MATAHARI API

nadyasiaulia

57.6K 6.3K 2.7K

Hidup Gesna berubah. Dia yang biasanya petakilan dan tertawa membahana, mendadak galak dan jutek kalau ketemu... Еще

PROLOG
1. Diam-diam
2. Kepala Suku
3. Tragedi Bokser
4. Putri Salju
5. Perisai
6. Permainan
7. Ayam Bakar Madu
8. Bubur Ayam
9. Pyjamas Party
10. Manuver
11. Pelangi
12. Penasaran
13. Diapelin
14. Sebuah Misi
15. Kurcaci
16. Yang Mengawasi
17. Sisi Lain
18. Lebih Dekat
19. Dalam Gelap
20. Bukit Rahasia
21. Titik Awal
22. Sebuah Kebetulan
23. Sebelah Tangan
24. Keluarga
25. Guntur Menghilang
26. Mengaku Kalah
27. Di Belakangmu
28. Pura-pura Baik-baik
30. Mrs. Aditya
31. Kantin Kelas Dua Belas
32. Percakapan Tangga
33. Ayo Bicara
34. Membesarkan Hati
35. Sial Amat
36. Janji Adalah Janji
37. Sok Ganteng Stadium Empat
38. Label Sahabat
39. Rasa Tak Terperinci
40. Timpang
41. Perubahan Berarti
42. Hanya Mimpi
43. Kepastian Yang Menyakitkan
44. Di Bawah Nol
45. Keinginan Terpendam
46. Ingatan Paling Mengerikan
47. Gosip Hangat
48. Sahabat Itu Obat
49. Missing Something
50. Forgive Me
51. Sinyo
52. Konspirasi Hujan
53. Pagi Berikutnya
54. Juru Kunci
55. Mengenal Lebih
56. Kembali Ke Basecamp
57. Lagi Rindu
58. Matahari Terbit
59. Mau Kencan
60. A Man Called Papa
61. Titanium Girl
62. Waktu Malam Itu

29. Ksatria Untuk Xena

1.1K 130 60
nadyasiaulia

(Ost. Something Just Like This - The Chainsmokers & Coldplay. Acoustic cover by. Lance)

Masih ini juga yang jadi OST Adit - Gesna

•••

Peringatan: Membaca ini malam minggu membuat jomlo semakin ngenes.
Author tidak bertanggung jawab atas nasib klean.

•••

Ksatria Untuk Xena

•••

Setelah motor Adit meliuk-liuk lewati kendaraan-kendaraan padat yang bertumpuk di jalan pada jam sibuk, akhirnya Gesna tahu tujuan mereka. Adit membawanya ke Kota Tua. Suasana sekitar Museum Fatahillah waktu malam cukup memesona. Tempat ini belum juga sepi, pengunjung tetap saja ramai.

Barisan lampu taman yang berpendar memagari kawasan menjadikan lokasi ini cantik dan menarik. Belum lagi lampu kecil berwarna-warna mencolok, menyemarakkan suasana.

"Pengin makan apa?" tanya Adit memecah suasana ketika cowok itu memarkirkan motor.

Gesna yang sudah turun dan membuka helm lantas menggeleng. "Nggak tahu. Lapar tapi nggak nafsu."

"Kenapa kayak gitu?"

Mereka berjalan menyusuri lorong lebar di salah satu sudut. Banyak kedai makanan berbagai macam gaya di sepanjang lorong. Dari yang bergaya lama hingga minimalis ala masa kini.

"Nggak apa-apa." Gesna memang cukup merasa lelah seharian. Suasana hati terlibat paling penting dalam hal menghabiskan energi.

"Masa?" Adit berhenti, memutar tubuh Gesna agar menghadap cowok itu. "Masih kenapa-kenapa, tuh."

Tangan Gesna ditarik Adit agar masuk ke sebuah kafe yang tidak ramai. Cowok itu memesan kopi dan beberapa camilan. "Lo mau minum apa?"

"Pesanin aja. Asal bukan kopi," sahut Gesna yang  malas membaca menu. Dia lalu menaruh kepala beratnya di meja.

"Kenapa?"

"Ya, entar gue jadi nggak bisa tidur," decak Gesna sambil menutup mata.

"Gampang. Nanti gue kawanin kalau perlu teman begadang."

Gesna mendengar Adit memesankan segelas jus jeruk hangat untuknya. Cowok itu lantas kembali bersuara ketika pelayan sudah menjauh.

"Masih mikirin yang tadi siang?" tanya Adit sambil menaruh tangan di atas kepala Gesna yang lembap. Rambut cewek ini wangi apel. Sampo apa sih yang wanginya seperti ini? Adit sampai penasaran. Dia belum pernah mencium wangi yang sama.

"Non," panggilnya sambil mengusap pelan riap-riap rambut Gesna. "Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita sama gue."

Gesna menggumam. Sehabis mandi, matanya terasa sangat berat. Apalagi angin yang berembus membuat suasana sejuk. Sejuk dan mata yang berat adalah persekongkolan paling brutal buat Gesna sebab dia tidak bisa mengganjal penglihatan barang satu kedipan lagi. Ditambah tangan Adit yang masih mengusap-usap kepalanya, membuat gelombang kantuk semakin besar.

"Capek? Ya udah, rebahan bentar. Sori, gue ajakin lo jalan waktu lo capek."

Gesna hanya mengemam pelan. Dia memang hendak keluar tidak tahu ke mana sampai mengantuk. Sendirian di rumah bisa membuat pikiran menjadi buntu dan aura mendung.

Adit tidak lagi bertanya apa-apa. Tumben Adit bicara benar dan nggak ngelantur. Namun, tangan cowok itu masih bermain di kepala Gesna, mengusap-usap rambut hingga dia sukses tertidur di meja berbantalkan lengan.

Di lain pihak, melihat Gesna tertidur membuat kesan tersendiri bagi Adit. Dia tahu Gesna lelah, hari ini. Dia juga tahu mood Gesna juga sedang tidak baik. Nyatanya tadi saat bertemu di rumah, binar indah mata Gesna yang hilang sedari siang belum juga kembali. Padahal Gesna sudah menonton bersama teman-temannya.

Adit melirik sedikit. Dia tahu Gesna pergi menonton, perginya dengan Adji. Kalau kemarin, dia pernah berpikir ada hubungan apa Gesna dengan Guntur, hari ini, dia mulai berpikir apakah Gesna sedekat itu dengan teman-teman cowoknya? Dengan Guntur, dengan Adji, dengan Renard?

Kepala Adit mulai mengabsen anak basket yang dikenal, dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas termasuk yang sering berkumpul di basecamp. Ya ampun, itu banyak sekali. Adit mengerjap kaget, sekaligus tidak terima.

Dia mulai menekur. Mengingat kembali setiap perkataan Bara, tadi siang. Apa benar dia mulai benar-benar suka dengan Gesna? Karena kalau Adit pikir, Bara ada benarnya, dia belum pernah sepeduli ini sama perempuan. Selalu ingin tahu keadaannya, selalu ingin melihat kabarnya.

Gesna bukan Putri Salju yang hanya tertidur menunggu Pangeran. Dia, perempuan unik berbaju zirah. Xena yang berani juga penuh luka. Dewi perang yang tidak gentar. Namun, Adit tetap ingin melindunginya. Adit ingin jadi Ksatria untuk Xena.

Dia menyesap minuman yang sudah terhidang. Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Naraya.

Naraya: Jadi, lo udah tanya belum sama dia? Ada hubungan apa dia sama Adji?

Adit menutup pesan tanpa membalas lantas mengantongi ponsel. Dipandanginya wajah Gesna yang sedang nyenyak. Sekarang, apa yang harus diperbuatnya? Saat hatinya jatuh kepada seorang cewek, Adit harus bagaimana?

Iya, mungkin dia sudah sayang ke cewek yang tertidur ini. Rasa sayangnya makin lama semakin besar, terlalu keras untuk dilawan. Dia ingin melindungi juga memiliki. Dia ingin sang Xena hanya miliknya dan tidak akan memperbolehkan orang lain mengusik.

"Non," panggil Adit mencolek pipi dan mencubit pelan hidung Gesna. "Bangun, Non. Kutukan apelnya udah hilang."

Dia kemudian mengguncang pelan bahu Gesna. Cewek itu membuka mata dan menguap. "Makan dulu, Non," ujarnya sambil merapikan rambut Gesna.

Gesna menguap kembali sambil mengucek mata. Pandangannya terarah ke penganan yang dipesan Adit. "Gue kepengin kerak telor yang di depan Museum Bank Indonesia."

Cewek itu bangkit, tetapi tangan Adit langsung menahan. Di kafe ini memang tidak menjual kerak telor. "Biar gue aja yang pesan. Lo duduk di sini aja, diminum jusnya."

Adit bangun dari duduk. Berjalan ke arah luar, menyusuri jalan remang yang ramai dan mendekati penjaja kerak telor. Dia tidak akan membiarkan Gesna yang masih mengantuk untuk jalan membeli kerak telor. Apalagi jarak kafe ke penjual kerak telor lumayan jauh. Biar cewek itu beristirahat saja, pikir Adit.

Dia mengeluarkan ponsel dan menelepon Naraya. 

Naraya langsung menjawab panggilannya. "Halo. Gimana?"

Adit mulai memesan dan duduk di bangku semen yang ada. "Gue belum tanya sama dia, tapi kayaknya dia biasa aja. Gue rasa mereka cuma berteman, kok."

"Oh, ya? Yang kayak tadi siang itu yang namanya berteman, ya?" Naraya terdengar berdengkus. "Baru tahu gue."

"Memangnya ada apa, tadi siang?" tanya Adit curiga.

"Nggak apa-apa. Ya udah, gue mau tidur dulu, ngantuk," balas Naraya. "Dia tahu nggak gue kasih tahu lo?"

Memang Naraya yang memberi tahu Adit kalau bertemu dengan Gesna di bioskop sedang bersama Adji. "Enggak. Aman, kok," sahut Adit sembari memperhatikan kerak telor yang dimasak.

"Ya, siapa tahu. Hapus aja deh pesan gue, ya."

Naraya lalu berpamitan, meninggalkan Adit yang masih tidak mengerti apa yang terjadi antara sepasang sahabat itu.

***


"Jangan kayak orang udik, sih." Gesna menarik Adit yang mendekat ke persewaan sepeda ontel.

Sehabis makan, Adit mengajaknya berjalan di wilayah tersebut. Lapangan yang ada di depan Museum Fatahillah itu ramai. Jajaran sepeda ontel yang terparkir rapi ada di pinggir lapangan. Di sebelah kiri lapangan, kawanan burung dara bergerombol datang karena dikasih makan pengunjung.

Alih-alih berhenti, Adit malah mendudukkan Gesna di boncengan, mengayuh sepeda di pelataran Kota Tua. "Pakai dong topinya, biar kayak Noni Belanda."

"Lo tuh pakai helm batok itu biar kayak Meneer."

Adit masih menggowes sepeda. Lucu sebenarnya. Selama ini kan Gesna hanya melihat Adit membawa motor besar, bukan sepeda ringkih.

Cowok itu tertawa pelan. "Nggak apa- apa jadi Meneer kalau lo yang jadi Noni-nya. Pegangan di pinggang napa? Biar romantis gitu."

Gesna melengos. "Romantis? Rokok makan gratis?"

Sepeda mereka berhenti di salah satu sudut yang memiliki pohon-pohon. Adit menoleh kepadanya. "Lo masih merokok?"

"Kenapa?" tanya Gesna enteng sembari membiarkan Adit menarik lengannya.

Cowok itu menaruh tangan Gesna di pinggangnya. Sepeda berjalan kembali, mereka memutari lapangan yang sebenarnya tidak terlalu luas.

"Kurangin. Nggak bagus. Apalagi lo cewek."

Mata Gesna terpaku pada lampu-lampu sorot yang kekuningan. Meriam-meriam tua simbol kegagahan Batavia masa lampau. Udara sekitar masih saja sejuk, angin berembus memainkan rambut mereka.

"Cerewet!" sahutnya.

Sepeda ontel berwarna pink itu berhenti kembali. Sang Meneer menoleh. "Orang cerewet itu ada dua, Non. Satu, dia resek. Dua, dia peduli. Menurut lo, gue yang mana?"

"Resek!" jawab Gesna galak sambil membuang muka. Ada jengah yang hinggap karena tatapan Adit barusan. Apalagi tangan cowok itu lagi-lagi menyapu kepalanya.

Adit tersenyum geli. Cowok bergigi rapi itu tertawa dengan tampannya. "Enggaklah. Lo tuh pura-pura nggak tahu. Jangan sok bego. Nanti bego beneran, baru nyahok."

"Asal bener lo ngomong!"

Tangan Gesna yang hendak memukul ditangkap Adit. Cowok itu memegang jemarinya. Sensasi tersengat sangat terasa ketika Adit memainkan jari-jari Gesna.

"Kalau gue peduli sama lo, gimana?" bisik Adit menunduk, menaruh kepala di bahu Gesna. Memandanginya dari jarak yang terlampau dekat.

Tak lama, cowok itu mencium pelan kepala Gesna.

"Lo mau nggak jadi pasangan gue? Jadi Mrs. Aditya?"

Ibarat langit malam yang hitam, genggaman Adit di tangannya seperti menghadirkan banyak bintang. Ada gemuruh yang tidak Gesna mengerti. Hangat menjalari telapaknya, meresap sampai ke hati. Sekuat tenaga, dia berusaha menampik hal aneh yang mendera.

"Apa sih, lo?" Gesna hendak melepaskan genggaman Adit. Cowok itu malah ketatkan cengkeramannya di sela jemari Gesna.

Adit menarik tangan kanan Gesna ke hadapan, mengecup pelan punggung tangan. Kemudian membawa tangan itu masuk ke dalam saku jaketnya. "Jangan dilepas! Gue pengin ngegenggam tangan lo."

"Nggak lucu, Dit!"

"Gue nggak lagi bercanda, Gesna." Adit menariknya untuk turun dari sepeda ontel dan duduk di bangku yang terbuat dari marmer hitam. "Mulai dari sekarang, lo pacar gue."

"Tapi—"

"Tapi apa?"

"Gue nggak suka lo," jawab Gesna lugas dan berusaha memasang muka juteknya agar Adit berubah pikiran.

Tanpa terpengaruh, Adit mengeluarkan tangan kanan Gesna dari saku dan mengecup lagi. "Belum, bukan enggak. Lo bisa sukanya nanti, kok. Gue nggak maksa harus suka sekarang sama gue. Apa lo lagi sukain cowok lain, Non?"

Gesna tergugu. Ada memang. Cowok yang disukainya sudah pacaran dengan cewek lain. "Eng. Enggak."

"Ya, udah. Semua bisa terjadi, Non. Kalau kata Jan Pieterszoon, 'Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons'. Yang penting jangan menyerah."

Adit mengamati muka Gesna dengan tersenyum.

"Siapa itu Jan Pieterszoon?" Alis Gesna naik sebelah. Nama itu seperti pernah didengar.

"Gubernur Jenderal Batavia, sayangku. Dia yang menghancurkan Jayakarta, bangun tembok-tembok tinggi juga taruh meriam di sekitar sini." Adit menunjuk meriam yang ada di depan Museum Fatahillah.

"Kok bagian penjajahnya yang lo kenang? Harusnya malah dihapus aja dari sejarah, nama orang yang udah menghancurkan kerajaan di Indonesia," protes Gesna tidak terima.

Adit masih menatap lekat Gesna. Angin yang datang dari pelabuhan Sunda Kelapa menyisir rambut mereka.

"Kekalahan malah harus dikenang. Supaya manusia bisa belajar. Belajar arti kekalahan, belajar menundukkan kepala, biar tahu kalau di atas langit ada langit, biar menelaah kembali taktik perangnya."

Senyum di bibir Adit masih terlukis. Genggamannya masih rapat. Cowok itu terlihat sangat bersinar kalau menceritakan sejarah. Padahal cara bicaranya biasa saja.

"Belajar tahu kalau di atas langit ada Hotman Paris?" desis Gesna konyol. Diam-diam, dia mengumpati letupan asing yang datang sedari tadi.

Tanpa menggubris leluconnya, Adit menarik dagu Gesna agar mereka berpandangan. "Kali ini aja, aku pengin jadi pemenang."

Gesna merasa tenggorokan mendadak kering dan tangan menjadi dingin. Genggaman Adit berpotensi menjatuhkan suhu tubuh.

"Aku memang bukan Pangeran Jayakarta, bukan Jan Pieterszoon tapi aku pengin jadi pemenang. Kali ini aja jadi pemenang di hati kamu. Boleh?"

Gesna terpaku pada mata Adit mendengar perubahan panggilan itu. Kosakatanya hilang. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan mata sedalam itu? Manik gelap milik Adit menarik kesadarannya. Harus Gesna akui kalau Kepala Suku di hadapan memang medan magnet yang susah dilawan. Menggoyahkan titik keseimbangan yang dia punya.

Gesna menunduk, alihkan pandangan. Sebelah hatinya masih meneriakkan nama Guntur dengan lantang. Namun, sebelahnya lagi merasa istimewa bersama Adit. Dia harus bilang apa kalau seperti ini?

"Tiga, Dua, Satu. Time is out! Kamu nggak boleh protes lagi." Tangan kiri Adit meraih sebelah tangan Gesna yang bebas. Kedua tangan mereka bergenggaman. "Mulai hari ini, kamu, Mrs. Aditya-nya aku."

Kedua tangan Gesna dikecup dan ditaruhnya di dada dengan erat. "Punya Adit. Nggak boleh ada yang ganggu!"

Sudut bibir Gesna berkedut tidak terkendali. Untuk menutupi itu, Gesna menggerakkan bibirnya ke kiri dan ke kanan berkali-kali. Hal yang terlihat menggemaskan di mata Adit sehingga cubitan kecil hinggap di pipi Gesna.

Namun, adegan romantis tadi terganggu oleh kedatangan seorang pengamen kecil memakai gitar kecil. Anak itu menyanyikan sebuah lagu cinta. "Duhai kekasih pujaan yang slalu di hati. Aku menunggumu. Engkau gadis yang slalu hadir dalam mimpiku. Di setiap tidurku."

Merasa tersindir, Gesna sudah akan mengusir pengamen yang datang, tetapi Adit malah meminta anak itu duduk di sampingnya kemudian ikut bernyanyi. Seketika duet Adit dan sang pengamen menimbulkan perhatian sekitar.

Untuk kualitas, keduanya memiliki suara yang memukau. Hanya saja, Gesna selalu gerah jika orang memperhatikan mereka karena Adit. Apalagi Adit masih menggenggam tangannya. Gesna sudah malu sekali.

"Dengarlah sayangku. Tiada yang lain saat ini. Engkaulah yang ada di hati. Engkaulah yang ada di hati."

Apakah ada yang bisa menculik Gesna, saat ini?

"Duhai kekasihku. Hanyalah dirimu yang kumau. Tiada yang lain di hati. Selamanya hanya dirimu."

Berkali-kali punggung tangannya dikecup Adit. Jantung Gesna terasa menciut, darahnya terpompa tidak karuan. Gesna berusaha menetralkan debaran dada. Bukannya reda malah semakin bising. Dia panik. Adit benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung.

"Abang boleh pinjam gitarnya?" pinta Adit kepada pengamen. Anak itu mengangguk dan memberi gitar kepada Adit.

Dawai gitar dipetik. Adik kembali bernyanyi kecil untuk dia. "I've been reading books of old. The legends and the myths. Achilles and his gold. Hercules and his gifts."

"Spiderman's control and Batman with his fists.
And clearly I don't see myself upon that list."

Gesna tahu lagu itu. Dia hafal hampir seluruh lagu Coldplay. Adit masih memandangnya sambil tersenyum.

"But she said, where did you wanna go? How much you wanna risk? I'm not looking for somebody with some superhuman gifts."

"Some superhero. Some fairytale bliss. Just something I can turn to. Somebody I can kiss. I want something just like this."

Gesna merasa mukanya semakin panas. Langit hitam di atas mereka terasa sangat riuh seperti tahun baru. Tidak, tidak ada kembang api di Kota Tua, saat ini. Karena yang gegap gempita adalah isi dalam dada.

🌺🌺🌺

"Mau Bang, Mau! Kalo Gesna nggak mau, buat gue aja."

Siapa yang mau komen begitu? 👆

Tadinya mau posting agak maleman, tapi baterai gue udah 32% dan gue masih di luar.

Demi para Mrs. Aditya, gue posting sekarang.

XOXO,

Nadya yang lagi di Kota Tua sama Adit.

Продолжить чтение

Вам также понравится

IGNITES Murti Mutolaah

Подростковая литература

1M 50.5K 67
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
AGASKAR 2 [[ AFTER MARRIED ]] bunoyy

Подростковая литература

3.8M 302K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
Figuran Menjadi Tunangan Protagonis SecretNim

Подростковая литература

566K 41.7K 29
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
GEAMA CEARCALL [transmigrasi] Choco Sweet

Подростковая литература

2.9M 167K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...