ONCE (Titik Teduh) [Sudah Ter...

By cappuc_cino

351K 34.6K 8.7K

[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari... More

Titik Teduh #Prolog
Titik Teduh #1
Titik Teduh #2
Titik Teduh #3
Titik Teduh #4
Titik Teduh #5
Titik Teduh #6
Titik Teduh #7
Titik Teduh #8
Titik Teduh #9
Titik Teduh #11
Raja Pisang #1
Titik Teduh #12
Titik Teduh #13
Titik Teduh #14
Titik Teduh #15A
Titik Teduh #15B
Titik Teduh #16
Titik Teduh #17
Titik Teduh #18
Info Terbit

Titik Teduh #10

10.9K 1.6K 440
By cappuc_cino

Arghi sudah ke luar rumah, memakai seragam dan siap berangkat ke sekolah ketika waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Dia melewati pagar rumah dan melongok ke halaman rumah Om Btara. "Pagi, Om." Arghi menyapa Om Btara yang sepertinya baru bangun tidur dan ke luar rumah untuk menikmati udara pagi.

"Pagi, Ghi." Dia mengerutkan kening melihat Arghi memasuki pekarangan rumahnya. "Masih pagi ini, tapi udah siap ke sekolah."

Arghi mengangguk, lalu melirik ke arah pintu rumah yang sedikit terbuka. "Iya. Takut kesiangan, Om."

Om Btara tertawa. "Good boy!" pujinya.

Arghi melirik lagi ke arah pintu rumah, namun suara Om Btara mengalihkan perhatiannya.

"Ghi?"

"Ya, Om?" Arghi menatap Om Btara.

"Terima kasih, ya," ujarnya tiba-tiba.

"Ya?" Arghi memiringkan wajah, tidak mengerti. "Kenapa?" Maksudnya, untuk apa?

"Om melihat senyum Lele pertama kali siang itu," ujar Om Btara dengan penjelasan yang masih belum Arghi mengerti. "Saat dia membuka paket dari kamu. Dia tersenyum." Om Btara ikut tersenyum ketika mengatakannya. "Nggak lebih dari satu detik, sangat singkat. Tidak lebar, tipis saja. Tapi Om tahu bahwa itu senyum yang tulus. Karena sebelumnya, dia nggak pernah memberikan senyum itu untuk Om."

Arghi tersenyum, juga sedikit meringis. Bingung dengan tanggapan yang harus dia berikan. Entah apa yang mendorong Arghi untuk mendekati Salena. Mereka pertama kali bermasalah karena pamflet jasa gambar Diyas. Setelah itu, dia tahu bahwa Salena adalah teman dekat Agfa, agak menarik. Alasan lain, Bunda menyuruhnya mendekati Salena, suruhan yang disamarkan dengan 'mengantarkan makanan untuk tetangga baru'.

Suatu hari, Om Btara pernah bertemu dengan Bunda di pekarangan dan menitipkan Salena selagi beliau kerja. Menceritakan sedikit tentang anak perempuannya yang sedikit tertutup.

Banyak alasan yang membuat Arghi bisa mengenal Salena, tapi tidak ada satu pun dari alasan tersebut yang menjadi dasar baginya untuk terdorong mendekati Salena. Bukan karena Diyas. Agfa pernah menjadi satu alasan yang menarik untuk mendekati Salena, tapi sekarang tidak semernarik itu. Bunda yang memaksanya berteman dengan anak pintar—Salena adalah pilihan yang tepat, tapi dia cukup bisa mengatasi masalah akademik di sekolah, nilainya masih wajar dan sesekali mendapatkan remidial, jadi alasan untuk mendekati anak pintar agar dia ketularan juga bukan alasan yang tepat.

"Om harap, kalian bisa berteman baik." Om Btara tersenyum lagi.

Arghi tidak tahu mengapa Om Btara sangat terlihat bahagia bisa melihat senyum Salena dan belum pernah mendapatkan senyum itu sebelumnya. Masalah di antara mereka, mungkin sekarang belum boleh menjadi urusannya.

"Om sedang menjadi ayah yang baik. Agar mendapatkan senyumnya."

Ah, ya. Mungkin saja itu juga menjadi alasan untuknya. Arghi ketagihan melihat Salena tersenyum menatap kotak berisi lampu tidur pemberiannya. Walaupun bukan tersenyum padanya. Sejak saat itu, Arghi agak yakin Salena bisa lebih sering tersenyum. Dan dia penasaran dengan keyakinannya. "Kalau gitu, restuin Arghi, Om," pinta Arghi.

"Ya?" Om Btara bingung.

Arghi menyengir, setengah meringis melihat wajah Om Btara. "Arghi nggak akan macam-macam." Dia berdeham. "Arghi minta tolong pagi ini sama Om, boleh?"

Om Btara tampak berpikir.

***

Salena melirik jam tangan, menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Seperti biasa. Waktu menunjukkan sudah hampir setengah tujuh dan Papa melarangnya memesan ojek online. Dia tidak berharap akan diantarkan ke sekolah, tapi melihat jam sudah menunjukkan waktu yang sangat mepet, dia berharap Papa punya solusi untuk ini.

"Jadi?" Salena menatap Papa yang sedang mengolesi roti tawar dengan selai kacang.

"Papa sudah beli selai. Ada kacang, cokelat, stroberi. Kamu suka yang mana?"

Oh, Tuhan. Bukan waktunya membahas masalah itu. "Nggak, terima kasih."

"Nggak, terima kasih?" ulang Papa dengan wajah heran. "Maksudnya, kamu nggak akan sarapan?"

Salena berdecak.

"Le, segigit saja," pinta Papa seraya mengangsurkan setangkup roti di tangannya.

Salena menggeleng. "Oke, jadi ...," Salena melipat lengan di dada. "Solusi apa yang bisa Papa berikan sekarang setelah melarang aku naik ojek ke sekolah?" tanyanya.

Papa menggigit roti, mengunyahnya.

"Nganterin aku ke sekolah pakai mobil?" Dan melewati jalanan macet, lalu sampai di sekolah pukul delapan pagi, setelah itu dia harus kembali karena kesiangan dan tidak bisa masuk sekolah. Lebih baik, sekarang dia kembali ke kamar dan mengganti pakaian jika Papa akan mengusulkan hal itu.

Papa menggeleng. "Silakan ke luar," ujarnya menahan kunyahan. "Hati-hati di jalan." Dia menghampiri Salena, mengecup puncak kepalanya. "I love you, sweet cake."

Salena membuang napas. Agak kesal. Di luar ada ojek khusus yang sudah Papa pesan untuk mengantarnya ke sekolah atau bagaimana? Salena melangkah ke luar tanpa membalas ucapan manis Papa barusan. Dia bergerak dengan tergesa, seolah kembali menjadi anak TK yang disewakan ojek antar-jemput.

"Hai, Lele."

Alas sepatu Salena berdecit saat dia mengerem mendadak langkahnya yang baru saja menginjak teras depan rumah.

"Ekspresi yang kurang menyenangkan untuk seseorang yang berbaik hati memberi tumpangan ke sekolah." Dia Arghi, laki-laki berjaket hitam yang sedang melipat lengan di dada sambil bersandar ke jok motor sport-nya.

Salena hampir saja akan meneriaki Papa yang berada di dalam rumah, tapi tidak, jelas tidak, Salena bukan lagi anak perempuan seperti Salena tujuh tahun yang lalu, yang berteriak atau merengek pada Papa. "Lo ngapain?"

"Lo kenapa sih seneng banget nanya hal-hal yang nggak harus gue jawab?" Arghi balik bertanya. "Lo pikir gue ngapain di sini?"

Lo ngapain? Kalimat itu entah kenapa selalu menjadi kalimat pertama yang diucapkannya ketika bertemu Arghi. Karena, ya memang Arghi selalu melakukan hal-hal yang di luar perkiraan Salena.

Arghi mengeluarkan dompet dari saku belakang celana seragamnya, mengeluarkan sebuah kartu. "SIM C, tanpa nembak. Ini gue dapatkan waktu ulang tahun yang ke-tujuh belas kemarin." Dia menepuk jok motornya. "Ke sekolah sekarang atau terlambat?" tanyanya.

Salena menghampiri Arghi, sembari memperhatikan motor sport hitam milik laki-laki itu. "Gimana kalau gue nggak mau?"

"Kenapa? Alasannya?"

Salena mengerutkan kening. Sudah jelas, mereka tidak sedekat itu.

Arghi berdeham. "Lo bisa bilang—Oh, atau kalau lo malas bicara sama gue, lo bisa  pukul helm gue atau tarik jaket gue, seandainya lo merasa kecepatan motor gue membuat lo nggak nyaman," ujarnya. Kemudian dia mengangsurkan sebuah helm.

Salena berpikir sejenak, tidak lagi memeriksa jam tangan, karena dia sudah bisa memperkirakan pukul berapa sekarang dan berapa lama dia membuang waktu.

"Yes or ...?" Arghi mengangkat sebelah alisnya. "Nggak ada pilihan 'No', sorry."

Salena menarik helm dari tangan Arghi.

"Oke, pilihan yang cepat. Dan bagus." Arghi tersenyum. Terlihat sekali sekarang dia merasa menang.
Salena memasukan helm yang agak kebesaran itu ke kepalanya, sambil memperhatikan Arghi yang kini sudah naik ke jok motor setelah mengenakan full face helmet.

"Kalau lo merasa nyawa lo terancam berada di boncengan gue, lo bisa peluk gue erat-erat. Karena ya, lo tahu sendiri sekarang udah jam berapa, kan?" ujar Arghi, membuat gerakan tangan Salena yang akan mengancingkan helm di bawah dagunya terhenti.

"Itu nggak masuk dalam pilihan tadi. Hanya ada dua, pukul helm lo atau tarik jaket."

"Atau peluk Arghi. Ada tiga pilihan sekarang."

Oh, bagus. Tangan Salena bergerak membuka kembali helm yang sudah terpasang di kepalanya.

Arghi tertawa. Memegangi tangan Salena sebelum Salena memutuskan untuk pergi. "Gue bercanda." Dia tertawa lebih kencang. "Gue lupa kalau lo nggak bisa diajak bercanda. Belum, belum bisa." Dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Salena, memakaikan helm di kepala Salena, lalu mengancingkan kunci di bawah dagunya. "Semoga ini bukan akal-akalan lo pengin gue pakein helm." Dia tertawa lagi saat Salena melotot.

Yang tadi itu terlalu aneh. Terlalu dekat. Dan Salena menyamarkan rasa canggungnya yang tiba-tiba menyerang dengan memberi Arghi tatapan galak.

Arghi mengulurkan tangan, tapi Salena tidak perlu repot-repot menerima bantuan darinya untuk naik ke jok motor tinggi  itu. "Oh, oke." Arghi menatap telapak tangannya yang diacuhkan, terlihat sedih.

"Bisa pergi sekarang?" tanya Salena, mereka bertatapan lewat kaca spion.

"Tentu. Tuan Puteri," sahut Arghi seraya menyalakan gas motor, menutup kaca helmnya. Motor melaju, ke luar dari pekarangan, melewati jalanan kompleks, lalu berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.

Salena menaruh tas di depan dadanya, sementara Arghi tetap memakai tas punggunya. Aman. Tidak akan ada benturan yang fatal di antara mereka saat ada pengereman mendadak. Namun, tetap saja, punggungnya lama-kelamaan terasa pegal, dia harus berusaha tetap duduk tegak, sementara jok motor tinggi itu memaksanya untuk condong ke depan. Bayangkan.

"Halo?" Arghi membuka kaca helm dan melihat Salena dari kaca spion. "Apa kabar yang di belakang sana?" tanyanya.

Salena balas melihat spion. "Baik." Lebih baik lagi apabila tidak ada perbincangan sepanjang perjalanan.

"Oke." Arghi mengangguk. "Boleh menaikan kecepatan?"

Salena mendengus, tidak lagi melihat kaca spion. "Terserah."

"Ya?"

Dengan terpaksa Salena melihat kaca spion lagi, menatap mata Arghi. "Terserah!" Suaranya sangat nyaring.

Arghi terkekeh, terlihat dari pundaknya yang sedikit berguncang. Setelah itu, kecepatan laju motor meningkat, membuat Salena sedikit kaget dan memegang bagian pinggang jaket Arghi. "Segini? Boleh?" tanyanya. "Enam puluh kilometer per jam?"

Salena mendengus. "Terserah. Terserah." Dia mulai kesal.

"Oke. Naik sedikit." Arghi melajukan motor lebih kencang, membuat pegangan Salena semakin erat. "Lebih kencang pegangannya, boleh." Dia tertawa.

Ada perempatan jalan. Dan lampu merah. Oh, bagus. Salena sudah bisa menebak bahwa momen itu akan dimanfaatkan Arghi untuk lebih banyak membuat Salena bersuara, menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang tidak penting yang selalu dia lontarkan, semaunya.

Arghi menurunkan kedua kakinya, melihat hitungan mundur di lampu merah. "Lo nggak suka sama gue."
Entah itu pernyataan atau pertanyaan, Salena tidak bisa menangkapnya dengan jelas karena deru mesin kendaraan lain terdengar sangat berisik. Namun, kalaupun itu pernyataan, Salena merasa tidak harus repot-repot meralatnya, biarkan saja.

"Apa usaha gue mendekati lo terlalu gigih?" tanyanya.

Tidak juga. Tapi kadang menyebalkan.

"Dan lo nggak suka?" tanyanya lagi. Dia tetap bertanya walaupun berakhir tanpa jawaban. "Gue juga bingung, kenapa gue berusaha sekeras ini untuk mendekati seorang cewek yang bahkan nggak gue kenal sebelumnya."

Yang dimaksudnya mungkin, mereka hanya dua orang yang beberapa kali berpapasan di sekolah, ingat wajah tanpa tahu nama. "Kalau menurut lo itu nggak perlu, ke apa harus?"

"Senyum lo. Yang langka itu," jawabnya. "Mungkin itu alasannya."

Tanpa alasan yang jelas, mendengar jawaban Arghi membuat wajah Salena panas. Tidak, wajahnya tidak berubah merah sekarang. Tidak seharusnya.

"Sebelum lo punya pikiran macam-macam, gue harus bilang, alasan itu bukan berarti gue suka sama lo. Nggak ada korelasinya."

Ya jelas. Kenapa Salena harus berprasangka seperti itu?

Arghi kembali menatap Salena dari kaca spion. "Panas, ya?" tanyanya.
Salena mengerjap, lalu menggeleng.
"Kalau lo kepanasan, lo bisa tutup kaca helmnya," usul Arghi. "Wajah lo, merah."

Salena berdeham, cukup kencang, entah apa yang mengganjal di tenggorokannya. "Arghi Antasena? Mohon maaf."

"Ya?"

"Berapa kali lo gunakan cara ini untuk ngerayu cewek-cewek ... bodoh di luar sana?" tanya Salena, sinis.

Arghi menoleh ke belakang, membuat wajah Salena sedikit menjauh. "Ya?"

"Gue nggak ada waktu untuk punya prasangka kalau lo suka sama gue, apalagi berharap," jelas Salena. "Karena gue rasa, gue nggak termasuk dalam spesies dua cewek yang ngerebutin lo di koridor sekolah kemarin."

Arghi tertawa. "Ah, iya. Hampir lupa." Dia menggerak-gerakkan telunjuknya. "Gini, Lele. Biar gue jelasin sebentar," ujarnya. "Cewek pertama, yang nabrak lo, namanya Winda. Sedangkan cewek ke-dua, yang menyerang Winda, namanya Sura." Arghi berdeham. "Winda adalah pacarnya Nevan, Nevan adalah teman gue—oke, mungkin lo belum kenal nama-nama teman gue yang brengsek itu, lain kali gue bisa kenalin."

Sama sekali nggak perlu. Beneran.

"Nah, kembali ke topik, gue kalah taruhan bola dari ketiga teman gue, biasanya kalau nggak traktir, hukumannya adalah ngelakuin hal konyol. Dan hal konyol yang harus gue lakuin atas kekalahan gue itu adalah ... mutusin Winda, untuk Nevan."

Dan Salena harus percaya?

"Sampai di sini, ngerti?" tanyanya.

Salena diam, karena tidak peduli.

"Winda marah. Jelas. Diputusin secara sepihak. Siapa yang nggak marah? Karena Nevan nggak ada, gue menjadi sasaran amarahnya," jelasnya lagi. "Dan Sura, kenapa dia marah? Karena dia adalah teman gue."

Padahal Salena mendengar jelas saat Sura—atau siapa itu namanya, berteriak lantang menyebut Arghi, "Cowok gue!" But, who cares?

"Oke, sampai di sini, penjelasan gue bisa diterima?" tanyanya.

"Ada gunanya untuk gue ngedengerin ini semua?"

"Supaya lo bisa memenuhi undangan gue hari Sabtu nanti dengan rasa aman, untuk bayar utang," jawabnya.

Sekarang Salena sedikit menyesal asal bicara tentang berapa banyak yang harus dia bayar untuk lampu tidur dan gantungan kunci pemberian Arghi.

Arghi kembali menyalakan motor. Menarik gas motor beberapa kali dalam keadaan nomal sehingga timbul raungan. Tanpa aba-aba, dia menarik gas motor dengan kencang saat lampu lalu lintas berubah warna, membuat tubuh Salena agak terpelanting ke belakang dan berakhir menabraknya ke depan, memegang bagian pinggang jaket Arghi erat-erat.

***

Salena tidak tahu berapa kecepatan motor yang dilajukan Arghi, Arghi tidak lagi memberi pengumuman. Dan sekarang, mereka sudah sampai di sekolah. Melewati pintu gerbang.

"Pagi, Pak Dirman!" teriaknya saat melewati sekuriti sekolah, bahkan dia tahu namanya. Motor memasuki barisan parkiran, berhenti di ruang yang masih tersedia untuk satu motor.

Salena turun dari motor, berdiri di samping Arghi setelah menggendong tasnya dan selanjutnya dia kesulitan membuka kunci helm.

Arghi membuka helmnya sendiri, menatap Salena dengan kening berkerut. "Susah?" Tangannya terulur, bermaksud membantu Salena, tapi Salena menghindar.

"Nggak. Gue bisa." Dia pasti bisa. Membuka kunci helm bahkan tidak sesulit mengerjakan satu soal diferensial.

Arghi membuka jaket, merapikan rambut, masih duduk di jok motor. "Lo bisa minta bantuan gue."

Salena menggeleng. Sial! Kenapa susah banget?

Arghi memandang Salena sambil memangku dagu. "Tolong. Lo tinggal bilang kata itu. Dan masalah selesai."

Salena menjatuhkan dua tangannya ke samping tubuh. Dia menyerah. "Tolong," ujarnya. Suaranya terdengar tidak rela menerima kekalahan.

Arghi menarik helm di kepala Salena, membuat Salena mau tidak mau mendekat. Tangannya menempel di kunci helm, di bawah dagu Salena. "So, I'll see you on Saturday."

Salena mengernyit, tidak terima. Bahkan dia belum membuat keputusan untuk ajakan itu.

"Iya, kan?" Arghi melepaskan tangannya dari kunci helm. "Atau lo lebih suka belajar seharian dengan helm di kepala lo ini?"

Laki-laki itu sedang memanfaatkan situasi, ya? "Licik," gumam Salena.

"Cerdas namanya," balas Arghi. "Gimana?"

"Oke! Iya!" Salena mendengar sekuriti sekolah berteriak bahwa sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

"Oke. Terima kasih. Gue harap Salena adalah seseorang yang selalu menepati janji." Tangannya bergerak ke bawah dagu Salena. "Omong-omong, ini helmnya emang kadang susah dibuka. Pernah dipakai Gelar, dan nggak bisa dicopot kuncinya sampai harus ke bengkel."

Salena melotot. "Apa?"

Kunci helm terbuka. "That was a joke, Lele." Arghi tersenyum. Menyebalkan.

***



Halooo. Ketemu lagi dengan Gigi yang manis. xD

Semoga perjuangannya berbuah manis juga ya, Ghi.

Mau tanya. Pernah kah diperjuangkan oleh seseorang? Atau kalau nggak, di-PDKT-in? Pernah?

Kalau pernah, sebutkan satu moment yang paling kalian ingat ketika dia lagi berusaha PDKT. Boleh kejadiannya, boleh kata-katanya yang nggak bisa kalian lupain gitu aja. Hehe.

Terima kasih masih mengikuti cerita ini. Sampai jumpa hari Sabtu. Semoga tidak bosan menunggu Titik Teduh. ❤️

Bagaimana hari ini? Ada yang mengecewakan? Ikhlaskan. Sesuatu yang indah sedang menunggu di depan. Tetap bahagia.❤️

Satu pesan lagi, jangan pernah menjadi sider di cerita mana pun. Komentar positif adalah energi posistif untuk penulis. Jika tidak sempat memberi komentar, maka Vote saja sudah sangat sangat cukup. ❤️

Bahagia selalu
Citra❤️

Continue Reading

You'll Also Like

508K 49.4K 15
[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Awalnya, Aksara mengenal satu gadis bernama S...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.6M 267K 32
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
74.3K 6.9K 23
Ratu Lautan and gadis Futa Adegan 18++
6.6K 950 31
Awan ingin selalu ada untuk membuat Angin mengerti seberapa keberadaannya masih berarti. Tetapi sulit bagi Awan untuk bohong jika hal yang paling mem...