[✓] Kakak + Day6

By fnza19

274K 27.9K 5.3K

Menjadi satu-satunya perempuan dalam keluarga Aksara tak lantas membuat Jinara diperlakukan bagai ratu oleh k... More

Revisi
Aksara bersaudara!
Dongeng Masa Kecil
Para Abang bersatu
Rencana terselebung
Jalan-jalan
Kebenaran?
Sendiri
Ingatan yang hilang?
Perlahan
Pangeran Dani?
Hilang!
Mencari Jinara
Diculik
Kehilangan Jinara
Wilnan dan Dava
Penculikan Aksara Bersaudara
Sebuah fakta
Memori
Seperti dulu
Drama
JEPANG, KAMI DATANG!!!
Bukan Bunda!
Bertamu
Bertemu
Jalan malam
Reuni bersama bunda
Kencan (+8 stalker)
Kencan (+8 stalker) part 2
Salam perpisahan kita
Khawatir
Selamat datang kembali, Ayah.
Mantan
Jayandra vs. Jinara
Gibah dan Nostalgia
Wisuda
A few years later
We will go home together, with you
Lamaran
Mantan Dava?
SAH
Day6 series

Calon ibu

5.4K 654 13
By fnza19

Mahendra membuka pintu kamar rawat Jinara dengan pelan agar anaknya yang masih belum tersadar tidak terganggu, ia melangkah masuk kemudian menyimpan sebuah kresek putih berisi cemilan di atas meja. Saat melihat wajah damai sang putri yang masih berada di alam bawah sadar, Mahendra tersenyum dan mencium kening Jinara secara lembut.

"Cepat bangun, nak."

Setelah itu, Mahendra berjalan menuju jendela besar yang ada di sana kemudian membuka gorden agar cahaya matahari masuk. Cahaya matahari pagi yang begitu cerah menerpa wajah damai Jinara dan membuat sebuah senyuman di wajah Mahendra mengembang.

Saat gorden terbuka sepenuhnya, pandangan Mahendra terpaku ke luar, suasana matahari terbit menambah kecantikan pagi itu, burung-burung saling berkicau dan berterbangan dan embun pagi yang ada di balik kaca membuat pagi itu terasa lebih menyegarkan. Mahendra terdiam dengan pikiran menerawang jauh memikirkan sesuatu. Dan tanpa ia sadari jika dibelakangnya ada Sakha yang memperhatikan.

"Ayahh?" Panggil Sakha membuat Mahendra langsung berbalik badan. "Iya?"

"Ayah lagi mikirin apa? Jinara pasti baik-baik aja kok, Ayah jangan khawatir. Bungsu kita kan anak yang kuat." ucap Sakha yang peka terhadap keadaan, ia memperhatikan wajah Jinara yang tampak tenang dan mengusap sisi wajah sang adik.

"Kita doakan saja.." ucap Mahendra.

Sakha menghampiri Mahendra dan berdiri di samping ayahnya itu. Ia memandang keadaan di luar dengan menggenggam segelas kopi panas yang baru saja ia beli.

"Ayah mau? Aku tahu ayah belum tidur, nih, siapa tau ayah butuh energi." tawar Sakha.

Mahendra menggeleng, "Tidak, Bima, ayah sudah tidur kok tadi. Yang belum tidur sama sekali itu Jay, kasihan dia."

"Ayah sudah solat? Berdoa sama tuhan buat kesembuhan Jinara?"

"Sudah kok, barusan sebelum beli makanan. Sakha juga sudah, kan?"

"Sudah dong, hehe."

"Yang lain belum bangun?" Tanya Mahendra saat menyadari jika ia belum melihat para putranya yang lain.

Sakha terkekeh lalu menggeleng, kakak dan para adiknya memang belum bangun. Ketika tadi ia bangunkan untuk solat dan pergi kuliah serta sekolah pun mereka berdalih bahwa sekarang hari Sabtu dan tidak ada kelas. "Belum yah, tuh lagi pada di alam mimpi."

Mahendra menoleh sebentar ke belakang, di mana para anaknya sedang tertidur pulas. Jay sedang tidur di samping Jinara dalam posisi duduk, si sulung tampak memegang tangan Jinara seolah jika ia melepaskan tangan Jinara, adiknya itu akan menghilang. Lain hal dengan Key dan Wilnan, mereka terlihat tidur di sofa dengan saling menyenderkan kepala. Dan Dava tidur di pangkuan Key sembari memeluk tas miliknya. Semenjak Jinara dipindahkan ke ruangan inap, mereka belum sempat pulang dan tetap setia menunggu.

"Ayah, "panggil Sakha membuat Mahendra kembali menoleh kearahnya. "Iya, kenapa?"

"Apa ingatan Jinara sudah pulih?"

"Dokter bilang belum, tapi menujukkan gejala pemulihan."

Sakha menunduk sembari memainkan jarinya diatas cup kopi yang dia bawa, pandangannya berubah sendu yang menunjukkan jika ia sedang kembali bernostalgia ke masa lalu.

"Jangan kembali menyalahkan dirimu sendiri, Bima, ayah tidak suka." Tegur Mahendra saat tanpa sengaja melihat raut wajah Shaka.

Sakha langsung mendongak dan menggeleng. "Tidak kok yah, aku hanya kepikiran kelakuan Jinara akhir-akhir ini."

"Kenapa? Ada apa dengan Jinara?"

"Aku menemukan buku catatan Bang Jay di kamar Jinara. Aku yakin Jinara sudah membacanya, lalu, akhir-akhir ini juga aku selalu mengawasi gerak-geriknya."

"Setiap aku membangunkannya untuk sekolah, ia selalu sudah bangun tapi dengan wajah yang pucat. Dia selalu bilang kalau dia pusing dan terlalu lelah. Pernah sekali aku memergokinya sedang mengigau, seperti mimpi buruk tapi terus memanggil nama bunda. Setiap pulang sekolah juga, dia kelihatan tidak sehat. Dan setiap aku tanya, katanya vertigonya kambuh. Setahuku Jinara tidak punya vertigo."

"Jadi maksudmu? Jinara sudah mengalami ini akhir-akhir ini?" Tanya Mahendra yang diangguki oleh Shaka. "Iyaa, dan puncaknya kemarin."

Mendengar cerita yang diceritakan oleh Shaka, Mahendra menghela nafas panjangan karena sungguh ia tidak habis pikir mengapa anaknya itu selalu menyembunyikan semua yang dirasakan? Tidak Sakha, tidak Jinara, semuanya sama.

Keduanya mendadak terdiam karena mereka berfokus pada pikiran masing-masing. Pandangan Sakha terpaku ke depan untuk memperhatikan jalanan yang masih sepi dan belum ramai oleh lalu-lalang kendaraan sembari pikirannya terlempar pada kejadian 7 tahun lalu.




-----





Keadaan di ruangan itu sangatlah sepi. Jam di dinding menunjukkan pukul 8 pagi dan beberapa perawat dan dokter sudah berjalan mondar-mandir di sekitar lorong rumah sakit. Mahendra, Shaka, Dava, Wilnan dan Key baru saja keluar untuk olahraga pagi dan membiarkan Jay yang masih tertidur untuk menjaga Jinara. Sehingga membuat ruangan inap Jinara itu sunyi tanpa suara.

Tanpa ada seorang pun yang menyadari, sepasang mata yang tertutup perlahan terbuka dan menampilkan netra coklatnya yang indah. Mata itu mengerjap pelan sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya.

Jinara mengeryit saat pertama kali ia bangun, yang dilihatnya adalah langit-langit putih bukan ungu seperti kamarnya. Ia menoleh ke samping saat merasa tangan kanannya berat, dan ternyata ada Jay yang tertidur sembari memegang tangannya. Lalu perhatiannya teralih pada tangan yang ditiduri Jay itu terpasang jarum infus.

Bungsu Aksara itu menghela nafas, mencoba mengingat mengapa ia ada di rumah sakit namun sayangnya, kepalanya malah kembali berdenyut sakit. Lebih baik jangan dipaksakan, pikirnya.

Jinara menggerakkan sedikit tangannya agar tidur Jay lebih nyaman, namun pergerakannya itu malah membuat Jay terbangun. Jinara tersentak kaget karena tidak menyangka jika Jay bisa bangun semudah itu hanya karena gerakan kecil yang ia lakukan.

Jay menegakan tubuhnya dan menggosok kedua matanya pelan, bibirnya maju dan menggerutu karena tidurnya terganggu. Namun tak lama, gerakan tangannya terhenti dan matanya melotot saat ia tanpa sengaja melihat Jinara yang sudah bangun. "JINARA? KAMU SUDAH SADAR DEK?"

Jinara meringis kecil saat teriakan sang kakak menusuk telinganya, ia lantas mencoba bangkit dan duduk. Jay yang melihat itu langsung membantu sang adik untuk duduk dan dengan refleks mengubah letak bantal agar Jinara bisa bersandar dengan nyaman.

"Ada yang sakit? Perlu apa? Biar Abang bawakan,"

Jinara menggeleng pelan, "Tidak ada."

"Kalau gitu, sebentar, abang panggilkan dokter dulu." Jay akan bangkit dari duduknya namun tertahan karena Jinara menarik ujung baju yang ia kenakan. "Gak usah bang, nanti juga dokter nya datang. Abang di sini saja, temani aku."

"Kenapa kamu gak pernah bilang sih kalau sakit?" ucap Jay sendu dan hampir menangis. Sisi dari seorang Jay yang tidak pernah ditunjukkan kepada siapapun kecuali pada bunda mereka. Ia menggenggam tangan Jinara dan meremasnya lembut, tatapan hangat ia berikan pada Jinara membuat si bungsu tersenyum dan balas menggenggam tangan sang kakak. "Aku kan cuman kecapek-an aja, bang. Jangan terlalu khawatir."

"Ingatan kamu mulai pulih, lain kali jangan dipaksakan yah, ntar malah nyiksa diri sendiri." ucap Jay.

"Jadi bener yah, kalau aku itu amnesia?"

Pertanyaan dari Jinara membuat Jay terdiam, ia lupa pada kesepakatan keluarga Aksara bahwa rahasia tentang Jinara amnesia itu tidak boleh sampai bocor ke Jinara.

"Jujur deh bang, aku sudah tau kok. Malahan dari abang sendiri,"

"Eh? Abang gak pernah bilang loh, sumpah." Elak Jay yang merasa dirinya tidak pernah membocorkan satu informasi pun pada sang adik.

Jinara tersenyum lebar, sikap lembut dan perhatian Jay ini membuatnya merasa déjà vu, namun ia lupa kapan terakhir Jay bersikap manis seperti ini, sikap yang tulus dari hati bukan seperti waktu itu yang ada maunya.

"Emang sih gak bilang langsung, tapi aku tau dari catatan hariannya Abang. Yang judulnya diary Jay tamvan." Aku Jinara yang sontak membuat Jay terpaku. Pasalnya, buku yang dibicarakan oleh adiknya itu adalah buku dengan catatan paling menyebalkan dan paling alay sepanjang sejarah jika dibandingkan dengan buku hariannya yang lain. Malah, Jay sudah lupa buku tersebut ada di mana saking tidak maunya ia membuka dan menyentuh buku itu.

"Ehhh? Kamu tau darimana buku itu? Perasaan sudah lama hilang deh," Tanya Jay panik dan memancing reaksi jahil Jinara. Bungsu Aksara itu mengangkat sebelah alisnya, lalu jari telunjuk ia letakkan di dagu pertanda jika ia berpikir. "Dariii mana yahhh? Dari mana saja boleh, hahaha."

"Ish kamu ini!" Jay menyentil pelan dahi Jinara, bahaya jika keras, bisa-bisa ia di coret dari KK oleh Mahendra.

"Eh kok aku?"

"Kan Abang sudah kalah barusan, sesuai perjanjian aja deh."

"Mana bisa gitu aishh."

Jay dan Jinara langsung menoleh ke arah pintu saat mendengar suara berisik yang ditimbulkan oleh ayah dan saudaranya yang lain. Tak lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok Mahendra yang baru saja berolahraga dengan handuk kecil di lehernya. Di belakang ayah enam anak itu ada seorang wanita cantik, Dava, Key, Sakha dan Wilnan mengekor.

"Eh Jay sudah ban-" ucapan Mahendra terhenti saat ia melihat Jinara sedang tersenyum kearahnya. "Halo ayah."

"Jinara? Kamu sudah sadar, nak?" Mahendra bergegas menghampiri Jinara dan memeluk tubuh sang anak dengan erat. "Syukurlah jika kamu baik-baik saja."

"Jay sudah panggil dokter, belum? Jinara mana yang sakit? Kepala kamu masih sakit? Atau gimana? Mual gak? Sudah sarapan? Kapan sadar?" Pertanyaan beruntun yang Mahendra lontarkan membuat Jinara bingung akan menjawab yang mana dulu, sedangkan Jay yang melihat kebingungan sang adik hanya mendengus menahan tawa.

"Belum yah, Jinara gak mau. Katanya tunggu dokternya yang datang." Ucap Jay membantu Jinara dalam menjawab pertanyaan.

"Ya sudah, kalian berdua sudah makan belum?"

Sulung dan bungsu Kim itu kompak menggeleng, karena mereka berdua baru saja bangun dan belum memakan apapun sedari awal.

"Ayah sudah pesan makanan sih barusan, kebetulan banget kan? Tunggu sebentar yah, ntar dianter kok." ucap Mahendra antusias.

Jinara tersenyum sebagai respon lalu dia memandang satu persatu wajah kakaknya yang sekarang dihiasi senyum kelegaan walaupun dengan keringat yang membasahi wajah dan tubuh mereka.

"Syukurlah kalau kamu sudah sadar yah Jinara," ucap seorang wanita yang langsung menyita perhatian Jinara. Si bungsu yang mulanya sedang memainkan rambut Jay pun langsung menoleh dengan raut wajah yang berubah drastis seolah tak suka.

"Tante siapa?" Tanya Jinara dengan mata memandang wanita di depannya itu dengan tatapan menilai.

"Perkenalkan, nama tante, Citra. Tante temen ayah kamu pas sekolah dulu,"

Jinara dan Jay saling bertatapan curiga. Tidak mungkin hanya sekedar teman, pikiran mereka berdua saling mengirim sinyal serupa dan sontak langsung menatap Mahendra dengan tatapan menuntut penjelasan.

"Halah, temen apa temen nih, tan? Kok kenalan tadi ke kita bilangnya calon istri ayah." celetuk Key pedas dan itu diangguki oleh Dava, Wilnan dan Sakha.

Citra tersipu malu, sedangkan Mahendra hanya tersenyum. Wajah Jay dan Jinara seketika berubah menjadi datar. Jinara mendengus kesal lalu membuang muka, raut wajahnya kini terlihat tidak senang dan Jay pun tidak jauh berbeda. Jay dan Jinara itu tidak seperti yang lain, yang sudah bisa menerima sang ayah menikah dan memiliki istri baru. Mereka berdua masih pada prinsip bahwa hanya ibu merekalah, yaitu Bunda Minara sebagai satu-satunya istri Mahendra. Tidak boleh ada yang lain ataupun yang baru.

Dava tiba-tiba menyentuh hidung Jinara dengan tisu, membuat sang adik langsung menoleh kebingungan.

"Mimisan." ucap Dava singkat lalu dengan telaten membersihkan darah yang terus mengalir dari hidung sang adik.

Jinara mengambil alih tisu tersebut dan menyumpal hidungnya dengan kertas tipis berwarna putih itu. Saking fokusnya ia mengomeli tingkah Citra dalam hati, ia sampai tidak menyadari bahwa ia mimisan. Dan kini, matanya tak berhenti menatap Citra yang kini sedang mengobrol akrab dengan keempat kakaknya. Wanita yang seumuran dengan ayahnya itu tampak sangat dekat dan sangat gesit saat menyiapkan makanan yang sudah datang. Ia bahkan berhasil mengambil hati seorang Sakha yang bahkan sangat sulit diambil karena seutuhnya Sakha masih ingat dengan Minara. Begitu pun dengan Dava, kakak es nya itu tampak nyaman dengan keberadaan Citra.

Mahendra dalam diam memperhatikan ekspresi si bungsu dengan wajah yang sulit didefinisikan. Ia tahu jika Jinara tidak akan semudah itu menerima Citra dalam keluarga Aksara mengingat Jinara itu keras kepala melebihi dirinya dan Jay.

"Dek? Makan dulu yah?" Tawar Jay. Ia membawakan dua piring berisi nasi dan bubur lalu mendudukan dirinya di samping Jinara yang masih sibuk mengurus mimisan yang tak kunjung terhenti.

"Tapi suapin sama Abang yah?" Pinta Jinara memanfaatkan situasi. Ia memandang Jay dengan wajah dibuat sepolos dan semenggemaskan mungkin agar sang kakak luluh dan menurut.

Jay menghela nafas lalu mengangguk. Ia menyendok sesendok bubur dan menyuapkannya pada Jinara yang tengah tersenyum penuh kemenangan. "Makan yang banyak."

"Jinara, makan yang banyak dan cepat sembuh yah, nak." Ujar Citra yang kini menghampiri Jinara dan mengusap rambut gadis itu. Wanita itu tersenyum ramah namun tingkahnya itu memancing reaksi tak suka dari Jay.

Jinara mengangguk lalu tanpa sengaja matanya menangkap sosok Dava yang tak jauh darinya tengah memandang dirinya dengan tatapan sulit di artikan. Karena bingung dengan tatapan sang kakak, Jinara lebih memilih untuk membuang pandangan ke arah Wilnan yang sedang mengobrol dengan Key. Dalam hati, Jinara kini mulai mempertanyakan tentang tatapan aneh Dava, juga tingkah aneh Citra yang sepertinya tidak asing untuk ia lihat.



















•••
.
.
.
27/01/2019

Direvisi 09/10/2020

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 217 17
Sama ketikan kok baper, siapa tuh? Siapa lagi kalo bukan gw awokwokwok Gimana ya punya pacar online kek rindou? penasaran gak sih isi chattan nya kek...
1.4K 228 8
Dari sekian rumah yang pernah aku lewati, tidak ada tempat untukku menepi. Rumah Papa sudah bahagia dengan keluarga barunya, rumah Mama sudah tenang...
152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
2.5K 190 5
kisah 7 anak dream yang memiliki kekurangan dan kelebihan masing masing. bisa saja ada didunia nyata, tapi tidak semua. masih pemula, jadi kalo adala...