AM

Da rarisss

288K 8.7K 899

Kalau saja Clarissa tidak pernah terlambat pulang malam itu. Kalau saja mereka tidak pernah terikat sebuah hu... Altro

Prolog
AM | 1
AM | 2
AM | 3
AM | 4
AM | 5
AM | 6
AM | 7
AM | 8
AM | 9
AM | 10
AM | 11
AM | 12
AM | 13
AM | 14
AM | 15
AM | 16
AM | 17
AM | 18
AM | 19
AM | 20
AM | 22
AM | 23
AM | 24
AM | 25
AM | 26
AM | 27
AM | 28
AM | 29
AM | 30
AM | 31
AM | 32
AM | 33

AM | 21

3.8K 193 19
Da rarisss

Bahkan hingga petang kembali menyapa, tidak ada sedikitpun senyuman di bibir ranum itu. Tiga buah gelas kosong sudah berserakan memenuhi meja kayu. Darrel menyimpan gelas keempat yang baru saja diteguk isinya. Rasa pahit mulai menjalari lidah. Jujur saja, kepala Darrel sedikit pening sekarang. Semalam dia tidak bisa tidur dan berakhir mengonsumsi minuman bersoda hingga merasa puas, tidak jauh berbeda dengan sekarang. Dapat Darrel pastikan bahwa malam nanti dirinya tidak akan bisa memejamkan mata kembali. Kafein yang dikonsumsi berlebihan saat ini akan memberikan timbal balik buruk untuk tubuhnya.

Darrel tidak melakukan apa-apa, selain melihat aktivitas orang lain juga mendengarkan alunan lagu yang terputar melalui pengeras suara kafe ini. Dua jam berlalu dan dia tetap melakukan hal tersebut hingga mencapai gelas keempat yang sudah dipesan. Entah harus berbuat apa untuk menghilangkan bayang-bayang mengerikan dari masa lalu. Darrel juga takut semua kenangan yang tersimpan rapat dari dunia akan terbongkar. Ribuan kata maaf mungkin tidak lagi bisa mengobati perasaan seseorang karena ulahnya.

Notifikasi dari satu pesan yang masuk ke ponselnya berhasil merenggut perhatian Darrel. Dia segera membuka ruang perpesanan dengan seseorang yang dipercaya dapat menjaga sang kekasih. Ah, apa masih bisa Darrel menyebutnya begitu? Mengingat kemarin, kekecewaan tampak nyata di mata gadis pemilik senyum sehangat mentari pagi itu.

+6285498xxxxx
Clarissa udah membaik

Darrel tidak mau mengetikkan balasan. Biar saja percakapan itu berakhir sampai di sana. Bukan berarti rasa pedulinya berkurang, tetapi Delmar setidaknya dapat menggantikan posisi dia untuk sementara. Kita butuh waktu untuk memperbaiki diri, kata itu selalu melintas kala Darrel akan melakukan sesuatu. Perkataan Clarissa layaknya kaset rusak yang dipaksa terus berputar.

Kali ini keinginan untuk kembali meneguk kopi telah hilang. Laki-laki dengan kaus hitam polos itu memakai kembali jaket denim hitamnya, kemudian bangkit. Dia bergegas ke kasir untuk membayar total pesanan. Beruntung tidak ada lagi yang mengantri sehingga tidak membutuhkan waktu lama, kartu debit miliknya sudah kembali dimasukkan ke dalam dompet. Darrel berjalan tergesa meninggalkan bangunan dengan arsitektur hitam dan putih itu.

Tidak fokus adalah salah akibat dari kurangnya istirahat dan asupan makanan. Darrel akui hari ini dia merasa letih juga tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik. Dari saat keluar dari apartemen, dirinya telah menjatuhkan vas bunga, hampir menerobos lampu merah, dan sekarang dia menabrak tubuh seseorang di pintu masuk.

"Maaf." Darrel mendongak dan saat itu juga pandangannya terpaku untuk sejenak. "Om?"

"Darrel, ya?"

Darrel mengangguk diiringi senyuman tipis. Jelas dia tahu siapa pria berjas rapi yang berdiri di hadapannya, dialah ayah Clarissa yang beberapa bulan belakangan pindah bertugas ke luar kota. "Tante di sini juga, Om?"

"Nggak, Rel. Lain kali kita harus ngobrol, tapi sekarang Om masih ada urusan lain di sini."

Senyuman di bibir Adrian Wijaya menjadi akhir dari sapaan singkat mereka. Tidak biasanya juga dia berkata tidak memiliki waktu ketika berjumpa dengan Darrel. Meski hubungannya dan Clarissa berjalan baru satu tahun, orang tua gadis itu sangat mempercayai dia sepenuhnya. Beban di pundak laki-laki itu terasa kian memberat. Bukan hanya satu orang yang akan kecewa, tetapi banyak pihak yang akan menghakimi kesalahannya. Darrel teramat takut kehilangan senyuman dan kepercayaan dari gadis yang selalu menghadirkan rasa khawatir di hatinya.

Hati manusia itu tidak selalu berada dalam satu perasaan, kapan saja dia mau maka akan berubah. Darrel awalnya merasa asing dengan bersikap terlalu peduli pada Clarissa. Namun, kini seperti ada yang hilang ketika tidak mendengar lagi keluhan gadis itu. Seperti ada hampa yang menggerogoti makna hidupnya.

Sore itu tepat satu hari hubungan mereka tidak berjalan seperti biasa. Entah masih jeda atau akhir dari segalanya.

****

Clarissa tidak dapat lagi mengatasi perasaan yang berkecamuk. Saat terbangun dengan kepala berat dan tangan tertusuk jarum infus, dia sudah benar-benar muak. Tidak ada lagi sosok yang mampu bertahan lebih lama di bawah gerimis. Tidak ada juga Clarissa yang tidak takut akan berlarian di bawah terik mentari.

Menunggu Delmar yang sedang membeli air mineral ke kantin rumah sakit ternyata melelahkan. Clarissa hanya sibuk memperhatikan ruangan serba putih yang ditempatinya sejak beberapa jam lalu. Sungguh, dirinya tidak ingin berada lebih lama di tempat ini.

"Mau minum?"

Terlalu sibuk menatap hampa sekitar, suara ketukan sepatu yang beradu dengan dingin lantai tidak mampu mengusik indra pendengarannya. Ketika sebuah tangan terulur bersama sebotol air mineral tepat di depan wajahnya, barulah Clarissa mengalihkan pandangan. Ucapan terima kasih dan tangan yang terangkat hampir menyentuh benda transparan itu terhenti setelah pandangan matanya bertemu dengan sosok yang berdiri menjulang tersebut. Segaris senyuman tipis terlukis di wajahnya yang tampak lelah. Cekungan di bawah mata laki-laki itu bahkan menghitam.

"Clarissa."

Suara itu. Clarissa telah merindukannya, bahkan baru satu hari suara bernada berat nan rendah tersebut menghilang dari rotasi kesehariannya. Clarissa mengalihkan pandangan. Tanpa berkata sepatah kata pun, gadis itu bersiap melepaskan jarum infus yang menusuk tangannya.

"Maaf."

"Bisa lo berhenti bilang kata-kata itu?" Mata Clarissa terasa memanas ketika mencoba menghunus tajam sosok yang saat ini melangkah mendekat.

"Maaf, gue gak bisa bilang apa-apa lagi." Jemari Darrel yang menggenggam botol air mineral terkepal erat.

"Cukup! Jangan temui gue kalau kita masih begini." Ada jeda sebelum Clarissa melanjutkan kalimatnya. "Tolong pergi."

Perasaan Darrel kian berkecamuk. Clarissa tampak hancur. Wajah mulus itu kehilangan rona yang selalu mencuri atensinya. Senyum sehangat mentari pagi milik Clarissa telah sirna. Darrel tahu arti dibalik bibir gadis itu yang bergetar dan iris yang enggan menatapnya. Clarissa benar-benar kecewa.

"Gue harus gimana?"

Tidak ada jawaban untuk pertanyaannya itu, hanya terdengar semilir angin yang menerbangkan gorden putih jendela saja. Jika hidup dalam kepedihan orang lain dapat membuat seseorang merasa bahagia, maka Darrel tentu tidak akan pernah merasakan sakit. Hidupnya akan berjalan teramat bahagia karena dia berada dalam penderitaan orang lain. Benar, Darrel memang hidup seperti itu. Namun, Darrel merasa menjadi manusia paling bodoh sekarang. Dia gagal membuat semesta kembali seperti dulu. Dia gagal membuat kehidupan seseorang jauh lebih baik karena bertemu dengannya.

"Pergi, Darrel! Jangan pernah cari gue lagi kalau lo masih kayak gini!" Sebulir air mata jatuh dari pelupuk mata. Clarissa mati-matian menahan gejolak sakit di dadanya.

"Clar-"

"Lo gak denger? Pergi, sialan!" Saat itu juga jarum yang menusuk tangannya terlepas paksa ketika gadis itu akan menutup wajahnya. Air mata semakin deras mengalir di pipi, bukan karena sakit dari tangannya yang kini mengeluarkan darah, tetapi sakit karena harus mengatakan kata-kata itu di depan Darrel.

Darrel tertegun. Hatinya sakit, sungguh. Clarissa memang sering memakinya dengan kata-kata bercanda tapi kini gadis itu bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Darrel menarik napas sejenak lalu berbalik pergi. Keresek putih di tangannya masih tergenggam erat. Untuk sekarang membiarkan Clarissa sendiri mungkin adalah yang terbaik.

Darrel menutup kembali pintu ketika sudah berada di luar. Bersamaan dengan itu, suara tangis Clarissa terdengar. Darrel terduduk lemas di kursi tunggu tak jauh dari sana. Dia melirik sebotol air minum serta roti keju yang sangat Clarissa sukai. Kini semuanya tampak sudah berakhir. Darrel melemparkan barang yang dibawanya asal kemudian mengusap wajahnya kasar.

Satu pesan kembali masuk ke ponselnya. Darrel mengembuskan napas sejenak, kemudian mengambil benda elektronik yang berada di saku celana denim hitamnya. Hari ini 1 Oktober, di mana seharusnya dia bergegas pergi untuk mengikuti tahap awal olimpiade matematika.

Darrel selalu gagal dalam membuat pilihan. Sekali lagi, Darrel telah mengecewakan orang-orang yang disayanginya. Ia kembali menjadi orang tidak berguna untuk siapapun di sisinya. Darrel selalu begitu dan akan tetap sama.

****

Gimana part ini? Udah bisa mengobati kerinduan kalian sama Clarel?

Maaf banget baru bisa sempet update, ada kesibukan lain juga belakangan ini kayak ngerasa stuck buat nulis. Tapi, karena kalian yang masih setia nunggu, aku pasti berusaha buat lebih baik lagi.
Terima kasih ♥

Untuk ke depannya, aku gak tau bakal update hari apa. Jadi, kalian tunggu aja kabar baiknya. See you!

Salam hormat,
rarisss

Continua a leggere

Ti piacerà anche

376K 20.8K 71
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
3.9M 304K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
RAYDEN Da onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
954K 92.9K 51
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...