Are We Getting Married Yet?

By AnnyAnny225

20.4M 984K 35.1K

Sagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih s... More

01
02
03
04
05
06
07
08
09
Sekilas Info
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
PREVIEW
41
42
43
44
46
PREVIEW 2
47
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
INTERMEZZO
Extra Part - Lisa's Pregnant
Extra Part - Saga's Worried
Extra Part - Triplets!
Extra Part - Triplets Again (Part 1)
Extra Part - Triplets Again (Part 2)
Extra Part - Triplets Again (Part 3)

48

237K 12.6K 389
By AnnyAnny225

Lalisa POV

Benjamin: Aku udah di parkiran 😊

Sebaris pesan masuk dari Ben membuatku mengulas sebuah senyuman. Pria yang selalu bisa aku andalkan.

Benjamin: Banyak barang? Biar aku ke sana bantu angkat

Lalisa: Thank you Ben tapi nggak perlu karena barang Yolan nggak banyak. Thank you once again udah mau repot jemput kami

Benjamin: My pleasure. Aku senang bisa berguna untuk kamu 😘

Sekali lagi Ben membuatku tersenyum dengan sendirinya.

"Temen gue udah di bawah. Udah semua barangnya?" Aku menatap Yolan yang menutup tasnya. Sore ini dokter memperbolehkan Yolan pulang karena keadaanya sudah membaik. Rasa kram diperutnya sudah hilang sama sekali. Janinnya juga baik-baik saja dari hasil USG. Aku bisa sedikit tenang. Karena, sebelumnya aku masih saja ketakutan terjadi sesuatu meski dokter bilang semuanya normal. Bahkan, aku memutuskan bolos kerja hari ini demi menemani Yolan. Selain karena tidak ada yang menjaganya, percuma juga aku kerja karena pasti tidak akan fokus. Pikiranku akan selalu ada pada Yolan.

Hanya Rere yang masuk kerja dan baru pulang malam. Dia akan menyusul ke apartemen Yolan nanti.

"Temen siapa?" Tanya Yolan penasaran. "Cowok? Cewek?"

"Nanti gue kenalin di bawah," jawabku membuat semuanya semakin misterius. Yolan hanya mengangkat bahunya masa bodo. Setelah semuanya selesai kami menuju lobby rumah sakit. Di depan pintu masuk, sebuah Porsche Cayman merah sudah terparkir rapi. Ben keluar dari mobilnya, menghampiri kami. Dengan sigap, tas yang aku pegang sudah berpindah ke tangannya. Yolan menatapku penuh selidik, lalu mengacungkan jempol dengan antusias.

"Nemu di mana laki kayak gini?" Bisiknya sambil menangkup salah satu tangan di depan mulutnya agar Ben yang jaraknya dekat dengan kami, tidak mendengar apa yang sedang Yolan gunjingkan. Dia hanya tersenyum sambil menatap kami berdua dengan bingung. Hari ini Ben begitu tampan dengan t-shirt berwarna soft pink yang semakin memancarkan ketampanan seorang Ben. Tapi, kenapa aku tidak pernah sekalipun jatuh dalam pesonanya.

"Oh, ya Ben. Kenalin ini Yolan teman SMP aku," aku memperkenalkan Yolan pada Ben tanpa menjawab pertanyaannya tadi. "Yol, ini Ben rekan bisnis gue,"

Mereka saling berjabat tangan seraya menyebutkan nama masing-masing.

"Can we go now?" Ucap Ben yang diikuti anggukanku sebagai jawaban.

"Lo di belakang, gue mau duduk di depan," Yolan menahan tanganku saat membuka pintu depan. Dia menarikku agar mundur, sehingga dia bisa masuk ke dalam, duduk tepat di sebelah Ben. What??? Kenapa dia jadi kecentilan gini? Biasanya, diantara kami bertiga Yolan yang paling cuek dengan namanya pria. Diantara rasa kaget dan kesalku, aku kembali tersadar dan terpaksa duduk di belakang.

"Aku di depan ya, Ben. Kalo duduk di belakang suka mual," Yolan melirikku sekilas, kemudian tersenyum dibuat-buat kepada Ben. Ternyata benar, ya, kata orang-orang. Kehamilan bisa membuat seseorang berubah drastis.

"It's okay," seperti biasa Ben yang baik hati tidak akan mempermasalahkan. Perlahan mobil bergerak menuju jalanan, diriingi lagu-lagu yang diputarkan sebuah stasiun radio. Meski baru bertemu hari ini, Yolan dan Ben seperti dua orang yang sudah lama saling kenal. Tidak heran lagi. Ben adalah jenis orang yang easy going, sehingga aku tidak heran jika dia bisa membuat Yolan tertarik padanya. Ben membuat obrolan mengalir dengan alami, sesekali aku menambahkan. Apalagi saat Ben menceritakan pengalaman lucunya, Yolan tidak bisa berhenti tertawa hingga menangis, membuatku tersenyum. Lagi-lagi, Ben membuat tugasku menjadi lebih mudah.
***
"Terima kasih, ya, Ben. Kapan-kapan kita jalan lagi," ucap Yolan setelah kami turun dari mobil Ben.

"Okay, aku tunggu kabar dari kamu," Ben mengacungkan jempol. Kemudian dia menatapku, menggengam salah satu tanganku. "Kamu dari tadi banyak diam. Ada masalah?"

Aku baru akan menjawab, namun Yolan lebih dulu melakukannya "Dia capek aja Ben dan lagi sariawan juga makanya nggak banyak ngomong,"

Aku melirik sebal ke arah Yolan yang menahan tawanya.

"Aku belikan vitamin, ya?" Aku menggeleng pelan. Sialan Yolan. Ben jadinya menanggapi dengan serius. "Yolan hanya bercanda. I'm fine, Benjamin,"

"Really?"

"I am,"

"Okay," Ben tersenyum dan mengacak pelan rambutku. "Kalau ada apa-apa, jangan lupa selalu hubungi aku,"

Aku mengangguk dan Ben kembali masuk ke mobil, mengarah kembali kejalanan setelah pamit kepada kami.

"Dia suka Lo," tembak Yolan langsung tanpa basa basi. Aku hanya diam, mengambil alih tas yang dipegangnya. Berjalan di depan tanpa menjawab pertanyaannya.

"Gue benar, kan? Dia suka Lo. Keliatan banget dari gesture, cara dia menatap Lo, seakan hanya ada Lo di dunianya,"

Aku berhenti dan berbalik ke belakang. "Tapi gue nggak pernah ada rasa sama dia,"

"Karena semuanya sudah dimiliki Saga?" Tebak Yolan sampai membuatku kehilangan kata-kata. Aku benci, tapi Yolan benar.

"Ya. Karena dia nggak bisa buat gue mencintai dia sebesar gue mencintai Saga. Meski dia nggak pernah mencintai gue dengan tulus, gue nggak pernah menyesal, Yol. Apa cinta gue sia-sia? I thought it's not. It's just..." Aku menarik napas dalam-dalam "find the right home yet,"
***

Author POV

Lagi, untuk ke sekian kalinya, Saga terbangun dalam tidurnya, dan tidak akan bisa tidur lagi meski dia berusaha keras. Semakin dia mencoba, matanya malah terasa tidak mau tertutup. Padahal dia baru tidur selama 15 menit, setelah memaksa diri bekerja selama 48 jam selama 3 hari dengan jam tidur yang sangat minim. Kepalanya terus berdenyut meski sudah menelan berbagai macam obat. Dia menghembuskan napas kesal, karena rasa kantuk tidak ada sedikit pun. Hanya kopi yang bisa menyelamatkannya.

Dengan langkah gontai, dia berjalan menuju kantin untuk segelas kopi instan. Sejak barang-barang Lisa sudah tidak ada lagi di rumah tersebut, Saga juga memutuskan untuk keluar dari sana, dan memilih tinggal di rumah sakit karena tinggal di apartemen membuatnya lebih banyak melamun. Saga lebih memilih bekerja, sekeras mungkin, agar barang sedetik dia tidak memikirkan Lisa. Memikirkan apa yang menyebabkan Lisa meminta cerai, sedangkan hubungan mereka baik-baik saja. Sangat baik, malah.

Disudut kantin yang agak gelap, ada seorang pria yang sedang duduk dengan wajah muram. Di depannya sudah ada 6 gelas khas kopi instan dari mesin. Siapa lagi kalau bukan Marco.

Saga meletakkan segelas kopi di depan Marco yang mengangkat kepalanya, menatap sendu pada Saga yang duduk di depannya.

"Gue hampir aja jadi pembunuh," Lagi, kalimat penyesalan keluar dari mulut Marco beberapa hari ini setelah insiden tersebut. Sudah 2 hari terlewati dan Marco belum mampu menunjukkan wajahnya ke hadapan Yolan.

"Lo mabuk dan nggak sengaja melakukan hal itu. Yang perlu Lo lakukan adalah minta maaf ke Yolan. Semakin Lo menunda, semakin Yolan benci sama Lo," saran Saga setelah menyeruput kopi panas.

"Gue nggak berani, tiba-tiba aja gue jadi pengecut. Gue takut, dia benci banget sama gue. Dan..." Marco menggantung kalimatnya lalu mengusap wajahnya kasar. "for God sake, dia hamil! Dia hamil dan gue nggak tahu sama sekali. Pengen gue bunuh cowok yang hamilin dia! What I've done to deserve that?" Mata Marco memerah hingga setitik air mata lolos dari sudut matanya. Dia mengusap kasar cairan tersebut dan memalingkan wajah ke samping. "Lebih baik dia maki gue, pukul gue sampai dia puas, atau bunuh gue sekalian daripada dia hanya diam dan mencoba bersembunyi. Lebih buruk, ninggalin gue selamanya. Lo tahu, Tuhan nggak adil sama gue,"

Saga lebih memilih diam dan sesekali mengecek ponselnya, mana tahu ada telpon atau pesan singkat dari seseorang yang sangat ditunggunya.

"Pasti Lisa tahu siapa yang hamilin Yolan? Saga bantu gue tanya ke Lisa. Ah, atau jangan-jangan Lisa udah kasih tahu siapa yang hamilin Yolan? Iya, kan? Dia udah cerita, kan? Sekarang Lo wajib kasih tahu ke gue," Marco sedikit mencondongkan tubuhnya ke atas meja, memaksa Saga untuk memberitahunya.

"I don't know," jawab Saga pelan.

"What? Dia nggak cerita apa-apa? Waktu di rumah sakit? Lo nggak tanya-tanya? Nggak guna banget sih, Lo jadi temen!" Marco kesal setengah mati dan menatap Saga dengan tidak suka. Alih-alih marah, Saga hanya tersenyum, seakan mengerti keadaan Marco.

"Temukan sendiri jawabannya," ucap Saga dan meneguk kopinya. Marco mengacak rambutnya kasar, kemudian memohon pada akhirnya.

"Please, bantu gue tanya ke Lisa. Gue bisa gila! Gue belum punya muka ketemu Yolan. Saga bantu gue, please... Please... Bantu sahabat Lo yang bodoh ini..." Marco menundukkan kepala hingga keningnya menyentuh meja, sementara tangannya terkatup di atas kepala dengan gestur memohon.

"Maaf gue nggak bisa bantu Lo," jawab Saga pelan, jarinya bergerak melingkar mengikuti bibir gelas.

"Kenapa?! Gue udah merendahkan harga diri gue. Please Saga, bantu gue. Gue janji bakal bantu Lo. Atau Lo mau jam tangan gue lagi? Yang mahal? Ada nanti gue bawa buat Lo, atau baju? Ada kemeja gue dari merek terkenal. Atau sepatu? Ukuran kaki kita sama. Atau mau semuanya? Gue tambahin-" kalimat Marco terpotong oleh kalimat Saga.

"Gue dan Lisa akan bercerai,"

Hening. Marco mematung di tempatnya, masih belum percaya dengan ucapan yang keluar dari mulut Marco.

"Cerai?" Gumam Marco lalu tertawa "Candaan Lo nggak mutu! April mop udah lewat! Cerai benaran baru tahu rasa Lo!" Marco menyumpahi namun masih merasa tidak percaya.

"Gue nggak bercanda. Gue bakalan cerai dari Lisa," tatapan Saga berubah sedih, meski bibirnya terus tersenyum, namun terlihat dipaksakan.

"Jadi ini beneran? But why? You two are a love bird. Gue nggak ngerti. Siapa yang minta cerai?" Marco akhirnya bisa menerima meski masih sulit menerima.

"Lisa," lirih Saga.

"Dan Lo terima aja dia minta cerai? Lo nggak tanya kenapa dia minta cerai?"

Saga menggeleng pelan, lalu terkejut saat Marco menggebrak meja dengan keras.

"Bego! Kenapa mau aja terima?! Lo nggak berusaha merubah pikiran dia? "

Sekali lagi Saga menggeleng, Marco gemas sendiri.

"Goddd, kenapa punya temen bodoh banget! Lo nggak kasihan liat Lisa bakalan jadi janda? Man... Lo nggak cinta sama Lisa? Lo-" jari Marco yang menunjuk Saga berhenti di udara. Dia menghela napas pelan.

"Alasan Lisa minta cerai apa?" Tanya Marco tenang tidak menggebu-gebu seperti tadi. Seperti prihatin melihat sahabatnya sendiri terlihat semakin... Tidak terdefinisikan.

"Dia nggak bahagia sama gue," tampak wajah Saga begitu merasa bersalah. "Gue pikir, gue hanya memikirkan perasaan gue selama ini, tanpa pernah bertanya ke Lisa apa dia bahagia. Ternyata gue nggak cukup baik buat dia. Jika dengan bercerai membuat dia bahagia, untuk apa gue bertahan?"

"Sekali pun Lo cinta sama dia? Atau Lo nggak cinta sama dia?" Marco terus mencecar pertanyaan. Lagi-lagi Saga terdiam, tidak tahu harus menjawab seperti apa.

"Udah mengerti kenapa Lisa nggak bahagia?" Gumam Marco dan berjalan meninggalkan Saga sendirian dengan pikirannya.

Sebelum benar-benar berlalu, Marco berkata "Mau menyerah begitu saja? Jangan sampai Lo menyesal dan harus kehilangan untuk kedua kalinya. Kalo Lo benar-benar cinta, perjuangin Lisa. Jangan jadi pengecut,"
***

Mobil Lisa kembali memasuki pekarangan rumah orang tuanya, setelah kunjungan terakhirnya 2 minggu lalu. Jika 2 minggu lalu dia datang untuk menjenguk orang tuanya, kini dia datang untuk mengabarkan perceraiannya. Semalam suntuk dia berpikir mencari kata-kata terbaik untuk memberitahu kedua orang tuanya tanpa ada drama, atau ada yang tersakiti hatinya, terutama hati Papa. Lisa akan menjelaskan dengan sangat baik, sehingga semuanya bisa menerima keputusannya dengan lapang dada.

Ketika keluar dari mobil, di depan teras ada Nares sedang menggunting tanaman dengan wajah kusut.

"Kenapa muka Lo? Bentuknya abstrak  nggak jelas gitu," ejek Lisa.

"Gue disuruh Mama gunting tanaman! Lagian daunnya juga bakal gugur ngapain di gunting? Nggak ada kerjaan aja," sungutnya.

"Yeee, emang Lo nggak ada kerja, kan? Uang aja masih minta,"

"Udah deh! Nggak usah cerewet. Sana masuk. Bikin mood jelek aja. Datang tangan kosong lagi," cemooh Nares dan melanjutkan menggunting tanaman dengan asal. Lisa tertawa dan menjambak rambut Nares dengan keras hingga terjadi perkelahian kecil sampai akhirnya Lisa mengalah dan tertawa keras. Dia benar-benar rindu dengan adik kecilnya, yang jarang dia temui karena memang kesibukan masing-masing.

"Mama dan Papa di mana?" Tanya Lisa akhirnya.

"Mama lagi ke pasar. Papa lagi di kamar. Sakit," jawab Nares tanpa melihat Lisa.

"Lho? Papa sakit? Sakit apa? Kok, nggak ada yang kasih tahu ke gue?" Tiba-tiba Lisa diserang rasa khawatir.

"Tapi jangan kasih tahu ke Papa kalo gue yang info ke Lo. Papa sempat drop 2 hari lalu. Tapi nggak sampai rawat inap. Cuma di bawa ke UGD. Papa bilang gue nggak boleh kasih tahu ke-hei gue belum selesai ngomong!" Teriak Nares saat Lisa meninggalkannya dan berlari ke dalam rumah, mencari Papa. Perlahan, dia membuka pintu kamar, dan mendapati Papa sedang berbaring. Matanya tertutup, wajahnya terlihat damai. Lisa merasa kakinya lemas hingga untuk menopang tubuhnya saja sulit. Dia berjalan tertatih, dan duduk di pinggir ranjang dengan hati-hati.

Dalam diam Lisa menangis, menatap wajah Papa yang semakin banyak kerutan, dengan uban yang semakin banyak. Papanya semakin tua, pikir Lisa. Dan sebagai anak dia belum banyak melakukan hal yang dapat membuat Papa bahagia, apalagi waktu Papa mungkin tidak lama. Niatnya untuk memberitahukan tentang perceraiannya hilang seketika. Bisa dibayangkan betapa kecewanya Papa saat tahu dia akan bercerai. Mungkin Papa akan tetap menerima, meski akan terluka. Diantara kedua orang tuanya, Papa adalah orang yang paling bersemangat tentang pernikahannya. Saga pun, seperti menjadi kesayangan Papa yang pertama. Hatinya pasti hancur ketika Lisa ingin berpisah dari Saga.

"Lisa?" Tukas Papa yang terbangun. Lisa cepat-cepat menyeka air matanya.

"Kamu nangis? Kenapa nak?" Papa bangun dari baringnya dan terduduk sambil menyeka air mata Lisa yang bersisa.

"Papa sakit apa? Kenapa nggak kasih tahu Lisa? Papa jahat," Isak Lisa di dada Papa, mencengkram kemeja Papa dengan erat. Pria paruh baya tersebut melingkarkan kedua tangan di seputaran pundak Lisa.

"Papa sehat. Siapa bilang Papa sakit?" Ucap Papa menenangkan. "Jangan nangis lagi, nanti tambah jelek lho," goda Papa yang dihadiahi cubitan ringan di dadanya. Setelah merasa tenang, Lisa kembali duduk tegak, dan menatap wajah Papa.

"Papa udah baikan?" Tanyanya pelan.

"Sudah. Papa sudah sehat. Buktinya Papa bisa angkat galon," Lisa hendak mendelik marah, namun akhirnya tertawa saat Papa berkata "Galon kosong tapi,"

"Papa candaannya nggak mutu!" Ketus Lisa namun tak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Tumben kamu ke sini? Ada apa?"

"Memangnya Lisa nggak boleh ke sini?" Ucap Lisa dan menatap sinis Papa.

"Boleh dong. Kamu sendirian? Saga nggak ikut?"

Mendadak Lisa merasa ketegangan dalam dirinya saat ditanya Papa.

"Tadi Lisa dari kantor langsung ke sini. Iseng aja, kangen sama Papa. Saga juga masih kerja Pa," Lisa kembali menyembunyikan wajahnya di dada Papa. Menghirup aroma Papa dalam-dalam. Aroma favoritnya sejak kecil, yang selalu menenangkan.

"Kamu sama Saga baik-baik aja kan? Kalo dia nggak sibuk, ajak dia ke sini. Papa pengen main catur sama dia. Terakhir Papa kalah sama dia. Papa harus balas dendam," ucap Papa dan tertawa, sementara perasaan Lisa tengah berkecamuk. Itu sesuatu hal yang mustahil, membawa pria itu kembali ke rumah sebagai suami.

"Iya, Pa. Nanti Lisa kasih tahu ke Saga," lirih Lisa dan kembali menangis.

Lisa memutuskan kembali ke apartemen setelah makan malam. Bertemu keluarganya membuat perasaannya lega. Untuk sementara dia bisa berhenti memikirkan perceraiannya atau pun Saga. Jalanan Jakarta terlihat lengang malam hari ini. Atau hanya perasaan Lisa, tapi seperti terasa sepi. Setelah keluar dari rumah Saga, Lisa sering merasa kesepian. Padahal dia sudah sering tinggal sendiri. Di tempat ramai sekali pun, dia merasa seperti sendiri.

Sering tertawa berlebihan untuk hal yang tidak lucu di pagi hari, lalu menangis sesenggukan di malam hari. Terus seperti ini, hingga dia lelah sendiri. Begitu besar dan dalam Saga memasuki kehidupannya hingga mereka berpisah dia merasa dirinya sangat lemah. Lalu bagaimana dengan pria itu? Apa dia juga merasakan hal yang sama? Atau tidak?

Tapi dari penilaian Lisa saat terakhir bertemu di rumah sakit. Tidak ada perubahan berarti pada Saga. Dia tetap Saga yang rapi, harum, dan tampan. Tidak seperti dirinya uang terlihat menyedihkan. Hanya dia, yang  merasa menderita.
***
Lalisa POV

Setelah sampai di basement parkiran apartemen, aku malah berpikir untuk menginap di apartemen Yolan. Aku mengarahkan mobilku kembali ke jalanan dengan kecepatan sedang.

Mengusir sepi, aku menyalakan radio, dan sebuah lagu langsung terdengar. Salah satu soundtrack  Crazy Rich Asians. Sesekali aku mengetukkan jariku mengikuti irama lagu yang begitu lembut.

Pikiranku kembali melayang saat berada di rumah. Aku gagal meyampaikan kabar perceraian ku. Aku takut, kondisi Papa kembali turun setelah mendengarnya. Tapi aku tidak mungkin menyembunyikannya. Hubunganku bersama Saga tidak bisa diselamatkan lagi. Apalagi, sepuluh menit yang lalu Max meneleponku, meminta bertemu di kantornya untuk membicarakan perceraian ku. Semoga semuanya berjalan lancar, aku tidak ingin ketidakjelasan ini larut terlalu lama. Karena Saga mungkin juga menginginkan semua cepat diselesaikan, sehingga dia bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih serius bersama Marly. Sedangkan aku, akan tetap melanjutkan hidup seperti tidak terjadi apa-apa.

Sekali lagi aku mendesah pelan, meredakan rasa sesak, menghapus air mata yang keluar tanpa izinku. Lagu Raisya yang diputar kini, seperti mewakili perasaanku saat ini.

Lebih baik kita usai di sini

Sebelum cerita indah tergantikan pahitnya sakit hati

Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana

Mengerti kapan harus berhenti
Ku kan menunggu tapi tak selamanya

Perhatianku sedikit teralihkan kala ponselku di atas dashboard bergetar menciptakan suara berisik. Sebuah nomor asing meneleponku di pukul satu dini hari.

TBC
***
Aku bisa up lebih cepar dari biasanya.. senangnya 🤣🤣🤣
Sepertinya beberapa part lagi udah tamat. Aku harap sih gitu. Karena kalo terlalu panjang juga orang bakalan bosan ya... Mengenai preview yang beda sama part 47 aku jelasin itu semuanya khayalan Lisa ya. Sengaja aku nggak masukin lagi kalimat di preview ke part 47 biar nggak ngulang baca lagi 😍

Btw, menurut kalian siapa yang telpon Lisa?

Oh ya aku juga baru nonton Crazy Rich Asian kemaren dan masih baper sampai sekarang. Jadi ingat BBF nih.. wkwkwk

Aku suka banget soundtrack-nya yang slow2 seperti Yellow. Pulang nonton langsung cari dan terus dengerin sampai sekarang tanpa bosan 😍

Continue Reading

You'll Also Like

38.3K 4.3K 35
"Kalian yakin cuma sahabatan? ngga lebih?" TREASURE FANFICTION INDONESIA
416K 17.8K 76
Aileen wanita umur 22th yang sangat mendambakan percintaan seperti drama korea. Suatu hari ia bekerja dimana terdapat boss yang membuatnya terpana na...
5.9M 452K 95
"Ayo kita nikah." Agmi terdiam sejenak. Sepertinya ada yang salah dengan pendengarannya. Apa mungkin karena dia kelaperan banget otaknya jadi agak ge...
124K 8.3K 37
Mana yang akan kamu pilih? Orang yang mencintaimu atau orang yang kamu cintai? Terkadang Tuhan hanya menakdirkan untuk bertemu namun tidak untuk bers...