ONCE (Titik Teduh) [Sudah Ter...

By cappuc_cino

351K 34.6K 8.7K

[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari... More

Titik Teduh #Prolog
Titik Teduh #1
Titik Teduh #2
Titik Teduh #3
Titik Teduh #4
Titik Teduh #5
Titik Teduh #6
Titik Teduh #8
Titik Teduh #9
Titik Teduh #10
Titik Teduh #11
Raja Pisang #1
Titik Teduh #12
Titik Teduh #13
Titik Teduh #14
Titik Teduh #15A
Titik Teduh #15B
Titik Teduh #16
Titik Teduh #17
Titik Teduh #18
Info Terbit

Titik Teduh #7

11.1K 1.6K 491
By cappuc_cino

Salena melangkah terburu ke luar kamar, kakinya menggapai-gapai anak tangga, berusaha bergerak turun dalam keadaan gelap. Lututnya sempat membentur meja ruang tengah saat dia akan melangkah ke luar, ponsel di tangannya jatuh. Dia berdecak, memungut ponsel dan kembali menyalakannya untuk menerangi langkahnya yang sekarang bergerak ke luar.

Dia membuang napas berat saat bisa membuka pintu ke luar, melangkah ke teras dan duduk di tepi. Di sini, setidaknya dia bisa melihat cahaya remang-remang dari lampu jalan.

Tangannya yang masih sedikit gemetar, sudah membuka lock screen di ponsel. Namun dia berhenti bergerak saat melihat nomor kontak Mama. Jika Mama tahu bahwa sekarang dia sedang sendirian dan ketakutan—karena mati lampu, pasti besok Mama akan menjemputnya untuk kembali ke rumah.

Entah sejak kapan tepatnya Salena takut gelap, ketika kualitas tidurnya semakin buruk,  dia sering terbangun tengah malam. Itu alasan, dia selalu menyalakan lampu kamar untuk berjaga-jaga ketika terbangun saat tengah malam. Mama sangat tahu akan hal itu, sehingga jika di rumah mati lampu, dia hanya perlu menunggu di kamar sebentar, lalu Mama akan datang dengan lilin untuk menemaninya. Di sini, tidak ada Mama, hanya ada Papa yang sibuk kerja.

Suara berisik dari arah pagar membuat Salena terkejut, dia memanjangkan leher untuk tahu siapa yang sekarang memasuki halaman rumahnya. Namun, dia  tidak menemukan siapa pun. Selanjutnya, dia melihat pohon pucuk merah di halaman rumah bergoyang-goyang, seperti ada orang di baliknya. Salena berdiri, meraih satu sandalnya dan dilemparkan ke arah sana.

“Aduh.” Pekikkan itu terdengar dan Salena bisa melihat seseorang berdiri dari balik pohon. “Eh, gue tamu, ya. Nggak seharusnya dilempar sandal begini.”

Arghi? Salena melihat laki-laki itu berjalan ke arahnya setelah memungut sandal miliknya tadi, satu tangannya membawa sebuah piring. Entah harus merasa kesal atau tertolong, dia melihat Arghi membawa cahaya senter dari ponselnya mendekat. Kesal karena dia sekarang sedang mengenakan piyama polkadot merah—sudah benar-benar bersiap akan tidur dan tidak akan ke luar rumah. Merasa tertolong karena ... sekarang dia tidak sendirian.

“Untung nggak kena piring,” rutuknya, ketika sudah sampai di depan Salena, menjatuhkan satu sandal tepat di samping kaki Salena.

Siapa suruh ngendap-ngendap masuk halaman rumah orang? “Ngapain?” tanya Salena ketika melihat Arghi mengangsurkan piring berisi potongan red velvet ke arahnya.

“Gue juga nggak tahu gue lagi ngapain,” jawabnya. “Tapi, gue udah nepatin janji, kan? Gue bilang, kalau nggak akan lama lagi giliran gue yang dateng ke rumah lo. Karena setahu gue, ibu-ibu di Indonesia memang senang bertukar piring sama tetangga dan biasanya nyuruh anaknya untuk nganter-nganterin.” Arghi menatap piring di tangannya. “Ini bikinan nyokap, katanya lo suka.”

Salena menerima piring dari tangan Arghi dengan wajah heran, kapan dia bilang pada orang lain bahwa dia suka red velvet? Dan setahunya, sejak Papa pergi tujuh tahun yang lalu, itu bukan lagi makanan kesukaannya. Bukan red velvet yang dia suka, tapi menunggu Papa pulang kerja dan membawakan sesuatu untuknya. Selanjutnya, Salena mengernyit karena melihat Arghi duduk di tepi teras. “Lo ngapain?”

“Duduk.”

Salena tahu Arghi sedang duduk, tapi untuk apa? Mereka tidak sedekat itu untuk duduk bersama saat malam hari dan hanya ditemani remang-remang cahaya lampu jalan di depan rumah. Namun, Salena ikut duduk di sampingnya, dengan jarak satu rentang tangan.

Arghi menaruh lampu ponselnya yang masih menyala di atas kepala Salena. “Lo takut gelap?” tanya Arghi.

Salena menoleh ke atas, menepis tangan Arghi. “Sok tahu.”

“Emang kedengaran nuduh? Gue nanya, kali.” Arghi bergumam sambil menatap Salena, heran. “Mati lampu, bukan nyalain lilin. Malah diem di luar rumah.”

“Gue nggak tahu Papa nyimpen lilin di mana.” Bahkan dia curiga kalau di rumah tidak ada persediaan lilin.

“Oh.” Arghi berdiri. “Ya, udah. Gue balik, ya. Kayaknya lo juga udah mau tidur.”

“Eh!” Salena menaruh piring di teras, tangannya segera menarik ujung baju Arghi.

Arghi menatapnya. “Kenapa?”

Salena berdeham, tangannya perlahan melepas baju Arghi. “Nggak.” Dia menggeleng pelan.

“Kelihatan lebih manusiawi muka lo kalau lagi takut, ya?” Arghi terkekeh. “Takut gelap, ya?” tanya Arghi lagi, seolah-olah ingin membuat Salena mengakui kelemahan yang dimilikinya.

Salena mengalihkan tatapannya, tapi dia tahu Arghi kembali duduk di sampingnya.

“Kenapa takut gelap?”

“Kalau bisa terang kenapa harus memilih gelap.”

Arghi mendecih. Wajahnya seakan berkata, Jawaban macam apa, tuh? “Jadi kalau tidur malem, lo tetap nyalain lampu?” Arghi masih berusaha membuat Salena bersuara.

Kenapa sih ini orang? “Salah?” Salena meraih piring pemberian Arghi tadi, mengambil satu potong red velvet dan menggigitnya, berharap Arghi tidak lagi mengajaknya bicara selagi makan.

“Cahaya itu bisa mempengaruhi kualitas tidur. Pernah dengar kalau orang yang tetap menyalakan lampu saat tidur itu rata-rata punya kualitas tidur yang buruk? Lo anak MIA, ya. Seharusnya lo lebih tahu tentang cahaya yang bisa menghambat sel-sel saraf untuk menghasilkan hormon .... Hormon apa gue nggak tahu, yang bisa menyebabkan orang ngantuk.”

“Melatonin.” Salena menahan kunyahannya untuk berkomentar.

Arghi menjentikkan jari. “Lo bisa pakai lampu tidur, sebagai solusi.”

“Ketinggalan, di rumah Mama.” Salena sudah menghabiskan sepotong kue dan menaruh piring di pangkuannya.

Arghi mengangguk-angguk. Lalu, seperti memberi kesempatan pada Salena untuk memakan lebih banyak kue, Arghi terdiam beberapa saat. Dan Salena memanfaatkan kesempatan itu, setidaknya saat makan dia tidak akan tersedak.

“Gue juga punya sesuatu yang gue takutin. Dan itu nggak enak banget,” ujar Arghi tiba-tiba.

Salena sedikit kesulitan menelan makanan di mulutnya, sepertinya dia butuh minum, tetapi tidak ada keberanian untuk mengambilnya ke dapur. Tidak mungkin juga dia menyuruh Arghi menemaninya.

“Tapi gue punya alasan, kenapa gue takut akan hal itu.” Dia menoleh, menatap Salena. “Lo juga pasti punya alasan kenapa lo takut gelap. Nggak usah cerita, karena gue tahu lo nggak akan cerita.”

Salena menghindari tatapan Arghi. Dia menatap lurus, menatap lampu jalan, dan tidak berniat menanggapi ocehan Arghi.

Arghi menjentikkan jari. “Saat lo tidur, semuanya juga jadi gelap. Lo merem, dan semua gelap,” gumam Arghi. “Apa bedanya? Sama mati lampu?”

Padahal, dalam keadaan tidur pun Salena masih bisa melihat cahaya. Di dalam kepalanya, semua terbangun. Dia tidak pernah tidur tanpa bersama masalah apa pun di kepalanya.

“Lo pernah tidur dengan seseorang? Nyokap lo misalnya?”

Kami nggak sedekat itu.

“Atau kakak lo?” tambah Arghi.

Dulu Salena sering tidur bersama Kak Kessa, setelah mendapatkan pekerjaan, Kak Kessa meninggalkan rumah dan tinggal sendiri. Begitu juga dengan Kak Odile. Eh, Arghi tahu dari mana bahwa Salena punya kakak?

“Mungkin lo butuh itu. Seseorang yang bikin lo tenang saat lo tidur. Merasa ada yang jagain.” Arghi berdeham kencang, membuat Salena menoleh. “Atau ... gue? Kalau lo maksa, gue bisa nemenin lo tidur.”

Salena hampir saja melempar piring ke wajah Arghi, tapi sebelah tangannya lebih dulu meninju pangkal lengan laki-laki itu.

Arghi mengaduh. “Lo pernah bercanda nggak, sih?” tanyanya.

Salena mendelik, sebal.

Dia meringis. “That must get very boring.

It's the way I'm.”

Arghi tertawa. “Nah, gitu kek. Nyahut. Dari tadi gue ngomong sendiri, berasa lagi interogasi maling.”

Salena membuang napas berat, menghadapi Arghi tidak semudah yang dibayangkan. Sejak tadi, dia berusaha menahan diri untuk tidak bicara, bercerita, atau melakukan hal yang bisa membuat mereka lebih dekat.

Tidak lama, deretan lampu-lampu rumah menyala bergantian. Lampu sudah kembali menyala. Salena bisa bernapas lega, akhirnya dia bisa kembali ke dalam rumah dan membiarkan Arghi pulang.

Arghi bangkit lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya. “Arghi,” ujarnya, membuat Salena mengernyit. “Kita belum pernah kenalan secara baik-baik, seingat gue.”

Seingat Salena juga begitu, dia tahu nama Arghi dari nametag di seragamnya sebelum menjedukkan kening laki-laki itu ke tiang gazebo. Tunggu! Perlu tidak dia meminta maaf atas kejadian itu?

Arghi menarik tangan Salena yang masih duduk di teras. “You must be Salena,” ujarnya tidak sabar. 

Salena berdiri dan Arghi membantunya, lewat jabatan tangan mereka yang belum lepas.

“Gue harus manggil lo apa?” tanya Arghi. “Salena? Sasa? Lena? Ena? Ena ena?”

Salena melepaskan tangannya, untuk memukul tangan Arghi.

***

Arghi melangkah ke luar rumah dengan hoodie dan jogger pants serba hitam. Akhir-akhir ini dia sudah membuat janji dengan dirinya sendiri akan sering berolah raga, dan dia tidak ingin itu hanya menjadi sekadar janji. Langkahnya terayun ke luar halaman, saat tangannya sudah bergerak menutup pagar, dia menemukan Salena sedang berdiri di depan teras rumahnya sambil memperhatikan halaman rumah, tanah, tumbuhan, atau apa, tidak bisa dipastikan.

Tidak ada lagi piyama polkadot merah, Salena sudah berganti pakaian dengan kaus putih polos dan celana panjang abu-abu. Arghi melirik jam tangan, ini masih pukul enam dan Salena sudah sangat rapi? Di hari Minggu? Dia memang sangat disiplin, ya?

“Pagi, Salena.” Sapaan Arghi membuat Salena menoleh.

Gadis itu mengangguk tak acuh.

Arghi memang tidak mengharapkan Salena akan melambaikan tangan dengan antusias sembari balas menyapanya, seperti yang akan Sura lakukan setiap kali melihatnya, tapi setidaknya ... dia mendapatkan senyuman. “Malangnya Arghi.” Arghi menepuk-nepuk dadanya sendiri.

Dia tiba-tiba ingat apa yang semalaman dilakukannya di ruang kerja, untuk gadis itu. Bahkan dia baru tertidur pukul satu pagi. Bukan, bukan karena Bunda menyuruhnya mendekati Salena yang—papanya bilang—sangat tertutup itu. Bukan pula ingin membuat Salena terkesan padanya. Dia hanya ... Hm, baik. Tidak ada alasan khusus.

“Salena?” Suara Arghi membuat Salena menoleh lagi. “Tunggu di situ,” pintanya sembari menunjuk Salena, lalu berlari ke dalam rumah untuk membawa benda-benda di dalam kotak yang disiapkannya semalam, untuk Salena.

Salena sudah menunggu Arghi di depan pagar rumahnya saat Arghi kembali. Menatap kotak di tangan Arghi dengan kening mengernyit.

“Gue punya sesuatu,” ujar Arghi, menghampiri Salena.

Salena mengernyit. “Apa?”

Guess, what?” Arghi tahu Salena tidak seharusnya diajak tebak-tebakan, ucapannya tadi sia-sia, gadis itu tidak begitu penasaran. “Buat lo.” Arghi memutuskan untuk langsung memberikan kotak di tangannya pada Salena.

“Buat ... gue?” Salena kelihatan bingung, tapi dua tangannya menerima kotak pemberian Arghi.
Arghi membuka tutup kotak, karena tahu Salena akan kesulitan, memperlihatkan isinya. “Semoga ....” Lo suka—Oh, bukan, bukan. “Semoga ini berguna.”

Salena terlihat sedikit takjub melihat isi kotak pemberian Arghi.

Ada lampu tidur yang Arghi buat semalam. Lampu tidur yang terbuat dari lampu LED yang dipasang bola pingpong bekas setiap lampunya. Jika dibentangkan, lampu itu akan membentuk rantai bola ping pong. “Ini lampu tidur,” jelas Arghi. “Gue bikin sendiri. Semalem.”

Salena menatap Arghi, kelihatan tidak percaya.

“Ini pakai batu baterai. Jadi kalau mati lampu, akan tetap nyala.” Arghi menarik satu bola pingpong dari dalam kotak. “Lampunya gue tutup pakai bola ping pong, biar cahayanya nggak terlalu silau.”

Salena menyalakan lampu itu dengan menekan ujungnya yang seperti saklar.

“Cahayanya akan kelihatan kalau gelap,” ujar Arghi. “Itu kenapa kita butuh gelap, ada hal-hal indah yang hanya bisa dilihat kalau gelap.”

Salena mengangguk pelan, lalu satu tangannya merogoh ke dalam kotak. “Dan ini?” Dia mengambil tiga buah gantungan kunci berbentuk bintang yang juga Arghi berikan untuknya.

“Gantungan kunci, yang kalau ditekan akan berguna layaknya senter.” Arghi meraihnya satu. “Ini tetap nyala dalam gelap. Lo bisa gantungin ini di lemari, atau di laci meja, atau di pintu kamar. Pokoknya di tempat yang akan membuat dia tetap kelihatan.” Arghi menaruh kembali ke dalam kotak. “Kalau mati lampu, lo bisa pakai ini untuk cari lilin, atau ... HP, untuk nelepon gue ... nemenin lo.”

Tiga. Dua. Satu.

Salena tidak marah, padahal Arghi sudah menghitung mundur dalam hati. “Berapa?” tanyanya.

Arghi mengerutkan kening. Dia pikir, dia akan mendapatkan ucapan terima kasih, tapi tidak. Salena tidak akan melakukan itu, jangan berharap lebih.

“Ini semua, berapa? Nanti gue bayar,” ulang Salena.

Arghi mendecih. Salena benar-benar tidak tahu peraturan dalam berteman, ya? Mana ada membayar sesuatu yang diberi teman? “Serius lo mau bayar ini semua?” tanya Arghi.

Salena mengangguk. “Harus. Berapa?”

Arghi membuang napas berat. “Belum gue pikirin.”

“Kalau bisa secepatnya, karena gue nggak biasa punya utang.”

Arghi mengangguk. “Secepatnya. Akan gue pikirkan harganya, walaupun sebenarnya gue pikir ini semua tidak ternilai. Karena, ini usaha gue untuk mengajak lo berteman.”

Salena terkekeh singkat, sangat singkat, satu detik sepertinya. Selanjutnya, kekehan itu hilang  dan meninggalkan senyuman tipis di wajahnya.

Arghi menganga, takjub melihat senyum pertama gadis itu. “I’m so honoured,” gumamnya.

“Ya?”

“Bisa lihat senyum lo, yang langka itu.” Mungkin barusan itu kedengaran seperti rayuan gombal laki-laki sekelas Nevan, karena Arghi melihat Salena mengernyitkan dahi dengan wajah geli sekarang. “Mau gabung? Keliling kompleks?”

Salena menggeleng. “Nggak, makasih.”

Arghi mengangguk, lalu menutup kepalanya dengan hoodie dan bergerak mundur. “Sampai ketemu, Salena.”

“Lele.” Suara Salena terdengar pelan, tapi Arghi bisa mendengarnya.

Arghi menahan senyum. “Gigi or ... Jiji. Boleh.” Arghi mengangkat kedua bahu sambil masih berjalan mundur. “Kalau lo mau.”

Salena terkekeh, lalu menahan senyumnya dengan menggigit bibir.

Laters, Lele.” Arghi berbalik, berlari menjauh.

***

Ada yang nunggu Arghi? Hehe.

Mau tanya, biasanya cewek di dunia nyata, itu lebih suka sama cowok humoris yang petakilan atau cowok pinter yang serius, sih? :D

Spam “Next” di sini, supaya saya bisa tahu seberapa antusiasnya kalian nungguin ini. Hihi.

Selamat hari Sabtu. Kalau lelah, beristirahatlah.
Selamat menyambut hari Minggu. Bahagia selalu. ❤️

Salam sayang
Masih Jiji ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

958K 52.2K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
5.7M 378K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
948 210 25
[Revisi setelah tamat] Launa hanya ingin bercerita tentang bagaimana dia menjalani hubungan jarak jauh atau long distance relationship bersama Herli...
2.9M 880 2
Bagi Ribby punya dua sohib ganteng itu musibah. Dia yang serba pas-pasan, ngerasa temenan sama Ervan dan Pandu yang berpredikat cowok populer sekolah...