ONCE (Titik Teduh) [Sudah Ter...

By cappuc_cino

351K 34.6K 8.7K

[Novel Titik Teduh berubah judul menjadi Once. Sudah terbit serta beredar di Gramedia dan toko buku] Di hari... More

Titik Teduh #Prolog
Titik Teduh #1
Titik Teduh #3
Titik Teduh #4
Titik Teduh #5
Titik Teduh #6
Titik Teduh #7
Titik Teduh #8
Titik Teduh #9
Titik Teduh #10
Titik Teduh #11
Raja Pisang #1
Titik Teduh #12
Titik Teduh #13
Titik Teduh #14
Titik Teduh #15A
Titik Teduh #15B
Titik Teduh #16
Titik Teduh #17
Titik Teduh #18
Info Terbit

Titik Teduh #2

15.9K 1.7K 525
By cappuc_cino

Agfa baru saja memarkirkan motor di carport sebelum suara deru mesin mobil di samping rumah membuatnya kembali melangkah ke luar pagar. Dia melihat Salena dan Tante Elya sedang membawa masing-masing satu koper berukuran sedang dan memasukkannya ke dalam bagasi.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Agfa membuat Salena dan Tante Elya menoleh.

"Udah selesai. Nggak banyak yang dibawa," ujar Salena.

"Eh, Fa? Tumben sore gini udah pulang?" tanya Tante Elya yang baru saja selesai menutup bagasi mobil.

"Iya, Tante." Pukul lima sore Agfa sudah sampai di rumah karena jadwa les hari ini tidak begitu banyak. Padahal biasanya dia baru akan sampai di rumah pukul tujuh atau delapan malam jika jadwal les lebih dari tiga mata pelajaran.

"Aku berangkat." Salena mengucapkannya dengan suara datar, seperti biasanya. Tidak ada raut yang menunjukkan rasa sedih atau bahagia. Entah apa yang menjadi alasan Salena untuk tinggal bersama papanya.

Agfa mengangguk. Melangkah mundur saat Salena membuka pintu mobil.

"Dah, Agfa." Tante Elya melambai-lambaikan tangan sebelum menutup kaca dan mengendarai mobil, menjauh dari tempat Agfa berdiri.

Agfa menurunkan tangannya setelah membalas lambaian tangan Tante Elya, dia berdiri, menatap mobil putih yang semakin lama terlihat semakin kecil. Salena hanya pindah ke Jakarta Pusat, Kawasan Cempaka Putih. Jarak rumah mereka sekarang sebatas Tebet-Cempaka Putih, Jakarta Selatan-Jakarta Pusat. Dan mereka masih berada di satu sekolah yang sama. Tidak ada ritual perpisahan yang berlebihan di antara mereka, walau mungkin hubungan mereka bisa dikatakan sangat dekat.

Memang, tidak banyak waktu yang biasa mereka habiskan bersama setiap harinya layaknya sahabat. Mereka juga tidak pernah berangkat bersama ke sekolah hanya karena rumah yang berdekatan. Setiap pagi Agfa naik motor ke sekolah, sedangkan Salena, jika tidak diantar mamanya, dia akan naik angkutan umum atau ojek online. Mereka tidak selalu bersama-sama setiap waktu, tapi mereka saling tahu apa yang dialami oleh masing-masing setiap harinya.

Agfa mengenal Salena sejak tujuh tahun yang lalu. Ketika dia dan keluarganya pindah ke rumah baru yang berada tepat di samping rumah Salena. Saat itu, usianya masih sepuluh tahun. Dia tidak berusaha mencari teman atau sahabat di lingkungan barunya, karena sejak meninggalkan rumah lama, dia memutuskan untuk tidak lagi memiliki sahabat. Dia hanya ingin fokus pada dirinya sendiri. Hidupnya, hanya untuk dirinya sendiri.

Namun, saat itu Agfa menemukan seorang anak perempuan di samping rumahnya berdiri di sisi jalan. Menatap sebuah mobil yang menjauh dari rumahnya dengan mata nyalang. Agfa menghampirinya, setelah itu dia tahu bahwa Si Anak Perempuan bernama Salena, dan apa yang Salena lakukan barusan adalah mengantarkan ayahnya pergi dari rumah, orangtuanya resmi bercerai.

Lama Agfa memperhatikan mata Salena yang berdiri di hadapannya. Jika yang baru saja dilepasnya adalah seorang ayah, Agfa pikir seharusnya Salena terlihat sedih, menangis seperti yang dilakukan anak perempuan kebanyakan. Namun, tidak, sorot mata Salena tidak menunjukkan perasaan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tidak sedih? Atau mungkin sudah lelah bersedih?

Sejak saat itu, Agfa merasa bahwa mereka ... sama.

Ketika mobil Tante Elya sudah lenyap dari pandangannya, Agfa memutuskan untuk kembali melangkah masuk ke rumah. Ia menghirup kembali udara di dalam rumah yang tidak begitu disukainya.

Langkahnya terayun cepat melewati ruang tamu dan berhenti di ruang keluarga saat sebuah potongan lego berwarna kuning terlempar dan menabrak samping kakinya. Agfa menoleh ke arah karpet di depan tv, ada Agra yang sedang duduk di sana sambil menyengir ke arahnya.

Agra bertepuk tangan, berkali-kali, sambil berkata, "A ... fa. A ... fa." Agfa. Agfa.

Agfa diam, tidak memberikan tanggapan.

Kemudian Agra menunjuk lego di samping kaki Agfa. Berkali-kali tangannya menunjuk mungkin adalah isyarat pada Agfa untuk mengambilkan legonya yang tercecer sangat jauh.

Agra mengabaikannya, kakinya sekarang diangkat dan digunakan untuk menginjak lego kuning itu sampai dirasa patah, jika bisa, sampai hancur.

Agra menatap Agfa bingung, lalu berteriak, menangis.

"Agra? Kenapa?" Ibu berlari dari arah dapur untuk menghampiri Agra, mengabaikan Agfa yang baru saja datang. Wajah Ibu kelihatan panik. "Kenapa? Kenapa, Sayang?" tanya Ibu seraya mengusap-usap samping wajah Agra.

Agfa membuang muka, membenarkan tali tasnya dan kembali berjalan untuk menaiki anak tangga sebelum Agra menunjuk potongan lego yang dirusak olehnya.

Agra selalu menjadi yang istimewa. Agra selalu menjadi yang nomor satu. Untuk Ibu. Untuk Ayah. Dia akan selalu mendapat pujian jika bisa menumpuk lego dengan benar, mendapat tepuk tangan jika bisa makan tanpa belepotan. Padahal, di usianya yang tiga tahun di atas Agfa, seharusnya Agra sudah bisa melakukan hal yang jauh, jauh, lebih berarti dari itu.

Agfa menggeleng. Mendecih sinis saat mengingatnya.

***

Arghi duduk di sofa ruang keluarga. Sebelah tangannya memegang remote tv, tangan yang lain memegang stoples camilan. Di atas karpet, di depan tv, ada dua bocah yang selalu siap memporak-porandakan isi rumah, kakak beradik Zyandru dan Saira yang merupakan keponakannua. Zyandru, anak laki-laki berusia lima tahun dan Saira, anak perempuan berusia satu tahun. Sesekali keduanya menari mengikuti gerakan yang ditayangkan oleh kartun di saluran Miao Mi yang sedang ditontonnya, kemudian sibuk dengan mainannya lagi yang sudah berserakan tidak keruan.

Setiap pagi, Kak Reysa akan menitipkan Saira dan Zyan menyusul dititipkan sepulang sekolah. Kakak perempuan satu-satunya itu membantu suaminya untuk mengurus keuangan kedai kopi yang mereka miliki di Kawasan Kuningan sehingga dua anaknya akan berada di rumah seharian. Nah, biasanya selagi Bunda di dapur atau harus mengerjakan sesuatu, Arghi akan diteriaki dan disuruh menjaga dua bocah itu. Mirip anjing menjaga dua kambing di peternakan.

Hal yang harus dilakukan Arghi memang tidak berat, hanya menjaga keduanya agar tidak berebut maianan dan menjaga remote agar tv tidak berubah saluran. Lalu Arghi bisa bersantai sambil-harus-ikut menonton acara kartun di salurain Miao Mi, Baby TV, atau Kids Channel yang dipilih melalui kesepakatan dua bocah itu. Hidupnya memang ... setidak penting itu.

"Kamu nggak macam-macam kan, Ghi? Hari ini?" tanya Bunda, berjalan dari arah dapur membawa stoples camilan baru yang isinya masih penuh. Pertanyaannya barusan terdengar seakan-akan Arghi melakukan kesalahan setiap harinya di sekolah.

"Memang biasanya Arghi ngapain sih, Bun?" Arghi mendelik, lalu kembali menatap layar televisi di depannya.

"Ngapain? Bunda yang harusnya nanya. Kamu pikir harusnya di sekolah ngapain?" tanya Bunda dengan wajah sinis. "Belajar, Ghi! Bukan benerin kipas angin musala."

Arghi memutar bola mata, dia mengubah posisi tubuhnya menjadi rebahan di sofa, lalu menutup wajah dengan bantal sofa.

"Denger, nggak?" Bunda menarik bantal sofa dari wajah Arghi untuk mendorong keningnya.

"Iya. Iya." Arghi kembali menutup wajahnya dengan bantal sofa. Gara-gara kemarin kipas angin di musala mati, padahal Arghi dan teman sekelasnya kebagian untuk shalat Jumat di sekolah, Arghi berinisiatif menurunkan kipas angin dari langit-langit musala dibantu oleh Gelar. Baru saja Arghi menurunkan kipas besar itu, Pak Handi datang ke musala dan menuduh Arghi merusaknya.

"Kurang ya kamu ngerusak barang-barang di rumah sampai harus bongkar kipas angin di musala sekolah juga?" tanya Bunda lagi.

Bunda sepertinya masih dendam dengan kejadian dua tahun lalu di mana Arghi membongkar blender Bunda yang rusak, bermaksud ingin membenarkan, tapi akhirnya malah semakin hancur. Atau kejadian sepuluh tahun lalu, saat Arghi memasukan kartu uno edisi One Piece ke dalam slot dvd player sampai tidak bisa dibuka lagi. Atau kejadian sebelas tahun lalu, saat Arghi menyiram air ke celah-celah tabung tv karena bagian belakang tv itu terasa panas setelah menonton seharian. Atau ... Wah, banyak sekali, ya.

Arghi diam, pura-pura tidur. Kalau bisa mungkin dia akan pura-pura mati.

"Arghi! Dengerin Bunda nggak?" Bunda mencubit lengan Arghi singkat.

Arghi mengaduh seraya membuka bantal di wajahnya. "Iya, iya. Nggak pakai nyubit berapa sih, Bun?" ujarnya sembari mengusap-usap lengan.

Bunda melotot, terlihat gemas ingin menerkam Arghi. "Kalau bukan anak Bunda, udah Bunda buang kamu tuh dari kapan tahu."

"Buang, buang. Gini-gini juga masih dipake buat jadi nanny-nya Zyan sama Saira." Arghi mendelik. "Ghi, ini tolong jagain Zyan sama Saira Bunda mau masak. Ghi, tolong ini Zyan sama Saira, Bunda mau mandi. Ghi-"

Bunda menarik dua pipi Arghi. "Makan, gih. Bawel kamu, tuh. Ngejawab mulu kalau dikasih tahu orangtua."

Arghi memegang pipinya tanpa memberi respons untuk melawan lagi.

"Gigi, track mobil Zyan dirusakin Saira, tuh!" adu Zyan dengan wajah cemberut, menunjuk Saira yang sedang merangkak di antara lintasan mobil-mobilan Zyan yang susunannya sudah berantakan.

"Kan, Gigi bilang bikin track-nya jangan gede-gede. Udah tahu Saira nggak bisa diem." Arghi bangun dari sofa dengan rambut berantakan, sementara Bunda sudah kembali ke dapur. "Gigi bikinin yang baru, tapi kecil aja."

Zyan mengangguk. "Tapi jangan kecil-kecil. Nggak seru."

Arghi mengangkat Saira yang sebelumnya sedang duduk dan mematah-matahkan susunan lintasan mobil Zyan. "Saira mainnya di sini dulu, ya." Sebelum melepaskan Saira, Arghi sempat mencium pipi bulat kemerahan bocah perempuan itu.

"Jiji. Jiji." Saira menepuk-nepuk paha Arghi yang sedang duduk menyusun lintasan mobil.

"Bentar, bentar." Arghi sedang fokus.

"Jiji!" Saira memukul kepala Arghi dengan boneka barbie-nya. "Jiji."

Arghi menoleh, melihat Saira menunjukkan lengan barbie yang lepas. "Iya nanti Gigi benerin, bentar ya, Saira."

Suara Saira tidak terdengar lagi, sekarang Arghi merasa Saira sedang memegang lengannya, lalu berdiri di belakang punggungnya sembari bertopang pada pundaknya.

"Jiji!" Saira menjambak rambut Arghi berkali-kali.

"Bentar dong, Sayang. Satu-satu."

Mungkin karena merasa keluhannya tidak didengar dan kecewa, Saira menggigit telinga Arghi, sampai rasanya telinganya hampir putus.

"Jiji!"

"Buset, dah! Iya!"

***

Halooo. Hehehe. Udah mulai kebuka ya karakternya dan suana rumah kedua laki-laki di Titik Teduh ini.

Agfa kenapa bisa jadi sekalem itu dan Arghi kenapa bisa jadi sepecicilan itu. 😂

Ini, dua keponakan Jiji yang selalu mewarnai kehidupan Jiji kalau di rumah.

"Kalau gede, aku mau jadi ganteng kayak Gigi."

"Aku kesel sama Jiji karena dijailin terus."

Dahhh. Sampai ketemu di postingan selanjutnya. Sehat selalu untuk kalian semua. ❤️

Eh, malem minggu ini yak? *Ya terussss ....*

Semoga selalu bahagia. ❤️

Salam sayang
Citra ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

19K 156 23
Kumpulan novel novel terbaik, terseru, berkualitas dan bikin baper dari penulis-penulis terbaik Indonesia.
6.3M 267K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.7M 274K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
788K 57.8K 34
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...