ONCE (Titik Teduh) [Sudah Ter...

By cappuc_cino

351K 34.6K 8.7K

[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari... More

Titik Teduh #Prolog
Titik Teduh #1
Titik Teduh #2
Titik Teduh #3
Titik Teduh #4
Titik Teduh #6
Titik Teduh #7
Titik Teduh #8
Titik Teduh #9
Titik Teduh #10
Titik Teduh #11
Raja Pisang #1
Titik Teduh #12
Titik Teduh #13
Titik Teduh #14
Titik Teduh #15A
Titik Teduh #15B
Titik Teduh #16
Titik Teduh #17
Titik Teduh #18
Info Terbit

Titik Teduh #5

11.7K 1.6K 320
By cappuc_cino

Arghi menggaruk kencang kepala belakangnya. Sejak siang, sepulang sekolah, Arghi berdiam di dalam ruang kerjanya. Ruangan kosong di belakang garasi yang digunakan untuk menyimpan semua barang tidak terpakai itu sama halnya dengan gudang. Namun, sudah lama Arghi mengubah ruangan itu menjadi ruangan pribadinya. Dia membereskan semua barang ke dalam lemari penyimpanan dengan rapi dan membersihkan debu di dalamnya sampai layak dihuni, bahkan sering digunakan untuk tidur siang, ada sofa panjang bekas sofa tamu yang tidak jadi dibuang dua tahun lalu karena Arghi memintanya untuk di simpan di sana.

Di tengah ruangan, ada meja bundar yang di atasnya disinari sebuah lampu menyerupai lampu operasi, tempat untuk membongkar semua benda yang dirasa perlu dibongkar atau dibenarkan. Dan sekarang, ponsel Diyas yang sedang berada dalam penanganannya, yang setelah menghabiskan waktu hampir dua jam belum kunjung selesai.

Arghi menggerakkan lehernya, pegal. Lalu setelah beristirahat sebentar sambil memandangi ponsel Diyas, dia memutuskan untuk ke luar ruangan.

Ada Bunda dan Kak Reysa di ruang tv, mereka duduk di sofa menemani Zyan yang sedang sibuk dengan perlengkapan dokter-dokterannya, juga Saira yang sibuk menggigiti peralatan salonnya.

Arghi mengambil botol air dari dalam lemari es dan meneguknya sambil melangkah menghampiri ruang tv. Dia berjongkok di hadapan Saira, melepaskan tangan Saira yang sedang mengulum hair dryer mainan. “Nggak boleh ya. Ini nggak boleh dimakan.” Arghi tersenyum melihat Saira yang wajahnya berubah cemberut.

“Bagus nggak warna ini buat aku, Bun?” tanya Kak Reysa. Dia sedang memangku kotak make-up, tangan kirinya memegang cermin sementara tangan kanan memegang lipstik.

“Bagus. Baru, ya?” tanya Bunda sembari mengambil alih kotak make-up, lalu melihat-lihat isinya.

“Nggak ke Titik Teduh, Kak?” tanya Arghi. Titik Teduh adalah nama kedai kopi milik suaminya.

Kak Reysa menggeleng. “Nggak, males kerja mulu,” jawabnya.

Arghi hanya menggeleng. Saat langkahnya akan kembali ke ruang kerja, Arghi menoleh lagi ke arah Kak Reysa. “Kak, punya HP bekas nggak?”

“Ada. Buat apa?” Kak Reysa berbicara sambil menatap cermin di tangannya.

“Masih dipakai nggak?” tanya Arghi lagi.

“Nggak.”

“Buat Arghi, boleh nggak?”

Kak Reysa mengangguk. “Jiji, sini dulu, deh.” Dia melambai-lambaikan tangan.

Arghi mengernyit, sedikit curiga, karena tingkatan pangilan untuknya di rumah adalah: Arghi Antasena = kalau sedang dimarahi, Arghi = biasa saja, Gigi = Kau sedang dibutuhkan, Jiji = Ya Tuhan, Arghi kamu sangat dibutuhkan. Namun, Arghi tetap melangkah menghampiri Kak Reysa dan duduk di antara dua wanita paling ribet sedunia itu.

“Mau HP, kan?” tanya Kak Reysa, dia tersenyum. Mencurigakan.

Arghi mengangguk.

Kak Reysa menarik wajah Arghi agar mendekat, mencium pipi kanan Arghi kuat-kuat sampai rasanya bibir kakak perempuannya itu bisa tembus ke pipi kiri.

Arghi berteriak, minta dilepaskan. Pipinya memang kerap dijadikan untuk percobaan lipstik baru oleh Bunda dan kakak perempuannya, karena kalau Zyan yang dijadikan korban, takut pipinya iritasi karena masih kecil. Sedangkan Arghi, bebas. Mau iritasi, bruntusan, jerawatan karena make-up milik kakak dan bundanya itu, peduli amat.

“Ih, katanya nggak berbekas, tapi nempel tuh Bun di pipi Arghi!” Kak Reysa cemberut. “Harus dikasih bintang satu, nih!” omelnya.

Bunda yang sedang mencoba lipstik lain segera menarik wajah Arghi. Mencium pipi sebelahnya lagi. “Iya, nih. Nempel gini,” komentarnya seraya melihat pipi Arghi.

Arghi mau bangkit dari sofa, tapi Kak Reysa menahan tangannya. “Tunggu, tunggu. Jangan dihapus dulu.” Lalu Kak Reysa membidik wajah Arghi dengan kamera ponsel. “Buat bukti, nih.”

Arghi tahu, wajahnya nanti akan terpajang di kolom testimoni suatu produk kecantikan beserta bintang satu.

“Gigi, demam?” Zyan tiba-tiba berdiri di hadapan Arghi, menempelkan stetoskop ke keningnya.

“Jantung Gigi di sini.” Arghi mengarahkan tangan Zyan ke dadanya.

Kak Reysa tertawa. “Nggak kok, bener. Jantung Gigi ada di kepala, kan otaknya ada di dengkul.” Dia tertawa lagi.

“Gigi demam, harus disuntik,” ujar Zyan seraya mendorong kening Arghi agar bersandar ke sofa.

Arghi tidak jadi beranjak dari sofa, dia diam karena memang tahu tidak akan bisa kabur dari keadaan ini.

“Nggak sakit kok, disuntiknya. Kayak digigit semut.” Zyan menyuntik kening Arghi dengan suntikan mainan, lalu menempelkan plester merah bergambar Spiderman di kening Arghi. “Gigi cepet sembuh, ya. Kalau sakit segera ke sini lagi. Hubungi Dokter Zyan.”

“Jiji.” Saira berdiri, berpegangan di lutut Arghi seraya membawa bando dan jepit rambut.

“Oh, ini hadiah buat Gigi karena nggak nangis waktu disuntik.” Zyan mengambil bando dan jepit dari tangan Saira, memasangkannya di rambut Arghi.

“Waw, like an angel.” Kak Reysa bertepuk tangan melihat Arghi yang memakai bando hallo dan jepit kupu-kupu.

Pintu rumah terdengar diketuk, bel berbunyi kemudian. Ada tamu di luar, tetapi Kak Reysa dan Bunda kembali sibuk mengomentari warna dan jenis lipstik apa yang paling bagus. Jadi, Arghi memutuskan untuk bangkit dari sofa sembari menggendong Saira karena bocah itu sudah naik ke pangkuannya dan menciumi pipinya sampai basah. Saat Arghi melangkah, Zyan berlari, memeluk kakinya, mirip koala yang sedang memeluk batang pohon.

Arghi melangkah terseret ke arah pintu karena Zyan enggan melepaskan pelukan di kakinya, sementara Saira masih berada dalam gendongannya. Memang, hidup Arghi kadang seberat ini, literally, berat.

Dan, demi segala makhluk yang ada di bumi. Seharusnya Arghi tidak pernah menyepelekan setiap tamu yang bertandang ke rumahnya. Entah itu kurir pengantar paket atau makanan pesanan Bunda, Pak RT, teman Kerja Ayah, atau siapa pun itu. Seharusnya Arghi selalu bisa tampil tampan.

Setidaknya, seharusnya sebelum membuka pintu, dia sudah membuka bando hallo dan jepit kupu-kupu di kepalanya. Tidak seperti sekarang, saat tangannya sudah membuka pintu, melihat seseorang yang sekarang berdiri di hadapannya, rasanya dia ingin mati.

Adakah sniper yang sekarang sedang membidik kepalanya dari kejauhan? Kalau bisa, tembak dia sekarang juga. Matilah Arghi, bersama dengan semua kebodohan dan kecerobohannya.

***

Salena menuruni anak tangga. Lalu melangkah ke dapur untuk membuka lemari es. Saat melewati meja makan, dia menemukan kotak Seven Grain baru bersama selembar sticky note kuning di atasnya. Tangannya melepaskan kertas kecil yang menempel di atas kotak itu, membaca tulisan di sana. Tulisan Papa.

Antarkan ini ke rumah Tante Indah, rumahnya tepat di samping kanan rumah kita. Kenalan dengan keluarga mereka, Le. Papa jarang di rumah, jika butuh bantuan, mereka adalah sumber pertolongan paling dekat. —Papa

Salena mendecih. Meremukan kertas menjadi bola kecil, lalu menatap kotak kue yang ada di hadapannya sekarang. Dia bisa saja berbohong pada Papa, telah mengantarkan kotak itu ke tetangga, padahal membuangnya ke tempat sampah. Namun, dia tidak sejahat itu untuk membuang-buang makanan. Dan kalau pun dia habiskan sendiri, maka perutnya akan meledak karena sepulang sekolah Vida menraktirnya makan bersama Dasha dan Devda di kafe baru dekat sekolah.

Papa niat banget bikin aku untuk terbuka dengan orang lain, ya? Padahal, jangankan dengan orang lain, dengan Papa saja Salena masih enggan membuka diri.

Salena melangkah ke luar rumah, bergerak menuju gerbang rumah yang berada tepat di samping kanan rumahnya. Seingatnya, kemarin dia melihat Arghi memasuki rumah itu. Entah itu adalah rumah temannya atau rumah saudaranya, tidak mungkin rumahnya sendiri, karena Salena tidak ingin percaya bahwa sekarang dia kebetulan memiliki tetangga sejenis Arghi Antasena.

Salena memasuki pagar rumah bercat putih itu. Dia melangkah pelan melewati halaman luas dengan rumput hijau yang terhampar di sisi kanan dan kirinya, karena kakinya berjalan di atas batu-batu jalan yang menghubungkannya ke teras rumah.

Ada pohon akasia rindang di sudut kanan halaman yang digantungi sepasang tali ayunan berwarna kuning dan merah. Cerah. Di sebelahnya ada sebuah tenda warna-warni, yang ditaruh tidak jauh dari bangku panjang—yang kira-kira muat dipakai tiga orang untuk berbaring.

Salena merasakan kehidupan ketika memasuki halaman rumah itu, juga keceriaan yang tiba-tiba tersampaikan ketika melihat benda-benda di halaman rumah itu. Membuatnya tersenyum. Membayangkan anak-anak kecil pemilik rumah bermain di halaman.

Dia sudah sampai di teras, mengetuk pintu, lalu menekan bel di samping pintu. Salena menunggu seseorang dari dalam membuka pintu untuknya. Baru kali ini, dia penasaran pada sosok pemilik sebuah rumah yang dikunjunginya.

Terdengar seseorang membuka kunci pintu dari arah dalam. Punggung Salena berubah tegap ketika pintu terbuka. Kedua tangannya menopang kotak besar yang sudah siap diangsurkan. Niatnya, setelah kotak itu diberikan, dia akan langsung pergi.

Salena mematung saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya sekarang. Laki-laki, yang baru dikenalnya kemarin-kemarin, memakai bando dengan lingkaran hallo di atasnya, jepit kupu-kupu kuning di rambutnya, plester merah bergambar Spiderman di keningnya, bekas lipstik di kedua pipinya, menggendong balita perempuan, dan menyeret seorang bocah laki-laki di kaki kanannya.

Arghi Antasena, dia terlihat ajaib sekali sampai rasanya kotak tertawa di tubuh Salena ingin meledak. Dan, ya, orang ajaib itu ternyata memang tetangganya sekarang.

***

“Jadi, ini Lele yang sering diceritain Pak Btara? Anak bungsu Pak Btara?” tanya Tante Indah, wanita yang tadi dipanggil Bunda oleh Arghi.

Salena mengangguk.

“Satu sekolah sama Arghi?” tanya Tante Indah lagi seraya menatap Salena dan Arghi bergantian.

Salena mengangguk. “Iya.”

“Wah, bisa berangkat bareng tiap hari sama Arghi,” usulnya, membuat Arghi membelalak dan Salena meringis.

Salena sudah berniat tidak akan berlama-lama, tapi entah kenapa ketika Zyan menarik tangannya untuk ikut masuk ke ruang tamu, dia menurut saja.

“Aku mau jadi pacar Kak Lele,” ujar Zyan yang sejak tadi duduk di samping Salena.

“Zyan.” Tante Indah tertawa. “Maafin Zyan ya, Le. Kalau lihat perempuan cantik Zyan tuh memang senang banget. Mungkin ayahnya dulu kayak gitu. Mirip ayahnya.”

“Aku mirip Gigi, bukan ayah, Nek.” Zyan melipat lengan di dada. Mungkin yang dimaksud dengan Gigi itu adalah Arghi?

“Iya, iya, mirip Gigi. Kalau mau mirip Gigi, mandi dulu, udah sore.” Tante Indah menggendong Saira dari pangkuan Arghi dan menarik tangan Zyan. “Kalau Zyan mandi, Kak Lele tambah suka.” Setelah mendengar kalimat itu, Zyan dengan semangat berlari ke dalam disusul oleh Tante Indah. “Tante mau mandiin dulu anak-anak, Lele ngobrol-ngobrol dulu aja sama Arghi ya.”

Salena mengangguk. Suasana berubah canggung. Hanya ada Arghi dan Salena di ruang tamu sekarang.

Arghi sudah melepaskan bando dan jepit dari kepalanya, plester di keningnya sudah dibuang, pipinya juga sudah bersih dari noda lipstik karena Tante Indah memberinya tisu basah tadi.

“Gue pulang aja kalau gitu.” Salena baru akan beranjak dari sofa.

“Udah nggak tahan pengin ketawa, ya?” tuduh Arghi. “Ngetawain gue?”

Salena mengernyit. Ketika melihat Arghi membuka pintu, tawanya memang akan meledak, tapi Salena bukan tipe orang yang bisa membayangkan hal lucu sendirian di rumah untuk jadi bahan hiburan. “Gue lebih milih ngerjain lima soal Matematika daripada harus buang-buang waktu untuk mikirin lo.”

Arghi mendecih. “Hidup lo memang senggak menarik itu.”

“Tapi lebih berguna, daripada hidup lo.” Emosi Salena tersulut.

Arghi mengangguk-angguk. “Bisa-bisanya ngatain hidup orang nggak berguna,” gumamnya. “Padahal lo sendiri, ketawa aja susah.”

Salena menatap Arghi, tidak suka.
“Gue ajarin ketawa, mau?”

That’s the nicest offer I've gotten all day,” ujar Salena dengan wajah sinis. “But, no thanks.”

Don’t be a stranger, kita kan tetangga.” Arghi tampak berpikir. “Kita atur jadwal untuk ketemu lagi.”

“Gue balik.” Salena bangkit dari sofa.

“Percaya sama gue, besok atau besok lusa gue yang akan datang ke rumah lo.”

Salena yang sudah berada di ambang pintu segera menghentikan langkah. Tatapannya mengancam Arghi untuk tetap diam di luar batas kehidupannya.

Arghi tersenyum. “Sampai ketemu, Lele.”

Dan tidak ada kalimat, Sampai ketemu juga. Dari Salena. Kecuali di sekolah, itu pun mereka harus bertemu tanpa disengaja.

“Jiji, cobain lipstik lain dong, Ji,” teriak seorang wanita dari dalam rumah. Itu bukan suara Tante Elya.

Yah, seperti yang Salena duga ketika memasuki rumah ini. Orang-orang di dalamnya benar-benar hidup, ceria, dan jelas bukan tipe yang bisa Salena didekati atau mendekatinya.

Langkah Salena terhenti di halaman, menatap ayunan yang bergerak-gerak terdorong angin. Stay away, Salena. Lain kali, jangan mau dengar suruhan Papa untuk berkenalan dengan orang lain lagi.

“Salena!” Suara Arghi terdengar lagi.

Salena menoleh, tidak tahu kalau ternyata Arghi mengikutinya.

“Ada yang ketinggalan, nih,” teriak Arghi.

“Apa?”

“Senyumnya.”

***

Salena cocoknya sama Arghi atau sama Agfa? Ayooo pilih mana?

Coba kasih alasan, kenapa?

Terima kasih untuk vote dan komentar yang selalu setia, ya. Bikin makin semangat lanjutin ini. Semoga ada yang masih nunggu cerita ini. Huhu.

*Maaf salah nama, nama Bunda-nya Arghi bukan Elya, tapi Indah. :(((

Selamat menyambut hari Senin. Jangan lupa siapkan senyum untuk hari besok, ya. Tiupkan harapan. Semoga tidak ada kekecewaan. Bahagia selalu. ❤️

Salam sayang
Citra❤️

Continue Reading

You'll Also Like

19K 156 23
Kumpulan novel novel terbaik, terseru, berkualitas dan bikin baper dari penulis-penulis terbaik Indonesia.
508K 49.4K 15
[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Awalnya, Aksara mengenal satu gadis bernama S...
54.6K 7.4K 44
(Tamat) Book #1 Kadang, kita semua perlu paham dahulu apa itu makna yang tidak bisa dibaca, dirasa, ditanya namun hanya bisa dijawab. Kadang juga, k...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.2M 291K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...