[✓] Kakak + Day6

By fnza19

275K 28.1K 5.3K

Menjadi satu-satunya perempuan dalam keluarga Aksara tak lantas membuat Jinara diperlakukan bagai ratu oleh k... More

Revisi
Aksara bersaudara!
Dongeng Masa Kecil
Para Abang bersatu
Rencana terselebung
Jalan-jalan
Kebenaran?
Sendiri
Ingatan yang hilang?
Perlahan
Calon ibu
Pangeran Dani?
Hilang!
Mencari Jinara
Diculik
Kehilangan Jinara
Wilnan dan Dava
Penculikan Aksara Bersaudara
Sebuah fakta
Seperti dulu
Drama
JEPANG, KAMI DATANG!!!
Bukan Bunda!
Bertamu
Bertemu
Jalan malam
Reuni bersama bunda
Kencan (+8 stalker)
Kencan (+8 stalker) part 2
Salam perpisahan kita
Khawatir
Selamat datang kembali, Ayah.
Mantan
Jayandra vs. Jinara
Gibah dan Nostalgia
Wisuda
A few years later
We will go home together, with you
Lamaran
Mantan Dava?
SAH
Day6 series

Memori

4.6K 636 57
By fnza19

Di sebuah ruangan, terlihat seorang wanita dewasa dan juga seorang gadis kecil tengah berbaring di atas ranjang. Jinara dengan sang bunda, Minara, terlihat sedang memposisikan diri untuk tidur.

Minara mengambil sebuah guling dan meletakkannya diantara tubuhnya dan Jinara. Ia menyentuh pelan rambut sang anak sembari tersenyum lembut. "sekarang Jinara tidur yah, besok kan harus bangun pagi, terus siap-siap untuk pulang. Nanti bunda bilang deh ke Bang Jay biar jangan ganggu Jinara lagi."

Jinara menggeleng dan memeluk guling erat serta menyembunyikan wajahnya agar sang ibu tidak melihat ekspresinya, membuat Minara mengernyit heran. "Kenapa?"

"Hubungi dulu Paman Pangeran, bunda."

Minara tertawa, "boleh, tapi di Belanda sekarang jam berapa yahhh?"

"Ayolah bundaaa," rengek Jinara. Ia menarik ujung baju yang dikenakan Minara dan mengirimkan tatapan paling memelas agar sang ibu luluh.

"Iya-iya, tapi janji habis ini tidur." sahut Minara dengan geli.

"Iya bunda, Jinara janji. Kalau Jinara ingkar janji, Jinara bakal dibeliin eskrim satu toko sama bunda."

"Eh kok gitu, rugi di bunda dong?"

"Tapi kan untung di Jinara..-"

"Aishhh terserah Jinara saja, bunda selalu kalah jika sama Jinara." Ujar Minara mengalah yang membuat bungsu Aksara itu tersenyum bahagia karena merasa benar.

Minara kemudian mengeluarkan handphone-nya dan terlihat mencari sebuah kontak, tangannya menyentuh layar untuk menghubungkan panggilan.

"Halooo?" Sebuah wajah muncul di layar handphone Minara membuat Jinara berjingkrak bahagia. Minara menyerahkan ponselnya pada Jinara dan langsung diterima dengan senang hati oleh si bungsu itu. "PAMANNNNN."

"Haloo, bungsu Myoui." Sapa orang yang ternyata Dani itu dengan senyuman merekah.

"Namaku Aksara!" Sanggah Jinara dengan mulut yang mengerucut layaknya seekor bebek.

"Hey, kau lupa bahwa marga ku adalah Myoui? Dan kau adalah anakku?"

Jinara memutar matanya malas dan mendengus. "Terserah paman sajalah,"

"Eyyyy kkk.. ada apa menghubungi ku? Rindu?"

"TIDAK!" seru Jinara keras dengan wajah memerah.

"Terus kenapa malah Videocall?"

"Di sana lagi apa paman?"

"Lagi musim salju dong, haha." Dani membuka jendela dan menampilkan suasana luar yang dipenuhi oleh salju putih. Bibir Jinara langsung maju karena cemberut, iri rasanya melihat sang paman yang setiap hari bisa bertemu dengan salju sedangkan dirinya tidak pernah sekalipun bertemu salju karena dilarang oleh sang ibu.

"Jinara pingin ke sana, Paman, jemput aku dong."

"Izin Bunda Minara dulu dong. Ohiya, mengapa kau menghubungi paman? Ada apa? Cepat beritahu paman mu yang tampan ini."

"Paman aku tadi dimarahi oleh Bang Jay, dan Bang key juga." Jinara mengadu perihal sikap kedua kakaknya yang begitu jahat tadi sore sampai membuatnya menangis tersedu-sedu.

"Jadi kau menghubungi ku hanya karena itu hah? Lagipula mereka pasti tidak akan memarahi mu tanpa alasan kan? Kenapa mereka memarahimu, hm?"

"Gara-gara tidak mau tidur sendirian."

"Eyyyy kalau aku ada di sana juga pasti aku ada di pihak mereka."

"Paman jahat, ku kira kita teman."

Dani terkekeh geli, dan niatnya menjahili sang keponakan semakin besar. "Untuk urusan itu kita bukan teman."

"Aishhh paman seperti Pangeran Dani, jahat." Ketus Jinara.

"Hey, jangan samakan aku dengan tokoh fiksi buatan ibumu itu. Ibu mu itu tidak kreatif sekali sih, menggunakan namaku untuk tokoh antagonis."

Minara tertawa dalam diam, memang benar jika ia membuat cerita namun nama-nama tokohnya diambil semua dari nama ayah, ibu dan kakaknya. Dan terlebih lagi, mana tokoh antagonisnya diambil dari nama kakaknya yang memiliki sifat jahil sedari kecil. Jadi, Minara balas dendam dengan menjadikan nama Dani sebagai pemeran antagonis dan membuat kakaknya itu ditakuti oleh Aksara bersaudara.

"PAMANNNNN PANGERANNNNNN."

Minara dan Jinara langsung menoleh, dan rupanya ada Dava sedang berlari menuju mereka sembari membawa sebuah bantal di pelukannya.

"Siapa itu?" Tanya Dani penasaran.

"DAVA, DAVA, PAMAN." ucap Dava semangat lalu bergabung di samping Jinara. Jinara menggeserkan badannya sedikit agar wajah Dava bisa terlihat oleh Dani.

"Halooo Davara, si rusuh dari Aksara." Sapa Dani hangat.

"Apa kabar paman? Kapan ke sini? Dan ditunggu oleh-olehnya yahhh." Tanya Dava dengan raut wajah antusias nan bahagia. Ia sangat bersemangat berbincang dengan Dani sampai membuat Jinara yang berbaring di sampingnya itu sedikit tergusur.

"Kau kangen padaku atau oleh-oleh?"

"Oleh-oleh hehe."

"Tertawa kau." Ejek Dani yang membuat Jinara dan Dava tertawa puas.

30 menit berlalu dengan begitu cepat. Banyak yang mereka bicarakan, rata-rata mereka membicarakan curhatan Jinara dan Dava tentang kehidupan sehari-hari mereka. Minara yang memperhatikan obrolan itu sesekali tertawa karena tingkah lucu mereka.

"Hoammmmm.. paman, Dava izin tidur dulu yahhh." Pamit Dava yang sudah menguap dan matanya sudah berair karena mengantuk.

"Dadah Dava. Ohiya, bagaimana keputusan mu? Kau mau ikut paman menjadi seorang intelijen?" Dani melambaikan tangannya dan Dava hanya mengangguk. "Sepertinya iya paman, tapi nanti saat usia ku cukup. Paman hubungi saja aku,"

"Oke" Ucap Dani mengacungkan jempolnya dan tersenyum.

"Bunda, Dava bobo sama Jinara, boleh?" Pinta Dava dengan mata memelas namun sayangnya langsung ditolak mentah-mentah oleh Jinara. "Tidak mau! Dava kalau tidur suka menendang, nanti Jinara babak belur."

"IH JINARA PELIT!" seru Dava kesal lalu menjauhkan tubuhnya dari Jinara.

"BODO AMAT, YANG PENTING JINARA GAK KETINDIHAN SAMA BABON. DAVA KAN BERAT."

"LEBIH BERAT JINARA LAH, BADANNYA KAYAK BADAK!"

"III DAVA BABON."

"JINARA BADAK."

"HWEEE BUNDAAA" Jinara sudah merengek, meminta bantuan Minara untuk membelanya. Sedangkan Dava hanya tertawa terbahak-bahak dan langsung berlari ke luar begitu Jinara sudah memasang ancang-ancang akan melemparnya dengan gelas berisi susu.

"Hahahahaha." Dani yang menjadi penonton perdebatan dua keponakannya itu hanya bisa tertawa. Hiburan baginya melihat dua anak kesayangannya itu berdebat dan berkelahi dengan tingkah khas anak-anak mereka.

"Aish, Jinara mau tidur. Bye, paman." Jinara langsung membungkus tubuhnya dengan selimut dan berguling menjauhi Minara.

Minara hanya menggeleng maklum. Jinara dan Dava memang definisi dari babon dan badak yang sesungguhnya jika bertengkar. Untung saja barusan hanya pertengkaran biasa tanpa terjadi pertumpahan darah.

"Jinara sudah tidur?" Tanya Dani, yang mengalihkan kembali atensi Minara.

"Sepertinya iya."

"Cepat sekali."

"Kau seperti tidak tahu si bungsu saja kak, dia begitu menempel dengan kasur bisa langsung tidur."

"Harusnya Dava menyebut nya kebo bukan badak,"

Minara tersenyum tipis, tangannya mengelus rambut Jinara dengan pelan. "ya, seharusnya."

"Ohiya, dek.." panggil Dani serius.

Minara menoleh heran. "Kenapa?"

"Apa tidak apa jika aku merekrut Dava menjadi anggota ku?"

"Mendengar alasan kakak merekrut Dava, boleh boleh saja."

"Dava itu sangatlah pintar dan terlebih ia sangatlah peka terhadap lingkungan sekitar. Ia selalu bisa memecahkan teka-teki yang ada dan aku membutuhkan orang sepertinya walaupun ia masih kecil."

"Terserah kakak sajalah, aku ikut pilihan terbaik."

"Minara, Apakah dia masih mengirim teror untuk membunuh Jinara?"

Minara menghela nafas dan mengangguk, ia mendadak merasa sangat kesal saat memikirkan tentang terror yang berkali-kali ia terima tentang pembunuhan Jinara dari seseorang.

"Kenapa kau tidak memberitahu Mahendra?"

"Itu akan sia-sia."

"Jadi, apa rencana mu?"

"Dia akan datang untuk mengambil Jinara siang sepertinya, jadinya aku berencana membawa mereka semua pergi dari sini sebelum dia datang."

"Tapi kenapa harus Jinara?"

"Kakak lupa jika Jinara itu yang membuat dia dan Mahendra berpisah? Sepertinya dia akan balas dendam." Balas Minara dengan nada putus asa.

"Jaga Jinara baik-baik."

"Tentu saja, dan aku mempunyai sebuah rencana."

"Apa itu? Kenapa kau tidak memberitahu ku?"

"Kak, jika nanti terjadi sesuatu padaku. Tolong jaga anak-anakku. Dan, cukup biarkan Dava dan Jinara saja yang tahu nanti."

Keduanya terdiam sejenak dengan pikiran masing-masing dan tanpa tahu jika dari dalam selimut Jinara menguping semuanya. Walaupun ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan, namun Jinara rasa, ia akan terlibat jauh seperti yang dibicarakan Minara barusan.

----

Pagi hari yang cerah akhirnya datang, membawa kebahagiaan bagi orang-orang yang menyambut hari baru. Jinara memasuki kamar dengan langkah riang, ia baru saja selesai sarapan dan Minara menyuruhnya untuk masuk ke dalam kamar dan membereskan barang-barang karena mereka akan pulang pagi ini. Setelah berlibur dalam beberapa hari untuk merayakan ulangtahun Jay, sudah tiba waktunya bagi Keluarga Aksara untuk pulang.

Ceklek

Jinara menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya tertutup dengan sendirinya dan di sana terpampang seorang wanita asing lengkap dengan sebuah pistol.

"Tante siapa?" tanya Jinara penasaran.

Wanita itu menyeringai kejam dan Jinara seketika merasakan alarm bahaya dalam dirinya menyala. "Haloo Jinara, apa kabar nak? Apa baik-baik saja setelah menghancurkan hidupku?"

Jinara perlahan mengambil langkah mundur ketika wanita itu maju dan menghampirinya. "Tante mau apa?"

Wanita itu semakin melangkah maju dan tertawa mendengar pertanyaan yang Jinara ajukan. "Mau apa kata mu? Pertanyaan yang bagus."

Jinara semakin terpojok dan ia tidak bisa lagi melangkah mundur karena di belakangnya adalah tembok. Bungsu Aksara itu menelan ludah gugup dan dengan takur menatap wanita itu dengan mata polosnya.

"Aku disini, untuk menyingkirkan mu! menyingkirkan mu dari hidup Mahendra! Karena gara-gara kau, hidup ku hancur!! SEHARUSNYA KAU TIDAK LAHIR, SIALAN."

PLAK

Jinara terjatuh ketika sebuah tamparan keras menyapa pipi kanannya. Ia terduduk dan memegangi pipinya yang berdenyut sakit. Kedua mata indah gadis kecil itu berkaca-kaca, perasaan takut dan gelisah bercampur menjadi satu.

Kedua pipi Jinara dicengkeram erat oleh wanita itu dan ia dipaksa berdiri.

DUAGH

Wanita itu melempar tubuh Jinara dengan keras ke tembok sehingga kepala gadis kecil itu terbentur tembok dan menimbulkan suara yang lumayan nyaring. Jinara hampir menangis saat darah perlahan merembes dari luka yang baru saja terbuka tersebut. Wanita itu tersenyum puas.

Jinara mengepalkan kedua tangannya marah, ingin bangkit dan melawan, mengeluarkan semua jurus karatenya dan membuat wanita itu pergi. Hanya saja, ia tidak bisa melakukan hal itu karena kepalanya sangat pusing dan badannya seperti melayang.

"CITRA!! DASAR JALANG, JANGAN SENTUH ANAKKU!!" Tiba-tiba Minara datang dengan sebuah balok kayu ditangannya. Ia terlihat sangat marah mengetahui jika wanita bernama Citra itu berada di kamar anaknya.

BRUK

Citra tersungkur setelah Minara memukulnya dengan balok kayu. Wanita itu terbatuk sedikit dan mencoba bangkit namun sekali lagi Minara memukulnya dengan balok kayu yang ia bawa sehingga ia kembali tersungkur di lantai.

Minara langsung menghampiri tubuh Jinara dan memeluk erat tubuh anaknya itu.

Citra berdiri dan mengacungkan pistolnya, "kau tidak ada urusannya dengan ini, Myoui. Urusanku hanya pada anak bedebah ini!!"

"Kau yang bedebah!!" seru Minara marah dan semakin mempererat pelukannya pada Jinara untuk melindungi si bungsu.

Citra mencoba untuk tetap berdiri dan mencoba menyeimbangkan tubuhnya setelah rasa sakit yang ia terima. Ia menatap Minara dan Jinara dengan tatapan nyalang dan penuh dendam.

Mengetahui adanya bahaya, Minara memandang wajah sang anak yang tengah terpejam itu. "Jinara, nak.. cepatlah keluar dari kamar. Kamu masih kuat kan? Biar bunda yang hadapi wanita gila ini, cepat pergi."

Jinara mengangguk lemah dan dengan perlahan ia berjalan menuju pintu. Namun sayangnya Citra melihat itu dan mengangkat pistolnya ke arah Jinara dan terlihat akan menarik pelatuk pistol. Minara yang melihat itu membulatkan mata dan bergegas menghampiri Jinara sebelum pelatuk ditarik oleh Citra dan membahayakan hidup sang anak.

DOR!

Sebuah peluru sudah keluar dan suara tembakan terdengar. Citra memundurkan tubuhnya setelah sadar tentang apa telah ia lakukan, karena, yang tertembak itu Minara, bukan Jinara.

BRUK

Minara ambruk setelah timah panas itu menyapa dan melubangi perutnya. Darah segar dengan cepat menggenangi lantai.

Jinara yang mendengar suara tembakan dari arah belakang lantas menoleh dan alangkah terkejutnya ia saat melihat tubuh sang ibu sudah tergeletak tak berdaya di atas lantai. "BUNDAAAA!!"

"Dasar bodoh, Minara bodoh!" Maki Citra. Ia lalu melihat ke arah Jinara dan langsung menghampiri si bungsu Kim itu.

Citra menjambak rambut Jinara dan menyeretnya menuju balkon tanpa rasa iba. Jinara tentu meronta, ia harus memberitahu para kakaknya bahwa sang bunda butuh pertolongan.

SRET

BRUK

BUAGH!

Sebuah tendangan langsung Jinara keluarkan, ia menendang tulang kering Citra dan memukulnya telak di perut. Membuat jambakan tersebut terlepas dan Jinara langsung melangkah menjauhi Citra.

"Kau!" Citra melotot marah lalu bangkit dan langsung melangkah untuk menyerbu Jinara.

Jinara berlari mengambil balok kayu yang berada di lantai dan memegang erat benda tersebut sebagai senjata. "Aku tau jika kamu hanya punya 1 peluru. Dan kini, kamu tidak punya apa-apa lagi. Sebelum aku memukulkan ini, lebih baik kamu pergi."

Citra menggeram marah dan terus melangkah maju untuk mendekati Jinara dan semakin membuat gadis kecil itu panic. "Kau pikir aku takut pada ancaman mu itu, hah? Kemari, akan ku beri kau pelajaran!"

BUAGH

Jinara memukulkan balok kayu itu pada bahu Citra saat ia akan ditarik oleh wanita jahat itu.

"PERGI."seru Jinara lalu memukul angina secara membabi-buta sebagai bentuk pertahanan agar Citra tidak mendekat.

Citra mengeluarkan sebuah pisau kecil dari sakunya dan berniat menusuk Jinara. Tapi, itu hampir terjadi karena Jinara sudah mencekal kedua tangan Citra yang menyebabkan pisau itu terlempar ke bawah ranjang.

BUAGH

Jinara menendang perut Citra dan menyebabkan wanita itu terlempar ke luar kamar. Jinara berjalan keluar untuk menyusul, tapi secara ajaib, Citra tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa jejak.

Bungsu Aksara itu menghela nafas, kepalanya kembali berdenyut nyeri akibat jambakan dan luka yang ia peroleh. Namun, seketika ia ingat pada sang bunda yang sudah tak berdaya di lantai. Dengan segera, ia kembali masuk ke kamar dan menghampiri tubuh Minara yang tergeletak begitu saja di atass lantai dengan cairan merah sudah menggenang di lantai membuat Jinara tidak bisa berpikir jernih.

"Bunda! Bunda bisa denger Jinara? Bunda bangun," Jinara menggoyangkan tubuh Minara berharap sang ibu bisa mdnengar dan sadar.

Dan dengan perlahan Minara membuka matanya dan memandang Jinara nanar. "Jinara..."

"Bundaaa hiks, bunda..-" Jinara mulai menangis.

"Cepat pergi dan beritahu ayah dan kakakmu..bawa mereka jauh dari sini, nak." Minara menyentuh wajah Jinara dengan lembut.

"Tapi.. bunda banyak darah.. Jinara takut. Nanti bunda gimana? Ayok, bunda Jinara gendong. Kita harus pergi." Ucap Jinara sembari menarik tangan Minara agar wanita itu bisa bangkit.

"Bunda mohon, pergilah Jinara, bunda akan baik-baik saja.."

Jinara menggeleng keras sembari terus menangis. "Hiks.. tidak mau. Jinara mau sama bunda saja."

"Jinara sayang bunda kan? Cepat lari."

"Nggak, Jinara gak sayang bunda."

"Jinara, nak, ingat kata-kata bunda. Pertama, jangan terus bertengkar dengan Dava. Kalian itu saudara. Kedua, jaga kakak dan ayah mu dengan baik, perhatikan pola makan dan tidur mereka selama bunda tidak ada. Terus Jinara kedepannya harus mandiri, harus bisa tidur sendiri juga."

"Bunda jangan bicara seperti itu hiks, ayo kita pergi ke bawah." Rengek Jinara keras kepala, namun Minara menggeleng dan tetap pada keputusannya. "Tidak nak, bunda sudah saatnya pergi. Jaga dirimu baik-baik,"

"HWEEE TIDAK MAU!"

"Jinara..-" panggil Minara kembut, membuat tangisan Jinara semakin kencang terdengar. "Tidak mauuuuuu! Jinara gak mau bunda pergi. Bunda belum lihat nanti nilai ulangan Jinara, bunda juga belum lihat Jinara menang dari bang Jay. Bunda juga belum lihat pacar Jinara nanti. POKOKNYA JINARA GAK MAU BUNDA PERGI!"

"Jinara nak, bunda harus pergi. Bunda hanya ingin memberikan ayahmu sebuah pelajaran, jadi, bunda mohon, biarkan bunda pergi."

"Bukan pelajaran yang bunda berikan, tapi hukuman. Hukuman bagi Jinara. Kenapa bunda sejahat itu? Ayo pergi dari sini bundaaa."

Minara menggeleng tegas. "Tidak nak."

"Bunda terluka, Jinara gak mau bunda kenapa-kenapa. Ayo pergi bunda."

Minara tertawa kecil melihat tingkah polos anaknya, ia lantas membuka pakaian yang ia kenakan dan melampilkan sebuah rompi tebal. "Bunda pakai rompi anti peluru, nak."

Jinara mengerjap ketika Minara malah membuka bajunya dan ia menatap wajah sang ibu bingung. "Tapi darahnya??"

"Di dalam rompi ini ada sebuah kantong darah yang akan keluar jika peluru masuk. Ahhh bagaimana menjelaskannya. Hm, intinya, Bunda baik-baik saja dan kamu jangan khawatir." Minara bangkit lalu merapihkan pakaiannya.

"Myoui Minara..! Ayo segera pergi." Ucap seseorang yang duduk di atas balkon. Pakaian orang itu serba hitam dan ada satu orang lainnya yang Jinara kenal berdiri di sana.

Jinara terdiam dan memperhatikan gerak-gerik pria asing itu, apalagi saat pria itu meletakkan tubuh pucat seeorang wanita tepat di atas lantai di mana Minara terbaring tadi.

Minara mengangguk kecil mendengar ajakan itu, ia lantas mengalihkan pandangannya pada Jinara dan berjongkok dihadapan anaknya itu. "Bunda harus pergi, jaga dirimu baik-baik. Ingatlah nak, Pemberani dan suci. Jay dan Wilnan. Bunga pink khas yang melegenda. Pecahkan teka-teki itu dan temui bunda di sana."

Minara kembali berdiri dan berjalan menuju balkon, Jinara hanya bisa terdiam memperhatikan karena tubuhnya sudah sangat lemas dan kepalanya sangatlah pusing.

"Bunda bakalan ninggalin Jinara? Di saat Jinara terluka kayak gini?" Tanya Jinara pelan saat Minara akan menuruni balkom bersama dua orang lainnya.

Minara berbalik badan, benar saja.. kepala Jinara sudah berlumuran darah dan wajahnya sangat pucat. "Nak, kau..?"

"Tante itu menyiksa ku dulu bunda, dan bunda tidak menyadari itu? Apa bunda gak sayang lagi sama Jinara?"

Hati Minara mencelos mendengar hal itu. Ia akan melangkahkan kakinya menuju Jinara namun salah satu tangannya sudah ditarik oleh salah satu pria itu. "Maafkan bunda Jinara, bunda pergi.. sampai jumpa lagi nanti..-"

Dengan sekuat tenaga Jinara berdiri dan mencoba meraih Minara, namun sang ibu sudah terlanjur melompat dari balkon.

"BUNDAAAA!!" Teriak Jinara saat ia hampir meraih tangan Minara. Minara mendongak dan hanya tersenyum.

"AYAHHHHHHHHHH. BUNDAAAAAAA." dengan sisa tenaga yang ada, Jinara berlari keluar. Ia harus memberitahu ayahnya bahwa Minara telah pergi. Dan berharap ayahnya bisa menyusul dan membawa kembali Minara sebelum ibunya itu pergi jauh.

Jinara terus menoleh kebelakang, memastikan bahwa tali yang membawa Minara masih terpasang di balkon.

"JINARA AWAS TANGGA.."

Tubuh Jinara serasa melayang, yang ia ingat hanyalah rasa sakit di sekujur tubuhnya. Juga saat sang ayah menggendongnya dengan khawatir juga suara para kakaknya yang terasa berdenging di telinga. Jinara membuka matanya dan menatap Jay yang kala itu ada, bagaimanapun ia harus memberitahukan keluarganya tentang kepergian bunda.

"A-abang, bunda pergi..-"

Sayangnya, sebelum sempat mengatakan apa yang mau ia katakan, Jinara jatuh tak sadarkan diri sebelum akhirnya amnesia dan melupakan segalanya. Benturan yang ia alami dua kali cukup bisa menghapus semua memori yang ada dan membuat kebenaran yang seharusnya ia sampaikan terlupakan begitu saja.

----

"Jadi seperti itu para Abang..-" Ucap Jinara mengakhiri ceritanya mengenai memori yang selama ini terlupakan.

Semuanya terdiam, cukup kaget dengan kenyataan yang kurang masuk akal ini, terlebih fakta jika Minara masihlah hidup.

"Jadi, bunda masih hidup? Tapi mayat di kamar itu, siapa?" Tanya Sakha dengan mata yang sebentar lagi akan menangis.

"Aku tidak tau..-" jawab Jinara.

"Dan, heumm sudah kuduga jika Jinara jatuh dari tangga itu tidak akan membuatnya amnesia parah. Ternyata memang di siksa dulu yah? Bedebah sekali." ucap Key geram saat mengetahui adik kesayangannya mengalami siksaan fisik.

"Lalu sekarang di mana bunda?" Tanya Jay yang tidak mencerna dengan baik semua yang terjadi.

"Pemberani dan suci, Jay dan Wilnan. Dan bunga legenda. Di sana kita bisa menemukan bunda yah?" Kepala cerdas Dava mulai bekerja dan mulai menyimpulkan kesimpulannya sendiri. "Dalam filosofi warna, pemberani itu merah, suci itu putih. Dan bunga legenda?"

"Japan alias Jepang." celetuk Jinara. "J diambil dari Jay. Dan N dari Wilnan. Bunga legenda itu sakura? Dan bendera Jepang itu merah dan putih. Apa aku benar? Negara kelahiran Bunda, Jepang atau Japan."

"Mana mungkin, bisa saja Jerman, kan?" tanya Jay polos yang membuat kelima adiknya langsung menatapnya malas. "Kok jadi ke Jerman sih Bang Jay?"













•••
.
.
.
•••
23/03/2019

Direvisi 14/11/2020

Continue Reading

You'll Also Like

23.5K 532 12
Kumpulan Kosa Kata Bahasa Korea. ⚠Disarankan untuk mempelajari buku Belajar Bahasa Korea dari author terlebih dahulu. Chapter direvisi sewaktu-waktu...
9.4K 1.8K 53
[Tamat] "Ketika kamu jatuh cinta lagi, setelah terjebak pada cinta pertama" ___________________________________________ Sudah terjebak kenangan cinta...
1.7M 65.2K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
75.6K 8.1K 54
Jika biasanya cerita dimulai dengan pertemuan manis memperjuangkan cinta. Maka cerita ini dimulai dari sebuah perpisahan dengan problematika yang ada...