAU PENGKHIANAT, DAVARA. BAJINGAN KAU."

"KALAU IYA KENAPA? KALAU MEMANG AKU YANG MENCULIK JINARA MEMANGNYA KENAPA? KALAU MEMANG APLIKASI ITU PALSU APAKAH ITU MENIMBULKAN MASALAH UNTUKMU? URUS SAJA URUSANMU SENDIRI DAN BIARKAN SAJA AKU." balas Dava dengan nada menyentak.

BUAGH

Sebuah tinju menyapa pipi kanan Dava, Wilnan baru saja memukulnya dengan tenaga dalam sehingga Dava bisa merasakan jika mungkin rahangnya akan bergeser. Membuat Wilnan yang terkenal lembut itu marah adalah salah satu hal yang salah.

Wilnan menarik kembali kerah Dava, "KATAKAN DI MANA ADIKKU! ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU SEKARANG DI SINI."

Dava terkekeh dan ia mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah lalu menatap Wilnan dengan tatapan menantangnya. "Silahkan saja kau membunuh ku, tapi aku tidak akan memberitahu keberadaan Jinara padamu."

"Jinara masih hidup, Jinara ada di suatu tempat yang kau sembunyikan. Kau, Davara, pengkhianat, cepat katakan di mana adikku!" Wilnan menunduk dan menatap Dava putus asa.

"Yang berkhianat justru salah satu di antara kalian. Bersikap seolah-olah sebagai seekor domba polos dan tidak tau apa-apa padahal dia seekor serigala. Aku hanya menyelamatkan Jinara dari kalian, adikku saat ini dalam bahaya dan aku hanya menyelamatkannya. Aku tau ini cara yang salah, tapi ini adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk mengungkap kasus kematian bunda, Wil. " Ucap Dava serius

"Apa maksudnya?"

"Semua akan terungkap saat Jinara kembali. Ingatan Jinara yang perlahan pulih membawanya pada bahaya yang selama ini mengintai. Dengan pulihnya Jinara, membawanya semakin dekat dengan bahaya. Biarkan ia tenang dan pulih dulu, sebelum aku mengungkapkan apa yang selama ini aku temukan pada kalian."

"Berarti Jinara masih hidup kan? Aku benar kan?" Ucap Wilnan antusias saat pancingannya agar Dava berbicara jujur berhasil. "Sungguh Davara, apa sebenarnya yang telah kau rencana kan? Mengapa kau bertindak sejauh ini?"

Dava membuang mukanya dan kemudian ia tersenyum misterius, "kau akan tahu nanti dan kau akan terkejut dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dan karena kau memaksa, sekarang siapkan dirimu dan ikut aku."

------

"Berita duka telah datang dari dunia perbisnisan. Putri bungsu dari Mahendra Aksara, pemilik dari Aksara Grup, Jinara Adipadhya Aksara ditemukan tewas di daerah puncak dengan luka tusuk di sekitar perutnya. Keluarga telah mengkonfirmasi kebenaran berita ini. Dan polisi kini telah menetapkan seorang tersangka dan sedang melakukan pengejaran. Dan kami sedang berada di rumah duka untuk melihat bagaimana prosesi pemakaman dan kita akan berbincang dulu dengan Mahendra, ayah Jinara."

"Selamat siang, pak,"

Dani menyeringai saat melihat sebuah saluran berita yang terpampang di layar televise miliknya. Ia kemudian mengangkat gelas berisi wine dan meneguknya secara perlahan dengan mata tidak beralih dari layar televisi yang kini menampilkan sosok Mahendra yang sedang diwawancarai.

"Sebentar lagi kebenaran akan terungkap, Mahendra." gumamnya diiringi kekehan pelan.

"Jadi aku sudah mati, yah?" Terdengar sebuah suara dengan nada sedih dari arah belakang, membuat Dani langsung menoleh dan mendapati Jinara sedang berdiri dengan raut wajah sedih dan hampir menangis.

"Paman, jadi aku sudah mati yah?" Tanya Jinara.

Dani menghela nafas berat lalu menyimpan gelas berisi wine nya di atas meja. Dilihatnya kembali Jinara yang masih berdiri dengan wajah hampir menangis miliknya itu.

"Paman, jadi sekarang aku ini adalah arwah penasaran? padahal aku masih bisa menginjak tanah, aku juga masih bisa menyentuh barang... Lihat, bahkan aku tidak bisa menembus tembok." Ucap Jinara yang kini mulai membenturkan badannya ke arah tembok dan melompat di tempat,

"Aku lupa jika dia itu bodohnya murni tanpa dibuat-buat." gumam Dani.

"Paman jawab aku, kenapa kau melakukan ini? Lihat itu, Bang Jay sedang menangis, PASTI PAMAN YANG MEMBUNUHKU TADI MALAM KAN?" tunjuk Jinara pada layar televisi yang kini sedang memperlihatkan Jay yang sedang menangis sembari memeluk Sakha. "Andai saja paman meminta izin dulu untuk menculik ku, pasti mereka semua tidak akan sesedih ini. YA AMPUN AKU MENJADI ARWAH PENASARAN, ULULULU, AKAN KU HANTUI PAMAN YANG TELAH JAHAT PADAKU."

Dani speechless, ia memang tidak bisa menebak bagaimana cara berpikir Jinara. Mirip sekali Minara saat remaja, pikirnya saat itu membandingkan Jinara dengan sang adik yang merupakan ibu dari Aksara bersaudara.

"dengan tingkah mu itu, kau memang pantas mati." jawab Dani tajam.

DEG.

Gerakan Jinara yang sedang melompat mendadak terhenti. Gadis itu menatap Dani dengan netra yang melebar kaget. Ucapan yang Dani katakan itu langsung mengenai ulu hati Jinara, singkat dan menusuk hati. Jinara mengerjap pelan saat penglihatannya tiba-tiba tidak jelas dan blur. Kepalanya kembali serasa berputar dan juga rasa sakit yang perlahan muncul.

"Aduh aduhhh/"

Dani yang sedang menonton tv kembali menoleh dengan malas, "apa lagi??"

"Pamannnn, aku pusing sekali aduhhh," Ucap Jinara yang kini tengah berjongkok sembari memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.

"Lebay kamu. Sudah minum obat belum?"

"Sudah kok tadi,"

"Segera ke kamar dan istirahat lah." perintah Dani yang tidak tega melihat Jinara, yang merupakan keponakannya kesakitan seperti itu.

Untuk kali ini, Jinara menurut. Dengan pelan ia bangkit dan berbalik badan untuk pergi ke menuju kamarnya. Ia dengan pelan melangkah dan kedua tangannya berpegangan pada tembok agar tidak terjatuh mengingat pandangannya yang tidak jelas dalam melihat. Sedangkan Dani kembali berbalik badan untuk melihat perkembangan berita yang menurutnya hiburan tersebut. Sesekali ia menertawakan sosok Mahendra yang tersorot kamera sedang menangis.

Tak lama berselang, sebuah teriakan menggema dari lantai atas disusul suara gedebuk yang lumayan keras.

"AAAAAAAAAAAAA. BUNDAAAAAAAAAAAAAA."

Lantas hal ini membuat Dani terperanjat kaget dan langsung bergegas menuju lantai 2. Ia membuka pintu kamar Jinara dengan langsung dan masuk ke dalam, namun sayangnya ia tidak menemukan sosok Jinara. "JINARA? MYOUI JINARA DI MANA KAU?" Serunya khawatir.

Dani berkeliling kamar namun tidak menemukan keberadaan Jinara, ia langsung keluar dan terdiam saat melihat pintu kamar yang berada di depan kamar Jinara ini terbuka. Apa Jinara salah memasuki ruangan?

Pria itu berjalan perlahan dan mengintip. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Jinara sudah terkapar di lantai dengan darah yang mengalir dari kepalanya.

"JINARA!" Seru Dani lalu menghampiri Jinara. Ia dengan segera menggendong tubuh lemah itu untuk kembali ke kamar.

Di ambang kesadaran, Jinara menatap wajah khawatir Dani lalu tersenyum kecil. "Paman Pangeran..."

-----

Jinara mengerjap saat cahaya matahari menerpa wajahnya, ia terbangun dan mendudukkan dirinya kemudian mengucek kedua matanya sembari meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Putri Aksara itu seketika menahan nafasnya saat ia tmenyadari berada di mana ia sekarang.

Mata Jinara berbinar takjub saat melihat jika di depannya ada sebuah danau dengan air yang tenang dan dipenuhi oleh ilalang. Langit yang cerah, semilir angin yang sejuk juga pohon yang rindang dan menyejukkan mata. Jinara tidak pernah ke tempat ini sebelumnya.

"Wahhh keren banget? Kalau ada bang key pasti dia bakalan foto-foto terus spam upload." Gumamnya.

Jinara lantas bangkit dengan mata masih berbinar takjub, ia kemudian berjalan menelusuri sepanjang jalan di sekitaran danau itu sembari mulutnya terus bergumam memuji keindahan tempat ini.

"Tapi ini di mana yah? Kok aku tiba-tiba disini?"

"Apa jangan-jangan ini di surga? Eh eh, jadi aku beneran sudah mati?"

Jinara menghela nafas kemudian menunduk, ia melihat kedua kakinya yang ternyata tidak beralas kaki. Dan ternyata juga, kini ia memakai sebuah dress putih selutut yang sangat indah.

🎵🎶🎵🎵🎵🎶🎶🎶🎶

Tiba-tiba terdengar suara suling yang membuat Jinara kembali mendongak. Ia mengikuti suara suling itu dengan pelan, dan sesekali memperhatikan sekitar dengan harapan ada seseorang yang bisa ia temui, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan disini, sangatlah sepi, lantas siapa yang meniup seruling seindah ini?

Dan kini, sampailah Jinara di sebuah bukit kecil. Di sana, ada seorang wanita berambut coklat indah terurai dan bergaun putih sedang membelakanginya.

"Permisi?" Ujar Jinara dan membuat permainan suling wanita itu terhenti.

Wanita itu berbalik badan dan tersenyum, membuat tubuh Jinara seketika membeku. Jinara menutup mulutnya, matanya melotot dan nafasnya tertahan saat menyadari siapakah gerangan yang ia lihat. Wanita itu berdiri dan merapihkan gaun putihnya lalu tersenyum teduh dan berjalan perlahan.

"B..bunda-?" Suara Jinara tercekat, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ini. Sosok wanita yang selalu ia rindukan, sosok yang selalu ia lihat hanya dalam foto kini dengan nyata ada di hadapannya. Membuat Jinara yakin jika sekarang ia memang benar ada di surga.

Minara, sosok wanita tadi hanya mengangguk. Tangannya terulur menyentuh wajah Jinara dan mengusapnya penuh kasih sayang. "Apa kabar nak?"

Jinara langsung berhambur dalam pelukan Minara dan menangis sejadinya, menumpahkan semua rasa dan rindu yang selama ini terpendam. "Hiks.. Bundaaa. Bunda kemana ajaaa? Jinara kangen,"

Minara merengkuh tubuh anaknya itu dengan lembut, tangannya setia mengusap punggung Jinara agar sang anak lebih tenang. "Bunda tahu, nak."

Jinara semakin mempererat pelukannya, menyalurkan semua rindu yang dia pendam selama ini. Ia semakin menangis saat tepukan lembut Minara menyentuh bahunya, sebuah perlakuan yang sangat ia rindukan dan sudah tidak ia rasakan semenjak Minara tiada. "Bunda, banyak hal yang ingin aku sampaikan ke bunda..."

Pelukan itu terlepas, Jinara memandang Minara tepat pada matanya. Minara tersenyum maklum, ia mengusap pipi Jinara untuk menghapus jejak air mata di pipi sang anak. "Bunda sudah tahu semuanya nak, bunda lihat dari sini.."

Jinara menunduk. Minara langsung menyentuh dagu Jinara dan membuatnya mendongak. Ia meletakkan kedua jari telunjuknya di sisi bibir Jinara dan menarik bibir Jinara agar tersenyum. "Kok ketemu bunda cemberut sih? Harus senyum."

"Ayoo, duduk dulu." Minara menarik tangan Jinara dan membawanya pada tempat dimana tadi ia memainkan suling. Mereka berdua duduk dan menatap aliran air danau yang tenang.

Jinara menoleh ke samping, memandang wajah sang ibu yang begitu tenang dan damai. Wajah yang sangat ia nantikan dalam realita, wajah yang begitu cantik sampai Jinara tidak bisa memalingkan wajahnya barang sedetik pun.

"Jinara mau cerita apa sama bunda?" Tanya Minara lembut.

Jinara menghela nafas, menyiapkan diri untuk mengeluarkan seluruh keluh kesahnya. Saat itu, Jinara menceritakan kisah hidupnya pada Minara. Tentang para kakaknya, ayahnya, teman-temannya, mantan pacarnya dan semua topik ia curhatkan pada Minara. Minara hanya diam mendengarkan dan sesekali tersenyum melihat anaknya yang kini sudah beranjak dewasa.

"Aku lelah hidup banyak drama, Bun. Dari amnesia, diculik, terus ahhh banyak deh. Bunda pasti tahu kan? Kisah perjalanan Jinara yang barusan diceritakan?"

Minara tersenyum lembut dan menyentuh kepala Jinara. "Iya,"

"Bunda, Kerajaan Akasra itu memang ada?"

"Tidak, itu kan hanya karangan cerita sebelum tidur."

"Bunda, apa kemunculan Paman Dani membuat ramalan itu ada? Maksudnya, siapa Paman Dani? Mengapa dia tiba-tiba muncul? Dan rasanya aku sudah kenal dekat dengan Paman Dani."

"Paman Dani itu kakaknya Bunda, hmmm wajar kalau kamu merasa dekat karena sejak kecil, kamu dekat sekali dengannya sampai tidak bisa dipisahkan. Saat usia mu 9 tahun, Dani ditugaskan ke Kanada dan kamu berpisah dengannya. Kamu kehilangan memori masa kecil mu, dan mungkin, memori tentang Dani juga ikut terhapus."

Jinara mengangguk mengerti. "Ah seperti itu. Ohiya Bunda, masa ayah mau menikah lagi.."

Minara membuang muka, dan Jinara sadar jika ini adalah topik sensitif yang bahkan di dunia ini pun tidak boleh dibahas.

"Bunda tahu kok." ucap Minara, ia menatap lurus dan tangannya melempar sebuah batu ke arah danau. Jinara dengan segera memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan sebelum Minara merasa semakin sedih. "Ohiya, Kenapa Jinara ada di sini, yah, bunda?"

Minara tidak menjawab, tiba-tiba ia menyerahkan sebuah kotak kayu berwarna coklat pada Jinara. Kotak kayu itu tampak indah dengan dihiasi ukiran rumit yang tampaknya pernah Jinara lihat.

"Ini apa bunda?" Tanya Jinara bingung lalu menerima kotak kayu itu.

"Ingatan mu yang hilang, sudah saatnya ia kembali."

Jinara menerima kotak itu dan kemudian memandang Minara. "Jadi beneran kalau Jinara itu amnesia, Bun?"

"Iya, karena kejadian 7 tahun lalu, ingatanmu hilang."

"Kenapa?"

"Kau akan mendapatkan ingatan mu tentang 7 tahun lalu. Tentang siapa Paman Dani, kenapa Dava begitu cuek padamu, kenapa kau amnesia dan siapa pembunuh bunda.. semuanya akan segera terungkap." Ucap Minara.

Jinara membuka mulutnya takjub. "WOAHHH KEREN."

Minara terkekeh, respon Jinara sangatlah luar biasa. Ia kembali mengusap kepala Jinara lembut dan menatap sang anak dengan tatapan lembut penuh kasih sayang. "Rasa sakit itu tidak akan muncul lagi, nak. Kamu sudah berjuang dan bertahan, terimakasih. Bunda mengerti jika kamu bingung, tapi bunda tidak akan menjelaskan semuanya. Karena semua jawaban dari pertanyaan mu itu ada di dalam ingatan mu sendiri. Ingatan yang orang lain bahkan ayahmu tidak tahu."

"JINARAAAAAA. DEK, ADEK!!"

Jinara menoleh saat ada yang memanggil namanya, ia menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatannya yang buram. Dan ia tersentak kaget saat melihat, jauh di seberang sana, ada Wilnan, Dava dan Dani, dengan Wilnan terlihat melambaikan tangannya dan berjingkrak heboh memanggil namanya.

Pandangan Jinara beralih pada Minara yang kini hanya tersenyum. "Bundaaa, kok Bang Wilnan ada di sini?"

"Belum saatnya kamu ada di sini, nak, pulang lah. Mereka menunggu mu,"

"Tapi bunda, Jinara mau di sini. Mau sama bunda, masih banyak cerita yang mau Jinara ceritakan."

"Saat semua kebenarannya terungkap, kita akan bertemu lagi, nak. Bunda menjamin itu. Sudah terlalu lama kau disini, pergilah, jangan sampai membuat mereka khawatir."

"Bertemu? Maksudnya?" Tanya Jinara tak mengerti.

Minara tersenyum penuh arti, "Kau akan tau sendiri nanti. Bunda janji."

Keduanya saling menautkan jari kelingking sebagai perjanjian mereka walau Jinara masih merasakan keraguan dalam hatinya. Ia masih tidak rela untuk melepas Minara, ia masih ingin bersama sang bunda, namun teriakan Wilnan yang seolah menyuruhnya pulang semakin keras terdengar.

"Kalau bunda bohong gimana?"

"Sudah bunda bilang, kalau kamu sudah tahu semuanya, kamu tidak akan menyebut bunda pembohong. Segera buka kotak itu, dan kau bisa pulang, temui para kakakmu dan pecahkan teka-teki yang ada." Desak Minara yang membuat Jinara terdiam dengan pikirannya.

Dengan berat hati, Jinara membuka kotak itu. Ketika dibuka, cahaya putih langsung muncul dan menyilaukan mata. Jinara menutup matanya, dan kemudian merasa jika tubuhnya tiba-tiba terasa ringan seperti mengambang.

"Bunda!"

Perlahan cahaya putih menyamarkan keberadaan Minara. Jinara mencoba meraih tubuh Minara namun tak bisa karena semakin lama tubuh Minara semakin transparan.

Minara tersenyum dan mendorong tubuh Jinara. "Sampai jumpa, nak."

Yang Jinara lihat kini hanyalah cahaya putih sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap. Ia seperti masuk ke dalam lubang yang sangat dalam sebelum akhirnya ia tak sadar apa yang terjadi selanjutnya. Ia terus berteriak memanggil nama Minara, meminta bantuan sang bunda namun semakin lama, yang ia rasakan adalah kehampaan.

---

Jinara membuka matanya perlahan dan hal yang pertama kali ia lihat adalah wajah Wilnan yang begitu dekat dan juga Dava. Keduanya langsung bernafas lega saat melihat adik mereka sudah sadar.

"Akhirnya kamu bangun." ucap Wilnan lega. Ia mengusap kepala Jinara dengan lembut.

Jinara langsung bangkit dan itu membuat Wilnan panik sendiri. "Hati-hati, kamu baru bangun."

Jinara mengeryit, "Kenapa kalian, ada di sini? Ohiya, mana Paman Dani? Mana ayah? Mana para abang yang lain?"

Wilnan dan Dava saling berpandangan sejenak. "Mereka belum tahu jika kamu masih hidup Jinara."

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Dava yang tidak bisa menyembunyikan raut wajah bahagianya, senyuman tidak pudar dari wajahnya dan memandang Jinara haru.

"Kau tidak sadarkan diri selama hampir 8 jam setelah aku menemukan mu pingsan di kamar itu. Bagaimana dengan keadaanmu? Apa sudah membaik?" Tanya Dani dengan langkah mendekat ke arah Jinara. "Aku harap kau baik-baik saja agar tidak semakin merepotkan."

"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu pada keponakanmu sendiri, Dani. Hentikan akting mu itu dan segera siapkan semua peralatan ku." Ujar seseorang yang rasanya tidak asing bagi Jinara. Itu Daniel, yang bahkan masih mengenakan jas dokter dan stetoskop miliknya.

Daniel bangkit dari duduknya dan mendorong pelan tubuh Dani yang menghalanginya dari Jinara. Ia mendekat dan mengirim sebuah senyum pada gadis Aksara itu lalu tangannya memegang tangan Jinara untuk ia cek nadi. "Halo Jinara, apa masih pusing kepalanya? Bagaimana bisa kepala mu berdarah seperti itu, hm? Kau harus berhati-hati agar tidak melukai dirimu sendiri."

"Kepala ku tadi sangat pusing dan tidak bisa berjalan dengan benar sampai aku tidak melihat nakas dan malah terbentur." Jawab Jinara tanpa merasa bersalah sembari memegang dahinya yang terbalut oleh perban. "Tapi, lain kali aku akan berhati-hati, kakek."

Gerakan Daniel memeriksaa Jinara terhenti, dan ia langsung menatap Jinara dengan pandangan terkejut. "Kakek? Kau... sudah ingat, semuanya?"

Jinara mengangguk antusias, "Anehnya, iya. Tiba-tiba aku ingat semuanya."

Daniel tersenyum haru lalu membawa Jinara ke dalam pelukannya. "Syukurlah, nak."

"Sekarang aku ingin bertanya.." Ucap Dani dengan suara yang begitu dalam, membuat senyum bahagia Jinara perlahan luntur dan digantikan air wajah yang begitu tegang dan takut.

"Myoui Jina..." Panggil Dani serius sembari menyebutkan nama lain dari seorang Jinara. "... Siapa pembunuh adikku, siapa pembunuh Minara?"

"Aku tidak akanmemberitahu hal itu...." Tegas Jinara setelah mengumpulkan segenapkeberanian, ditatapnya Dani, Wilnan, Dava dan Daniel secara bergantian denganpandangan menuntut.

"...sebelum kalian mengatakan apa maksudnya kalian bersekongkol dan menculik ku!"



















••••
.
.
.
14/02/2019

Direvisi 7/11/2020

Continue Reading

You'll Also Like

Enigma[✓] By eina

Teen Fiction

11.5K 2.3K 12
"Veenan, kenapa kamu selalu menghindar dari aku!"
5.4M 186K 48
Edelwiss Sanoh Paillin seorang mahasiswi tingkat 1 di sebuah kampus elit ternama bernama Acropolis. Edelwiss atau biasa di panggil Edel gadis berwaj...
9.5K 145 16
kepada para isi kepala, para bahasa kalbu, meluruhlah disini
851K 105K 55
Kuliah-Kerja-Nyinlok Sepuluh orang yang dipaksa untuk tinggal satu atap di desa terpencil. Tanpa akses internet dengan bumbu-bumbu perdebatan masalah...